Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bekasi > Artikel
Penerapan Analisis HBU Dalam Evaluasi Kinerja Aset, Untuk Pengelolaan BMN Yang Lebih Baik
Asnul
Jum'at, 27 November 2020   |   2724 kali

Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai pengelola Kekayaan negara   memiliki berbagai upaya dan solusi  untuk pemanfaatan Barang Milik Negara(BMN) dengan optimal.Salah satu alternatif bentuk pemanfaatan komersial dapat dilakukan dengan menerapkan analisis terpisah atas aset tersebut. Bentuk dari analisis terpisah yang  tepat dan memadai adalah analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (Highest and Best Use/HBU) dan  optimalisasi pengelolaan BMN melalui pelaksanaan evaluasi kinerja aset atau yang lebih dikenal dengan portofolio aset.

 

Peran DJKN amatlah penting dalam mengelola kekayaan negara. Terlebih, saat ini DJKN turut memposisikan perannya sebagai revenue center, yakni menjadi penggerak Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam pengelolaan kekayaan negara. Bukan sekedar besaran rupiah yang dihasilkan tentunya, namun juga kebermanfaatan dan optimalisasi yang turut dikedepankan.


Berbagai langkah telah dijalankan. Salah satunya adalah optimalisasi pengelolaan BMN melalui pelaksanaan evaluasi kinerja aset atau yang lebih dikenal dengan portofolio aset. DJKN telah menuangkannya dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.06/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.06/2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Barang Milik Negara, tepatnya pada Pasal 41A ayat (1) yang menyatakan bahwa Pengelola Barang melakukan evaluasi kinerja BMN sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Petunjuk teknis pelaksanaan evaluasi kinerja BMN diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 349/KM.6/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Barang Milik Negara.


Evaluasi kinerja ini dilakukan dengan mengukur kinerja aset untuk mengetahui apakah kinerja aset telah memadai dan memberikan dampak pada pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintahan. Hasil portofolio aset dituangkan dalam bentuk rekomendasi pengelolaan aset yang selanjutnya akan digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah yang tepat guna efisiensi, efektivitas dan optimalisasi aset.


Pengukuran dilakukan dengan menggunakan 6 (enam) indikator yaitu Indikator Kepentingan Umum, Indikator Manfaat Sosial, Indikator Tingkat Kepuasan Pengguna, Indikator Potensi Penggunaan di Masa Depan, Indikator Kelayakan Finansial, dan Indikator Kondisi Teknis. Dalam hal sebagian besar atau bahkan keseluruhan indikator menunjukkan hasil yang optimal maka rekomendasi atas aset tersebut adalah mempertahankan peruntukan dengan tetap melakukan pemeliharaan rutin.


Di sisi lain, apabila sebagian besar atau bahkan keseluruhan indikator menunjukkan hasil yang tidak optimal maka rekomendasi atas aset tersebut adalah mengubah peruntukan aset hingga menyerahkan kepada Pengelola Barang, dalam hal ini Menteri Keuangan c.q. DJKN, agar dapat dioptimalkan penggunaannya.


Setelah adanya rekomendasi, isu strategis selanjutnya adalah tindak lanjut atas rekomendasi tersebut. Pengelola Barang dapat mengambil peran dalam tindak lanjut evaluasi kinerja aset ini dengan memberikan alternatif-alternatif bentuk pemanfaatan yang sesuai, khususnya atas rekomendasi berupa perubahan peruntukan untuk optimalisasi aset. Sesuai dengan perannya sebagai revenue center, bentuk pemanfaatan aset dapat berupa pengembangan secara komersial untuk menghasilkan PNBP. Penentuan alternatif bentuk pemanfaatan komersial dapat dilakukan dengan menerapkan analisis terpisah atas aset tersebut. Bentuk dari analisis terpisah yang dirasa paling tepat dan memadai adalah analisis penggunaan tertinggi dan terbaik (Highest and Best Use/HBU) sebagaimana tersebut di atas.


Stephen F. Fanning dalam Market Analysis for Real Estate: Concepts and Applications in Valuation and Highest and Best Use, 2005, menyebutkan bahwa HBU adalah penggunaan yang secara wajar dimungkinkan dan dari segi hukum diizinkan dari sebidang tanah kosong atau properti yang telah dikembangkan, secara fisik dimungkinkan, didukung secara memadai, layak secara finansial, dan menghasilkan nilai tertinggi.


Analisis HBU sangat tepat diterapkan dalam optimalisasi aset. Analisis HBU bertujuan untuk mengetahui penggunaan lahan terbaik yang dapat menghasilkan nilai yang paling optimal. Analisis ini dapat diterapkan pada aset berupa tanah kosong maupun yang sudah terdapat bangunan di atasnya. Aspek yang dianalisis mencakup aspek legalitas, aspek fisik, aspek finansial dan aspek produktivitas maksimal. Sebuah aset dinyatakan memenuhi kriteria HBU apabila dimungkinkan secara fisik, diizinkan secara peraturan, layak secara finansial, dan dapat memberikan hasil yang paling maksimal.


Aspek pertama yang dianalisis adalah kelayakan secara fisik. Kelayakan secara fisik ini berkaitan dengan kelayakan pendirian suatu properti tertentu pada suatu bidang tanah dengan turut mempertimbangkan karakteristik tanah, aksesibilitas, ketersediaan sarana  publik dan lain sebagainya. Sebagai contoh pendirian mal tidak seharusnya dilakukan pada suatu bidang tanah yang berada di daerah yang sepi dan terisolir atau contoh lain adalah pendirian hotel berbintang di lokasi yang sulit dijangkau dan sepi penduduk. Pengembangan properti yang tidak memperhitungkan aspek ini dapat menyebabkan properti yang dihasilkan menjadi tidak optimal.


Aspek kedua adalah kelayakan secara peraturan yakni berkaitan dengan pemenuhan atas ketentuan yang ada seperti aturan terkait zonasi/peruntukan tanah, KDB (Koefisisen Dasar Bangunan), KLB (Koefisisen Luas Bangunan), ketinggian maksimal bangunan dan ketentuan lain terkait Rencana Umum Tata Ruang/Wilayah (RUTR/W).


Selanjutnya adalah aspek kelayakan finansial yang mengacu pada potensi pengembangan yang dapat memberikan keuntungan atau pendapatan bersih (net income) yang positif. Analisis dilakukan dengan membuat sebuah proyeksi perhitungan Net Operation Income/NOI beberapa tahun ke depan dengan mempertimbangkan pendapatan potensial, biaya operasional/operating cost dan tingkat pengembalian (discount rate/capitalization rate). NOI diperoleh dari pengurangan pendapatan potensial dengan biaya operasional/operating cost. Nilai yang dihasilkan selanjutnya dikalikan dengan faktor diskonto yang diperoleh formula perhitungan 1/((1 + i)n), di mana i adalah tingkat pengembalian (discount rate/capitalization rate), sedangkan n merujuk pada tahun perhitungan.  


Pada akhir periode, diperhitungkan pula terminal value dengan mengalikan NOI tahun terakhir proyeksi dengan faktor diskonto. Formula perhitungan faktor diskonto pada terminal value adalah (1 + g)/(i - g), di mana g adalah tingkat pertumbuhan dan i adalah tingkat pengembalian (discount rate/capitalization rate). NOI yang diperoleh selanjutnya dapat disebut Net Present Value/NPV yakni nilai kini dari pendapatan operasional bersih di tahun-tahun mendatang. Secara keseluruhan, formula perhitungan menjadi:

NPV = NOI1/((1 + i)1) + NOI2/((1 + i)2) + … + NOIt/((1 + i)t) + (NOItv (1 + g))/(i – g)

Keterangan:

NI        = Net Operating Income / Pendapatan Operasional Bersih

tv         = terminal value

i           = tingkat pengembalian (discount rate/capitalization rate)

g          = growth / tingkat pertumbuhan

NPV yang positif mengindikasikan bahwa pengembangan atas suatu aset layak secara finansial.


Aspek keempat yang dianalisis adalah aspek produktivitas maksimal. Dalam hal ini, apabila terdapat beberapa alternatif bentuk pemanfaatan, maka dipilih alternatif yang menunjukkan parameter finansial yang paling baik. Parameter finansial tersebut meliputi Net Present Value/NPV, Internal Rate of Return (IRR), Payback Period (PP), Return on Investment (ROI) dan Benefit Cost Ratio. Adapun kriteria parameter finansial yang baik adalah sebagai berikut:

 

 

No.

Parameter Finansial

Kriteria Parameter Finansial Yang Baik

1.

Net Present Value/NPV

NPV positif

2.

Internal Rate of Return (IRR) : tingkat pengembalian dari suatu investasi

IRR > i atau discount rate

3.

Payback Period (PP) : waktu yang dibutuhkan suatu investasi untuk mencapai Break Event Point/BEP

PP yang kecil menunjukkan kelayakan finansial yang baik

4.

Return on Investment (ROI) : tingkat profitabilitas suatu investasi

ROI yang besar menunjukkan kelayakan finansial yang baik

5.

Benefit Cost Ratio : Rasio keuntungan dan biaya

BCR > 1

 

Dalam analisis HBU ini, pada umumnya dilakukan analisis atas kelayakan secara fisik dan peraturan terlebih dahulu. Apabila telah memenuhi kedua aspek tersebut, analisis dilanjutkan pada kelayakan finansial dan produktivitas maksimal. Dengan demikian, output berupa rekomendasi yang dihasilkan nantinya merupakan representasi atas pemenuhan seluruh aspek, yakni aspek fisik, aspek hukum, aspek finansial dan aspek produktivitas maksimal. Analisis HBU membutuhkan kajian yang mendalam dan terperinci. Dalam melakukan analisis ini, diperlukan data yang akurat dan dukungan informasi yang memadai. Data dan informasi ini layaknya pondasi beton bagi terlaksananya analisis HBU. Tanpanya, analisis HBU tidak akan dapat menghasilkan output yang baik. 


Penerapan analisis HBU ini menekankan pada pemanfaatan secara komersial. Namun demikian, dalam menentukan alternatif-alternatif bentuk pemanfaatan suatu aset perlu didukung pula dengan hasil pengamatan/survei lapangan. Situasi sekeliling aset dan kondisi aset tentu akan menjadi masukan yang sangat berarti. Alternatif-alternatif bentuk pemanfaatan tentunya harus menyesuaikan situasi dan kondisi di lapangan.


Selain itu, dalam hal bentuk pemanfaatan aset adalah pengembangan nonkomersial, perlu disesuaikan dengan kebutuhan satker selaku pengguna aset. Kebutuhan satker tentu perlu diprioritaskan karena aset tersebut sejatinya ditujukan memang untuk memenuhi kebutuhan satker dalam mendukung tusinya. Sebagai contoh satker A memiliki aset bangunan kantor yang tidak digunakan, sementara di sisi lain, satker tersebut membutuhkan bangunan rumah negara. Atas hal ini, pemanfaatan aset dapat diarahkan sebagai rumah negara, tentunya dengan tetap memastikan terpenuhinya aspek fisik dan legal serta perubahan pencatatan atas aset tersebut.


Apabila evaluasi kinerja aset ini dilaksanakan dengan baik termasuk tindak lanjutnya, pastinya ironi atas terbengkalainya aset negara dapat diantisipasi dan selanjutnya akan mendukung terwujudnya good governance dengan pengelolaan aset yang lebih baik. Tentunya membutuhkan proses untuk mewujudkannya. DJKN pun tak mungkin dapat bergerak sendiri. Dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, baik satker maupun instansi dan pihak terkait lainnya. Namun yang pasti, dibutuhkan komitmen dari semua pihak untuk mendukung dan bergerak mengelola  BMN dengan tertib, terarah, dan akuntabel.

 

 

 

Penulis: Betta Desirani

Editor : Tim Humas KPKNL Bekasi

 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini