Denpasar- Sejak pandemi virus corona
pertama kali teridentifikasi di Indonesia, masker medik dan hand sanitizier menjadi barang yang
langka di pasaran. Kelangkaan ini
menyebabkan harga barang-barang tersebut melambung tinggi, berkali kali lipat
dari harga normalnya. Sebagian oknum mengambil kesempatan menimbun masker medik
tersebut untuk kemudian dijual dengan harga fantastis. Bahkan, beberapa bulan
lalu harga masker medik dijual berkisaran antara Rp340ribu hingga Rp1,5 Juta.
Menurut teori permintaan dan
penawaran, jika permintaan akan suatu barang meningkat sementara penawaran
tetap, maka harga akan naik. Jadi, kala itu ketika permintaan masyarakat akan
masker medik meningkat, dan pada saat yang bersamaan barang menjadi langka,
maka harga masker tersebut melonjak fantastis. Adanya faktor spekulasi yang
dapat menjelaskan terjadinya kelangkaan barang. Motif spekulasi umumnya
dilakukan oleh produsen atau pedagang yang didorong untuk menimbun barang pada
harga rendah untuk kemudian dijual ketika harga naik.
Namun, sekarang masker medik
sudah bukan barang langka, harga sudah kembali normal. Satu buah masker medik
sekarang hanya dijual seharga Rp3 ribu, sehingga membuat para penimbun merugi.
Banyak faktor yang menyebabkan kembali stabilnya harga masker medik
tersebut,antara lain karena pemerintah mengimpor masker medik dan adanya
anjuran penggunaan masker kain. Masker kain sebagai barang substitusi mampu
menggeser kurva permintaan, dan pada waktu yang bersamaan pemerintah menambah supply masker medik dengan sistem impor.
Penimbun masker medik dan hand sanitizier merugi. Berita ini sudah
banyak dibicarakan baik di sosial media maupun media online. Kabarnya, kerugian mencapai miliaran rupiah. Motif
spekulasi yang bertujuan mendapatkan keuntungan yang tinggi malah berujung
merugi.
Jika kita menilik agak jauh ke
belakang, kisah harga masker yang meroket dan kembali normal dalam waktu yang
tidak cukup lama mempunyai kemiripan dengan kisah tanaman fenomenal “gelombang
cinta”. Beberapa tahun lalu tanaman yang dikenal juga dengan sebutan Anthurium
ini sempat sangat popular. Semua orang jatuh cinta dan ingin menanamnya di
rumah. Bahkan, harga satu pot tanaman ini bisa sampai miliaran rupiah. Bergulirnya
waktu, harga Gelombang Cinta ternyata bukannya makin melejit, namun sebaliknya.
Bukan cuma tidak sepopuler dulu, harga jual tanaman ini pun jatuh.
Fenomena Gelombang Cinta pada
tahun 2007 memang di luar ekspektasi. Menurut Ir. Debora Herlina MS, seorang
fisiologi tanaman hias, harga fantastis Gelombang Cinta bukan dibangun oleh
kondisi natural pasar, melainkan skenario bisnis yang sudah disiapkan oleh
sekelompok pedagang dengan tujuan mencari keuntungan yang besar dengan
membangun pasar Anthurium yang fenomenal. Namun,mudahnya mengembangbiakkan
tanaman ini justru membuatnya tidak lagi eksklusif, sehingga harga tanaman ini
jatuh di pasaran.
Kisah masker dan Anthurium memang
tidak persis sama mengingat motif yang mendasari adalah berbeda, namun ada
beberapa hal yang bisa kita jadikan pelajaran.
1.
Pasar akan selalu dinamis, harga keseimbangan
(equilibrium) akan terus berubah seiring perubahan pada kurva permintaan dan
penawaran.
2.
Bahwa barang-barang yang memang secara riil
tidak membutuhkan biaya produksi yang cukup besar dan atau barang-barang
musiman pada akhirnya akan kembali ke keseimbangan harga. Pembeli dapat membeli
barang dengan wajar, dan penjual/produsen tetap mendapatkan untung dari apa
yang dibuat.
3. Motif spekulasi tidak efektif dilakukan pada
barang-barang yang secara riil tidak bisa dijadikan investasi (bernilai rendah
seperti masker). Umumnya motif spekulasi dilakukan pada emas dan properti.
Belakangan ini, dalam masa transisi “new normal”, bersepeda menjadi trend baru di masyarakat. Mungkinkah sepeda akan menjadi fenomena baru seperti Anthurium dan atau masker?
(Oleh Corry Wulandari, Pelaksana Seksi Informasi Kanwil DJKN Bali Nusra)