Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
New Normal: Adopt, Adapt, Adept!
Ridho Kurniawan Siregar
Senin, 10 Agustus 2020   |   2929 kali

        Sudah hampir 1 (satu) tahun sejak akhir tahun 2019, berbagai negara di belahan bumi ini, tidak terkecuali lndonesia, dihadapkan dengan situasi sulit yaitu wabah Virus Corona (Covid-19). Covid-19 adalah virus yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas ringan hingga sedang yang saat ini menjadi wabah pandemi  di berbagai belahan dunia. Hingga saat artikel ini ditulis, belum ada informasi pasti tentang adanya Vaksin Covid-19. Oleh karena itu, beberapa negara dipaksa sejenak untuk bisa ‘berdamai’ dengan pandemi ini. Cara yang dilakukan adalah menerapkan konsep tatanan hidup baru yang dikenal dengan kenormalan baru atau new normal.

    

        Menurut Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal, tapi ditambah dengan penerapan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19. Perubahan ini adalah untuk menata kehidupan dan perilaku baru ketika pandemi, yang kemudian akan dibawa terus ke depannya sampai ditemukannya vaksin untuk Covid-19.


        Dalam menghadapi new normal, penulis sempat terkesan oleh suatu pepatah yang disampaikan dalam suatu webinar dengan tema new normal yang diselenggarakan oleh komunitas alumni salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia. Pepatah tersebut yaitu adopt, adapt, and adept. Berdasarkan  beberapa sumber, pepatah ini adalah sebuah slogan dari bangsa Jepang yang sejak dahulu mereka gunakan. Ide dari pepatah ini terjadi ketika mayoritas industri di Jepang mengutus beberapa engineer lokal untuk mempelajari, memahami, dan menguasai standar industri seperti apa yang ada di beberapa negara untuk dapat mereka terapkan dan melakukan inovasi di negeri asal mereka. Ternyata, implementasi dari pepatah ini cukup terbukti. Saat ini Jepang unggul dan menguasai pada beberapa industri di dunia. Berikut di bawah ini beberapa penjelasan mengenai adopt, adapt, and adept.


        Adopt yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti menggunakan atau memakai sesuatu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menggunakan atau memakai berasal dari kata dasar guna atau pakai yang berarti mengambil manfaatnya. Adapun manfaat yang kita peroleh menjadikan nilai tambah tersendiri bagi kita yang melakukannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mengambil contoh dari penggunaan perangkat komunikasi handphone. Tidak dipungkiri lagi bahwa banyak manfaat yang diperoleh dari handphone. Selain sebagai alat komunikasi yang memiliki fungsi dasar sebagai telepon, kemajuan teknologi membuat kegunaan handphone menjadi smartphone yang diperkaya dengan fitur-fitur seperti lensa kamera, internet, media sosial, marketing, dan banyak hal lain lagi yang diperoleh manfaatnya dari benda tersebut.


        Adapt atau adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi. Seperti contoh di atas tadi, penggunaan handphone yang saat ini sudah beralih menjadi smartphone tentunya membawa dampak tersendiri pada penggunanya. Pengguna handphone yang awalnya hanya menggunakan fitur telepon dan layanan pesan singkat atau Short Message Service (SMS), sekarang seakan ‘dipaksa’ untuk bisa menggunakan beragam fitur dari smartphone seperti aplikasi peta digital, aplikasi whatsapp, serta beragam media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lain-lain. Hal ini tentu membutuhkan suatu penyesuaian yang pelan tapi pasti bisa dilakukan oleh penggunanya.


        Adept yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berarti mahir. Dalam KBBI, mahir berarti sangat terlatih, ahli, cakap dan terampil. Tidak perlu dijelaskan lagi, jika seseorang mampu menguasai suatu hal melebihi apa yang dilakukan oleh orang lain, mereka bisa dikatakan mahir. Sebagai contoh, seorang mekanik mobil tidak bisa dikatakan mekanik mobil jika tidak mahir dalam menganalisis kondisi mobil, memperbaiki kerusakan mobil, serta memberikan treatment khusus agar mesin mobil menjadi awet dan tahan lama.


        Uraian dari pepatah tersebut sebenarnya memiliki analogi yang sama dengan kehidupan kita sehari-hari sebagai insan Kementerian Keuangan. Dalam bekerja di situasi sekarang, kita seakan dipaksa untuk meninggalkan normalitas kita yang lama dan beralih ke normalitas baru. Kita yang dahulu biasanya menggunakan kertas dalam mencetak naskah dinas, membubuhinya dengan tanda tangan atau cap basah, seakan-akan mulai pudar atau bahkan tidak ada lagi sejak adanya aplikasi Naskah Dinas Elektronik (Nadine) Kementerian Keuangan. Fitur-fitur seperti pembuatan naskah dinas, arsip surat, disposisi, bahkan tanda tangan sudah dilakukan secara elektronik. Tidak hanya Nadine, aplikasi lain yang ada di Kementerian Keuangan mungkin juga masih terasa asing saat kita gunakan. Tak jarang kita meminta bantuan rekan atau bawahan kita dalam pengoperasian aplikasi-aplikasi tersebut. Hal ini tidak bisa dipungkiri, masih banyak diantara kita yang masih gagap teknologi atau gaptek. Namun, jika kita ada kemauan untuk melakukan penyesuaian terhadap hal-hal baru secara terus-menerus, niscaya hal-hal baru tersebut akan kita kuasai sehingga kita menjadi mahir, layaknya ilustrasi penggunaan smartphone di atas. Selamat mencoba, selamat beradaptasi, semoga menjadi mahir. Practice makes perfect!


Penulis: Hanif Panutury – Kanwil DJKN Riau, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau

 

 

Daftar Pustaka:

1.   Kamus Sosiologi Antropologi, Penerbit Indah Surabaya, 2001, hal 10;

2.   Indonesia.or.id. (2020, 31 Mei). Mengenal Konsep New Normal. Diakses pada 10 Juli 2020 dari https://indonesia.go.id/ragam/komoditas/ekonomi/mengenal-konsep-new-normal

3.   Perhumas.or.id. (2020, 11 Juni). NORMALITAS BARU HUMAS: ADOPT, ADAPT, ADEPT!. Diakes pada 30 Juli 2020 dari www.perhumas.or.id/normalitas-baru-humas-adopt-adapt-adept/

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini