Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 500-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kanwil DJKN Bali dan Nusa Tenggara > Artikel
HUKUM KEPAILITAN DAN PROBLEMATIKANYA DI INDONESIA
Slamet Adi Priyatna
Kamis, 13 Oktober 2022   |   19294 kali

Denpasar - (13/10) Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata sebagai realisasi dari dua asas pokok yang terkandung dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Pasal 1131 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menetapkan sebagai berikut: “Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru Terhadap Undang-Undang Kepailitan (UU No. 4 Tahun 1998)  ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Selanjutnya Pasal 1132 Kitab Undang Undang Hukum Perdata menentukan sebagai berikut di bawah ini: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan” .   

        Tindakan Pailit adalah suatu sitaan umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Harta pailit akan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan Kreditor. Prinsip kepailitan yang demikian ini merupakan realisasi dari ketentuan Pasal 1131 dan Kitab Undangundang Hukum Perdata, yaitu kebendaan milik Debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua Kreditor yang dibagi menurut prinsip keseimbangan atau “Pari Pasu Prorata Parte”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal-pasal tersebut diatas jelaslah, pasal 1131 Kitab Undang Undang Hukum Perdata Pasal 1132 bahwa apabila debitor lalai dalam memenuhi kewajibannya atau prestasinya kreditor diberikan hak untuk melakukan pelelangan atas harta benda debitor. Hasil penjualan (pelelangan) itu harus dibagi secara jujur dan seimbang diantara para kreditor sesuai dengan perimbangan jumlah piutangnya masing-masing. Pada umumnya kepailitan berkaitan dengan utang debitor atau piutang kreditor. Seorang kreditor mungkin saja memiliki lebih dari satu piutang atau tagihan, dan piutang atau tagihan yang berbeda-beda itu diperlukan pula secara berbeda-beda didalam proses kepailitan.

       Implementasi UU Kepailitan 2004 malah tak semudah yang dibayangkan. “Justru lebih berat dari UU Kepailitan tahun 1998. Padahal, krisis moneter sudah lewat,” Substansi UU Kepailitan dan PKPU bertentangan dengan hakekat dari hukum kepailitan. UU Kepailitan seolah menjadi mesin pembunuh bagi kelanjutan usaha dari debitor. Beberapa permasalahan terjadi, antara lain: Syarat minimum kreditor sebagai pemohon pailit yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) , Jangka waktu PKPU yang sangat singkat, Jika kreditor yang mengajukan PKPU. Debitor dipaksa untuk mengajukan proposal perdamaian untuk seluruh kreditor. Idealnya, kreditor juga ikut mengajukan proposal perdamaian, Kreditor separatis berhak mempailitkan dan ikut dalam voting tanpa kehilangan hak atas agunannya. Ada ketidakadilan,Tingginya syarat perhitungan suara dan harus dipenuhi syarat kumulatif voting kreditor konkuren dan kreditor separatis yang diatur dalam Pasal 281 UU Kepailitan, “Dalam praktek sering terjadi hanya kurang lebih satu tahun sesudah homologasi atas composition plan ternyata debitor gagal bayar karena memang sejak awal telah dipaksa, honorarium atau fee curator (pengurus) sangat tinggi. kepentingan dan mendapatkan keuntungan atas hal tersebut, Terjadi multi tafsir atas peringkat tagihan pajak, tagihan upah buruh, dan piutang kreditor separatis.

 

      Upaya Mengatasi Permasalahan Yang Ada, adalah dengan Cara: Melakukan revisi terhadap Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan, Pentingnya hakim niaga lebih memahami seluk beluk kepailitan, Seharusnya PKPU diajukan oleh debitor, Hukum Kepalitan harus memberikan waktu cukup bagi perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan, Hukum kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja, Perlu dilihat apakah pailit menimbulkan dampak luas bagi konsumen atau menyebabkan terjadinya dislokasi ekonomi yang buruk, Hukum kepailitan di Indonesia harus memperhatikan kesehatan keuangan dari debitor, Prosedur permintaan dan penetapan sita jaminan harus lebih ditegaskan pengaturannya.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Irna Nurhayati, Tinjauan Terhadap Undang-Undang Kepailitan (UU No. 4 Tahun 1998),

Mimbar Hukum Majalah Berkala Fakultas Hukum UGM No: 32/VI/1999.

Jerry Hoff,  Undang Undang Kepailitan Indonesia, Penerjemah Kartini Mulyadi, Jakarta: P.T. Tatanusa, 2000.

Man Sastrawidjaya, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2006.

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan (Memahami faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998), Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002.

Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Dan Dari Undang-Undang), CV. Mandar Maju, Bandung, 1994.

 Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jakarta: Pustaka Reka Cipta, 2013.

 Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini