Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Mamuju > Artikel
Kadang orang hanya butuh diberi tahu
Ida Kade Sukesa
Jum'at, 27 Mei 2022   |   434 kali

Jumat pagi ini, Pegawai KPKNL Mamuju mendapat kisah inspiratif dari Mujaya Nyata, Pegawai KPKNL Mamuju yang dikenal religius dan penyabar. Dengan penuh antusias, pemuda yang akrab disapa Jaya itu mengisahkan sebuah kisah yang sebelumnya dikisahkan oleh ayahnya kepadanya.

“Ayah saya memiliki seorang kakak perempuan, yang saya panggil bude, dahulu kehidupannya sangat memprihatinkan. Suaminya hanya seorang nelayan kecil yang penghasilannya sangat tidak pasti. Terkadang suaminya membawa ikan ke rumah untuk dijual ke pasar untuk menghidupi keluarganya, namun lebih sering tidak,” demikian Jaya memulai kisahnya dengan sangat serius.

“Lantas?” tanya Yogi, salah satu pegawai KPKNL Mamuju dengan penuh rasa penasaran.

“Dengan kehidupan yang pas-pasan itu, biasanya bude saya datang ke rumah kakek untuk meminjam uang. Tentu karena kehidupan yang sangat pas-pasan, hampir tidak mungkin bude saya mengembalikan utangnya.

“Singkat cerita, kakek saya meninggal, sehingga bude mencoba beralih ke ayah saya untuk meminjam uang. Demi mengetahui riwayat kredit bude saya yang sangat buruk, ayah saya memutuskan untuk memakai cara lain. ‘Ini saya kasih uang, tapi mari ikut saya…,’ demikian beliau berkata kepada bude saya.

“Kemudian mereka berdua pergi ke pasar. ‘Lihat itu!’ ayah saya berseru kepada bude sambil mengarahkan telunjuk pada kerumunan pedagang yang sedang menjajakan jualannya. ‘Mereka bekerja seharian untuk mencukupi kehidupannya, berusaha dengan kemampuan yang ada dan menjadi mandiri,’ demikian ayah saya dengan sungguh-sungguh berkata kepada kakaknya.

“Tidak lama setelah itu, ayah saya mengarahkan pandangan ke sebuah bangunan Mushola. Sebuah bangunan sederhana dengan pancuran air di depannya. Ada tanaman bunga kembang kertas rimbun menghiasinya. Sebuah kolam kecil penuh ikan emas dibangun di sebelahnya. Bangunan Mushola itu tepat berada di sisi jalan berhadapan langsung dengan pasar. ‘Lihat itu,’ kata ayah saya sembari mengarahkan telunjuknya ke Mushola. ‘Apa itu?’ tanya ayah saya kepada bude dengan serius. ‘Ya Mushola…, kenapa?’ tanya bude terheran-heran. ‘Ya Sholat sana, mintalah kepada Allah dengan seserius-seriusnya, seperti kamu meminta kepada bapak dulu, menangislah semenangis-menangisnya…,’ kata ayah saya. Kemudian bude saya melakukan apa yang diminta ayah saya.

“Setelah menuntaskan seluruh keluh kesahnya kepada Sang Khaliq, mereka pergi ke pantai. Di pinggir pantai mereka bertemu dengan nelayan yang sedang menenteng delapan ekor kepiting tangkapannya hari itu. ‘berapa semuanya?’ tanya ayah saya. ‘Dua ratus rupiah satu pak,’ jawab si penjual ikan dengan penuh harap.  ‘Saya beli semuanya tapi seratus seekor, bagaimana?’ sahut ayah saya. Karena dia tidak perlu ke pasar lagi untuk menjual tangkapannya akhirnya nelayan itu menyepakati harga yang ditawarkan. Lantas kepiting itu berpindah ke jinjingan bude saya.

“Setelahnya, mereka melanjutkan perjalanan menyusuri pantai yang berombak tenang di pagi yang sedikit sendu, karena awan-awan tipis menutupi cahaya matahari yang tampak malu-malu. Tidak seberapa lama kemudian, seorang nelayan yang baru saja melabuhkan perahunya terlihat tergopoh-gopoh menenteng seikat besar ikan berbagai jenis. ‘Berapa?’ tanya ayah saya tanpa basa-basi. ‘Lima ribu semua bos…,’ kata nelayan itu dengan cepat dan penuh harap. ‘Dua ribu lima ratus saya bayar sekarang,’ sambung ayah saya. ‘Waduh…, kemarin saja saya bawa ke Pasar laku empat ribu segini bos,’ kata nelayan itu mencoba bernegosiasi. ‘Baiklah, saya bayar tiga ribu semuanya, kamu kan tidak perlu ke pasar lagi, dan mungkin saya akan jadi langgananmu mulai hari ini’ kata ayah saya. ‘Baiklah…,’ kata nelayan itu menyetujui dengan agak berat hati. Demikianlah kemudian seluruh transaksi di pantai itu selesai.

“Dari pantai, dengan sepeda renta, ayah saya mengantarkan Bude saya ke rumah. Di rumah ayah saya menyampaikan agar ikan dan kepiting itu dijual kembali ke Pasar. ‘Kepitingnya kakak jual tujuh ratus saja, kalau ada yang nawar lima ratus kasih saja,’ kata ayah saya. Lalu mereka membahas harga ikan yang lain dan strategi penjualan hari itu, berikut rencana pergi ke pasar yang lain apabila pagi itu tidak seluruh ikan dan kepiting yang dibawa laku terjual.

“Singkat cerita, ayah saya mengantarkan lagi bude ke pasar dengan sepeda ringkihnya. Lalu menggelar dagangan di petak kosong di pinggiran pasar setelah meminta izin kepada Mantri Pasar yang berkumis kelimis sedang mengamati seorang anak yang menggendong adiknya sambil meminta-minta.

“Lalu ada seorang pembeli datang mencoba menawar kepiting segar. ‘Berapa ini buk…?’ tanyanya. ‘Tujuh ratus pak…,’ jawab bude saya ragu dan sedikit grogi. ‘Bagaimana kalau lima ratus seekor, saya beli semuanya?’ tawar pembeli itu. ‘baiklah,’ kata bude saya sumringah, tanpa berusaha mendapatkan harga yang lebih baik.

“Singkat cerita seluruh barang dagangan Bude saya laku terjual. Di genggamannya kini ada lima belas ribu rupiah, kontan. Di wajahnya kini ada seutas senyum, lebar. Di pipinya ada semburat merah kegembiran, yang tidak tertahan. ‘Kita bagi dua saja ini…,’ katanya dengan penuh haru kepada ayah saya. ‘Tidak,’ kata ayah saya, ‘kembalikan saja modal yang saya kasih tadi, sisanya buat kakak modal berjualan,’ imbuh ayah saya.

“Hari sudah beranjak siang. Dengan sebelas ribu dua ratus rupiah di tanganya bude saya sudah menjadi manusia baru hari itu. Hari itu menjadi pembatas antara hidup prihatin dan masa depan yang gilang-gemilang baginya. Dari orang yang merasa tidak punya harapan dan tidak tahu untuk melakukan apa, menjadi orang yang penuh optimisme menatap masa depan. Matanya berbinar penuh semangat, kini dia tahu bagaimana hidupnya kelak, bagaimana masa depan anak-anaknya nanti.

Long story short,” kata jaya mencoba mengakhiri ceritanya dengan penuh martabat, diikuti dengan gelak tawa pegawai lainnya. “Sekarang bude saya adalah orang terkaya di keluarga kami, gelang emasnya jika dia pakai itu berderat dari pergelangan tangan sampai mendekati sipahnya," sambung Jaya sambil memperagakannya.

“Cerita ini menunjukkan bahwa kadang orang hanya butuh diberi tahu…, hanya membutuhkan pengetahuan. Dengan pengetahuan itu mereka bisa menjadi versi terbaik dari diri mereka.” kata Jaya dengan penuh keyakinan. “Maka mari kita selalu terbuka dalam berbagi pengetahuan, jadikanlah berbagi pengetahuan sebagai bagian dari budaya organisasi kita, mari kita majukan diri kita dan organisasi kita menjadi yang terbaik dengan berbagi pengetahuan. Pengetahuan yang kita miliki mungkin hanya sekadar pengetahuan saja di benak kita, namun di benak orang lain barangkali itu adalah jalan hidup.”

Demikian Jaya mengakhiri ceritanya yang penuh inspirasi. Para pegawai yang mendengar ceritanya terlihat menunduk haru dan memikirkan sesuatu dalam hening. Lalu Yogi berteriak memecah kesunyian, “hai Jay, kapan kau laporkan diklatmu…!”

(Ditulis oleh Ida Kade Sukesa tepat setelah Mujaya Nyata menyelesaikan kisahnya, Mamuju, 27 Mei 2022)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini