Pejabat
Lelang Kelas I (selanjutnya disebut Pejabat Lelang) dalam menjalankan tugas
utamanya yaitu memimpin pelaksanaan lelang setidaknya berlandaskan pada 4
(empat) platforms yang saat ini telah
ada yaitu:
1. Knowledge. Pengetahuan minimal yang wajib dimiliki, pendidikan minimal yang harus dipenuhi, dan syarat regular refreshment yang harus diikuti oleh seorang Pejabat Lelang. Pengetahuan dari berbagai lapangan hukum, seperti hukum kepailitan, hukum pengikatan jaminan kebendaan, hukum pidana, hukum perjanjian, hukum administrasi pertanahan, dan sebagainya. Selain itu dibutuhkan kemampuan communication skill, serta memiliki self confidence. Dalam kata yang sederhana tidak boleh ada Pejabat Lelang yang memiliki kondisi “lack of knowledge” bahkan terhadap current issue di lingkungannya sekalipun maka seorang Pejabat Lelang harus menguasainya.
2. Hard
and soft Infrastructure.Tersedianya
Infrastruktur, baik fisik yang saat ini sudah tersedia seperti sistem aplikasi
lelang e-auction, sistem aplikasi
penyusunan risalah lelang, jaringa internet dan server yang reliable, dan
sebagainya, maupun infrastruktur nonfisik yaitu berupa peraturan
perundang-undangan, Standard Operating Procedure
(SOP), dan sebagainya.
3. Controlling. Pengawasan terhadap tingkah laku serta kinerja. Pejabat Lelang diawasi oleh banyak pihak seperti Inspektorat Jenderal pada Kementerian Keuangan, dan dalam organisasi DJKN sendiri terdapat banyak sekali perangkat pengawasan secara berjenjang yaitu Organisasi dan Kepatuhan Internal (OKI), Kantor Wilayah selaku Superintendent, dan bahkan sampai pada level kantor pelayanan terdapat Seksi Kepatuhan Internal yang akan mengawasi secara melekat (internal control). Namun perlu diingat saat ini azas pelaksanaan pengawasan lebih ditekankan kepada fasilitasi pelaksanaan tugas dengan mendudukan diri sebagai lembaga consulting bukan sebagai lembaga pemeriksa. Sedangkan external auditor telah ada tersendiri yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang karena kewenangannya lembaga ini pun berhak untuk memeriksa kinerja Pejabat Lelang baik secara langsung maupun tidak langsung.
4. Value. Nilai-nilai luhur yang hidup dan
berkembang di dalam organisasi yang dikenal dengan istilah Nilai-Nilai
Kementerian Keuangan yaitu: integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan,
dan kesempurnaan, yang kesemuanya wajib diaplikasikan oleh Pejabat Lelang
setiap harinya walapun terkadang dirasa sulit karena berbagai hambatan.
Pada
era sekarang ini, permasalahan hukum yang menyertai lelang makin meningkat baik
pralelang maupun pasca lelang, terutama terjadi pada jenis lelang eksekusi. Namun
demikian tidak dipungkiri permasalahan hukum terdapat juga pada jenis lelang
noneksekusi. Dari sekian banyak permasalahan hukum, risiko tertinggi bagi Pejabat
Lelang adalah terkait permasalahan hukum pidana (pengaduan pidana). Menghadapi
berbagai permasalahan hukum (gugatan perdata, Tata Usaha Negara, maupun pidana)
maka seorang Pejabat Lelang dituntut mempunyai kemampuan mitigasi risiko yaitu
serangkaian tindakan menganalisa, menimbang, dan mengukur risiko timbulnya
permasalahan terkait lelang. Tujuannya adalah untuk meminimalisir timbulnya
persoalan atau permasalahan hukum. Caranya antara lain adalah meneliti secara
cermat semua dokumen persyaratan lelang, membuat analisis legalitas formal
subjek dan objek lelang. Kecermatan dan keakuratan dalam penelitian dokumen
persyaratan lelang merupakan kunci utama agar pejabat lelang terhindar dari
persoalan hukum.
Namun
demikian, sebagaimana kiasan yang menyatakan Nobody is perfect in this world, Pejabat Lelang tidak akan sepenuhnya terhindar dari persoalan hukum. Walaupun telah melaksanakan lelang
dengan complied pada semua ketentuan,
dan telah melakukan mitigasi risiko dengan sangat hati-hati, serta telah
bertindak all out, namun masyarakat yang merasa dirugikan akan dengan leluasa
melakukan upaya hukum. Hal ini tidak dapat dielakan mengingat sistem hukum di
Indonesia bersifat terbuka yang membolehkan siapapun subjek hukum yang “merasa”
dirugikan maka ia dapat melakukan gugatan/delik aduan pidana.
Namun
demikian, hal ini akan sangat merepotkan Pejabat Lelang. Lalu bagaimana
gambaran tentang apakah Pejabat Lelang telah dilindungi secara hukum maupun secara
organisasi tempat bekerja? Terkait hal tersebut penulis melakukan penelitian
sederhana yang didasarkan pada data yang diperoleh saat menjalankan pekerjaan
menangani perkara lelang, studi literatur, serta materi yang disampaikan oleh
para pejabat Kementerian Keuangan dan Mahkamah Agung, serta para profesional
dalam acara Rakernas Perkumpulan Pejabat Lelang Negara (PPLN) Tahun 2020.
Pada intinya tugas dan kewajiban Pejabat Lelang adalah melakukan penelitian kelengkapan dokumen permohonan lelang dan membuat analisis terhadap legalitas formal subjek dan objek lelang, memimpin pelaksanaan lelang, menyusun Minuta Risalah Lelang beserta turunannya yaitu Salinan Risalah Lelang, Kutipan Risalah Lelang, dan Grosse Risalah Lelang, serta tugas lainnya yang berkaitan dengan tugas pokok pejabat lelang sebagaimana diatur di dalam pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 94/PMK.06/2019 tentang Pejabat Lelang Kelas I.
LAPANGAN HUKUM PERDATA
Sistem
hukum di Indonesia bersifat terbuka, siapapun yang merasa dirugikan dapat
mengajukan gugatan terkait lelang (tidak sedikit yang berupa gugatan tidak berkualitas),
dan Pejabat Lelang berkewajiban/berhak membuktikan sampai terbukti hal yang
sebaliknya.
Setiap
warga negara yang merasa hak-haknya terlanggar karena suatu pelaksanaan lelang,
maka ia berhak mengajukan gugatan (bantahan) melalui pengadilan. Gugatan
dimaksud dapat dilakukan sebelum pelaksanaan lelang atau pasca lelang. Pokok
gugatan pada umumnya didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap perbuatan melawan
hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah
menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut”.
Gugatan
PMH terkait lelang adalah gugatan yang memenuhi minimal 4 (empat) unsur
kumulatif yaitu: 1) Perbuatan lelang itu harus melawan hukum (onrechtmatig); 2)
Perbuatan lelang itu harus menimbulkan kerugian; 3) Perbuatan lelang itu harus
dilakukan dengan kesalahan; 4) Antara perbuatan lelang dan kerugian yang timbul
harus ada hubungan kausal yang nyata.
Keempat
syarat gugatan PMH lelang dimaksud sangat sering tidak terpenuhi oleh para
penggugat/pembantah sehingga pada akhirnya gugatan tidak dikabulkan oleh hakim.
Hal ini kiranya sedikit melegakan Pejabat Lelang.
Jikalau
unsur-unsur PMH tersebut terpenuhi, maka gugatan akan diadili dalam persidangan
dan tidak sedikit Pejabat Lelang qq. KPKNL menjadi tergugat/turut tergugat di
dalamnya. Adapun putusannya seringkali bebunyi KPKNL/Pejabat Lelang secara
tanggung renteng membayar sejumlah uang ganti kerugian (TGR), mengembalikan
objek lelang seperti sedia kala seolah-olah tidak pernah terjadi lelang, dan
sebagainya.
Terkait gugatan perdata lelang, maka sesuai ketentuan, penanganannya dilakukan oleh bagian hukum pada Kementerian Keuangan cq. DJKN cq. Kanwil DJKN cq. KPKNL. Namun demikian agar penyusunan jawaban, duplik, bahkan pembuktian menjadi se-sempurna mungkin sebagai bentuk pembelaan, Pejabat Lelang dituntut untuk dapat aktif membantu memberikan penjelasan jika dibutuhkan dan bahkan memberikan salinan bukti-bukti dokumen lelang sebagaimana tercantum di dalam Minuta Risalah Lelang-nya.
LAPANGAN HUKUM PIDANA
Banyak
terjadi seorang Pejabat Lelang terutama di wilayah DKI Jakarta yang dipanggil
oleh penyidik Kepolisian atau bahkan Kejaksaan guna dimintai keterangan bahkan
dipanggil oleh pengadilan guna hadir menjadi saksi atau bahkan menjadi terdakwa
dalam persidangan terkait dengan “kasus pidana lelang” ataupun terkait kasus
“perdata lelang”.
Sebagai
“pil kina” untuk mengatasai rasa cemas dalam mengemban tugas lelang, maka
terdapat azas hukum pidana yang wajib dijalankan oleh para penegak hukum,
sehingga penegak hukum tidak dengan mudah memutus suatu perkara pidana begitu
saja. Azas pidana dimaksud adalah: 1) Geen
Straf Zonder Schuld (Tiada pidana
tanpa kesalahan). Asas ini menunjukkan bahwa seseorang hanya dapat dihukum atas
perbuatannya apabila pada dirinya benar-benar terdapat kesalahan, atau tidak
akan dipidana seorang Pejabat Lelang sepanjang tidak adanya unsur kesalahan
dalam pelaksanaan lelang; 2) Nullum
delictum nulla poena, sine praevia lege atau asas Legalitas yang tertera
dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van
Strafrecht voor Nederlandsch Indie (KUHP), asas tersebut mengandung
beberapa pokok pemikiran yaitu: a) Hukum Pidana harus didasarkan oleh
undang-undang yang tertulis atau asas Legalitas, maksudnya adalah tidak ada
suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali telah ada hukumnya; b) Hukum pidana
tidak berlaku surut (retroaktif), maksudnya adalah hukum pidana tidak dapat
diterapkan untuk menghukum orang yang melakukan kejahatan dan /atau pelanggaran
selama belum ada undang-undangnya; c) Tidak boleh melakukan analogi hukum,
yaitu membandingkan sesuatu yang hampir sama. Dalam hukum pidana hakim tidak
boleh melakukan analogi suatu tindak pidana dengan tindak pidana yang lain
termasuk tidak boleh melakukan analogi terhadap suatu tindakan lelang karena
konteksnya berbeda.
Dalam bahasa yang sederhana, dapat dinyatakan bahwa suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya, jika dan hanya jika perbuatan tersebut telah terbukti memenuhi syarat pidana yaitu: a) Ada unsur kesengajaan; b) Ada unsur kelalaian (Negligence, Culpa), dan c) Tidak ada alasan pembenaran atau tidak ada alasan pemaaf (Rechtvaardiging-ground) contohnya alasan overmacht, alasan membela diri, alasan pelaku merupakan orang yang tidak waras (dalam pengampuan) dan lain-lain; 3) Mens Rea. Terdapat niat jahat. Jika memang tidak ada unsur niat dari dalam diri Pejabat Lelang, maka pidananya akan terhindar atau dalam kondisi terburuk pidananya akan lebih ringan.
Permasalahannya
dalam rangka proses pidana oleh penegak hukum, Pejabat Lelang wajib hadir
(biasanya didampingi petugas penangan perkara dari organisasi tempat bekerja)
guna memenuhi panggilan memberikan keterangan yang keterangan dimaksud akan
disusun dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk kemudian
ditandatangani bersama. Sebagian orang menggunakan istilah “di BAP” atau
“diperiksa” untuk menunjukan bahwa seseorang telah dipanggil untuk memberikan
keterangan kepada penegak hukum atau dalam konotasi negatif seseorang tersebut
telah dianggap melakukan kesalahan atau sudah melakukan suatu kejahatan.
Memberi
keterangan di depan penyidik tidaklah sederhana dan mudah. Pejabat Lelang yang
dipanggil oleh penyidik untuk dimintai keterangan terkait pidana lelang (delik
aduan) akan terpengaruh secara psikis sehingga terkadang merasa was-was
terlebih dahulu sebelum datang menghadap penyidik atau bahkan merasa tercemar
namanya saat menerima surat panggilan dari penyidik. Hal ini wajar mengingat
tidak semua penyidik mempunyai pendekatan yang sama saat memeriksa, dan
lingkungan tempat bekerja sering menganggap negatif atas adanya surat panggilan
dari penyidik, hal negatif tersebut akan terus terbawa di dalam pikiran Pejabat
Lelang sampai dengan saat ia di BAP.
Keadaan
pemberian keterangan tersebut akan lebih buruk lagi saat sebagian penyidik
belum sepenuhnya memahami ketentuan lelang dan ketentuan lainnya yang terkait,
sehingga Pejabat Lelang harus ekstra mengerahkan tenaga dan pikiran serta
waktunya yang tidak sedikit, bahkan dapat mencapai seharian guna memberikan
keterangan/penjelasan di depan penyidik. Intinya bagaimana caranya agar Pejabat
Lelang meyakinkan penyidik bahwa pelaksanaan lelang telah sesuai dengan
ketentuan hukum yang didasari dengan bukti-bukti. Dalam hal ini kiranya ada
terobosan dari organisasi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara untuk melakukan
sosialisasi prosedur dan hukumnya lelang kepada instansi penegak hukum
khususnya edukasi langsung kepada para penyidik.
Contohnya,
terkait pidana lelang dimana penyidik mempermasalahkan kenapa tanah girik
(tidak terdaftar pada kantor pertanahan), namun terdaftar pada kantor
kelurahan, tetap dilaksanakan lelangnya. Menurut penyidik tanah yang tidak
terdaftar pada kantor pertanahan tidaklah dapat dijual lelang sehingga dalam
kasus tersebut Pejabat Lelang diminta bertanggung jawab secara hukum.
Pernyataan penyidik tersebut diungkapkan secara lisan dengan bernada tendensius
saat Pejabat Lelang “di BAP”. Dari hal tersebut tentu saja seorang Pejabat
Lelang akan merasa tertekan secara mental dengan gambaran tahanan/penjara yang
mungkin akan menimpanya.
Bahwa
sistem pendampingan penanganan perkara pidana di Kementerian Keuangan pada
dasarnya adalah pendampingan oleh petugas penangan perkara pada bagian hukum
(legal division) saat Pejabat Lelang diperiksa oleh penyidik. Bukan sebaliknya
yaitu pengambil alihan peran Pejabat Lelang oleh petugas bagian hukum dalam
memberikan keterangan kepada penyidik. Di sisi lain tugas dan kewajiban utama
Pejabat Lelang tidaklah sedikit sejalan dengan banyaknya permohonan lelang yang
harus diselesaikan dan pelayanan prima yang harus dijalankan. Ini artinya dari
segi tenaga, waktu dan pikiran dapat mempengaruhi penyelesaian pekerjaan utama
dari seorang Pejabat Lelang. Hal ini pun kiranya menjadi permasalahan
tersendiri.
Terkit
kondisi Pejabat Lelang yang telah terlanjur ditetapkan sebagai tersangka,
terdakwa ataupun terpidana, perlu ada kejelasan tentang prosedur penangguhan
penahanan sebagai bentuk pembelaan yang dapat dilakukan oleh organisasi.
Begitupun, terkait dengan pemberian jaminan orang dari pejabat pada organisasi
yang menaungi, diperlukan ketentuan yang jelas tentang prosedur pemberian
jaminan orang agar Pejabat Lelang terhindar dari penahanan.
Sejauh apakah pembelaan/pendampingan hukum yang dilakukan organisasi tempat bekerja kepada Pejabat Lelang yang mengikuti proses hukum terkait pidana lelang? Apakah organisasi wajib melakukan pembelaan sampai pada level Kasasi atau bahkan sampai tingkat Peninjauan Kembali (PK)? Apakah pembelaan dilakukan oleh internal organisasi saja ataukah dapat meminta bantuan pengacara diluar organisasi yang telah terbukti gigih membela kliennya? Agar Pejabat Lelang dapat bekerja dengan tenang, hal tersebut perlu kiranya dapat lebih dipertegas dan dituangkan dalam ketentuan internal Kementerian Keuangan.
LAPANGAN HUKUM TATA
USAHA NEGARA (TUN)
Sengketa
TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara baik
dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha
negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sesuai yang diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-undang
Nomor 51 Tahun 2009
Pasal
1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur
bahwa yang dimaksud dengan objek TUN adalah keputusan Tata Usaha Negara yaitu
Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat / di daerah yang
mengandung syarat kumulatif yaitu: 1) Berupa penetapan tertulis; 2) Dikeluarkan
oleh Badan/Pejabat TUN; 3) Berisi Tindakan Hukum TUN; 4) Bersifat kongkrit,
individual, final; 5) Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang / badan hukum
perdata.
Tidak
semua gugatan dapat diterima sebagai objek TUN. Dalam hal ini banyak gugatan
yang diajukan ke Peradilan TUN (Peratun) diputus dalam putusan sela (interim
meascure) sebelum masuk ke dalam pokok perkaranya dengan alasan gugatan bukan
merupakan objek TUN sehingga Peratun tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadilinya.
Hal yang meringankan Pejabat Lelang dalam ranah hukum TUN adalah bahwa Risalah Lelang yang merupakan berita acara pelaksanaan lelang yang telah dibuat oleh Pejabat Lelang, bukanlah suatu keputusan TUN. Hal ini berarti Risalah Lelang bukan merupakan objek TUN, atau dengan kata lain Risalah Lelang tidak dapat dijadikan objek gugatan Peratun. Alasannya adalah karena di dalam Risalah Lelang tidak mengandung unsur beshikking atau pernyataan kehendak dari Pejabat Lelang qq. Pejabat KPKNL qq. Pejabat DJKN qq. Pejabat Kementerian Keuangan.
PERLINDUNGAN HUKUM
PEJABAT LELANG
Pejabat
Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi
wewenang khusus untuk melaksanakan lelang. PMK Nomor 94/PMK.06/2019 pasal 12
mengatur bahwa Pejabat Lelang tidak bertanggung jawab terhadap permasalahan
hukum dan administrasi yang terkait dengan hak dan kewajiban penjual dan/atau
pembeli termasuk namun tidak terbatas pada: 1) Keabsahan dokumen yang menjadi
dasar pelaksanaan lelang atau perikatan lainnya; 2) Keabsahan kepemilikan
barang; 3) Keabsahan dokumen persyaratan lelang; 4) Kesesuaian barang dengan
dokumen objek lelang; 5) Keabsahan penetapan nilai limit; 6) Kebenaran materi
surat dan pengiriman surat yang dilakukan oleh penjual kepada pihak-pihak
terkait; 7) Keabsahan pengumuman lelang; 8) Pelaksanaan penyerahan barang
bergerak dan/atau barang tidak bergerak; dan 9) Pelaksanaan penyerahan dokumen
kepemilikan.
Ketentuan
yang melindungi Pejabat Lelang secara hukum juga terlihat di dalam pasal 42 PMK
Nomor 94/PMK.06/2019 yang mengatur bahwa
Pejabat Lelang yang telah melaksanakan tugas dan wewenangnya serta tidak
melanggar larangan/tidak melakukan pelanggaran sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan dalam pelaksanaan tugasnya, maka ia dilindungi oleh hukum.
Dari
sudut pandang peraturan di bawah undang-undang, maka sudah jelas diatur bahwa
Pejabat Lelang dalam menjalankan tugasnya memimpin suatu pelaksanaan lelang dan
kemudian menunjuk pembelinya, serta membuat berita acara lelangnya berupa
Risalah Lelang, semua itu adalah suatu “tindakan administratif” belaka dalam
jabatannya selaku pejabat umum, untuk itu ia seharusnyalah dilindungi secara
hukum.
Namun
demikian, dan ditambah keyataan bahwa Pejabat Lelang telah memenuhi ketentuan
yang berlaku, melakukan mitigasi risiko, bertindak secara cermat dan sangat
berhati-hati, tetap saja setiap orang diperbolehkan untuk menggugat dengan
berbagai alasan yang terkadang alasannya mengada-ada, yang mau tidak mau
Pejabat Lelang akan tertarik di dalam lingkaran permasalahan. Sehingga,
seringkali Pejabat Lelang merasa dijadikan bulan-bulanan oleh berbagai gugatan
maupun delik aduan pidana. Akibatnya, tidak sedikit waktu dan pikiran serta
tenaga Pejabat Lelang habis untuk menghadapi penyidik/persidangan sebagai
bentuk penghormatan terhadap proses hukum pidana yang berjalan. Terlebih metode
pemeriksaan yang digunakan penyidik seringkali sangat menyudutkan yaitu
bertendensi Pejabat Lelang sebagai suspect.
Bahkan seringkali keterangan yang diberikan ditolak/dibantah oleh penyidik
sehingga menimbulkan perdebatan yang tidak ada ujungnya karena seringkali
masing-masing pihak mempunyai kondisi pola pikir dan basic of knowledge yang berbeda (terdapat gap).
Hal
lainnya adalah ketentuan untuk melakukan gagatan kembali kepada mereka-mereka
yang telah dengan seenaknya melakukan gugatan/delik aduan pidana, sampai dengan
saat ini belum ada ketentuannya yang jelas dan “mudah” untuk dijalankan.
Padahal hal tersebut diperlukan guna memberikan efek jera kepada mereka-mereka
yang sengaja “mempermainkan” lelang.
Sampai dengan saat ini belum ada undang-undang yang menyatakan secara tegas bahwa Pejabat Lelang selaku pejabat umum yang bertugas membuat Risalah Lelang sebagai berita acara pelaksanaan lelang yang telah dipimpinnya tersebut, dilindungi secara hukum dan tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya dimuka hukum, kecuali Pejabat Lelang tersebut benar-benar telah melanggar ketentuan yang berlaku dengan terlebih dahulu diselesaikan proses hukumnya oleh organisasi profesi yang menaunginya. Kiranya hal tersebut dapat dipikirkan untuk kemudian dibunyikan di dalam pasal-pasal undang-undang lelang yang saat ini sedang disusun.
(Penulis: Risman, S.H., M.Ak., KPKNL Jakarta III)