Kebakaran
pada Lembaga Pemasyarakatan Tangerang yang terjadi pada awal September lalu, sangat
menghentak nurani kita. Bagaimana tidak, akibat kebakaran tersebut, korban jiwa
sebanyak 41 warga binaan tewas di
tempat. Jumlah tersebut sampai tulisan ini dibuat bertambah 8 warga binaan
lagi, yang akibat luka yang dideritanya tidak dapat lagi diselamatkan.Masih
ada puluhan warga binaan lainnya yang saat ini sedang dirawat akibat kebakaran
tersebut. Jatuhnya korban jiwa dalam kejadian ini tentunya sangat disayangkan.
Karena jiwa manusia merupakan hal yang sangat berharga. Kejadian ini tentunya
menjadi catatan kelam dalam sejarah Indonesia, dan harus diambil sebagai
pelajaran, agar ke depan tidak ada lagi kejadian serupa.
Menilik
peristiwa kebakaran kemarin, paling tidak ada dua permasalahan pada lembaga
permasyarakatan yaitu kepadatan penjara yang melebihi kapasitasnya dan tidak
baiknya fasilitas penjara itu sendiri. Kepadatan penjara menyebabkan warga
binaan harus berdesakan di dalam satu sel. Sehingga ketika terjadi keadaan
darurat seperti kebakaran, akan menyebabkan sulitnya proses evakuasi. Adapun
tidak baiknya fasilitas penjara menyebabkan beberapa warga binaan tidak bisa
keluar dari selnya, karena misalnya kunci tidak dapat dibuka. Belum lagi asal
mula kebakaran yang diduga dari hubungan arus pendek listrik, mengindikasikan
kurangnya pemeliharaan jaringan listrik di penjara tersebut.
Terlepas
dari peristiwa kebakaran, kepadatan penjara sejatinya juga menjadi awal dari
permasalahan-permasalahan lainnya. Kepadatan tersebut diyakini menjadi pemicu
permasalahan lain yaitu sulitnya pelaksanaan pengawasan, dan masalah kekurangan
fasilitas umum dan fasilitas khusus bagi warga binaan. Lemahnya pengawasan
selanjutnya akan menimbulkan kerentanan konflik antar penghuni, perilaku
menyimpang dari penghuni seperti penggunaan narkoba, penyimpangan seksual, dan
penindasan sesama warga binaan. Lemahnya pengawasan ini juga bisa menimbulkan
berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh oknum petugas, yang sedikit banyak
akan berpengaruh pada tercapainya tujuan pemidanaan.
Permasalahan
kurangnya fasilitas akibat kelebihan kapasitas penjara menjadikan berbagai
fasilitas yang ada jarang bahkan tidak pernah mendapatkan perawatan. Fasilitas
yang ada pada akhirnya akan cepat
menjadi rusak atau tidak berfungsi secara baik. Belum lagi adanya masalah
anggaran untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti konsumsi para warga binaan
tersebut. Kondisi ini berakibat sulitnya
menjaga kesehatan warga binaan, baik kesehatan fisik maupun mental. Banyak
kasus kematian warga binaan akibat sakit selama di penjara. Tercatat juga
sejumlah kasus bunuh diri warga binaan di penjara yang mengindikasikan mental
yang terganggu.
Kondisi-kondisi yang ada tersebut menyebabkan tujuan pemidanaan dan proses rehabilitasi warga binaan menjadi tidak berjalan dengan maksimal. Rehabilitasi yang tidak berjalan maksimal menjadikan narapidana yang telah kembali ke masyarakat rentan untuk terjerumus ke lingkungan yang mengarah ke dunia kriminal. Adapun untuk narapidana yang masih mendekam di penjara rentan untuk mengalami gangguan psikologis, sehingga makin menyulitkan program rehabilitasi. Untuk itu perlu adanya kebijakan tertentu dari berbagai aspek dan sudut pandang untuk mengatasi persoalan ini. Salah satu aspek tentunya adalah pengelolaan aset penjara itu sendiri, mulai dari penentuan kebutuhan, perencanaan, pembangunan sampai penggunaan, pemeliharaan dan pemanfaatan penjara tersebut.
Kebutuhan
Kapasitas Penjara
Penjara,
atau diterminologikan di Indonesia sebagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan
Rumah Tahanan Negara (Rutan) termasuk dalam aset yang dikategorikan sebagai
Barang Milik Negara (BMN). Sebagaimana BMN lain, aset berupa Lapas/Rutan ini
juga harus dikelola secara baik sesuai siklus pengelolaan BMN, sehingga baik
pembangunan, penggunaan, ataupun pemanfaatannya sesuai dengan ketentuan dan
standar. Menilik ketentuan standar barang dan standar kebutuhan BMN yang ada
saat ini, memang aset berupa lapas/rutan belum memiliki standar barang maupun
standar kebutuhan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi penggunaannya. Namun
demikian, sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, secara jelas terlihat
adanya masalah kepadatan penjara diatas kapasitasnya yang berarti adanya
permasalahan kebutuhan.
Kebutuhan
akan penjara setidaknya dapat mengacu pada data kapasitas penjara saat ini.
Dari data Ditjen PAS Kemenkumham, tingkat kepadatan penjara di Indonesia saat
ini mencapai 196 persen, atau dengan kata lain dari kapasitas 135.561 orang,
penjara di Indonesia disesaki 265.840 orang warga binaan. Kepadatan terjadi
tidak merata pada setiap Penjara. Dari 526 penjara dan rumah tahanan di seluruh
Indonesia, 399 diantaranya mengalami over kapasitas. Dari jumlah tersebut, 215
penjara/rumah tahanan bahkan mengalami over kapasitas diatas 100 persen atau
lebih dua kali lipat dari kapasitas aslinya. Terdapat 6 Lapas memiliki over
kapasitas di atas 500 persen dengan kepadatan tertinggi terjadi di Lapas Kelas
IIA Bagan Siapi-Api Provinsi Riau yang over kapasitasnya mencapai 813 persen.
Lapas
atau Rutan yang tidak mengalami over kapasitas ada sebanyak 127 Lapas/Rutan.
Sebagian dari Lapas/Rutan tersebut merupakan Lapas/Rutan khusus untuk wanita
dan Lapas/Rutan khusus anak-anak. Sebagian lagi merupakan Lapas/Rutan khusus narkotika
dan Lapas/Rutan pada daerah-daerah remote.
Kekhususan ini tentunya menjadikan kekosongan penjara yang ada tidak dapat
dimanfaatkan untuk mengurangi kepadatan pada lapas/rutan yang lain. Adapun
Lapas/Rutan lainnya sudah memiliki kapasitas yang sudah mendekati kapasitas
maksimalnya.
Jika kita
lihat data di dunia, tingkat orang yang masuk penjara di Indonesia per 100.000
penduduk berada di kisaran 92. Angka ini di bawah negara-negara tetangga
seperti Filipina yang berada di angka 200, Malaysia 212, Thailand 449, atau
negara dengan jumlah penduduk yang mirip Indonesia, yaitu Brasil yang berada di
angka 357. Namun demikian tingkat kepadatan penjara di Indonesia terbilang
cukup tinggi, walau masih di bawah negara seperti Filipina yang kelebihan
kapasitas sebanyak 436,6 persen atau Thailand 339,1 persen, tetapi tingkat
kepadatan penjara di Indonesia melebihi Malaysia 131,9 persen, Singapore 79,2
persen atau Brasil 151,9 persen. Bahkan secara keseluruhan Indonesia berada di
peringkat atas negara-negara dengan kepadatan penjara yang tinggi. Hal ini
menunjukkan jumlah kapasitas penjara di Indonesia yang ada saat ini memang
masih cukup rendah.
Upaya untuk
menurunkan kepadatan penjara ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara
lain melalui upaya perubahan konsep
hukum pemidanaan seperti membuat program pembinaan di luar penjara, pengurangan
masa hukuman (Mulyono dan Arief, 2016) dan (Kania, 2014), penggunaan pendekatan
restrotative justice (Rumadan, 2013),
dan pengesahan mediasi penal (Aryana, 2014). Kantor PBB Untuk Narkoba dan
Kejahatan secara khusus sudah memberikan panduan strategi untuk mengurangi
kepadatan dalam penjara. Rekomendasi tersebut antara lain untuk jangka menengah
dan panjang berupa perubahan sistem pemidanaan melalui pembangunan mekanisme
bantuan hukum, pengurangan penahanan pra-ajudikasi, serta pengenalan dan
penggunaan alternatif hukuman selain penjara. Adapun untuk jangka pendek, salah
satu rekomendasi yang diberikan adalah peningkatan kapasitas penjara sesuai
penilaian atas kebutuhan dan perencanaan ke depan.
Lalu,
melihat kondisi tersebut, seberapa banyak kapasitas penjara yang harus
disiapkan di Indonesia sesuai kebutuhannya? Secara sederhana tentunya,
kapasitas penjara harus ditambah sesuai kebutuhannya. Jika kita lihat dari data
yang ada, maka kekurangan kapasitas penjara saat ini adalah sebanyak lebih dari
130.000 orang. Dengan menggunakan standar kebutuhan ruang tidur per narapidana
yang dikeluarkan palang merah internasional sebesar 3,4 m2, maka
dibutuhkan penambahan pembangunan ruang tidur penjara sebanyak 442.000 m2.
Jumlah tersebut belum termasuk antisipasi peningkatan jumlah warga binaan
setiap tahun. Melansir data Institute for
Crime & Justice Policy Research, jumlah orang yang di penjara di
Indonesia pada tahun 2020, meningkat hampir 5 kali lipat dari tahun 2000, atau
terjadi peningkatan hampir 10.000 orang per tahunnya. Maka jika sistem hukum
pemidanaan belum berubah, keperluan tambahan kapasitas penjara juga paling
tidak 10.000 orang per tahun, atau setara dengan tambahan 34.000 m2 ruang tidur
baru di penjara.
Dari sisi
jumlah unit penjara, jika mengacu kepada jumlah tahanan maksimum yang
direkomendasikan adalah 600 tahanan per penjara, maka dapat dihitung jumlah
kebutuhan penjara baru yang perlu dibangun. Untuk memenuhi penambahan tahanan
per tahun saja, berdasarkan data tersebut dibutuhkan kurang dari 17 unit
penjara. Hal ini tentunya akan berkolerasi dengan penambahan SDM pengawas, dan
biaya operasional dan pemeliharaan penjara itu sendiri. Memperhatikan hal-hal
tersebut, tentunya proyeksi kebutuhan dan perencanaan penambahan kapasitas penjara
harus dapat diestimasi secara hati-hati, agar semua penjara tetap dapat
dijalankan, namun disisi lain tidak memberatkan anggaran keuangan negara.
Jika
tidak direncanakan secara cermat dan sesuai kebutuhan penambahan sebagaimana
diatas, maka kondisi tersebut tentunya akan sangat memberatkan keuangan negara.
Dengan kebutuhan yang ada, untuk bangunan saja dibutuhkan lebih dari Rp3,5
Triliun sampai dengan Rp5 Triliun, belum anggaran untuk pengadaan lahan.
Penambahan kapasitas penjara tersebut tentu saja akan diikuti penambahan
anggaran untuk pengawasan, baik untuk sumber daya manusia maupun
peralatan-peralatan yang diperlukan untuk pengawasan. Selain itu anggaran untuk
konsumsi dan program pembinaan, serta pemeliharaan aset juga akan turut
meningkat. Dengan keterbatasan anggaran saat ini, kebutuhan tersebut menjadi
sulit untuk dapat dipenuhi semuanya, terlebih lagi saat ini fokus belanja
adalah untuk pemulihan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19. Untuk itu perlu
disusun prioritas, strategi dan sasaran penambahan berdasarkan skala kebutuhan.
Dengan
fakta tersebut, dan memperhatikan kemampuan anggaran yang ada, Indonesia harus
menyusun prioritas penambahan kapasitas penjara dengan pendekatan wilayah,
paling tidak tingkat provinsi. Daerah-daerah yang memiliki kelebihan kapasitas
penjara yang sangat tinggi, rata-rata diatas 200 persen, seperti provinsi Riau
yang menyentuh angka 264,31 persen, perlu segera mendapatkan penambahan
kapasitas penjara. Prioritas berikutnya adalah daerah dengan kepadatan tinggi,
yaitu rata-rata kelebihan kapasitas diatas 100 persen. Kemudian diikuti dengan
daerah-daerah dengan kepadatan sampai dengan 100 persen. Namun demikian
penambahan perlu dilakukan dengan cermat dan memperhatikan proses pemidanaan,
tingkat kriminalitas daerah, dan kondisi sosial budaya di setiap daerah. Dengan
penyusunan prioritas ini, paling tidak ada perbaikan dalam penurunan kepadatan
penjara di Indonesia.
Upaya ini
selanjutnya harus didukung dengan komitmen yang kuat dari berbagai pihak, seperti
Kementerian Hukum dan HAM, Bappenas, dan Kementerian Keuangan selaku penyusun
rencana anggaran belanja negara untuk menekan tingkat kepadatan penjara. Pemerintah
juga perlu menyepakati bersama road map
penurunan tingkat kepadatan penjara melalui penambahan kapasitas penjara
sebagai program jangka pendek dan menengah. Sasaran penurunan kepadatan penjara
per tahunnya perlu ditetapkan untuk menjadi pedoman bagi program kerja. Untuk
jangka panjang, penurunan tingkat kepadatan penjara harus diupayakan melalui
perubahan sistem pemidanaan itu sendiri. Dengan turunnya kepadatan penjara
diyakini proses pembinaan dapat berjalan lebih baik, pemeliharaan aset penjara
menjadi lebih meningkat, sehingga kejadian-kejadian yang tidak diinginkan,
dapat kita hindari.
Penambahan
kapasitas penjara juga harus dilakukan secara bijaksana. Terdapat sebuah argument bahwa sebanyak apapun kita
melakukan penambahan kapasitas penjara, penjara tersebut akan segera penuh.
Penambahan kapasitas penjara juga jangan
sampai menunda upaya-upaya untuk merubah sistem pemidanaan yang lebih
menggunakan pendekatan non penjara. Karena pengurangan kepadatan penjara akan
lebih ditentukan dengan perubahan sistem pemidanaan tersebut. Beberapa negara
yang berhasil melakukan tersebut, seperti Belanda memperlihatkan penjara yang
kosong. Mereka bahkan menyewakan penjaranya untuk digunakan menampung
narapidana dari negara-negara tetangganya. Di luar itu beberapa penjara sudah
akan dialihkan fungsinya sebagai tempat wisata, atau penggunaan lain yang
menambah manfaat ekonomi.
Di sisi
lain, penjara yang penghuninya tidak melebihi kapasitas, maka mudah untuk
mendapatkan perawatan. Terlebih lagi sebagian penjara di Indonesia merupakan
bangunan-bangunan tua, yang perlu mendapatkan perbaikan. Perbaikan terutama
untuk jaringan air bersih, jaringan air kotor, dan jaringan listrik, di luar
peremajaan pada struktur bangunan penjara itu sendiri. Hal ini tentunya
diperlukan untuk menjamin kebutuhan para warga binaan, memastikan program
rehabilitasi berjalan dengan baik, dan tentunya menjaga agar tidak terjadi
bencana seperti kebakaran yang terjadi pada Lapas Tangeran beberapa minggu yang
lalu.
***
Ditulis
oleh : Rachmat Kurniawan, Kepala KPKNL Pekanbaru
Sumber Referensi
https://worldpopulationreview.com/country-rankings/incarceration-rates-by-country
https://worldpopulationreview.com/
https://www.prisonstudies.org/highest-to-lowest/occupancy-level?field_region_taxonomy_tid=All
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/kanwil/all/year/2021/month/9/page/50
Aryana, I Wayan Putu Sucana. (2015). Efektifitas
Pidana Penjara Dalam Membina Narapidana. Jurnal Ilmu Hukum Februaru 2015 Vol.
11, No 21, Halaman 39 – 44.
Hananto, Praditya Mer. Bangunan Penjara dan
Pelaksanaan Penghukuman
Kania, Dede. (2014). Pidana Penjara Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Yustusia Vol. 3 No.2 Mei – Agustus
2014. Halaman 20 - 28
Mulyono, Galih Puji. Dkk (2016). Upaya Mengurangi
Kepadatan Narapidana Dalam Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Jurnal Law
Reform Volume 12, Nomor 1, Tahun 2016. Halaman 1- 16.
Rumadan, Ismail. (2013). Problem Lembaga
Pemasyarakatan di Indonesia dan Reorientasi Tujuan Pemidaan. Jurnal Hukum dan
Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013. Halaman
263 – 275
United Nations Office
On Drugs and Crime. (2013) Panduan Strategi Untuk Mengurangi
Kepadatan di Penjara. United Nations, New York.