Garuda Indonesia kembali lolos dari risiko
kepailitan, setelah Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 21 Oktober 2021 menolak
gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan PT. My Indo
Airlines. Sebelumnya, pada 28 Juli 2021, Garuda Indonesia juga lolos dari
risiko kepailitan setelah salah satu lessor-nya,
Aercap Ireland Limited mencabut gugatan pailit kepada Garuda di Supreme Court
New South Wales. Gugatan-gugatan tersebut dihadapi oleh Garuda Indonesia
sebagai akibat permasalahan keuangan yang dialami perusahaan BUMN ini.
Kondisi Keuangan Garuda
Indonesia memang dalam kondisi yang tidak baik. Semester I 2021 perusahaan mencatat kerugian bersih senilai US$
898,65 juta atau dalam rupiah mencapai Rp 12,85 triliun. Catatan kerugian tersebut
bahkan naik sejak triwulan I Tahun 2021
senilai US$ 384,35 juta atau dalam rupiah sebesar Rp 5,57 triliun. Namun masalah utama gugatan-gugatan terhadap
Garuda adalah disebabkan karena utangnya
yang makin membengkak sampai dengan Rp 70 triliun. Sebagian besar utang
tersebut merupakan utang yang berasal dari beban sewa pesawat (leasing) yang pada tahun-tahun
sebelumnya disajikan secara tidak tepat dalam laporan keuangannya.
Utang sewa pesawat tersebut
sebagian besar disebabkan kesalahan manajemen yang dilakukan selama
bertahun-tahun. Melansir pernyataan Kementerian BUMN, mis-manajemen yang
terjadi antara lain berupa kesepakatan penyewaan pesawat dengan nilai yang
berada di atas rata-rata pasar. Selain itu, adanya penggunaan armada yang secara
teknis kurang tepat untuk dioperasikan oleh Garuda ditengarai sebagai salah
satu sumber inefisiensi yang terjadi. Belakangan diketahui, pengoperasian armada
tersebut dengan nilai di atas pasar dilakukan melalui proses yang memiliki unsur
korupsi yang dilakukan oleh manajemen sebelumnya.
Permasalahan lain dalam
manajeman Garuda adalah permasalahan klasik berupa pengoperasian rute-rute yang
tidak menguntungkan, bahkan cenderung memberikan kerugian. Rute-rute tersebut
sebagian besar merupakan rute-rute internasional yang sebenarnya merupakan
salah satu strategi Garuda untuk memperluas pasar. Pengoperasian rute-rute
tersebut juga sebenarnya ditujukan untuk meningkatkan jumlah wisatawan
mancanegara yang masuk ke Indonesia. Namun
dengan persaingan yang tinggi di dunia penerbangan internasional, rute-rute
tersebut malah menjadi penyebab kerugian dikarenakan sepi penumpang namun biaya
operasional besar.
Penyebaran Covid-19 mulai awal tahun 2020 jelas
semakin memburuk keuangan perusahaan. Pendapatan Garuda semakin menurun sebagai
akibat sepinya penumpang menyusul adanya pembatasan pergerakan masyarakat baik
secara domestik, maupun antar negara. Data jumlah penumpang Garuda pada tahun
2020 terlihat anjlok menjadi 10,8 juta, atau hanya kurang dari sepertiga jumlah
penumpang pada tahun 2019. Tingkat keterisian pesawat terpangkas menjadi 45,17
persen pada tahun 2020 dibanding 74,28 persen pada tahun sebelumnya. Turunnya
jumlah penumpang tersebut berkorelasi dengan turunnya pendapatan perusahan, yang
pada semester I ini tercatat sebesar US$ 696,80 juta atau turun dari US$ 917,28
juta pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan terbesar berasal dari penerbangan
terjadwal. Pendapatan pada penerbangan terjadwal tercatat sebesar US$ 556,53
juta atau turun 25,82 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai US$750,26
juta. Penurunan juga terjadi pada pendapatan lainnya. Adapun untuk penerbangan
tidak berjadwal mengalami kenaikan.
Di sisi lain, beban
perusahaan masih sangat tinggi, walaupun
berhasil dipangkas dengan berbagai upaya
restrukturisasi. Beban usaha pada semester I menjadi US$ 1,380 miliar, turun
dari periode yang sama pada tahun lalu di posisi US$ 1,643 miliar. Dengan
kondisi ini jelas terlihat utang garuda akan semakin bertambah setiap harinya.
Mengutip penjelasan Kementerian BUMN, kerugian Garuda akan meningkat 100 juta
dollar atau sekitar 1,43 triliun rupiah setiap bulannya. Hal inilah akhirnya
memicu opsi untuk membiarkan Garuda pailit, untuk selanjutnya membangun
perusahaan baru atau digantikan dengan perusahaan lain dengan kondisi keuangan yang
lebih sehat.
Setidaknya ada empat
opsi yang mengemuka pada persoalan keuangan Garuda ini. Opsi pertama adalah
pemberian pinjaman atau suntikan ekuitas dari pemerintah melalui penanaman
modal Negara. Opsi kedua adalah menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan
untuk merestrukturisasi utang Garuda antara lain melalui pengajuan penundaan
kewajiban pembayaran utang. Adapun opsi ketiga melakukan restrukturisasi Garuda
Indonesia itu sendiri, dengan mendirikan perusahaan maskapai penerbangan baru
yang akan mengambil alih sebagian rute Garuda Indonesia. Opsi terakhir adalah
membiarkan Garuda dilikuidasi, dan pemerintah mendorong pihak swasta untuk
mengisi kekosongan yang ditinggalkan Garuda.
Keempat opsi itu
tentunya memiliki sisi positif dan negatifnya, sebagaimana dicontohkan pada beberapa kasus penyelamatan industri
penerbangan, khususnya yang berstatus flag
carrier di beberapa negara. Besarnya jumlah utang yang ada memang menjadi
perhatian utama dalam pengambilan keputusan akan masalah ini. Jumlah utang
tersebut dipandang sudah sangat tidak layak lagi secara bisnis untuk diselamatkan.
Penyelamatan dengan penyertaan modal negara (PMN) pun di samping akan memberatkan keuangan
Negara juga belum tentu dapat menyelesaikan masalah stuktural dan cultural di Garuda yang menjadi penyebab
masalah keuangan ini. Selain itu, biaya yang dibutuhkan untuk membangun
maskapai baru jauh lebih rendah dari biaya penyelamatan itu sendiri.
Namun untuk membiarkan
Garuda terlikuidasi juga bukan hal yang bisa cepat diputuskan. Sejarah panjang
Garuda yang dimulai dari masa awal-awal kemerdekaan Indonesia tentu tidak bisa diabaikan.
Adalah Soekarno, Presiden Indonesia
pertama yang memilih dan memutuskan penggunaan nama Garuda Indonesia Airways
pada maskapai pertama Indonesia yang berasal dari penyerahan maskapai KLM-IIB (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij – Inter-
Insulair Bedrijf) sebagai salah satu hasil perjanjian Konferensi Meja
Bundar. Dengan demikian, dapat dikatakan Garuda Indonesia merupakan bagian dari
sejarah kemerdekaan Indonesia. Dengan fakta tersebut, mungkin akan ada beban
tersendiri untuk membiarkan Garuda terlikuidasi.
Garuda sendiri
merupakan maskapai dengan status sebagai pembawa bendera atau flag carrier bagi Indonesia. Dengan statusnya tersebut, terlebih lagi
kedudukannya sebagai BUMN menjadikan kondisi Garuda akan dianggap mencerminkan
kondisi Indonesia, khususnya pemerintah Indonesia. Kesalahan yang terjadi pada
Garuda akan sangat cepat dikaitkan dengan kesalahan pemerintah dalam mengelola
BUMN-nya. Beban berat akan dipikul siapapun yang berkuasa dalam pemerintahan
pada saat Garuda terlikuidasi. Tekanan politik yang besar pasti akan muncul
dari lawan-lawan politik pihak pemerintah, terlebih lagi misalnya transisi dari
hilangnya Garuda ke opsi yang dipilih ternyata gagal dan menyebabkan permasalahan
semakin berat di penerbangan Indonesia.
Di sisi lain, brand Garuda yang cukup prestige di mata konsumen penerbangan,
baik di tingkat domestik maupun internasional, merupakan aset bangsa yang cukup
baik. Berbagai penghargaan yang diterima Garuda, seperti peringkat 5-star on time performance rating, The Best Airlines in Indonesia dan Traveler’s Choice Major Airline Asia cukup
membuktikan kemampuan perusahaan ini untuk bersaing. Tidak mudah untuk
mendapatkan pengakuan, atau kepercayaan dan loyalitas konsumen penerbangan.
Dibutuhkan banyak waktu, dana, dan komitmen yang besar untuk membentuk dan menguatkan
budaya kerja dan budaya pelayanan bagi seluruh karyawan.
Prospek industri
penerbangan ke depan bagi Garuda tentu juga perlu diperhatikan. Kondisi pandemi
pada dasarnya belum diketahui kapan akan berakhir, namun demikian mulai dibukanya
beberapa kegiatan dengan penyesuaian tatanan hidup baru paling tidak memberikan
sedikit harapan. Pariwisata yang mulai bergeliat, dan dibukannya kembali ibadah
haji dan umroh oleh pemerintah Arab Saudi dapat menjadi faktor positif bagi
upaya penyelamatan Garuda. Namun demikian faktor potensi saja belum cukup untuk
memberikan keyakinan dalam keputusan penyelamatan. Faktor tersebut harus
diiringi upaya-upaya manajemen untuk merestrukturisasi bisnisnya agar menjadi sehat.
Negosiasi ulang dengan
para lessor harus dilakukan, terlebih
bagi lessor yang memiliki hubungan dengan kasus-kasus korupsi. Bagi yang tidak,
negosiasi ulang perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi akibat pandemi covid-19 yang berdampak bagi dunia
penerbangan di seluruh dunia. Garuda juga perlu mengurangi jenis armada agar
bisa menjadi lebih efisien untuk pelatihan awak dan perawatan pesawat. Hal yang
paling penting tentunya melakukan penataan kembali rute-rute yang
dioperasionalkan. Garuda dapat lebih berkonsentrasi pada rute-rute domestik
yang terbukti memberikan keuntungan baginya. Adapun untuk rute-rute
internasional perlu dipilih yang benar-benar akan memberikan keuntungan, atau
setidaknya hanya mengoperasikan rute-rute dari beberapa penghubung maskapai
penerbangan internasional menuju Indonesia.
Keputusan untuk
menyelamatkan atau melikuidasi Garuda pada akhirnya harus diambil oleh
pemerintah dengan pertimbangan yang komprehensif. Namun jika boleh berharap,
maka pertimbangan terbesar yang perlu dilihat adalah kelayakan dari bisnis
Garuda itu sendiri dan prospek ekonominya ke depan. Sedapat mungkin
pertimbangan politik tidak terlalu bahkan tidak sama sekali mempengaruhi
keputusan yang diambil. Yang perlu diingat adalah Garuda Indonesia merupakan aset
bangsa, dan jika dilakukan penyelamatan oleh pemerintah, uang yang digunakan
adalah uang rakyat Indonesia.
Terakhir, pemerintah
khususnya Kementerian BUMN perlu mengambil hikmah dari permasalahan ini. Peran
Kementerian BUMN dan Komisaris yang ditunjuk sebagai wakil pemerintah dalam pengawasan
keuangan BUMN, perlu semakin ketat dilaksanakan.
Early Warning System bagi keuangan
BUMN harus semakin diperkuat sehingga permasalahan dapat langsung diketahui dan
ditangani sebelum membesar. Di sisi lain, kasus-kasus ‘mempercantik’ Laporan Keuangan dengan menyamarkan kondisi
aslinya serta tidak tunduk sepenuhnya dari ketentuan standar akutansi yang ada,
perlu dipastikan tidak terjadi lagi.
***
Ditulis
oleh : Rachmat Kurniawan, Kepala KPKNL Pekanbaru
Daftar Pustaka
https://www.idxchannel.com/economics/garuda-indonesia-giia-berpotensi-pailit-ini-faktanya