Pemerintah
telah melakukan revisi terhadap regulasi tentang pengelolaan Barang Milik Negara
(BMN). Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PP 27/2014), sedangkan hasil
revisinya diberlakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (PP
28/2020). Berbagai ketentuan baru diakomodir dalam PP 28/2020 dan baik secara
langsung maupun tidak berimplikasi pada keseluruhan siklus pengelolaan Barang
Milik Negara (BMN). Salah satu tahapan dalam siklus pengelolaan BMN,
sebagaimana menjadi fokus dalam tulisan ini, yang mengalami revisi adalah Pemanfaatan
BMN. Menurut PP 28/2020, diperkenalkan satu mekanisme baru dalam Pemanfaatan
BMN, yaitu Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur.
Selain
berimplikasi terhadap proses pengelolaan BMN, revisi PP 27/2014 juga, baik
secara langsung maupun tidak, akan memberi dampak secara institusional bagi
DJKN sebagai instansi Pemerintah yang salah satu tugas pokoknya adalah
melakukan pengelolaan BMN. Dalam kaitannya dengan mekanisme Kerja Sama Terbatas
Untuk Pembiayaan Infrastruktur, menarik untuk melihat kembali bagaimana peran
DJKN pasca revisi PP 27/2014, karena berkaitan dengan pembangunan infrastruktur
yang memiliki peran penting dalam mewujudkan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Tulisan berikut hendak menjabarkan hal-hal sebagaimana telah disinggung tersebut.
KERJA
SAMA TERBATAS UNTUK PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR DAN PENGATURANNYA
Mekanisme
yang kemudian diformalkan dalam PP 28/2020 dengan tema Kerja Sama Terbatas
Untuk Pembiayaan Infrastruktur ini telah dikaji sejak tahun 2017 oleh Komite
Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP). Pada awal penyusunannya,
KPIP memperkenalkan mekanisme dengan istilah Hak Pengelolaan Terbatas (HPT)/Limited
Concession Scheme (LCS) dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan
pembangunan pada anggaran Pemerintah mengingat bahwa anggaran Pemerintah masih
perlu dialokasikan untuk berbagai sektor non-infrastruktur seperti kesehatan
dan pendidikan.
Kemudian pada tahun 2018, KPPIP telah menyusun Rancangan Peraturan Presiden yang hendak dijadikan landasan hukum untuk memberlakukan skema HPT tersebut. Skema yang disusun oleh KPPIP tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Perkembangan
selanjutnya menunjukkan bahwa mekanisme tersebut diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 32 Tahun 2020 tentang Pembiayaan Infrastruktur Melalui Hak
Pengelolaan Terbatas (Perpres 32/2020). Dalam Perpres 32/2020, mekanisme HPT
atas Aset Infrastruktur didefinisikan sebagai optimalisasi Barang Milik Negara
dan/atau aset Badan Usaha Milik Negara untuk meningkatkan fungsi operasional
Barang Milik Negara dan/atau aset Badan Usaha Milik Negara guna mendapatkan
pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur. Perpres 32/2020 ini
mengatur mekanisme HPT secara luas, yaitu terhadap BMN maupun aset milik BUMN.
Terakhir,
mekanisme HPT khusus terhadap BMN diakomodir dan diatur dalam PP 28/2020
sebagai salah satu bentuk Pemanfaatan BMN. Dalam PP 28/2020, digunakan istilah
Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur dengan definisinya yaitu optimalisasi
Barang Milik Negara untuk meningkatkan fungsi operasional Barang Milik Negara
guna mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan penyediaan infrastruktur lainnya.
Sehingga saat ini ragam bentuk Pemanfaatan BMN melingkupi Sewa, Pinjam Pakai,
Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah, Bangun Serah Guna, Kerja Sama
Penyediaan Infrastruktur, dan Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan
Infrastruktur.
Sebagai
mekanisme yang baru diperkenalkan dalam PP 28/2020, HPT memiliki karakteristik
yang khas yang membedakannya dengan mekanisme-mekanisme Pemanfaatan BMN lainnya.
Salah satu karakteristik yang secara prinsip berbeda adalah mitra kerja sama
menyetorkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pemanfaatan BMN kepada BLU
sekaligus di awal. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Presiden Nomor 32
Tahun 2020 yang menyatakan bahwa Badan Usaha Pengelola Aset harus telah
menyetorkan seluruh dana hasil pengelolaan aset BMN ke dalam rekening BLU,
paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah Badan Usaha Pengelola
Aset menandatangani perjanjian Pengelolaan Aset. Selain itu, sesuai dengan
definisi yang tercantum dalam PP 28/2020, pendapatan dari skema Pemanfaatan BMN
berupa HPT hanya dapat digunakan untuk keperluan pembiayaan penyediaan
infrastruktur lainnya, bukan untuk keperluan lain.
BADAN
LAYANAN UMUM (BLU) HAK PENGELOLA TANGGUNGAN (HPT) SEBAGAI SPECIAL MISSION
VEHICLE
Pelaksanaan
mekanisme HPT/LCS, baik menurut PP 28/2020 maupun Perpres 32/2020, dilakukan
oleh Badan Layanan Umum (BLU). Hal ini diatur dalam Pasal 41A ayat (3) PP
28/2020 yang berbunyi, ”Kerja Sama Terbatas Untuk Pembiayaan Infrastruktur
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Badan Layanan Umum yang
dibentuk oleh Pengelola Barang.” Selanjutnya Pasal 1 angka 7 Perpres 32/2020
menetapkan bahwa BLU yang dimaksud adalah Badan Layanan Umum yang bertugas
mengelola BMN pada Pengelola Barang berupa aset infrastruktur dan mengelola
pendanaan hasil Pengelolaan Aset BMN.
Meskpun
hingga saat tulisan ini dibuat belum ditentukan apakah akan dibentuk BLU baru
atau menunjuk BLU yang telah eksis yang akan melaksanakan kebijakan HPT ini,
namun satu hal yang pasti adalah bahwa BLU ini nantinya akan melaksanakan
sebuah tugas dan fungsi strategis Kementerian Keuangan dalam rangka pembiayaan
dan penyediaan infrastruktur. Nilai strategis pelaksanaan kebijakan HPT ini
akan menjadikan BLU yang bersangkutan mengemban misi khusus Kementerian
Keuangan, yang selama ini dikenal dengan konsep Special Mission Vehicles (SMV).
Saat
ini terdapat delapan (8) SMV di bawah Kementerian Keuangan. Empat diantaranya
merupakan BUMN, yaitu PT. Sarana Multi Infrastruktur (PT. SMI), PT. Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (PT. PII), PT. Sarana Multiguna Finansial (PT. SMF), serta
PT. Geo Dipa. Tiga SMV lainnya merupakan BLU, yaitu Lembaga Manajemen Aset
Negara (LMAN), Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), serta Pusat Investasi Pemerintah
(PIP). Sementara satu SMV lainnya merupakan sebuah Lembaga, yaitu Lembaga Pengelola
Ekspor dan Impor (LPEI). Dengan diakomodirnya mekanisme HPT yang akan
dilaksanakan oleh BLU maka Pemanfaatan BMN akan memiliki peran strategis dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan dan berbagai misi khususnya
yang saat ini telah dioperasionalisasikan oleh SMV.
DJKN
DAN VISI EKONOMI INDONESIA
Visi
Kementerian Keuangan selengkapnya berbunyi, ”Menjadi penggerak utama
pertumbuhan ekonomi Indonesia yang produktif, kompetitif, inklusif, dan
berkeadilan di abad ke-21.” Sedangkan menurut Asian Development Bank (ADB),
terdapat hubungan antara infrastruktur dengan terwujudnya pertumbuhan ekonomi
yang inklusif. Menurut ADB hal ini dikarenakan infrastruktur dapat menstimulasi
aktivitas ekonomi yang pada gilirannya akan membuka lapangan perkerjaan bagi
masyarakat, selanjutnya tersedianya infrastruktur juga dapat meningkatkan
konektivitas antar wilayah yang akan mengurangi biaya transportasi. ADB juga
menyatakan bahwa ketersediaan infrastruktur akan meningkatkan akses masyarakat
terhadap fasilitas-fasilitas kunci yang pada nantinya akan membantu masyarakat
dalam mengentaskan kemiskinan.
Sedangkan
menurut Negara (2013) upaya mewujudkan pembangunan yang inklusif membutuhkan
peran Pemerintah untuk menyediakan infrastruktur yang memadai agar kesempatan ekonomi
dapat terdistribusi merata ke berbagai pelosok wilayah di Indonesia. Selain
infrastruktur, peran Pemerintah juga dibutuhkan untuk menyediakan jaminan/jaring
pengaman sosial yang memadai untuk mengurangi dampak dari gejolak ekonomi.
Adanya jaring pengaman sosial ini dapat menjamin kebutuhan hidup minimum bagi
masyarakat miskin.
Berkaitan
dengan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan, OECD (2018)
menetapkan terdapat 3 (tiga) aksi kebijakan yang dapat dilakukan Pemerintah.
Pertama, berinvestasi pada masyarakat dan tempat yang selama ini tertinggal, di
mana salah satu bentuknya adalah dengan membangun infrastruktur. Kedua,
mendukung kegiatan bisnis yang dinamis dan pasar tenaga kerja yang inklusif.
Terakhir, membangun Pemerintahan yang efisien dan responsif.
Berdasarkan
berbagai studi tersebut, maka pasca diberlakukannya PP 28/2020 yang mengakomodir
skema HPT dalam penyediaan infrastruktur, DJKN memiliki peran strategis dan
penting dalam merealisasikan visi Kementerian Keuangan sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat bahwa pengelolaan
BMN merupakan kompetensi DJKN, dan dalam pelaksanaan skema HPT Pengguna Barang
menyerahkan BMN kepada Pengelola Barang sebagaimana diatur dalam Pasal 41A ayat
(2) PP 28/2020. Dengan demikian, berlakunya PP 28/2020 menjadikan DJKN memegang
peranan penting dan strategis dalam proses pelaksanaan skema HPT guna
pembiayaan infrastruktur yang pada gilirannya penyediaan infrastruktur tersebut
akan mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkeadilan, dan
berkelanjutan.
Dengan
demikian, pasca revisi PP 27/2014 dan diberlakukannya PP 28/2020, Pemanfaatan
BMN memiliki peran strategis sebagai manifestasi pelaksanaan misi khusus
Kementerian Keuangan dalam penyediaan infrastruktur melengkapi berbagai SMV
yang saat ini telah eksis. Sedangkan secara institusional, DJKN berperan penting
dan strategis dalam pelaksanaan skema HPT guna pembiayaan infrastruktur yang
dapat mendukung realisasi visi Kementerian Keuangan untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan.
RUJUKAN
Asian
Development Bank, 2012, Infrastructure for Supporting Inclusive Growth and
Poverty Reduction in Asia.
KPPIP,
2018, Laporan KPPIP Periode Januari-Juni 2018.
OECD,
2018, The Framework for Policy Action on Inclusive Growth.
Siwage
Dharma Negara, 2013, Membangun Perekonomian Indonesie yang Inklusif dan
Berkelanjutan, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 39. No. 1, Juni 2013.
Penulis:
Hadyan Iman Prasetya & Aska Cardima (OJT KPKNL Bekasi)