Sudah
hampir 1 (satu) tahun sejak akhir tahun 2019, berbagai negara di belahan bumi
ini, tidak terkecuali lndonesia, dihadapkan dengan situasi sulit yaitu wabah
Virus Corona (Covid-19). Covid-19 adalah virus yang menyebabkan infeksi saluran
pernapasan atas ringan hingga sedang yang saat ini menjadi wabah pandemi di berbagai belahan dunia. Hingga saat artikel ini ditulis,
belum ada informasi pasti tentang adanya Vaksin Covid-19. Oleh karena itu,
beberapa negara dipaksa sejenak untuk bisa ‘berdamai’ dengan pandemi ini. Cara
yang dilakukan adalah menerapkan konsep tatanan hidup baru yang dikenal dengan
kenormalan baru atau new normal.
Menurut Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal, tapi ditambah dengan penerapan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Perubahan ini adalah untuk menata kehidupan dan perilaku baru ketika pandemi, yang kemudian akan dibawa terus ke depannya sampai ditemukannya vaksin untuk Covid-19.
Dalam menghadapi new normal, penulis sempat
terkesan oleh suatu pepatah yang disampaikan dalam suatu webinar dengan tema new normal yang diselenggarakan oleh
komunitas alumni salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Pepatah
tersebut yaitu adopt, adapt, and adept.
Berdasarkan beberapa sumber, pepatah ini adalah sebuah slogan dari bangsa
Jepang yang sejak dahulu mereka gunakan. Ide dari pepatah ini terjadi
ketika mayoritas industri di Jepang mengutus beberapa engineer lokal untuk mempelajari, memahami, dan menguasai standar
industri seperti apa yang ada di beberapa negara untuk dapat mereka terapkan
dan melakukan inovasi di negeri asal mereka. Ternyata, implementasi dari
pepatah ini cukup terbukti. Saat ini Jepang unggul dan menguasai pada beberapa
industri di dunia. Berikut di bawah ini beberapa
penjelasan mengenai adopt, adapt, and
adept.
Adopt yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti menggunakan atau memakai sesuatu. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), menggunakan atau memakai berasal dari kata dasar guna
atau pakai yang berarti mengambil manfaatnya. Adapun manfaat yang kita peroleh
menjadikan nilai tambah tersendiri bagi kita yang melakukannya. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita bisa mengambil contoh dari penggunaan perangkat komunikasi handphone. Tidak dipungkiri lagi bahwa
banyak manfaat yang diperoleh dari handphone.
Selain sebagai alat komunikasi yang memiliki fungsi dasar sebagai telepon,
kemajuan teknologi membuat kegunaan handphone
menjadi smartphone yang diperkaya
dengan fitur-fitur seperti lensa kamera, internet, media sosial, marketing, dan banyak hal lain lagi yang
diperoleh manfaatnya dari benda tersebut.
Adapt atau adaptasi adalah suatu
penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah
diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah
lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi. Seperti contoh di atas tadi,
penggunaan handphone yang saat ini
sudah beralih menjadi smartphone
tentunya membawa dampak tersendiri pada penggunanya. Pengguna handphone yang awalnya hanya menggunakan
fitur telepon dan layanan pesan singkat atau Short Message Service (SMS), sekarang seakan ‘dipaksa’ untuk bisa
menggunakan beragam fitur dari smartphone
seperti aplikasi peta digital, aplikasi whatsapp,
serta beragam media sosial seperti facebook,
twitter, instagram, dan lain-lain. Hal ini tentu membutuhkan suatu penyesuaian
yang pelan tapi pasti bisa dilakukan oleh penggunanya.
Adept yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berarti mahir. Dalam KBBI, mahir berarti sangat terlatih,
ahli, cakap dan terampil. Tidak perlu dijelaskan lagi, jika seseorang mampu
menguasai suatu hal melebihi apa yang dilakukan oleh orang lain, mereka bisa
dikatakan mahir. Sebagai contoh, seorang mekanik mobil tidak bisa dikatakan
mekanik mobil jika tidak mahir dalam menganalisis kondisi mobil, memperbaiki
kerusakan mobil, serta memberikan treatment
khusus agar mesin mobil menjadi awet dan tahan lama.
Uraian dari pepatah tersebut sebenarnya memiliki
analogi yang sama dengan kehidupan kita sehari-hari sebagai insan Kementerian
Keuangan. Dalam bekerja di situasi sekarang, kita seakan dipaksa untuk meninggalkan
normalitas kita yang lama dan beralih ke normalitas baru. Kita yang dahulu
biasanya menggunakan kertas dalam mencetak naskah dinas, membubuhinya dengan
tanda tangan atau cap basah, seakan-akan mulai pudar atau bahkan tidak ada lagi
sejak adanya aplikasi Naskah Dinas Elektronik (Nadine) Kementerian Keuangan. Fitur-fitur seperti pembuatan naskah
dinas, arsip surat, disposisi, bahkan tanda tangan sudah dilakukan secara
elektronik. Tidak hanya Nadine, aplikasi lain yang ada di Kementerian Keuangan mungkin
juga masih terasa asing saat kita gunakan. Tak jarang kita meminta bantuan
rekan atau bawahan kita dalam pengoperasian aplikasi-aplikasi tersebut. Hal ini
tidak bisa dipungkiri, masih banyak diantara kita yang masih gagap teknologi
atau gaptek. Namun, jika kita ada
kemauan untuk melakukan penyesuaian terhadap hal-hal baru secara terus-menerus,
niscaya hal-hal baru tersebut akan kita kuasai sehingga kita menjadi mahir,
layaknya ilustrasi penggunaan smartphone
di atas. Selamat mencoba, selamat beradaptasi, semoga menjadi mahir. Practice makes perfect!
Penulis: Hanif Panutury – Kanwil DJKN Riau,
Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau
Daftar Pustaka:
1. Kamus Sosiologi Antropologi, Penerbit Indah Surabaya, 2001, hal 10;
2. Indonesia.or.id. (2020, 31 Mei). Mengenal Konsep New Normal. Diakses pada 10 Juli 2020 dari https://indonesia.go.id/ragam/komoditas/ekonomi/mengenal-konsep-new-normal
3. Perhumas.or.id. (2020, 11 Juni). NORMALITAS BARU HUMAS: ADOPT, ADAPT, ADEPT!. Diakes pada 30 Juli 2020 dari www.perhumas.or.id/normalitas-baru-humas-adopt-adapt-adept/