Perkembangan suatu negara, terutama negara berkembang dengan agenda pembangunan infrastrutur jangka panjang, tak lepas dari isu pembiayaan. Anggaran dan belanja yang dirancang dengan sedemikian rupa untuk mencari pos - pos instrumen pembiayaan adalah salah satu kunci untuk mencapai pembangunan wilayah yang berkelanjutan. Pentingnya penguatan sektor rill membuat pemerintah harus dapat mencari sumber-sumber pembiayaan yang strategis. Namun, Tak jarang strategi pembiayaan tersebut sering kali menimbulkan defisit anggaran.
Dalam menanggapi tantangan yang timbul dari agenda pembangunan infrastruktur jangka panjang, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan mengeluarkan strategi skema pembiayaan kreatif dan inovatif. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dari implementasi skema pembiayaan yang inovatif dan kreatif adalah untuk mencapai target pembangunan, namun tetap menjaga agar APBN tetap sehat dan akuntabel. Pembiayaan yang inovatif dan kreatif sendiri menitikberatkan pada upaya untuk mencari sumber pembiayaan alternatif yang tidak bergantung pada APBN. Hal tersebut bertujuan agar ketahanan fiskal tetap terjaga dengan mendorong peningkatan partisipasi sektor/pihak di luar pemerintah untuk turut serta dalam memenuhi kebutuhan pembiayaan pembangunan.
Salah satu jenis pembiayaan inovatif dan kreatif yang saat ini sedang digaungkan oleh pemerintah adalah Asset based securities (ABS) / Efek Beragun Aset (EBA). EBA sendiri adalah salah satu bentuk pembiayaan berbentuk sekuritas yang dinilai lebih likuid. Dalam hal ini pemerintah menerbitkannya dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN).
Implementasi EBA ini sudah tercermin dalam kebijakan terbaru pemerintah melalui peran strategis DJKN dalam mengelola aset negara Pasca revisi PP 27/2014 dan diberlakukannya PP 28/2020, Pemanfaatan BMN memiliki peran strategis sebagai manifestasi pelaksanaan misi khusus Kementerian Keuangan dalam penyediaan infrastruktur. Hal ini tertuang dalam PP 28/2020 yang mengenalkan satu mekanisme baru dalam Pemanfaatan BMN, yaitu Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur.
Diperkenalkannya
mekanisme dengan istilah Hak Pengelolaan Terbatas (HPT)/Limited
Concession
Scheme (LCS) dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan pembangunan
pada
anggaran Pemerintah mengingat bahwa anggaran Pemerintah masih perlu
dialokasikan untuk berbagai sektor non-infrastruktur seperti kesehatan
dan
pendidikan. Dalam PP 28/2020, digunakan istilah Kerja Sama Terbatas
Untuk
Pembiayaan Infrastruktur dengan definisinya yaitu optimalisasi Barang
Milik
Negara untuk meningkatkan fungsi operasional Barang Milik Negara guna
mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur lainnya.
Namun sampai saat ini, belum ditentukan dengan pasti sejauh mana
batasan atau paradigma dalam HPT/LCS ini.
Jika
ditarik
lagi relevansinya kepada keadaan saat ini di tengah pandemi, strategi
inovasi
pembiayaan melalui pemanfaatan Barang Milik Negara ini juga sejalan
dengan
rekomendasi dari ACCA yang menyebutkan bahwa pemerintah perlu melihat
potensi
pemanfaatan aset pada neraca sebagai instrumen keuangan dalam mengelola
keuangan negara dalam kondisi krisis. Instrumen keuangan tersebut dapat
dikategorikan sebagai ABS/EBA yang dapat memberikan manfaat berupa
potensi arus
kas di masa mendatang. Oleh karena itu, skema ABS/EBA dalam implementasi
Hak Pengelolaan Terbatas ini masih sangat terbuka lebar.
Isu strategis yang menyangkut pembiayaan kreatif, inovatif, dan berkelanjutan di masa yang akan datang akan banyak melibatkan peran DJKN. DJKN akan memiliki peran strategis melalui instrumen pembiayaan yang berasal dari pemanfaatan aset negara. Dengan memberikan alternatif pembiayaan pembangunan melalui penerbitan instrumen keuangan berupa ABS/EBA, bukan hanya akan meningkatkan sumber pembiayaan, namun juga memberikan manfaat yang besar bagi pemerintah melalui arus kas pendanaan di masa depan yang secara proyeksi dapat digunakan dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur berkelanjutan dan pemulihan ekonomi nasional di masa krisis.