Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Perlindungan Hukum Bagi Pejabat Lelang
Muhamad Rizkiana Gumilang
Rabu, 30 Desember 2020   |   2828 kali

Pejabat Lelang Kelas I (selanjutnya disebut Pejabat Lelang) dalam menjalankan tugas utamanya yaitu memimpin pelaksanaan lelang setidaknya berlandaskan pada 4 (empat) platforms yang saat ini telah ada yaitu:

1.  Knowledge. Pengetahuan minimal yang wajib dimiliki, pendidikan minimal yang harus dipenuhi, dan syarat regular refreshment yang harus diikuti oleh seorang Pejabat Lelang. Pengetahuan dari berbagai lapangan hukum, seperti hukum kepailitan, hukum pengikatan jaminan kebendaan, hukum pidana, hukum perjanjian, hukum administrasi pertanahan, dan sebagainya. Selain itu dibutuhkan kemampuan communication skill, serta memiliki self confidence. Dalam kata yang sederhana tidak boleh ada Pejabat Lelang yang memiliki kondisi “lack of knowledge” bahkan terhadap current issue di lingkungannya sekalipun maka seorang Pejabat Lelang harus menguasainya. 

2.  Hard and soft Infrastructure.Tersedianya Infrastruktur, baik fisik yang saat ini sudah tersedia seperti sistem aplikasi lelang e-auction, sistem aplikasi penyusunan risalah lelang, jaringa internet dan server yang reliable, dan sebagainya, maupun infrastruktur nonfisik yaitu berupa peraturan perundang-undangan, Standard  Operating Procedure (SOP), dan sebagainya.

 

3.  Controlling. Pengawasan terhadap tingkah laku serta kinerja. Pejabat Lelang diawasi oleh banyak pihak seperti Inspektorat Jenderal pada  Kementerian Keuangan, dan dalam organisasi DJKN sendiri terdapat banyak sekali perangkat pengawasan secara berjenjang yaitu Organisasi dan Kepatuhan Internal (OKI), Kantor Wilayah selaku Superintendent, dan bahkan sampai pada level kantor pelayanan terdapat Seksi Kepatuhan Internal yang akan mengawasi secara melekat (internal control). Namun perlu diingat saat ini azas pelaksanaan pengawasan lebih ditekankan kepada fasilitasi pelaksanaan tugas dengan mendudukan diri sebagai lembaga consulting bukan sebagai lembaga pemeriksa. Sedangkan external auditor telah ada tersendiri yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang karena kewenangannya lembaga ini pun berhak untuk memeriksa kinerja Pejabat Lelang baik secara langsung maupun tidak langsung. 

4.  Value. Nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang di dalam organisasi yang dikenal dengan istilah Nilai-Nilai Kementerian Keuangan yaitu: integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan, yang kesemuanya wajib diaplikasikan oleh Pejabat Lelang setiap harinya walapun terkadang dirasa sulit karena berbagai hambatan.

Pada era sekarang ini, permasalahan hukum yang menyertai lelang makin meningkat baik pralelang maupun pasca lelang, terutama terjadi pada jenis lelang eksekusi. Namun demikian tidak dipungkiri permasalahan hukum terdapat juga pada jenis lelang noneksekusi. Dari sekian banyak permasalahan hukum, risiko tertinggi bagi Pejabat Lelang adalah terkait permasalahan hukum pidana (pengaduan pidana). Menghadapi berbagai permasalahan hukum (gugatan perdata, Tata Usaha Negara, maupun pidana) maka seorang Pejabat Lelang dituntut mempunyai kemampuan mitigasi risiko yaitu serangkaian tindakan menganalisa, menimbang, dan mengukur risiko timbulnya permasalahan terkait lelang. Tujuannya adalah untuk meminimalisir timbulnya persoalan atau permasalahan hukum. Caranya antara lain adalah meneliti secara cermat semua dokumen persyaratan lelang, membuat analisis legalitas formal subjek dan objek lelang. Kecermatan dan keakuratan dalam penelitian dokumen persyaratan lelang merupakan kunci utama agar pejabat lelang terhindar dari persoalan hukum.

Namun demikian, sebagaimana kiasan yang menyatakan Nobody is perfect in this world, Pejabat Lelang tidak akan sepenuhnya terhindar dari persoalan hukum. Walaupun telah melaksanakan lelang dengan complied pada semua ketentuan, dan telah melakukan mitigasi risiko dengan sangat hati-hati, serta telah bertindak all out, namun masyarakat yang merasa dirugikan akan dengan leluasa melakukan upaya hukum. Hal ini tidak dapat dielakan mengingat sistem hukum di Indonesia bersifat terbuka yang membolehkan siapapun subjek hukum yang “merasa” dirugikan maka ia dapat melakukan gugatan/delik aduan pidana. 

Namun demikian, hal ini akan sangat merepotkan Pejabat Lelang. Lalu bagaimana gambaran tentang apakah Pejabat Lelang telah dilindungi secara hukum maupun secara organisasi tempat bekerja? Terkait hal tersebut penulis melakukan penelitian sederhana yang didasarkan pada data yang diperoleh saat menjalankan pekerjaan menangani perkara lelang, studi literatur, serta materi yang disampaikan oleh para pejabat Kementerian Keuangan dan Mahkamah Agung, serta para profesional dalam acara Rakernas Perkumpulan Pejabat Lelang Negara (PPLN) Tahun 2020.

Pada intinya tugas dan kewajiban Pejabat Lelang adalah melakukan penelitian kelengkapan dokumen permohonan lelang dan membuat analisis terhadap legalitas formal subjek dan objek lelang, memimpin pelaksanaan lelang, menyusun Minuta Risalah Lelang beserta turunannya yaitu Salinan Risalah Lelang, Kutipan Risalah Lelang, dan Grosse Risalah Lelang, serta tugas lainnya yang berkaitan dengan tugas pokok pejabat lelang sebagaimana diatur di dalam pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 94/PMK.06/2019 tentang Pejabat Lelang Kelas I. 

LAPANGAN HUKUM PERDATA

Sistem hukum di Indonesia bersifat terbuka, siapapun yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan terkait lelang (tidak sedikit yang berupa gugatan tidak berkualitas), dan Pejabat Lelang berkewajiban/berhak membuktikan sampai terbukti hal yang sebaliknya.

Setiap warga negara yang merasa hak-haknya terlanggar karena suatu pelaksanaan lelang, maka ia berhak mengajukan gugatan (bantahan) melalui pengadilan. Gugatan dimaksud dapat dilakukan sebelum pelaksanaan lelang atau pasca lelang. Pokok gugatan pada umumnya didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana dimaksud dalam pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi “Tiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut”.

Gugatan PMH terkait lelang adalah gugatan yang memenuhi minimal 4 (empat) unsur kumulatif yaitu: 1) Perbuatan lelang itu harus melawan hukum (onrechtmatig); 2) Perbuatan lelang itu harus menimbulkan kerugian; 3) Perbuatan lelang itu harus dilakukan dengan kesalahan; 4) Antara perbuatan lelang dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal yang nyata.

Keempat syarat gugatan PMH lelang dimaksud sangat sering tidak terpenuhi oleh para penggugat/pembantah sehingga pada akhirnya gugatan tidak dikabulkan oleh hakim. Hal ini kiranya sedikit melegakan Pejabat Lelang.

Jikalau unsur-unsur PMH tersebut terpenuhi, maka gugatan akan diadili dalam persidangan dan tidak sedikit Pejabat Lelang qq. KPKNL menjadi tergugat/turut tergugat di dalamnya. Adapun putusannya seringkali bebunyi KPKNL/Pejabat Lelang secara tanggung renteng membayar sejumlah uang ganti kerugian (TGR), mengembalikan objek lelang seperti sedia kala seolah-olah tidak pernah terjadi lelang, dan sebagainya.

Terkait gugatan perdata lelang, maka sesuai ketentuan, penanganannya dilakukan oleh bagian hukum pada Kementerian Keuangan cq. DJKN cq. Kanwil DJKN cq. KPKNL. Namun demikian agar penyusunan jawaban, duplik, bahkan pembuktian menjadi se-sempurna mungkin sebagai bentuk pembelaan, Pejabat Lelang dituntut untuk dapat aktif membantu memberikan penjelasan jika dibutuhkan dan bahkan memberikan salinan bukti-bukti dokumen lelang sebagaimana tercantum di dalam Minuta Risalah Lelang-nya. 

LAPANGAN HUKUM PIDANA

Banyak terjadi seorang Pejabat Lelang terutama di wilayah DKI Jakarta yang dipanggil oleh penyidik Kepolisian atau bahkan Kejaksaan guna dimintai keterangan bahkan dipanggil oleh pengadilan guna hadir menjadi saksi atau bahkan menjadi terdakwa dalam persidangan terkait dengan “kasus pidana lelang” ataupun terkait kasus “perdata lelang”.

Sebagai “pil kina” untuk mengatasai rasa cemas dalam mengemban tugas lelang, maka terdapat azas hukum pidana yang wajib dijalankan oleh para penegak hukum, sehingga penegak hukum tidak dengan mudah memutus suatu perkara pidana begitu saja. Azas pidana dimaksud adalah: 1) Geen Straf Zonder Schuld  (Tiada pidana tanpa kesalahan). Asas ini menunjukkan bahwa seseorang hanya dapat dihukum atas perbuatannya apabila pada dirinya benar-benar terdapat kesalahan, atau tidak akan dipidana seorang Pejabat Lelang sepanjang tidak adanya unsur kesalahan dalam pelaksanaan lelang; 2) Nullum delictum nulla poena, sine praevia lege atau asas Legalitas yang tertera dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (KUHP), asas tersebut mengandung beberapa pokok pemikiran yaitu: a) Hukum Pidana harus didasarkan oleh undang-undang yang tertulis atau asas Legalitas, maksudnya adalah tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum kecuali telah ada hukumnya; b) Hukum pidana tidak berlaku surut (retroaktif), maksudnya adalah hukum pidana tidak dapat diterapkan untuk menghukum orang yang melakukan kejahatan dan /atau pelanggaran selama belum ada undang-undangnya; c) Tidak boleh melakukan analogi hukum, yaitu membandingkan sesuatu yang hampir sama. Dalam hukum pidana hakim tidak boleh melakukan analogi suatu tindak pidana dengan tindak pidana yang lain termasuk tidak boleh melakukan analogi terhadap suatu tindakan lelang karena konteksnya berbeda.

Dalam bahasa yang sederhana, dapat dinyatakan bahwa suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya, jika dan hanya jika perbuatan tersebut telah terbukti memenuhi syarat pidana yaitu: a) Ada unsur kesengajaan; b) Ada unsur kelalaian (Negligence, Culpa), dan c) Tidak ada alasan pembenaran atau tidak ada alasan pemaaf (Rechtvaardiging-ground) contohnya alasan overmacht, alasan membela diri, alasan pelaku merupakan orang yang tidak waras (dalam pengampuan) dan lain-lain; 3) Mens Rea. Terdapat niat jahat. Jika memang tidak ada unsur niat dari dalam diri Pejabat Lelang, maka pidananya akan terhindar atau dalam kondisi terburuk pidananya akan lebih ringan. 

Permasalahannya dalam rangka proses pidana oleh penegak hukum, Pejabat Lelang wajib hadir (biasanya didampingi petugas penangan perkara dari organisasi tempat bekerja) guna memenuhi panggilan memberikan keterangan yang keterangan dimaksud akan disusun dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk kemudian ditandatangani bersama. Sebagian orang menggunakan istilah “di BAP” atau “diperiksa” untuk menunjukan bahwa seseorang telah dipanggil untuk memberikan keterangan kepada penegak hukum atau dalam konotasi negatif seseorang tersebut telah dianggap melakukan kesalahan atau sudah melakukan suatu kejahatan.

Memberi keterangan di depan penyidik tidaklah sederhana dan mudah. Pejabat Lelang yang dipanggil oleh penyidik untuk dimintai keterangan terkait pidana lelang (delik aduan) akan terpengaruh secara psikis sehingga terkadang merasa was-was terlebih dahulu sebelum datang menghadap penyidik atau bahkan merasa tercemar namanya saat menerima surat panggilan dari penyidik. Hal ini wajar mengingat tidak semua penyidik mempunyai pendekatan yang sama saat memeriksa, dan lingkungan tempat bekerja sering menganggap negatif atas adanya surat panggilan dari penyidik, hal negatif tersebut akan terus terbawa di dalam pikiran Pejabat Lelang sampai dengan saat ia di BAP.

Keadaan pemberian keterangan tersebut akan lebih buruk lagi saat sebagian penyidik belum sepenuhnya memahami ketentuan lelang dan ketentuan lainnya yang terkait, sehingga Pejabat Lelang harus ekstra mengerahkan tenaga dan pikiran serta waktunya yang tidak sedikit, bahkan dapat mencapai seharian guna memberikan keterangan/penjelasan di depan penyidik. Intinya bagaimana caranya agar Pejabat Lelang meyakinkan penyidik bahwa pelaksanaan lelang telah sesuai dengan ketentuan hukum yang didasari dengan bukti-bukti. Dalam hal ini kiranya ada terobosan dari organisasi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara untuk melakukan sosialisasi prosedur dan hukumnya lelang kepada instansi penegak hukum khususnya edukasi langsung kepada para penyidik.

Contohnya, terkait pidana lelang dimana penyidik mempermasalahkan kenapa tanah girik (tidak terdaftar pada kantor pertanahan), namun terdaftar pada kantor kelurahan, tetap dilaksanakan lelangnya. Menurut penyidik tanah yang tidak terdaftar pada kantor pertanahan tidaklah dapat dijual lelang sehingga dalam kasus tersebut Pejabat Lelang diminta bertanggung jawab secara hukum. Pernyataan penyidik tersebut diungkapkan secara lisan dengan bernada tendensius saat Pejabat Lelang “di BAP”. Dari hal tersebut tentu saja seorang Pejabat Lelang akan merasa tertekan secara mental dengan gambaran tahanan/penjara yang mungkin akan menimpanya.

Bahwa sistem pendampingan penanganan perkara pidana di Kementerian Keuangan pada dasarnya adalah pendampingan oleh petugas penangan perkara pada bagian hukum (legal division) saat Pejabat Lelang diperiksa oleh penyidik. Bukan sebaliknya yaitu pengambil alihan peran Pejabat Lelang oleh petugas bagian hukum dalam memberikan keterangan kepada penyidik. Di sisi lain tugas dan kewajiban utama Pejabat Lelang tidaklah sedikit sejalan dengan banyaknya permohonan lelang yang harus diselesaikan dan pelayanan prima yang harus dijalankan. Ini artinya dari segi tenaga, waktu dan pikiran dapat mempengaruhi penyelesaian pekerjaan utama dari seorang Pejabat Lelang. Hal ini pun kiranya menjadi permasalahan tersendiri.

Terkit kondisi Pejabat Lelang yang telah terlanjur ditetapkan sebagai tersangka, terdakwa ataupun terpidana, perlu ada kejelasan tentang prosedur penangguhan penahanan sebagai bentuk pembelaan yang dapat dilakukan oleh organisasi. Begitupun, terkait dengan pemberian jaminan orang dari pejabat pada organisasi yang menaungi, diperlukan ketentuan yang jelas tentang prosedur pemberian jaminan orang agar Pejabat Lelang terhindar dari penahanan.

Sejauh apakah pembelaan/pendampingan hukum yang dilakukan organisasi tempat bekerja kepada Pejabat Lelang yang mengikuti proses hukum terkait pidana lelang?  Apakah organisasi wajib melakukan pembelaan sampai pada level Kasasi atau bahkan sampai tingkat Peninjauan Kembali (PK)? Apakah pembelaan dilakukan oleh internal organisasi saja ataukah dapat meminta bantuan pengacara diluar organisasi yang telah terbukti gigih membela kliennya? Agar Pejabat Lelang dapat bekerja dengan tenang, hal tersebut perlu kiranya dapat lebih dipertegas dan dituangkan dalam ketentuan internal Kementerian Keuangan. 

LAPANGAN HUKUM TATA USAHA NEGARA (TUN)

Sengketa TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai yang diatur dalam pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengatur bahwa yang dimaksud dengan objek TUN adalah keputusan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat / di daerah yang mengandung syarat kumulatif yaitu: 1) Berupa penetapan tertulis; 2) Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN; 3) Berisi Tindakan Hukum TUN; 4) Bersifat kongkrit, individual, final; 5) Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang / badan hukum perdata.

Tidak semua gugatan dapat diterima sebagai objek TUN. Dalam hal ini banyak gugatan yang diajukan ke Peradilan TUN (Peratun) diputus dalam putusan sela (interim meascure) sebelum masuk ke dalam pokok perkaranya dengan alasan gugatan bukan merupakan objek TUN sehingga Peratun tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya.

Hal yang meringankan Pejabat Lelang dalam ranah hukum TUN adalah bahwa Risalah Lelang yang merupakan berita acara pelaksanaan lelang yang telah dibuat oleh Pejabat Lelang, bukanlah suatu keputusan TUN. Hal ini berarti Risalah Lelang bukan merupakan objek TUN, atau dengan kata lain Risalah Lelang tidak dapat dijadikan objek gugatan Peratun. Alasannya adalah karena di dalam Risalah Lelang tidak mengandung unsur beshikking atau pernyataan kehendak dari Pejabat Lelang qq. Pejabat KPKNL qq. Pejabat DJKN qq. Pejabat Kementerian Keuangan. 

PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT LELANG

Pejabat Lelang adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan lelang. PMK Nomor 94/PMK.06/2019 pasal 12 mengatur bahwa Pejabat Lelang tidak bertanggung jawab terhadap permasalahan hukum dan administrasi yang terkait dengan hak dan kewajiban penjual dan/atau pembeli termasuk namun tidak terbatas pada: 1) Keabsahan dokumen yang menjadi dasar pelaksanaan lelang atau perikatan lainnya; 2) Keabsahan kepemilikan barang; 3) Keabsahan dokumen persyaratan lelang; 4) Kesesuaian barang dengan dokumen objek lelang; 5) Keabsahan penetapan nilai limit; 6) Kebenaran materi surat dan pengiriman surat yang dilakukan oleh penjual kepada pihak-pihak terkait; 7) Keabsahan pengumuman lelang; 8) Pelaksanaan penyerahan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak; dan 9) Pelaksanaan penyerahan dokumen kepemilikan.

Ketentuan yang melindungi Pejabat Lelang secara hukum juga terlihat di dalam pasal 42 PMK Nomor 94/PMK.06/2019 yang mengatur bahwa  Pejabat Lelang yang telah melaksanakan tugas dan wewenangnya serta tidak melanggar larangan/tidak melakukan pelanggaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan tugasnya, maka ia dilindungi oleh hukum.

Dari sudut pandang peraturan di bawah undang-undang, maka sudah jelas diatur bahwa Pejabat Lelang dalam menjalankan tugasnya memimpin suatu pelaksanaan lelang dan kemudian menunjuk pembelinya, serta membuat berita acara lelangnya berupa Risalah Lelang, semua itu adalah suatu “tindakan administratif” belaka dalam jabatannya selaku pejabat umum, untuk itu ia seharusnyalah dilindungi secara hukum.

Namun demikian, dan ditambah keyataan bahwa Pejabat Lelang telah memenuhi ketentuan yang berlaku, melakukan mitigasi risiko, bertindak secara cermat dan sangat berhati-hati, tetap saja setiap orang diperbolehkan untuk menggugat dengan berbagai alasan yang terkadang alasannya mengada-ada, yang mau tidak mau Pejabat Lelang akan tertarik di dalam lingkaran permasalahan. Sehingga, seringkali Pejabat Lelang merasa dijadikan bulan-bulanan oleh berbagai gugatan maupun delik aduan pidana. Akibatnya, tidak sedikit waktu dan pikiran serta tenaga Pejabat Lelang habis untuk menghadapi penyidik/persidangan sebagai bentuk penghormatan terhadap proses hukum pidana yang berjalan. Terlebih metode pemeriksaan yang digunakan penyidik seringkali sangat menyudutkan yaitu bertendensi Pejabat Lelang sebagai suspect. Bahkan seringkali keterangan yang diberikan ditolak/dibantah oleh penyidik sehingga menimbulkan perdebatan yang tidak ada ujungnya karena seringkali masing-masing pihak mempunyai kondisi pola pikir dan basic of knowledge yang berbeda (terdapat gap).

Hal lainnya adalah ketentuan untuk melakukan gagatan kembali kepada mereka-mereka yang telah dengan seenaknya melakukan gugatan/delik aduan pidana, sampai dengan saat ini belum ada ketentuannya yang jelas dan “mudah” untuk dijalankan. Padahal hal tersebut diperlukan guna memberikan efek jera kepada mereka-mereka yang sengaja “mempermainkan” lelang.

Sampai dengan saat ini belum ada undang-undang yang menyatakan secara tegas bahwa Pejabat Lelang selaku pejabat umum yang bertugas membuat Risalah Lelang sebagai berita acara pelaksanaan lelang yang telah dipimpinnya tersebut, dilindungi secara hukum dan tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya dimuka hukum, kecuali Pejabat Lelang tersebut benar-benar telah melanggar ketentuan yang berlaku dengan terlebih dahulu diselesaikan proses hukumnya oleh organisasi profesi yang menaunginya. Kiranya hal tersebut dapat dipikirkan untuk kemudian dibunyikan di dalam pasal-pasal undang-undang lelang yang saat ini sedang disusun.

(Penulis: Risman, S.H., M.Ak., KPKNL Jakarta III)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini