Banyak organisasi publik yang masih memandang sebelah mata strategi
pemasaran (marketing) dalam
memasarkan jasa layanannya sehingga berakibat tujuan organisasi tidak pernah sepenuhnya
tercapai. Tentunya hal ini akan merugikan organisasi itu sendiri dan disisi
lain masyarakat merasa bahwa organisasi publik memberikan layanannya tidak secara
optimal atau setengah hati.
Hal tersebut sangatlah dapat dimengerti mengingat secara sederhana terdapat
perbedaan mendasar antara private sector
dan public sector. Swasta pada
umumnya hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya, sedangkan pemerintahan sebaliknya
yaitu hanya ingin mencapai efisiensi anggaran. Namun demikian pemerintah
haruslah memiliki daya adaptasi secara cepat dan tepat (agile), yaitu dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman dimana
di era ini masyarakat lebih maju dari segi pemikiran dan lebih kritis terhadap
kinerja pemerintah. Pemerintah dengan anggaran yang terbatas dituntut untuk
dapat efisien dan melakukan berbagai terobosan/entrepreneurship antara lain
adalah melakukan proses marketing atas layanannya kepada masyarakat. Dengan demikian
pemerintah dituntut selain harus menjalankan anggaran dengan efisien, juga
menghasilkan pemasukan bagi negara secara optimum yang pada akhirnya akan
tercipta good governance government.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran lelang selain merupakan metode jual
beli yang memenuhi azas-azas yang baik yaitu efisien, efektif, secure, transparan, adil, dan
sebagainya, baik lelang dalam rangka eksekusi maupun noneksekusi, maka lelang
juga berperan penting dalam menghasilkan pendapatan (revenue) bagi negara dalam bentuk Bea Lelang, PPh Final, BPHTB, dan
menghasilkan efek peningkatan secara ekonomi yang hal ini sulit dihitung secara
nominal.
Fakta di lapangan, didapati tidak sedikit masyarakat yang belum paham
tentang prosedur lelang sehingga enggan untuk ikut lelang. Tidak sedikit pula
masyarakat yang merasa kekurangan informasi jadwal lelang sehingga terlambat
mengikuti lelang. Di sisi lain terdapat sebagian lagi yang merasa rugi karena
tidak mendapatkan informasi yang clear
(terdapat fakta yang ditutupi) sementara ia sudah terlanjur ikut lelang
sehingga merasa kecewa dan enggan ikut lelang lagi. Kekurangan informasi menjadi
kendala dalam masyarakat berpartisipasi memajukan lelang. Bagaimana peran
Pejabat Lelang dalam melakukan marketing lelang?.
Terkait dengan permasalahan tersebut, maka penting kiranya untuk
dilakukan penelitian (research).
Dalam hal ini penulis melakukan penelitian secara sederhana dengan metode
analisis deskriptif yang hasilnya sebagaimana tertuang dalam artikel ini.
Pemasaran dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah marketing. Marketing di dalam Oxford
Learner’s Dictionaries diartikan sebagai berikut; “Marketing (noun) is: the activity of presenting, advertising and
selling a company’s products or services in the best possible way”.
Sedangkan Menurut Kotler (1997), pemasaran adalah suatu proses sosial
dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang
mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan
produk yang bernilai dengan pihak lain. Terdapat unsur mendasar pemasaran yaitu:
1) Kebutuhan (needs), 2) Keinginan (wants), 3) Permintaan (demands); 4) Produk
(barang, jasa dan gagasan); 5) Nilai, biaya, dan kepuasan; 6) Hubungan dan
jaringan; 7) Pasar serta pemasar dan prospek.
Tugas pejabat lelang telah diatur dengan tegas dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.06/2019 tentang Pejabat Lelang Kelas I yang mengatur
bahwa tugas Pejabat Lelang Kelas I (selanjutnya disebut Pejabat Lelang) antara
lain adalah: melakukan kegiatan penelitian kelengkapan dokumen permohonan
lelang, Melakukan analisis terhadap legalitas formal subjek dan objek lelang, Melakukan
kegiatan penatausahaan persiapan pelaksanaan lelang; Melakukan kegiatan
penatausahaan dan penyelenggaraan fisik lelang; Melakukan kegiatan
penyusunan/pembuatan minuta dan turunan risalah lelang; Melakukan kegiatan
penatausahaan pasca pelaksanaan lelang dan lain sebagainya.
Namun ketentuan tersebut hanya sebatas mengatur tugas pokok saja yang
pada dasarnya bersifat tugas clerical
sebagai pemenuhan tugas administratif belaka. Sedangkan hal lainnya tidak
diatur secara tegas dan detail. Namun demikian terdapat ketentuan yang mengatur
bahwa Pejabat Lelang Kelas I dapat melakukan hal lainnya jika terdapat alasan (extraordinary reason) yang mendukung bahwa
perbuatan lain tersebut sangat diperlukan yaitu perbuatan melakukan pemberian penjelasan
yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang kepada calon peserta lelang pada saat
kegiatan aanwijzing. Namun hal
tersebut belumlah cukup dalam memberi ruang bagi Pejabat Lelang dalam melakukan
hal lebih (maksimum) demi meningkatkan kinerja organisasi di bidang lelang.
Dalam hal ini kiranya Pejabat Lelang tidak segan untuk melakukan hal
yang inovatif dalam memajukan lelang, tetapi tidak melanggar normatif. Ia dapat
melakukan proses marketing sebagaimana yang didefiniskan di dalam Oxford
Learner’s yang mendifinisikan: “Marketing
(noun) is: the activity of presenting, advertising and selling a company’s
products or services in the best possible way” dengan didasarkan pada
unsur-unsur mendasar marketing (Kotler 1997) yaitu: 1) Kebutuhan (needs), 2)
Keinginan (wants), 3) Permintaan (demands); 4) Produk (barang, jasa dan
gagasan); 5) Nilai, biaya, dan kepuasan; 6) Hubungan dan jaringan; 7) Pasar
serta pemasar dan prospek.
Lalu proses marketing yang dapat dilakukan oleh Pejabat Lelang meliputi
apa saja?. Proses marketing yang mungkin dilakukan antara lain meliputi: 1)
Pemberian informasi terkait objek lelang, jadwal pelaksanaan lelang, cara
mengikuti lelang; 2) Pemberian informasi kasus hukum terkait subjek/objek
lelang; 3) Pemberian informasi terkait penjual; 4) Pemberian informasi terkait
pemilik ojek lelang/debitur/tereksekusi; 5) Pemberian informasi terkait pasca lelang,
6) Pemberian informasi/konsutansi hukum lelang kepada para peminat lelang, dan
hal penting lainnya.
Secara teknis cara yang mungkin dapat digunakan antara lain adalah memberikan
informasi secara langsung kepada masyarakat yang datang ke kantor pelayanan
lelang, melalui telepon, e-mail, whatsapp, dan media sosial lainnya, pada waktu
dan tempat formal maupun informal.
Terkait dengan proses pemberian infromasi dalam proses marketing yang
dapat dilakukan oleh Pejabat Lelang, hal tersebut tidaklah bertentangan dengan
ketentuan terkait Keterbukaan Informasi Publik dan Daftar Informasi Yang
Dikecualikan. Hal ini dapat dipahami karena Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008
Tentang Keterbukaan Informasi Publik diciptakan dengan tujuan antara lain untuk
meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik
untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas, bukan untuk menutupi
suatu informasi yang seharusnya dapat dikases oleh publik.
Bagaimana dengan superintendensi / auditor baik pengawas internal maupun
eksternal? Apakah hal tersebut tidak melanggar kode etik? Apakah hal tersebut
tidak menimbulkan KKN atapun menimbulkan prasangka buruk kepada Pejabat Lelang.
Jawaban yang tepat adalah profesionalsme dan integritas. Sepanjang dilakukan
secara professional dan berintegritas maka hal tersebut akan terbukti (proved) sebaliknya. Tentunya dengan
dukungan dari internal organisasi antara lain organisasi profesi Pejabat Lelang
yang bertugas menetapkan dan mengakan kode etik profesi.
Untuk mencapai kinerja yang baik antara lain tercapai target frekuensi lelang, tercapai target penerimaan Negara dari lelang, tercapai misi organisasi melalui lelang, maka sagatlah penting dilakukan terobosan dengan cara melakukan proses marketing lelang dimaksud. Seberapa penting proses marketing sebagai alat untuk mecapai misi organisasi, maka Harvard Business Review dalam edisi May-June 2020 menerbitkan jurnal yang berjudul “Marketing Meets Mission” yang ditulis oleh Myriam Sidibe yang pada intinya menyimpulkan bahwa 5 (lima) hal yang wajib dimiliki untuk mencapai misi organisasi melalui pemasaran adalah: 1) Inspiring individuals to change behavior; 2) Winning internal backing; 3) measuring performance at multiple levels; 4) partnering with governments, NGOs, and other firms; and 5) Sparking a broader movement.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai misi organisasi DJKN cq. Kemenketerian Keuangan melalui lelang, maka peran Pejabat Lelang dalam marketing lelang sangatlah penting. Untuk itu haruslah terpenuhi 5 platforms penting yaitu: 1) Pejabat Lelang harus dapat menjadi panutan bagi stakeholders sehingga ia dituntut untuk memberikan informasi secara profesional, jujur, dan berintegritas; 2) Proses marketing yang dilakukan oleh Pejabat Lelang harus mendapat dukungan yang kuat dari internal organisasi; 3) Hasil dari proses marketing yang dilakukan oleh Pejabat Lelang harus dapat diukur dengan parameter tertentu seperti berapa frekuensi lelang yang laku terjual? Berapa nominal bea lelangnya yang berhasil dipungut?; 4) Pejabat Lelang harus dapat menjaga hubungan baik (proporsional) dengan stakeholders yaitu Penjual/Pembeli bahkan dengan pihak tereksekusi jika jenis lelangnya adalah eksekusi; 5) Pejabat Lelang harus dapat melakukan tindakan lain dengan cepat dan tepat (agile) misalnya dapat memberikan informasi / memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh stakeholders kapan saja dan dimana saja tidak terbatas hari dan jam kerja.
(Penulis: Risman, S.H., M.Ak., KPKNL Jakarta III)