Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Permasalahan Pungutan BPHTB Atas Lelang yang Menggunakan Acte De Command
Charisma Nur Arifin
Jum'at, 12 Juni 2020   |   20336 kali

Banyak debitur dalam menjalankan usahanya membutuhkan sumber daya yang sebagain dipenuhi dengan cara berhutang, antara lain hutang kepada entitas keuangan seperti bank. Bank sebagaimana core business yang dimiliknya akan memberikan pinjaman dana, tentunya didahului dengan pembuatan perjanjian hutang piutang yang sering dikenal dengan istilah perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya, yang kemudian akan dilengkapi dengan perjanjian tambahan berupa perjanjian penjaminan antara lain berupa perjanjian penjaminan kebendaan barang tetap tanah dan atau bangunan melalui Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan kemudian jaminan kebendaan tersebut akan diikat secara sempurna dengan jenis pengikatan berupa Sertifikat Hak Tanggungan Peringkat Pertama (SHT I) dan seterusnya. Praktik bisnis seperti ini merupakan hal yang biasa dalam dunia perbankan tentunya dengan berlandaskan kepada asas kehati-hatian perbankan (prudent).

Sebagaimana hukum alam, bahwa kondisi keuangan suatu entitas tidaklah selalu sama. Terkadang usaha debitur menjadi berkembang, namun sebagian lagi mengalami penurunan secara ekonomi dengan beragam penyebab baik yang natural persaingan bisnis maupun yang karena kesalahan pengurusan. Sebab lainnya seperti adanya kondisi force majeure. Pada kasus entitas yang mengalami penurunan ekonomi, maka debitur akan kesulitan melakukan kewajiban angsuran hutangnya bahkan kemudian tidak mampu untuk melunasi hutangnya, sampai pada titik terbawah, yaitu setelah melalui prosedur dan kriteria yang telah diatur di dalam ketentuan perbankan debitur tersebut akhirnya dinyatakan wanprestasi.

Terhadap debitur wanprestasi maka sesuai yang tercantum di dalam perjanjian kredit, APHT, dan SHT Pertama. Bank kreditur dapat melakukan eksekusi penjualan secara lelang atas objek jaminan kredit berupa tanah dan atau bangunan yang hasilnya digunakan untuk membantu bank kreditur mengambil pelunasan hutangnya, walaupun sering kali hasil dari penjualan tersebut tidak dapat menutupi jumlah hutang keseluruhan.

Dalam pelaksanaan lelang eksekusi SHT I dimaksud, bahkan dalam lelang eksekusi pailit, bank selaku kreditur dapat membeli melalui lelang terhadap agunan kreditnyanya sendiri namun sifatnya pembelian sementara sampai kemudian bank kreditur akan menunjuk pembeli yang sebenarnya dalam jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun. Rencana pembelian sementara oleh bank tersebut harus diawali dengan pembuatan akta otentik yang dikenal dengan Akta Pembelian buat Orang Lain atau dikenal juga dengan istilah Acte De Command yang pada intinya berisi pernyataan bahwa bank kreditur akan ikut menjadi peserta lelang untuk membeli aset jaminan kreditnya sendiri untuk kemudian jika telah memenangkan lelangnya bank kreditur dalam jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang harus sudah menunjuk Pembeli yang sebenarnya. Jika lewat waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang namun belum dapat menunjuk pembeli yang sebenarnya maka bank kreditur dimaksud secara otomatis dinyatakan sebagai pembelinya.
 
Selanjutnya, Pembeli yang ditunjuk atau bank kreditur pemenang lelang yang lewat 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang tidak berhasil melakukan penunjukan pembeli sehingga otomatis menjadi pembelinya tersebut akan mendapat Kutipan Risalah Lelangnya dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai Akte Jual Beli dengan syarat harus melakukan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terlebih dahulu yang dibuktikan dengan dokumen berupa Surat Setoran Pajak Daerah-Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSPD-BPHTB) yang telah divalidasi oleh Pemerintah Daerah (Pemda) setempat selaku institusi yang berwenang memungutnya melalui unit kerjanya, contohnya untuk wilayah DKI Jakarta pemungutan BPHTB ditangani oleh unit kerja yang bernama Unit Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah (UPPRD), untuk wilayah Papua dikenal dengan Unit Penerimaan Pendapatan Daerah (UPPD), dan sebagainya.

Namun sayangnya, dalam melakukan pembayaran BPHTB dimaksud tidak sedikit timbul permasalahan berupa perdebatan tentang kapan mulai terhutangnya BPHTB. Contohnya terjadi pada proses pemungutan BPHTB di wilayah DKI Jakarta, dengan ini penulis melakukan penelitian dengan metode analisis deskriptif yang hasilnya sebagaimana tertuang dalam artikel ini.

A. Permasalahan dalam pembayaran BPHTB
Beberapa permasalahan yang timbul saat pembayaran BPHTB oleh Pembeli yang ditunjuk, ataupun oleh Bank Kreditur sebagai pemenang lelang yang secara otomatis ditunjuk sebagai pembeli karena dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun tidak berhasil menunjuk Pembeli yang sebenarnya, dalam konteks lelang menggunakan acte de command antara lain adalah:

  1. Beberapa unit kerja pemungut BPHTB (dikenal dengan nama UPPRD, UPPD, dan sebagainya) menerapkan aturan bahwa waktu terutangnya BPHTB adalah sejak tanggal pelaksanaan lelang bukan sejak tanggal penunjukan pembeli, hal ini dirasakan sangat merugikan pembeli karena harus membayar denda BPHTB selama 1 (satu) tahun yang jumlahnya tidak sedikit.
  2. Bank Kreditur pemenang lelang yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun tidak berhasil melakukan penunjukan pembeli dan kemudian secara otomatis dianggap sebagai pembeli yang sebenarnya, oleh beberapa unit kerja pemungut BPHTB juga ditetapkan mempunyai kewajiban BPHTB sejak tanggal pelaksanaan lelang bukan sejak lewat waktu 1 (satu) tahun dari tanggal pelaksanaan lelang, hal ini pun membebani neraca keuangan pihak perbankan karena bank harus membayar denda BPHTB selama 1 (satu) tahun.
  3. Hal-hal tersebut sampai dengan saat ini masih berjalan dan dapat menimbulkan keresahan bagi masyarakat baik institusi perbankan, korporasi, maupun orang perseorangan.
  4. Akibat lain yang mungkin timbul adalah adanya ketidakpastian hukum, ketidakpercayaan masyarakat atas good government governance, permasalahan dapat melebar kemana-mana (biased), keengganan untuk membeli lelang (customer goodwill destruction), dan secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan sistem perbankan “tidak sepenuhnya” berjalan dengan baik.


B. Bank kreditur dapat membeli agunan kreditnya sendiri namun pembelian tersebut bersifat sementara sampai dengan ditunjuknya Pembeli yang sebenarnya dikemudian hari
Bank selaku kreditur dapat membeli melalui lelang terhadap agunannya sendiri yang sifatnya adalah pembelian sementara sampai kemudian bank kreditur akan menunjuk pembeli yang sebenarnya dalam jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun sejak tanggal pelaksanaan lelang. Rencana pembelian sementara oleh bank tersebut harus diawali dengan pembuatan akta otentik yang dikenal dengan Acte De Command atau dikenal juga dengan istilah Akta Pembelian Sementara, dan beberapa istilah lainnya yang sedikit berbeda. Namun pada intinya sama, yaitu berisi pernyataan bahwa bank kreditur akan ikut menjadi peserta lelang untuk membeli aset jaminan kreditnya sendiri.

Selanjutnya acte de command dimaksud akan menjadi bagian persyaratan untuk bank kreditur menjadi peserta lelang pada KPKNL. Jika telah memenangkan lelangnya, maka bank kreditur dalam jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang harus sudah menunjuk Pembeli yang sebenarnya, dan jika lewat 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang namun belum dapat menunjuk pembeli yang sebenarnya maka bank kreditur secara otomatis dianggap sebagai pembelinya. Sejak saat itulah seharusnya mulai terhutang BPHTB yang harus dibayar oleh pembeli yang ditunjuk atau oleh bank kreditur pemenang lelang.

Sebelum adanya penunjukan Pembeli oleh bank kreditur selaku pemenang lelang maka KPKNL tidak akan menerbitkan Kutipan Risalah Lelang-nya. Begitupun, sebelum lewat waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang dan tidak ada penunjukan pembeli oleh bank kreditur pemenang lelang, maka KPKNL tidak akan menerbitkan Kutipan Risalah Lelang-nya. Kutipan Risalah Lelang merupakan kunci utama untuk membuktikan bahwa asset jaminan kredit objek lelang telah benar-benar beralih secara “sempurna” kepada subjek hukum tertentu, untuk selanjutnya Kutipan Risalah Lelang dapat digunakan untuk proses balik nama bukti kepemilikan. Sedangkan lelangnya yang telah dimenangkan oleh bank kreditur hanyalah “jembatan” untuk mendapatkan pembeli yang sesungguhnya dengan kata lain lelangnya belum mengakibatkan peralihan hak “sepenuhnya”.

Praktik bisnis perbankan tersebut sudah menjadi bagian dari sistem perbankan nasional baik perbankan konvensional maupun perbankan syariah sekaligus menjadi bagian dari sistem perekonomian negara Indonesia yang keberadaannya merupakan businesslike untuk mewujudkan kemajuan ekonomi bangsa Indonesia.

Praktik pembelian agunan kredit yang bersifat sementara, telah mempunyai legitimasi hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Pada Pasal 12A ayat (1) mengatur bahwa bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

Begitu pun di dalam ranah perbankan syariah, terkait pembelian sementara melalui lelang dengan dasar acte de commaacte, telah diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada Pasal 40 ayat (1) mengatur bahwa dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajibannya, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.

Sejalan dengan undang-undang tersebut di atas, Kementerian Keuangan kemudian mengatur lebih lanjut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.Pada pasal 78 ayat (1) mengatur bahwa bank sebagai kreditur dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan ketentuan menyampaikan surat pernyataan dalam bentuk Akte Notaris, bahwa pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal pelaksanaan lelang, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

C. Acte de command merupakan lapangan hukum perdata
Bahwa keinginan para pihak untuk melaksanakan lelang dan membeli lelang dengan persyaratan tertentu yaitu: (1) syarat bahwa bank kreditur yang memenangkan lelang harus menjual/menunjuk pembeli yang sebenarnya dikemudian hari; dan (2) Syarat yang menyatakan jika bank kreditur tidak berhasil menunjuk pembeli dalam tempo 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang, maka ia dianggap sebagai pembelinya, kedua syarat tersebut adalah syarat yang telah disepakati bersama dan harus dilaksanakan sebagai suatu undang-undang.

Adapaun klausul yang tercantum di dalam acte de command intinya berisi pernyataan bahwa bank akan menjadi peserta lelang dan jika memenangkan lelangnya maka ia akan menunjuk pembeli yang sebenarnya dikemudian hari, dan jika lewat waktu 1 (satu) tahun tidak berhasil menunjuk pembeli maka bank kreditur bersedia dianggap sebagai pembelinya.

Kemudian hal tersebut dipertegas di dalam klausul Risalah Lelang yang menyatakan “Bank sebagai kreditur dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan ketentuan menyampaikan surat pernyataan tertulis bahwa pembelian tersebut dilakukan pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam waktu 1 (satu) tahun. Apabila dalam waktu 1 (satu) tahun Bank belum menyampaikan surat pernyataan penunjukan Pembeli lelang, maka Bank dianggap sebagai Pembeli”.

Klausul yang tercantum di dalam acte de command dan di dalam Risalah Lelang tersebut secara umum dapat dinyatakan sebagai bentuk perjanjian perdata yang tunduk kepada pasal 1320 KUHPdt yang mengatur syarat syahnya suatu perjanjian yaitu: (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) Suatu hal tertentu; (4) Suatu sebab yang halal.

Dengan demikian kesemua isi klausul dalam acte de command maupun dalam Risalah Lelang pada dasarnya merupakan bentuk perjanjian perdata yang telah disepakati oleh para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan lelang yang pada akhirnya wajib dilaksanakan layaknya sebuah undang-undang.

D. Kutipan Risalah Lelang hanya dapat diterbitkan setelah ada Pembeli yang ditunjuk oleh Bank
Bank kreditur pemenang lelang dalam jangka waktu maksimal 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang harus sudah menunjuk Pembeli yang sebenarnya. Selanjutnya, Pembeli yang ditunjuk tersebut akan mendapat Kutipan Risalah Lelang setelah melakukan kewajiban sebagai pembeli (penerima peralihan hak) antara lain membayar BPHTB yang dibuktikan dengan dokumen berupa SSPD-BPHTB yang telah divalidasi oleh unit kerja pemungut BPHTB pada Pemda setempat.

Pemberian Kutipan Risalah Lelang tersebut mengacu kepada PMK No. 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang yang mengatur antara lain:

  1. Pasal 94 ayat (2), bahwa Pembeli memperoleh Kutipan Risalah Lelang sebagai Akta Jual Beli untuk kepentingan balik nama atau Grosse Risalah Lelang sesuai kebutuhan ;
  2. Pasal 94 ayat (4), bahwa Kutipan Risalah Lelang untuk lelang tanah atau tanah dan bangunan ditandatangani oleh Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II setelah Pembeli menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.

E. Bahwa jika Bank Kreditur ternyata tidak berhasil menunjuk Pembeli yang sebenarnya maka ia secara otomatis dianggap sebagai pembelinya
Jika dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang bank kreditur selaku pemenang lelang ternyata tidak berhasil menunjuk pembeli yang sebenarnya, maka secara otomatis bank kreditur dianggap sebagai Pembeli yang sebenarnya dan sejak saat itulah selaku pembeli (penerima peralihan hak) bank kreditur mulai terhutang BPHTB. Kutipan Risalah Lelang atas nama Bank Kreditur akan diterbitkan oleh KPKNL dengan syarat utama berupa dokumen bukti pembayaran BPHTB yaitu SSPD-BPHTB yang telah divalidasi oleh unit kerja pemungut BPHTB pada Pemda setempat.

Hal ini sebagaimana diatur  dalam PMK No. 27/PMK.06/2016  Pasal 94 ayat (4)  bahwa Kutipan Risalah Lelang untuk lelang tanah atau tanah dan bangunan ditandatangani oleh Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II setelah Pembeli menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.

F. BPHTB sebagai syarat utama penerbitan Kutipan Risalah Lelang
KPKNL hanya akan menerbitkan Kutipan Risalah Lelang jika telah terdapat penunjukan pembeli yang sebenarnya oleh bank kreditur pemenang lelang dan sejak tanggal penunjukan pembeli tersebut maka mulai  terhutang BPHTB. Pembeli yang ditunjuk tersebut kemudian berkewajiban membayar BPHTB yang harus dibuktikan dengan dokumen SSPD-BPHTB yang telah divalidasi oleh unit kerja pemungut BPHTB pada Pemda setempat. Dokumen SSPD-BPHTB yang telah divalidasi merupakan syarat utama penerbitan Kutipan Risalah Lelang atas nama pembeli yang ditunjuk.

Begitupun dengan kondisi jika jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang sudah terlewati dan tidak ada penunjukan pembeli maka bank kreditur selaku pemenang lelang secara otomatis dianggap sebagai pembelinya, maka sejak saat itulah timbul kewajiban pembayaran BPHTB. Kutipan Risalah Lelang atas nama Bank Kreditur akan diterbitkan oleh KPKNL setelah BPHTB dibayarkan yang harus dibuktikan dengan adanya dokumen SSPD-BPHTB yang telah divalidasi oleh unit kerja pemungut BPHTB pada Pemda setempat.

Kutipan Risalah Lelang sangatlah memegang peranan penting sebagai akta otentik yang membuktikan telah beralihnya secara “sempurna” objek lelang kepada subjek hukum tertentu. Kutipan Risalah Lelang merupakan akta jual beli sebagai dasar proses balik nama bukti kepemilikan.

Terkait BPHTB, sebagai syarat utama penerbitan Kutipan Risalah Lelang dalam konteks ini sangat jelas diatur  dalam PMK No. 27/PMK.06/2016  Pasal 94 ayat (4) yang mengatur bahwa Kutipan Risalah Lelang untuk lelang tanah atau tanah dan bangunan ditandatangani oleh Kepala KPKNL atau Pejabat Lelang Kelas II setelah Pembeli menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.

G. Waktu Terhutang BPHTB
Dalam praktiknya, pembelian agunan kredit oleh bank kreditur melalui lelang jenis ini  (acte de command), walaupun telah ditunjuk pemenang lelangnya yaitu bank kreditur namun hasil lelang dimaksud belumlah berakibat hukum yang membuktikan telah terjadinya peralihan hak kepada pihak tertentu. Sejak tanggal lelang sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun ke depan status bank kreditur selaku pemenang lelang dan objek lelang secara umum berada pada masa “stay”, maksudnya adalah:  (1) Pembelian melalui lelang hanyalah pembelian sementara dan pembelian tersebut menjadi beban neraca keuangan pihak bank karena pembelian menggunakan dana dari pihak bank sendiri; (2) Bank kreditur pemenang lelang tidak dapat mengakui bahwa aset telah terjual karena tidak ada pendapatan apapun dari penjualan agunan; (3) Bank kreditur pemenang lelang juga tidak dapat mengakui/mencatat objek lelang yang dimenangkannya ke dalam neraca keuangan karena objek lelang yang dimenangkannya belum beralih menjadi milik bank kreditur (karena belum lewat waktu satu tahun dari tanggal lelang); (4) Bank kreditur pemenang lelang tidak dapat mengambil manfaat atas objek lelang; (5) Hasil lelang berupa penunjukan pememang lelang belumlah berakibat peralihan hak kepada siapapun; (6) Peralihan hak hanya terjadi jika sudah ada penunjukan pembeli oleh bank kreditur pemenang lelang; (7) Jika tidak ada penunjukan pembeli sampai dengan batas waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang maka bank kreditur pemenang lelang dianggap sebagai pembelinya. Inilah keunikan dari sistem pembelian lelang dengan menggunakan acte de command yang sangat berbeda dengan jenis lelang lainnya, namun sangat disayangkan beberapa pihak belum memahami sepenuhnya.

Bahwa terkait kapan mulai terhutang BPHTB dalam hal pelelangan menggunakan acte de command maka dapat dinyatakan bahwa BPHTB akan terhutang “sejak terdapat pembeli“ dalam hal ini adalah:

  1. Sejak tanggal ditunjuknya pembeli lelang yang sebenarnya oleh Bank Kreditur selaku pemenang lelang  (yang berarti telah terjadi peralihan hak kepada pembeli) atau;
  2. Setelah lewat 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang dan bank kreditur selaku pemenang lelang tidak berhasil mencari/menunjuk pembeli (yang berarti telah terjadi peralihan hak kepada bank kreditur pemenang lelang).

Terkait kapan mulai terhutangnya BPHTB terhadap lelang dengan menggunakan acte de command tersebut pada dasarnya telah diatur secara jelas di dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) pasal 90 huruf o, bahwa saat terhutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan  Bangunan (BPHTB) ditetapkan untuk lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang (bukan sejak tanggal lelang).

Hal ini juga dipertegas  dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan pasal 8 ayat (1) huruf o yang mengatur bahwa saat terhutang BPHTB ditetapkan untuk lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang (bukan sejak tanggal lelang) Jo. ayat (2) yang mengatur bahwa pajak (BPHTB) yang terhutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak.

Dengan demikian dalam konteks ini (bank kreditur selaku pemenang lelang dengan dasar acte de command) jelaslah bahwa waktu terhutang BPHTB bukan sejak tanggal lelang karena berlaku hal-hal sebagai berikut:

  1.  Bank kreditur selaku pemenang lelang hanya berlaku sebagai pembeli sementara belaka, sedangkan pelaksanaan lelangnya serta penetapan bank kreditur sebagai pemenang lelang dapat dianalogikan sebagai “perjanjian pendahuluan” belaka;
  2. Pada tanggal pelaksanaan lelang belum terjadi peralihan hak yang sesungguhnya. Kepada siapa objek lelang beralih belumlah dapat diketahui sampai dengan adanya penunjukan pembeli atau sampai lewatnya waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang;
  3. Sebagai akibatnya pada tanggal pelaksanaan lelang tidak pernah diterbitkan Kutipan Risalah Lelang oleh KPKNL;
  4. Dikarenakan pada tanggal pelaksanaan lelang belum ada subjek hukum yang dinyatakan sebagai pembeli/penerima peralihan hak,maka tidak ada subjek hukum yang dinyatakan sebagai terhutang BPHTB/berkewajiban membayar BPHTB.
  5. Kewajiban pembayaran BPHTB timbul hanya pada saat adanya peralihan hak yang sebenarnya yaitu pada saat penunjukan pembeli atau setelah lewatnya waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal lelang (perolehan hak karena daluarsa).

       
Dengan demikian kiranya antar institusi yang menerbitkan peraturan terkait lelang dan terkait BPHTB agar dapat memiliki pemahaman yang sama dan dapat mengeluarkan aturan yang bersifat teknis dan jelas yang mudah dalam pelaksanaannya, sehingga tidak terjadi permasalahan yang berlarut-larut pada level teknis. Contohnya terjadi pada proses pungutan BPHTB di wilayah DKI Jakarta, yang dapat merugikan pihak bank dan dapat merugikan masyarakat yang telah beritikad baik membeli objek lelang.

Penulis: Risman, S.H., MAk., KPKNL Jakarta III

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini