Jumat pagi ini, Pegawai KPKNL Mamuju mendapat kisah
inspiratif dari Mujaya Nyata, Pegawai KPKNL Mamuju yang dikenal religius dan penyabar. Dengan penuh antusias, pemuda yang
akrab disapa Jaya itu mengisahkan sebuah kisah yang sebelumnya dikisahkan oleh
ayahnya kepadanya.
“Ayah saya
memiliki seorang kakak perempuan, yang saya panggil bude, dahulu kehidupannya
sangat memprihatinkan. Suaminya hanya seorang nelayan kecil yang penghasilannya
sangat tidak pasti. Terkadang suaminya membawa ikan ke rumah untuk dijual ke
pasar untuk menghidupi keluarganya, namun lebih sering tidak,” demikian Jaya
memulai kisahnya dengan sangat serius.
“Lantas?” tanya
Yogi, salah satu pegawai KPKNL Mamuju dengan penuh rasa penasaran.
“Dengan kehidupan
yang pas-pasan itu, biasanya bude saya datang ke rumah kakek untuk meminjam
uang. Tentu karena kehidupan yang sangat pas-pasan, hampir tidak mungkin bude
saya mengembalikan utangnya.
“Singkat cerita,
kakek saya meninggal, sehingga bude mencoba beralih ke ayah saya untuk meminjam
uang. Demi mengetahui riwayat kredit bude saya yang sangat buruk, ayah saya
memutuskan untuk memakai cara lain. ‘Ini saya kasih uang, tapi mari ikut saya…,’
demikian beliau berkata kepada bude saya.
“Kemudian
mereka berdua pergi ke pasar. ‘Lihat itu!’ ayah saya berseru kepada bude sambil
mengarahkan telunjuk pada kerumunan pedagang yang sedang menjajakan jualannya. ‘Mereka
bekerja seharian untuk mencukupi kehidupannya, berusaha dengan kemampuan yang
ada dan menjadi mandiri,’ demikian ayah saya dengan sungguh-sungguh berkata
kepada kakaknya.
“Tidak lama
setelah itu, ayah saya mengarahkan pandangan ke sebuah bangunan Mushola. Sebuah
bangunan sederhana dengan pancuran air di depannya. Ada tanaman bunga kembang
kertas rimbun menghiasinya. Sebuah kolam kecil penuh ikan emas dibangun di sebelahnya.
Bangunan Mushola itu tepat berada di sisi jalan berhadapan langsung dengan
pasar. ‘Lihat itu,’ kata ayah saya sembari mengarahkan telunjuknya ke Mushola. ‘Apa
itu?’ tanya ayah saya kepada bude dengan serius. ‘Ya Mushola…, kenapa?’ tanya
bude terheran-heran. ‘Ya Sholat sana, mintalah kepada Allah dengan
seserius-seriusnya, seperti kamu meminta kepada bapak dulu, menangislah
semenangis-menangisnya…,’ kata ayah saya. Kemudian bude saya melakukan apa yang
diminta ayah saya.
“Setelah
menuntaskan seluruh keluh kesahnya kepada Sang Khaliq, mereka pergi ke pantai. Di
pinggir pantai mereka bertemu dengan nelayan yang sedang menenteng delapan ekor
kepiting tangkapannya hari itu. ‘berapa semuanya?’ tanya ayah saya. ‘Dua ratus
rupiah satu pak,’ jawab si penjual ikan dengan penuh harap. ‘Saya beli semuanya tapi seratus seekor,
bagaimana?’ sahut ayah saya. Karena dia tidak perlu ke pasar lagi untuk menjual
tangkapannya akhirnya nelayan itu menyepakati harga yang ditawarkan. Lantas kepiting
itu berpindah ke jinjingan bude saya.
“Setelahnya,
mereka melanjutkan perjalanan menyusuri pantai yang berombak tenang di pagi
yang sedikit sendu, karena awan-awan tipis menutupi cahaya matahari yang tampak
malu-malu. Tidak seberapa lama kemudian, seorang nelayan yang baru saja
melabuhkan perahunya terlihat tergopoh-gopoh menenteng seikat besar ikan
berbagai jenis. ‘Berapa?’ tanya ayah saya tanpa basa-basi. ‘Lima ribu semua bos…,’
kata nelayan itu dengan cepat dan penuh harap. ‘Dua ribu lima ratus saya bayar
sekarang,’ sambung ayah saya. ‘Waduh…, kemarin saja saya bawa ke Pasar laku
empat ribu segini bos,’ kata nelayan itu mencoba bernegosiasi. ‘Baiklah, saya
bayar tiga ribu semuanya, kamu kan tidak perlu ke pasar lagi, dan mungkin saya
akan jadi langgananmu mulai hari ini’ kata ayah saya. ‘Baiklah…,’ kata nelayan
itu menyetujui dengan agak berat hati. Demikianlah kemudian seluruh transaksi di
pantai itu selesai.
“Dari
pantai, dengan sepeda renta, ayah saya mengantarkan Bude saya ke rumah. Di rumah
ayah saya menyampaikan agar ikan dan kepiting itu dijual kembali ke Pasar. ‘Kepitingnya
kakak jual tujuh ratus saja, kalau ada yang nawar lima ratus kasih saja,’ kata
ayah saya. Lalu mereka membahas harga ikan yang lain dan strategi penjualan
hari itu, berikut rencana pergi ke pasar yang lain apabila pagi itu tidak seluruh
ikan dan kepiting yang dibawa laku terjual.
“Singkat
cerita, ayah saya mengantarkan lagi bude ke pasar dengan sepeda ringkihnya. Lalu
menggelar dagangan di petak kosong di pinggiran pasar setelah meminta izin
kepada Mantri Pasar yang berkumis kelimis sedang mengamati seorang anak yang
menggendong adiknya sambil meminta-minta.
“Lalu ada
seorang pembeli datang mencoba menawar kepiting segar. ‘Berapa ini buk…?’
tanyanya. ‘Tujuh ratus pak…,’ jawab bude saya ragu dan sedikit grogi. ‘Bagaimana
kalau lima ratus seekor, saya beli semuanya?’ tawar pembeli itu. ‘baiklah,’
kata bude saya sumringah, tanpa berusaha mendapatkan harga yang lebih baik.
“Singkat
cerita seluruh barang dagangan Bude saya laku terjual. Di genggamannya kini ada
lima belas ribu rupiah, kontan. Di wajahnya kini ada seutas senyum, lebar. Di pipinya
ada semburat merah kegembiran, yang tidak tertahan. ‘Kita bagi dua saja ini…,’
katanya dengan penuh haru kepada ayah saya. ‘Tidak,’ kata ayah saya, ‘kembalikan
saja modal yang saya kasih tadi, sisanya buat kakak modal berjualan,’ imbuh
ayah saya.
“Hari sudah
beranjak siang. Dengan sebelas ribu dua ratus rupiah di tanganya bude saya
sudah menjadi manusia baru hari itu. Hari itu menjadi pembatas antara hidup
prihatin dan masa depan yang gilang-gemilang baginya. Dari orang yang merasa
tidak punya harapan dan tidak tahu untuk melakukan apa, menjadi orang yang
penuh optimisme menatap masa depan. Matanya berbinar penuh semangat, kini dia
tahu bagaimana hidupnya kelak, bagaimana masa depan anak-anaknya nanti.
“Long story short,” kata jaya mencoba
mengakhiri ceritanya dengan penuh martabat, diikuti dengan gelak tawa pegawai
lainnya. “Sekarang bude saya adalah orang terkaya di keluarga kami, gelang
emasnya jika dia pakai itu berderat dari pergelangan tangan sampai mendekati
sipahnya," sambung Jaya sambil memperagakannya.
“Cerita ini
menunjukkan bahwa kadang orang hanya butuh diberi tahu…, hanya membutuhkan
pengetahuan. Dengan pengetahuan itu mereka bisa menjadi versi terbaik dari diri
mereka.” kata Jaya dengan penuh keyakinan. “Maka mari kita selalu terbuka dalam
berbagi pengetahuan, jadikanlah berbagi pengetahuan sebagai bagian dari budaya
organisasi kita, mari kita majukan diri kita dan organisasi kita menjadi yang
terbaik dengan berbagi pengetahuan. Pengetahuan yang kita miliki mungkin hanya sekadar
pengetahuan saja di benak kita, namun di benak orang lain barangkali itu adalah
jalan hidup.”
Demikian
Jaya mengakhiri ceritanya yang penuh inspirasi. Para pegawai yang mendengar
ceritanya terlihat menunduk haru dan memikirkan sesuatu dalam hening. Lalu Yogi
berteriak memecah kesunyian, “hai Jay, kapan kau laporkan diklatmu…!”
(Ditulis oleh
Ida Kade Sukesa tepat setelah Mujaya Nyata menyelesaikan kisahnya, Mamuju, 27
Mei 2022)