Denpasar - (13/10) Kepailitan merupakan
suatu lembaga hukum perdata sebagai realisasi dari dua asas pokok yang
terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
Pasal 1131 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menetapkan sebagai berikut:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru Terhadap Undang-Undang Kepailitan (UU No.
4 Tahun 1998) ada di kemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Selanjutnya Pasal 1132
Kitab Undang Undang Hukum Perdata menentukan sebagai berikut di bawah ini:
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang
mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan” .
Tindakan Pailit adalah suatu sitaan umum atas semua kekayaan Debitur
Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah
pengawasan Hakim Pengawas. Harta pailit akan dibagikan sesuai dengan porsi
besarnya tuntutan Kreditor. Prinsip kepailitan yang demikian ini merupakan
realisasi dari ketentuan Pasal 1131 dan Kitab Undangundang Hukum Perdata, yaitu
kebendaan milik Debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua Kreditor yang
dibagi menurut prinsip keseimbangan atau “Pari Pasu Prorata Parte”. Berdasarkan
ketentuan dalam Pasal-pasal tersebut diatas jelaslah, pasal 1131 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata Pasal 1132 bahwa apabila debitor lalai dalam memenuhi kewajibannya
atau prestasinya kreditor diberikan hak untuk melakukan pelelangan atas harta
benda debitor. Hasil penjualan (pelelangan) itu harus dibagi secara jujur dan
seimbang diantara para kreditor sesuai dengan perimbangan jumlah piutangnya
masing-masing. Pada umumnya kepailitan berkaitan dengan utang debitor atau
piutang kreditor. Seorang kreditor mungkin saja memiliki lebih dari satu
piutang atau tagihan, dan piutang atau tagihan yang berbeda-beda itu diperlukan
pula secara berbeda-beda didalam proses kepailitan.
Implementasi UU Kepailitan 2004 malah tak semudah yang dibayangkan.
“Justru lebih berat dari UU Kepailitan tahun 1998. Padahal, krisis moneter sudah
lewat,” Substansi UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan hakekat dari hukum
kepailitan. UU Kepailitan seolah menjadi mesin pembunuh bagi kelanjutan usaha
dari debitor. Beberapa permasalahan terjadi, antara lain: Syarat minimum
kreditor sebagai pemohon pailit yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) , Jangka
waktu PKPU yang sangat singkat, Jika kreditor yang mengajukan PKPU. Debitor
dipaksa untuk mengajukan proposal perdamaian untuk seluruh kreditor. Idealnya,
kreditor juga ikut mengajukan proposal perdamaian, Kreditor separatis berhak
mempailitkan dan ikut dalam voting tanpa kehilangan hak atas agunannya. Ada
ketidakadilan,Tingginya syarat perhitungan suara dan harus dipenuhi syarat
kumulatif voting kreditor konkuren dan kreditor separatis yang diatur dalam
Pasal 281 UU Kepailitan, “Dalam praktek sering terjadi hanya kurang lebih satu
tahun sesudah homologasi atas composition plan ternyata debitor gagal bayar
karena memang sejak awal telah dipaksa, honorarium atau fee curator (pengurus)
sangat tinggi. kepentingan dan mendapatkan keuntungan atas hal tersebut,
Terjadi multi tafsir atas peringkat tagihan pajak, tagihan upah buruh, dan
piutang kreditor separatis.
Upaya Mengatasi Permasalahan Yang Ada,
adalah dengan Cara: Melakukan revisi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan,
Pentingnya hakim niaga lebih memahami seluk beluk kepailitan, Seharusnya PKPU
diajukan oleh debitor, Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup bagi
perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan, Hukum kepailitan mestinya
tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang lebih penting lagi
adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting
adalah pekerja, Perlu dilihat apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi
konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk, Hukum
kepailitan di Indonesia harus memperhatikan kesehatan keuangan dari debitor,
Prosedur permintaan dan penetapan sita jaminan harus lebih ditegaskan
pengaturannya.
DAFTAR PUSTAKA
Irna Nurhayati, Tinjauan Terhadap
Undang-Undang Kepailitan (UU No. 4 Tahun 1998),
Mimbar Hukum Majalah Berkala Fakultas
Hukum UGM No: 32/VI/1999.
Jerry Hoff, Undang Undang Kepailitan Indonesia, Penerjemah
Kartini Mulyadi, Jakarta: P.T. Tatanusa, 2000.
Man Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2006.
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan
(Memahami faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998),
Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002.
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum
Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan Dari Undang-Undang), CV.
Mandar Maju, Bandung, 1994.
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta: Pustaka Reka Cipta, 2013.
Peraturan Perundang-Undangan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan PKPU