Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Pekanbaru > Artikel
Menakar Kebutuhan Penambahan Kapasitas Penjara
Eva Resia
Senin, 27 September 2021   |   2434 kali

Kebakaran pada Lembaga Pemasyarakatan Tangerang yang terjadi pada awal September lalu, sangat menghentak nurani kita. Bagaimana tidak, akibat kebakaran tersebut, korban jiwa sebanyak 41 warga binaan  tewas di tempat. Jumlah tersebut sampai tulisan ini dibuat bertambah 8 warga binaan lagi, yang akibat luka yang dideritanya tidak dapat lagi diselamatkan.Masih ada puluhan warga binaan lainnya yang saat ini sedang dirawat akibat kebakaran tersebut. Jatuhnya korban jiwa dalam kejadian ini tentunya sangat disayangkan. Karena jiwa manusia merupakan hal yang sangat berharga. Kejadian ini tentunya menjadi catatan kelam dalam sejarah Indonesia, dan harus diambil sebagai pelajaran, agar ke depan tidak ada lagi kejadian serupa.

Menilik peristiwa kebakaran kemarin, paling tidak ada dua permasalahan pada lembaga permasyarakatan yaitu kepadatan penjara yang melebihi kapasitasnya dan tidak baiknya fasilitas penjara itu sendiri. Kepadatan penjara menyebabkan warga binaan harus berdesakan di dalam satu sel. Sehingga ketika terjadi keadaan darurat seperti kebakaran, akan menyebabkan sulitnya proses evakuasi. Adapun tidak baiknya fasilitas penjara menyebabkan beberapa warga binaan tidak bisa keluar dari selnya, karena misalnya kunci tidak dapat dibuka. Belum lagi asal mula kebakaran yang diduga dari hubungan arus pendek listrik, mengindikasikan kurangnya pemeliharaan jaringan listrik di penjara tersebut.

Terlepas dari peristiwa kebakaran, kepadatan penjara sejatinya juga menjadi awal dari permasalahan-permasalahan lainnya. Kepadatan tersebut diyakini menjadi pemicu permasalahan lain yaitu sulitnya pelaksanaan pengawasan, dan masalah kekurangan fasilitas umum dan fasilitas khusus bagi warga binaan. Lemahnya pengawasan selanjutnya akan menimbulkan kerentanan konflik antar penghuni, perilaku menyimpang dari penghuni seperti penggunaan narkoba, penyimpangan seksual, dan penindasan sesama warga binaan. Lemahnya pengawasan ini juga bisa menimbulkan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh oknum petugas, yang sedikit banyak akan berpengaruh pada tercapainya tujuan pemidanaan.

Permasalahan kurangnya fasilitas akibat kelebihan kapasitas penjara menjadikan berbagai fasilitas yang ada jarang bahkan tidak pernah mendapatkan perawatan. Fasilitas yang ada pada  akhirnya akan cepat menjadi rusak atau tidak berfungsi secara baik. Belum lagi adanya masalah anggaran untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti konsumsi para warga binaan tersebut. Kondisi  ini berakibat sulitnya menjaga kesehatan warga binaan, baik kesehatan fisik maupun mental. Banyak kasus kematian warga binaan akibat sakit selama di penjara. Tercatat juga sejumlah kasus bunuh diri warga binaan di penjara yang mengindikasikan mental yang terganggu.

Kondisi-kondisi yang ada tersebut menyebabkan tujuan pemidanaan dan proses rehabilitasi warga binaan menjadi tidak berjalan dengan maksimal. Rehabilitasi yang tidak berjalan maksimal menjadikan narapidana yang telah kembali ke masyarakat rentan untuk terjerumus ke lingkungan yang mengarah ke dunia kriminal. Adapun untuk narapidana yang masih mendekam di penjara rentan untuk mengalami gangguan psikologis, sehingga makin menyulitkan program rehabilitasi. Untuk itu perlu adanya kebijakan tertentu dari berbagai aspek dan sudut pandang untuk mengatasi persoalan ini. Salah satu aspek tentunya adalah pengelolaan aset penjara itu sendiri, mulai dari penentuan kebutuhan, perencanaan, pembangunan sampai penggunaan, pemeliharaan dan pemanfaatan penjara tersebut.

Kebutuhan Kapasitas Penjara

Penjara, atau diterminologikan di Indonesia sebagai Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) termasuk dalam aset yang dikategorikan sebagai Barang Milik Negara (BMN). Sebagaimana BMN lain, aset berupa Lapas/Rutan ini juga harus dikelola secara baik sesuai siklus pengelolaan BMN, sehingga baik pembangunan, penggunaan, ataupun pemanfaatannya sesuai dengan ketentuan dan standar. Menilik ketentuan standar barang dan standar kebutuhan BMN yang ada saat ini, memang aset berupa lapas/rutan belum memiliki standar barang maupun standar kebutuhan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi penggunaannya. Namun demikian, sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, secara jelas terlihat adanya masalah kepadatan penjara diatas kapasitasnya yang berarti adanya permasalahan kebutuhan.  

Kebutuhan akan penjara setidaknya dapat mengacu pada data kapasitas penjara saat ini. Dari data Ditjen PAS Kemenkumham, tingkat kepadatan penjara di Indonesia saat ini mencapai 196 persen, atau dengan kata lain dari kapasitas 135.561 orang, penjara di Indonesia disesaki 265.840 orang warga binaan. Kepadatan terjadi tidak merata pada setiap Penjara. Dari 526 penjara dan rumah tahanan di seluruh Indonesia, 399 diantaranya mengalami over kapasitas. Dari jumlah tersebut, 215 penjara/rumah tahanan bahkan mengalami over kapasitas diatas 100 persen atau lebih dua kali lipat dari kapasitas aslinya. Terdapat 6 Lapas memiliki over kapasitas di atas 500 persen dengan kepadatan tertinggi terjadi di Lapas Kelas IIA Bagan Siapi-Api Provinsi Riau yang over kapasitasnya mencapai 813 persen.

Lapas atau Rutan yang tidak mengalami over kapasitas ada sebanyak 127 Lapas/Rutan. Sebagian dari Lapas/Rutan tersebut merupakan Lapas/Rutan khusus untuk wanita dan Lapas/Rutan khusus anak-anak. Sebagian lagi merupakan Lapas/Rutan khusus narkotika dan Lapas/Rutan pada daerah-daerah remote. Kekhususan ini tentunya menjadikan kekosongan penjara yang ada tidak dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kepadatan pada lapas/rutan yang lain. Adapun Lapas/Rutan lainnya sudah memiliki kapasitas yang sudah mendekati kapasitas maksimalnya.

Jika kita lihat data di dunia, tingkat orang yang masuk penjara di Indonesia per 100.000 penduduk berada di kisaran 92. Angka ini di bawah negara-negara tetangga seperti Filipina yang berada di angka 200, Malaysia 212, Thailand 449, atau negara dengan jumlah penduduk yang mirip Indonesia, yaitu Brasil yang berada di angka 357. Namun demikian tingkat kepadatan penjara di Indonesia terbilang cukup tinggi, walau masih di bawah negara seperti Filipina yang kelebihan kapasitas sebanyak 436,6 persen atau Thailand 339,1 persen, tetapi tingkat kepadatan penjara di Indonesia melebihi Malaysia 131,9 persen, Singapore 79,2 persen atau Brasil 151,9 persen. Bahkan secara keseluruhan Indonesia berada di peringkat atas negara-negara dengan kepadatan penjara yang tinggi. Hal ini menunjukkan jumlah kapasitas penjara di Indonesia yang ada saat ini memang masih cukup rendah.

Upaya untuk menurunkan kepadatan penjara ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui  upaya perubahan konsep hukum pemidanaan seperti membuat program pembinaan di luar penjara, pengurangan masa hukuman (Mulyono dan Arief, 2016) dan (Kania, 2014), penggunaan pendekatan restrotative justice (Rumadan, 2013), dan pengesahan mediasi penal (Aryana, 2014). Kantor PBB Untuk Narkoba dan Kejahatan secara khusus sudah memberikan panduan strategi untuk mengurangi kepadatan dalam penjara. Rekomendasi tersebut antara lain untuk jangka menengah dan panjang berupa perubahan sistem pemidanaan melalui pembangunan mekanisme bantuan hukum, pengurangan penahanan pra-ajudikasi, serta pengenalan dan penggunaan alternatif hukuman selain penjara. Adapun untuk jangka pendek, salah satu rekomendasi yang diberikan adalah peningkatan kapasitas penjara sesuai penilaian atas kebutuhan dan perencanaan ke depan. 

Lalu, melihat kondisi tersebut, seberapa banyak kapasitas penjara yang harus disiapkan di Indonesia sesuai kebutuhannya? Secara sederhana tentunya, kapasitas penjara harus ditambah sesuai kebutuhannya. Jika kita lihat dari data yang ada, maka kekurangan kapasitas penjara saat ini adalah sebanyak lebih dari 130.000 orang. Dengan menggunakan standar kebutuhan ruang tidur per narapidana yang dikeluarkan palang merah internasional sebesar 3,4 m2, maka dibutuhkan penambahan pembangunan ruang tidur penjara sebanyak 442.000 m2. Jumlah tersebut belum termasuk antisipasi peningkatan jumlah warga binaan setiap tahun. Melansir data Institute for Crime & Justice Policy Research, jumlah orang yang di penjara di Indonesia pada tahun 2020, meningkat hampir 5 kali lipat dari tahun 2000, atau terjadi peningkatan hampir 10.000 orang per tahunnya. Maka jika sistem hukum pemidanaan belum berubah, keperluan tambahan kapasitas penjara juga paling tidak 10.000 orang per tahun, atau setara dengan tambahan 34.000 m2 ruang tidur baru di penjara.

Dari sisi jumlah unit penjara, jika mengacu kepada jumlah tahanan maksimum yang direkomendasikan adalah 600 tahanan per penjara, maka dapat dihitung jumlah kebutuhan penjara baru yang perlu dibangun. Untuk memenuhi penambahan tahanan per tahun saja, berdasarkan data tersebut dibutuhkan kurang dari 17 unit penjara. Hal ini tentunya akan berkolerasi dengan penambahan SDM pengawas, dan biaya operasional dan pemeliharaan penjara itu sendiri. Memperhatikan hal-hal tersebut, tentunya proyeksi kebutuhan dan perencanaan penambahan kapasitas penjara harus dapat diestimasi secara hati-hati, agar semua penjara tetap dapat dijalankan, namun disisi lain tidak memberatkan anggaran keuangan negara.

Jika tidak direncanakan secara cermat dan sesuai kebutuhan penambahan sebagaimana diatas, maka kondisi tersebut tentunya akan sangat memberatkan keuangan negara. Dengan kebutuhan yang ada, untuk bangunan saja dibutuhkan lebih dari Rp3,5 Triliun sampai dengan Rp5 Triliun, belum anggaran untuk pengadaan lahan. Penambahan kapasitas penjara tersebut tentu saja akan diikuti penambahan anggaran untuk pengawasan, baik untuk sumber daya manusia maupun peralatan-peralatan yang diperlukan untuk pengawasan. Selain itu anggaran untuk konsumsi dan program pembinaan, serta pemeliharaan aset juga akan turut meningkat. Dengan keterbatasan anggaran saat ini, kebutuhan tersebut menjadi sulit untuk dapat dipenuhi semuanya, terlebih lagi saat ini fokus belanja adalah untuk pemulihan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19. Untuk itu perlu disusun prioritas, strategi dan sasaran penambahan berdasarkan skala kebutuhan.

Dengan fakta tersebut, dan memperhatikan kemampuan anggaran yang ada, Indonesia harus menyusun prioritas penambahan kapasitas penjara dengan pendekatan wilayah, paling tidak tingkat provinsi. Daerah-daerah yang memiliki kelebihan kapasitas penjara yang sangat tinggi, rata-rata diatas 200 persen, seperti provinsi Riau yang menyentuh angka 264,31 persen, perlu segera mendapatkan penambahan kapasitas penjara. Prioritas berikutnya adalah daerah dengan kepadatan tinggi, yaitu rata-rata kelebihan kapasitas diatas 100 persen. Kemudian diikuti dengan daerah-daerah dengan kepadatan sampai dengan 100 persen. Namun demikian penambahan perlu dilakukan dengan cermat dan memperhatikan proses pemidanaan, tingkat kriminalitas daerah, dan kondisi sosial budaya di setiap daerah. Dengan penyusunan prioritas ini, paling tidak ada perbaikan dalam penurunan kepadatan penjara di Indonesia.

Upaya ini selanjutnya harus didukung dengan komitmen yang kuat dari berbagai pihak, seperti Kementerian Hukum dan HAM, Bappenas, dan Kementerian Keuangan selaku penyusun rencana anggaran belanja negara untuk menekan tingkat kepadatan penjara. Pemerintah juga perlu menyepakati bersama road map penurunan tingkat kepadatan penjara melalui penambahan kapasitas penjara sebagai program jangka pendek dan menengah. Sasaran penurunan kepadatan penjara per tahunnya perlu ditetapkan untuk menjadi pedoman bagi program kerja. Untuk jangka panjang, penurunan tingkat kepadatan penjara harus diupayakan melalui perubahan sistem pemidanaan itu sendiri. Dengan turunnya kepadatan penjara diyakini proses pembinaan dapat berjalan lebih baik, pemeliharaan aset penjara menjadi lebih meningkat, sehingga kejadian-kejadian yang tidak diinginkan, dapat kita hindari.

Penambahan kapasitas penjara juga harus dilakukan secara bijaksana. Terdapat sebuah argument bahwa sebanyak apapun kita melakukan penambahan kapasitas penjara, penjara tersebut akan segera penuh. Penambahan  kapasitas penjara juga jangan sampai menunda upaya-upaya untuk merubah sistem pemidanaan yang lebih menggunakan pendekatan non penjara. Karena pengurangan kepadatan penjara akan lebih ditentukan dengan perubahan sistem pemidanaan tersebut. Beberapa negara yang berhasil melakukan tersebut, seperti Belanda memperlihatkan penjara yang kosong. Mereka bahkan menyewakan penjaranya untuk digunakan menampung narapidana dari negara-negara tetangganya. Di luar itu beberapa penjara sudah akan dialihkan fungsinya sebagai tempat wisata, atau penggunaan lain yang menambah manfaat ekonomi.

Di sisi lain, penjara yang penghuninya tidak melebihi kapasitas, maka mudah untuk mendapatkan perawatan. Terlebih lagi sebagian penjara di Indonesia merupakan bangunan-bangunan tua, yang perlu mendapatkan perbaikan. Perbaikan terutama untuk jaringan air bersih, jaringan air kotor, dan jaringan listrik, di luar peremajaan pada struktur bangunan penjara itu sendiri. Hal ini tentunya diperlukan untuk menjamin kebutuhan para warga binaan, memastikan program rehabilitasi berjalan dengan baik, dan tentunya menjaga agar tidak terjadi bencana seperti kebakaran yang terjadi pada Lapas Tangeran beberapa minggu yang lalu.

 ***

Ditulis oleh : Rachmat Kurniawan, Kepala KPKNL Pekanbaru

Sumber Referensi

https://worldpopulationreview.com/country-rankings/incarceration-rates-by-country

https://worldpopulationreview.com/

https://www.prisonstudies.org/highest-to-lowest/occupancy-level?field_region_taxonomy_tid=All

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly/kanwil/all/year/2021/month/9/page/50

Aryana, I Wayan Putu Sucana. (2015). Efektifitas Pidana Penjara Dalam Membina Narapidana. Jurnal Ilmu Hukum Februaru 2015 Vol. 11, No 21, Halaman 39 – 44.

Hananto, Praditya Mer. Bangunan Penjara dan Pelaksanaan Penghukuman

Kania, Dede. (2014). Pidana Penjara Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jurnal Yustusia Vol. 3 No.2 Mei – Agustus 2014. Halaman 20 - 28

Mulyono, Galih Puji. Dkk (2016). Upaya Mengurangi Kepadatan Narapidana Dalam Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Jurnal Law Reform Volume 12, Nomor 1, Tahun 2016. Halaman 1- 16.

Rumadan, Ismail. (2013). Problem Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan Reorientasi Tujuan Pemidaan. Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013. Halaman  263 – 275

United Nations Office On Drugs and Crime. (2013) Panduan Strategi Untuk Mengurangi Kepadatan di Penjara. United Nations, New York.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini