Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bekasi > Artikel
Peran Strategis DJKN Dan Pemanfaatan Barang Milik Negara Pasca Revisi Regulasi
Asnul
Selasa, 07 Juli 2020   |   1242 kali

Pemerintah telah melakukan revisi terhadap regulasi tentang pengelolaan Barang Milik Negara (BMN). Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PP 27/2014), sedangkan hasil revisinya diberlakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PP 28/2020).  Berbagai ketentuan baru diakomodir dalam PP 28/2020 dan baik secara langsung maupun tidak berimplikasi pada keseluruhan siklus pengelolaan Barang Milik Negara (BMN). Salah satu tahapan dalam siklus pengelolaan BMN, sebagaimana menjadi fokus dalam tulisan ini, yang mengalami revisi adalah Pemanfaatan BMN. Menurut PP 28/2020, diperkenalkan satu mekanisme baru dalam Pemanfaatan BMN, yaitu Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur.

Selain berimplikasi terhadap proses pengelolaan BMN, revisi PP 27/2014 juga, baik secara langsung maupun tidak, akan memberi dampak secara institusional bagi DJKN sebagai instansi Pemerintah yang salah satu tugas pokoknya adalah melakukan pengelolaan BMN. Dalam kaitannya dengan mekanisme Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur, menarik untuk melihat kembali bagaimana peran DJKN pasca revisi PP 27/2014, karena berkaitan dengan pembangunan infrastruktur yang memiliki peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Tulisan berikut hendak menjabarkan hal-hal sebagaimana telah disinggung tersebut.

 

KERJA SAMA TERBATAS UNTUK PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAN PENGATURANNYA

Mekanisme yang kemudian diformalkan dalam PP 28/2020 dengan tema Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur ini telah dikaji sejak tahun 2017 oleh Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Pada awal penyusunannya, KPIP memperkenalkan mekanisme dengan istilah Hak Pengelolaan Terbatas (HPT)/Limited Concession Scheme (LCS) dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan pembangunan pada anggaran Pemerintah mengingat bahwa anggaran Pemerintah masih perlu dialokasikan untuk berbagai sektor non-infrastruktur seperti kesehatan dan pendidikan.

Kemudian pada tahun 2018, KPPIP telah menyusun Rancangan Peraturan Presiden yang hendak dijadikan landasan hukum untuk memberlakukan skema HPT tersebut. Skema yang disusun oleh KPPIP tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa mekanisme tersebut diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2020 tentang Pembiayaan Infrastruktur Melalui Hak Pengelolaan Terbatas (Perpres 32/2020). Dalam Perpres 32/2020, mekanisme HPT atas Aset Infrastruktur didefinisikan sebagai optimalisasi Barang Milik Negara dan/atau aset Badan Usaha Milik Negara untuk meningkatkan fungsi operasional Barang Milik Negara dan/atau aset Badan Usaha Milik Negara guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur. Perpres 32/2020 ini mengatur mekanisme HPT secara luas, yaitu terhadap BMN maupun aset milik BUMN.

Terakhir, mekanisme HPT khusus terhadap BMN diakomodir dan diatur dalam PP 28/2020 sebagai salah satu bentuk Pemanfaatan BMN. Dalam PP 28/2020, digunakan istilah Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur dengan definisinya yaitu optimalisasi Barang Milik Negara untuk meningkatkan fungsi operasional Barang Milik Negara guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur lainnya. Sehingga saat ini ragam bentuk Pemanfaatan BMN melingkupi Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah, Bangun Serah Guna, Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur, dan Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur.

Sebagai mekanisme yang baru diperkenalkan dalam PP 28/2020, HPT memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dengan mekanisme-mekanisme Pemanfaatan BMN lainnya. Salah satu karakteristik yang secara prinsip berbeda adalah mitra kerja sama menyetorkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pemanfaatan BMN kepada BLU sekaligus di awal. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2020 yang menyatakan bahwa Badan Usaha Pengelola Aset harus telah menyetorkan seluruh dana hasil pengelolaan aset BMN ke dalam rekening BLU, paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah Badan Usaha Pengelola Aset menandatangani perjanjian Pengelolaan Aset. Selain itu, sesuai dengan definisi yang tercantum dalam PP 28/2020, pendapatan dari skema Pemanfaatan BMN berupa HPT hanya dapat digunakan untuk keperluan pembiayaan penyediaan infrastruktur lainnya, bukan untuk keperluan lain.

 

BADAN LAYANAN UMUM (BLU) HAK PENGELOLA TANGGUNGAN (HPT) SEBAGAI SPECIAL MISSION VEHICLE

Pelaksanaan mekanisme HPT/LCS, baik menurut PP 28/2020 maupun Perpres 32/2020, dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU). Hal ini diatur dalam Pasal 41A ayat (3) PP 28/2020 yang berbunyi, ”Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Badan Layanan Umum yang dibentuk oleh Pengelola Barang.” Selanjutnya Pasal 1 angka 7 Perpres 32/2020 menetapkan bahwa BLU yang dimaksud adalah Badan Layanan Umum yang bertugas mengelola BMN pada Pengelola Barang berupa aset infrastruktur dan mengelola pendanaan hasil Pengelolaan Aset BMN.

Meskpun hingga saat tulisan ini dibuat belum ditentukan apakah akan dibentuk BLU baru atau menunjuk BLU yang telah eksis yang akan melaksanakan kebijakan HPT ini, namun satu hal yang pasti adalah bahwa BLU ini nantinya akan melaksanakan sebuah tugas dan fungsi strategis Kementerian Keuangan dalam rangka pembiayaan dan penyediaan infrastruktur. Nilai strategis pelaksanaan kebijakan HPT ini akan menjadikan BLU yang bersangkutan mengemban misi khusus Kementerian Keuangan, yang selama ini dikenal dengan konsep Special Mission Vehicles (SMV).

Saat ini terdapat delapan (8) SMV di bawah Kementerian Keuangan. Empat diantaranya merupakan BUMN, yaitu PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI), PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT. PII), PT. Sarana Multiguna Finansial (PT. SMF), serta PT. Geo Dipa. Tiga SMV lainnya merupakan BLU, yaitu Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), serta Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Sementara satu SMV lainnya merupakan sebuah Lembaga, yaitu Lembaga Pengelola Ekspor dan Impor (LPEI). Dengan diakomodirnya mekanisme HPT yang akan dilaksanakan oleh BLU maka Pemanfaatan BMN akan memiliki peran strategis dalam pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan dan berbagai misi khususnya yang saat ini telah dioperasionalisasikan oleh SMV.

 

DJKN DAN VISI EKONOMI INDONESIA

Visi Kementerian Keuangan selengkapnya berbunyi, ”Menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia yang produktif, kompetitif, inklusif, dan berkeadilan di abad ke-21.” Sedangkan menurut Asian Development Bank (ADB), terdapat hubungan antara infrastruktur dengan terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Menurut ADB hal ini dikarenakan infrastruktur dapat menstimulasi aktivitas ekonomi yang pada gilirannya akan membuka lapangan perkerjaan bagi masyarakat, selanjutnya tersedianya infrastruktur juga dapat meningkatkan konektivitas antar wilayah yang akan mengurangi biaya transportasi. ADB juga menyatakan bahwa ketersediaan infrastruktur akan meningkatkan akses masyarakat terhadap fasilitas-fasilitas kunci yang pada nantinya akan membantu masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan.

Sedangkan menurut Negara (2013) upaya mewujudkan pembangunan yang inklusif membutuhkan peran Pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang memadai agar kesempatan ekonomi dapat terdistribusi merata ke berbagai pelosok wilayah di Indonesia. Selain infrastruktur, peran Pemerintah juga dibutuhkan untuk menyediakan jaminan/jaring pengaman sosial yang memadai untuk mengurangi dampak dari gejolak ekonomi. Adanya jaring pengaman sosial ini dapat menjamin kebutuhan hidup minimum bagi masyarakat miskin.

Berkaitan dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan, OECD (2018) menetapkan terdapat 3 (tiga) aksi kebijakan yang dapat dilakukan Pemerintah. Pertama, berinvestasi pada masyarakat dan tempat yang selama ini tertinggal, di mana salah satu bentuknya adalah dengan membangun infrastruktur. Kedua, mendukung kegiatan bisnis yang dinamis dan pasar tenaga kerja yang inklusif. Terakhir, membangun Pemerintahan yang efisien dan responsif.

Berdasarkan berbagai studi tersebut, maka pasca diberlakukannya PP 28/2020 yang mengakomodir skema HPT dalam penyediaan infrastruktur, DJKN memiliki peran strategis dan penting dalam merealisasikan visi Kementerian Keuangan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat bahwa pengelolaan BMN merupakan kompetensi DJKN, dan dalam pelaksanaan skema HPT Pengguna Barang menyerahkan BMN kepada Pengelola Barang sebagaimana diatur dalam Pasal 41A ayat (2) PP 28/2020. Dengan demikian, berlakunya PP 28/2020 menjadikan DJKN memegang peranan penting dan strategis dalam proses pelaksanaan skema HPT guna pembiayaan infrastruktur yang pada gilirannya penyediaan infrastruktur tersebut akan mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Dengan demikian, pasca revisi PP 27/2014 dan diberlakukannya PP 28/2020, Pemanfaatan BMN memiliki peran strategis sebagai manifestasi pelaksanaan misi khusus Kementerian Keuangan dalam penyediaan infrastruktur melengkapi berbagai SMV yang saat ini telah eksis. Sedangkan secara institusional, DJKN berperan penting dan strategis dalam pelaksanaan skema HPT guna pembiayaan infrastruktur yang dapat mendukung realisasi visi Kementerian Keuangan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

 

 

 

RUJUKAN

 

Asian Development Bank, 2012, Infrastructure for Supporting Inclusive Growth and Poverty Reduction in Asia.

 

KPPIP, 2018, Laporan KPPIP Periode Januari-Juni 2018.

 

OECD, 2018, The Framework for Policy Action on Inclusive Growth.

 

Siwage Dharma Negara, 2013, Membangun Perekonomian Indonesie yang Inklusif dan Berkelanjutan, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 39. No. 1, Juni 2013.

 

 

 

   

Penulis: Hadyan Iman Prasetya & Aska Cardima (OJT KPKNL Bekasi)

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini