Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Samarinda > Artikel
Mengenal Hustle Culture: Budaya Gila Kerja yang Berbahaya
Indah Retnowati
Kamis, 10 Februari 2022   |   22193 kali

Pernahkah kamu membuat story di Instagram tentang pekerjaanmu? Atau pernahkah kamu sengaja bercerita betapa sibuknya dirimu di media sosial agar dianggap pekerja keras oleh atasan dan rekan kerjamu? Atau apakah kamu terus bekerja hingga hampir tidak memiliki waktu untuk diri sendiri? Atau barangkali kamu pernah merasa takut tertinggal, cemas, atau merasa insecure melihat teman-temanmu karirnya menanjak menuju puncak sementara hidupmu terasa biasa-biasa aja? Inilah fenomena budaya gila kerja yang kini menjadi tren, khususnya di kalangan anak muda. Apa sih penyebabnya?

Transformasi dunia digital yang begitu pesat menuntut pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat. Teknologi modern yang digadang-gadang mampu memudahkan manusia di sisi lain terkadang justru membuat pekerjaan kian bertambah, bahkan tak selalu membuat segalanya jadi lebih mudah. Setiap individu berlomba mengejar kesuksesan, saling berpacu dalam lintasan yang tak jarang diwarnai luka dan pengorbanan.

Media pun turut mengambil peran, baik media sosial pribadi maupun media publik, dengan terus-menerus menayangkan kisah-kisah sukses tokoh-tokoh ternama seperti Bill Gates, Elon Musk, Jeff Bezos, Mark Zuckerberg, Putri Tanjung, dan Nadiem Makarim. Tak hanya itu, melalui media sosial kita juga dapat melihat aktivitas teman-teman kita, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan atau capaian teman-teman kita. Sinergi kedua hal tersebut bersama-sama saling memengaruhi seseorang untuk terus merasa dirinya kurang produktif, untuk terus bekerja keras tanpa mempedulikan kesehatannya, hingga akhirnya terjebak dalam lingkaran budaya gila kerja yang disebut hustle culture.

Hustle Culture = Workaholism

Secara etimologis, istilah hustle culture berasal dari kata Bahasa Inggris, hustle, yang berarti antara lain aksi energik, mendorong seseorang agar bisa bergerak lebih cepat secara agresif, dipadukan dengan kata culture yang berarti budaya. Sedangkan definisi hustle culture menurut pakar psikologi adalah budaya yang membuat seseorang menganut workaholism atau gila kerja (Setyawati, 2020). Istilah workaholism diperkenalkan pertama kali oleh Wayne Oates dalam bukunya yang berjudul Confessions of a Workaholic : the Facts About Work Addiction pada tahun 1971.  Kini tren hustle culture dimaknai sebagai suatu keadaan bekerja terlalu keras dan mendorong diri sendiri untuk melampaui batas kemampuan hingga akhirnya menjadi gaya hidup. Dengan kata lain, tiada hari tanpa bekerja, hingga tak ada lagi waktu untuk kehidupan pribadi. Budaya gila kerja inilah yang telah menjadi standar bagi sebagian orang untuk mengukur hal-hal seperti produktivitas dan kinerja.

Dalam dunia yang begitu kompetitif ini, produktivitas dijunjung tinggi dan budaya gila kerja cenderung diapresiasi. Konstruksi sosial masyarakat berpandangan bahwa tolok ukur kesuksesan hidup seseorang adalah jabatan dan kondisi finansial yang baik. Keadaan ini diperparah dengan tren memamerkan kesibukan di media sosial yang menjangkiti para kawula muda. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Robinson (2019), sebanyak 45 persen dari para pengguna sosial media gemar mengunggah post tentang betapa sibuknya mereka seperti saat mereka lembur, saat dikejar banyak deadline, target, dan semacamnya semata untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pekerja keras dan pegawai yang berdedikasi. Pengaruh sosial media ini akhirnya mendorong para pengguna untuk berpikir bahwa bekerja terlalu keras adalah hal yang keren. Imbasnya, timbul efek bola salju karena para pengguna media sosial lainnya enggan merasa tertinggal sehingga mereka pun menunjukkan kesibukannya dengan harapan mendapatkan atensi dari lingkungan media sosial. Faktor inilah yang mendorong maraknya fenomena hustle culture.

Kerja Keras Tak Selalu Positif

Pada dasarnya, bekerja keras merupakan hal positif, akan tetapi ketika seseorang terlalu mementingkan pekerjaannya hingga tak pernah beristirahat, saat itulah akan timbul masalah. Kebiasaan ini tak baik bagi kesehatan baik fisik maupun mental. Pekerja yang menganut hustle culture cenderung mengabdikan diri hanya untuk bekerja, jarang beristirahat, kurang tidur, dan seringkali memotivasi diri sendiri untuk terus mengabaikan rasa sakit dengan tetap bekerja. Orang yang terjebak dalam hustle culture seringkali tidak menyadari hal ini karena budaya tersebut telah tertanam dan menjadi hal yang biasa dilakukan sehari-hari. Akibatnya mereka tidak dapat lagi mengenali respons negatif tubuh yang menginginkan istirahat saat diperlukan. Dalam jangka panjang, kebiasaan ini dapat berbahaya bagi tubuh.

Barangkali sebagian orang akan menyangkal bahwa hustle culture berbahaya bagi kita. Anggapan tersebut tentu tidak sepenuhnya salah. Namun, sebagai manusia yang memiliki limit, tentu kita harus mendahulukan kesehatan fisik dan mental kita di atas segalanya. Kesuksesan tak selalu berbanding lurus dengan kebahagiaan.

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan oleh Current Cardiology Reports, dari data observasi 740.000 pekerja yang tidak memiliki penyakit kardiovaskular bawaan, ditemukan fakta bahwa mereka yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, seperti penyakit jantung koroner. Selain itu, kerja lembur juga ditemukan dapat berkontribusi terhadap resistensi insulin, aritmia, hiperkoagulasi, diabetes, bahkan stroke.

Perubahan sistem kerja pada masa pandemi juga turut mempengaruhi panjangnya jam kerja yang berimbas pada kesehatan mental para pekerja. Dilansir dari katadata.com, survei terbaru terkait sistem WFH menunjukkan bahwa sebanyak 68 persen pekerja merasakan kelelahan mental lebih dibandingkan bekerja dari kantor dan 60 persen merasakan jam kerja bertambah dibandingkan saat bekerja di kantor. Dalam kajian terpisah, World Economy Forum mendapatkan tiga kesimpulan dari adanya sistem WFH selama pandemi, yaitu waktu yang dihabiskan untuk bekerja menjadi lebih panjang (naik 48,5 menit), email yang terkirim lebih banyak (naik lima persen), dan waktu antara kehidupan pribadi dengan waktu kerja semakin baur.

Lantas, apakah bertambahnya jam kerja tersebut berhasil meningkatkan produktivitas pekerja? Faktanya, penelitian yang dilakukan oleh John Pencavel menunjukkan bahwa orang yang bekerja terlalu lama tidak serta-merta akan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Menurut analisis Pencavel, justru bekerja lebih dari 48 jam per minggu membuat produktivitas turun. Individu yang bekerja hingga 70 jam seminggu bahkan hanya dapat menyelesaikan jumlah pekerjaan yang sama dengan individu yang bekerja hingga 55 jam per minggu. Bekerja tanpa henti akan mengurangi waktu tidur dan mengakibatkan kelelahan sehingga kualitas produktivitas justru menurun. Dengan kata lain, alih-alih mendapatkan hasil optimal, yang didapatkan hanya lelah semata.

Sementara itu, mengutip Dr. Jeanne Hoffman, psikolog pada Fakultas Kedokteran University of Washington, bekerja keras terlalu lama juga dapat menumpulkan kreativitas. Ia mengatakan bahwa bekerja lebih dari 50 jam per minggu justru menurunkan tingkat kreativitas. Di sisi lain, para pekerja yang memiliki jam kerja lebih panjang juga cenderung mengabaikan keluarga dan kehidupan pribadinya. Padahal, dengan menghabiskan waktu bersama keluarga maupun teman dapat mengurangi tingkat stres akibat pekerjaan. Kebahagiaan dapat meningkatkan kreativitas dan menghasilkan energi positif.

Tak hanya merugikan diri sendiri, penganut hustle culture ini juga merugikan rekan  kerjanya. Mereka cenderung memaksa orang lain untuk bekerja dengan intensitas yang tinggi seperti mereka. Seringkali pekerja yang gila kerja memberi pekerjaan pada rekannya pada jam istirahat atau hari libur. Perilaku semacam ini dapat menimbulkan perselisihan antar rekan satu tim hingga berakibat buruk pada produktivitas tim. Tentunya, kita tidak menginginkan dampak-dampak buruk itu terjadi kan?

Solusi Mengatasi Hustle Culture

Agar tren hustle culture tidak sampai memberi dampak buruk bagimu, berikut ini adalah beberapa tips atau cara yang bisa kamu lakukan untuk menghadapi hustle culture.

Yang pertama, kamu harus sadar terhadap keadaan. Saat kamu mulai merasa terlalu lama bekerja dan tubuhmu mulai memberikan respons negatif seperti kelelahan, kamu harus segera sadar dan beristirahat. Batasan dan kemampuan orang berbeda-beda. Oleh karena itu, kamu harus memahami dan menetapkan batasan untuk dirimu sendiri.

Buatlah jadwal perencanaan dengan baik agar tidak terjadi penumpukan pekerjaan dan deadline. Jangan lupa jadwalkan istirahat atau bahkan liburan di sela-sela kesibukanmu. Dengan perencanaan yang efektif, kamu akan menjadi lebih produktif dan terhindar dari kelelahan.

Salah satu ciri orang yang menganut hustle culture adalah menetapkan target yang tidak realistis. Memang tidak ada salahnya bersikap ambisius dan menetapkan target tinggi. Namun, kamu juga harus bisa membuat target-target yang realistis dan sesuai dengan keinginan serta keadaanmu sendiri. Kumpulan langkah-langkah kecil tetapi terukur dan mudah dicapai lebih baik daripada langkah besar yang tak mampu diraih.

Selain itu, kamu juga sebaiknya berhenti membanding-bandingkan pencapaianmu dengan orang lain. Mudah bagi kita untuk merasa inferior, merasa terus kurang, dan jadi berpikir harus bekerja lebih agar bisa seperti mereka. Akan tetapi, setiap orang memiliki latar belakang yang berbeda, kemampuan yang berbeda, dan tujuan yang berbeda. Kamu adalah bintang utama dalam film hidupmu sendiri, bukan orang lain. Jadi, tidak ada faedahnya membanding-bandingkan dirimu dengan orang lain.

Itulah tips yang bisa kamu lakukan agar terhindar dari hustle culture dan menerapkan gaya kerja yang sehat. Memang tidak ada yang salah dengan bekerja keras, melakukan pekerjaan sebaik mungkin akan memberikan peluang keberhasilan yang lebih tinggi. Akan tetapi, jangan sampai kita melupakan fakta bahwa kita adalah manusia yang memiliki aspek kehidupan pribadi dan kehidupan sosial selain kehidupan pekerjaan. Seperti roda gigi yang saling bertaut dan mendorong satu sama lain, segala aspek dalam hidupmu pun harus berjalan secara seimbang demi kehidupan yang bahagia. Bekerjalah untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.


Penulis: Indah Retnowati (Seksi Hukum dan Informasi)

Referensi:

https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/hustle

Afrina Afra, “The Truth About the Hustle Culture”, Taylors University, 2021, https://university.taylors.edu.my/en/campus-life/news-and-events/news/the-truth-about-the-hustle-culture.html

John Pencavel, ‘The Productivity of Working Hours’, The Economic Journal, 125(589), 2015, doi:10.1111/ecoj.12166.

BBC, “Toxic Productivity during lockdown, Youtube, 2020, https://www.youtube.com/watch?reload=9&v=r-rht7kCASo

Unair News, “Preventing Toxic Productivity amid pandemic”, UNAIR NEWS, 2021, http://news.unair.ac.id/en/2021/07/14/preventing-toxic-productivity-amid-pandemic

Alfons Yoshio, Survei: Work from Home Picu Jam Kerja Bertambah dan Kelelahan Mental”, Katadata, 2020, https://katadata.co.id/ariemega/berita/5fa7cf815a0e8/survei-work-from-home-picu-jam-kerja-bertambah-dan-kelelahan-mental.

Emily Boynton, “What is Hustle Culture and How Does it Impact Your Health?”, Right As Rain by UW Medicine, 2020, https://rightasrain.uwmedicine.org/life/work/hustle-culture

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini