Melalui
Film Kapten Marvel, nampaknya Marvel Cinema Universal (MCU) menyuguhkan cerita
“bridging” agar sosok penikmat film Production House tersebut mengetahui
kemampuan Kapten Marvel yang nantinya akan menjadi Sang Pahlawan dalam melawan kedigdayaan Sang THANOS. Namun uniknya,
“bridging” yang disampaikan MCU
begitu “out of the box” mendobrak,
mendekonstruksi tatanan pemahaman sosial terkait Sang Pahlawan yang biasanya dipahami oleh masyarakat sebagai sosok jenis
kelamin Laki-laki, seperti yang Penulis akan paparkan dalam resensi ini.
Dalam
konstruksi sosial kehidupan sekarang, posisi kepahlawanan dalam kesadaran
kolektif manusia selalu identik dengan sosok maskulinitas, atau jenis kelamin laki-laki.
Terkadang, pahlawan-pahlawan yang berbeda jenis kelamin dalam benak konstruksi
sekarang selalu kurang diapresiasi sebagai peran “sentral” dalam membawa perubahan
sosial (agent of social change).
Dengan
kata lain, dalam ruang konstruksi cinema pun, mungkin tidak akan “bias gender”,
dimana sosok pahlawan selalu identik dengan laki-laki, seperti sosok Dragon
Ball, Samurai X, Kapten America, Thor, Iron Man, Superman, Batman, dan
sebagainya, kali ini Avanger terkuat di Marvel adalah seorang perempuan. Tentu
saja, anggapan ini mengalami dekonstruksi, alias pembongkaran isu, dimana
kondisi Sang Pahlawan tidak lagi berwajah maskulin, gagah, dan menyeramkan,
tapi saat ini Sang Pahlawan tersebut berubah paradigma menjadi sosok
kelembutan, penuh pesona, dan sangat perhatian dengan inner beauty-nya dalam
menyentuh semesta.
Adalah
Kapten Marvel, yang sudah lama menjadi nama Marvel
Entertaiment Corporation atau Marvel
Cinematic Universe (MCU) asal Prodution
House (PH) nya Hollywood yang concern
di dunia cinema khusus adventure, science fiction, action dan
kepahlawanan. Dalam film yang dirilis
tanggal 8 Maret 2019, yang juga bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan
Internasional 2019 (International Woman’s Day 2019), tentu saja film Kapten
Marvel memiliki pesan-pesan tersendiri dalam mendudukan orientasi perempuan
dalam kancah kepahlawanan.
Kapten
Marvel adalah seorang mantan pilot Pesawat Tempur bernama Carol Danvers yang
memiliki kekuatan super pasca mengalami sebuah “kecelakaan” ketika Carol bergabung
dalam sebuah misi tim luar angkasa bernama Starforce. Suguhan film ini flash back menggambarkan cuplikan momen nostalgia sang Kapten saat
bertugas sebagai pilot, termasuk juga masa kecilnya di tahun 90an. Misi
penerbangan tersebut kandas setelah gelapnya langit malam hari, Starforce menembus atmosfer bumi,
terbakar, dan terjatuh ke atap sebuah gedung. Namun kecelakaan tersebut membawa
Carol membuka tabir yang dibawa oleh Sosok wanita tua yang ber-camouflage menjadi manusia bumi yang sebenarnya men-decoy inti energy Skrulls sebagai media
teknologi peniru hingga level DNA. Apabila
membahas mengenai kekuatan sosok wanita tua tersebut, tidak hanya memiliki Photon Energy Blast, namun juga memiliki
kekuatan penyembuhan diri dan dapat merasakan bahaya yang jaraknya sampai luar angkasa.
Skrulls sebenarnya dalam serial televisi
Agents of S.H.I.E.L.D sudah di-release,
karena dalam serial tersebut sering menggambarkan lebih tajam terkait film-film
The Marvel. Uniknya, dalam serial film
itu, Skrulls dikenal sebagai karakter penjahat paling kejam namun dalam film
Kapten Marvel ini, sosok Skrulls menjadi objek bulan-bulanan Yon Rogg. Yon Rogg
diperankan oleh Jude Law, actor berkebangsaan Inggris yang juga pengamar berat
Kopi, bertindak bijak dan mengatur kekuatan Carol Denvers yang kemudian dikenal
dengan Kapten Marvel. Jude Law berhasil memaksa kaum Schrulls keluar dari
pesawat agar bangsa KREE dapat menguasai rumah Bangsa Schrulls tersebut. Sosok bangsa KREE itu adalah Ronan, yang
menjadi pemeran antagonis dalam film Guardians of The Galaxy.
Salah
satu keinginan bangsa KREE, melalui Jude Law mengkondisikan kekuatan Carol
Denver sebagai Kapten Marvel adalah penguasaan dan pengendalian kekuatan
Skrulls. Kekuatan ini sangat berbahaya
karena kemampuannya yang bisa menyamar dalam berbagai wujud, seperti yang sudah
disebutkan di atas, kemampuan perubahan ini bisa dicapai hingga level perubahan
DNA.
Film
Kapten Marvel ini sesungguhnya hanya sebagai “bridging” dalam menyambungkan cerita cinema yang lebih dulu keluar
dalam Film Avengers: Infinity War, dimana sosok THANOS sangat digdaya
dengan ke-enam elemen yang disimbolkan
cincin sebagai subyek kekuasaan tak terkira di alam semesta. Super Hero
Avangers yang menjadi proyek Nick Fury, dengan dimensi masa depan sebagai
manager the Avangers, yang kemudian balik menjadi polisi biasa di tahun 1980-an
dalam Film Kapten Marvel ini, tentu seperti film labirin yang tidak karuan.
Bahkan secara detail lipatan dimensi dimana Nick Fury menggunakan penyeranta (saat
itu dikenal dengan Pagers) hanya
untuk menghubungi seseorang yang dikenalnya mengindikasikan bahwa FURY hidup di
dunia masa depan dan di tahun 1980-an. Peran penyeranta ini bukan hanya sekedar
alat komunikasi, tapi seperti alat dimensi waktu yang ceritanya DILIPAT secara
padat oleh FURY agar pesan masa depan The Avangers yang kalah perang dengan
THANOS bisa sampai ke Kapten Marvels.
Nick
Fury dalam Film the Avangers sudah berusaha
menghubungi Carol (Kapten Marvel) ketika ulah THANOS mereset penduduk bumi
karena kelewat over pupulasi. Bisa jadi THANOS terkena god complex symptom. Namun cerita itu terputus, karena semua Avanger
dalam Film The Avangers sudah melebur kembali kepada alam semesta. FURY memang
sempat menghubungi Kapten Marvel dengan Penyeranta, namun film tersebut keburu end.
Tetap
saja, Film Kapten Marvel, walaupun menceritakan kedigdayaan seorang perempuan
yang begitu heroic, tetap saja dirinya memiliki peran sebagai wanita, yang
kemudian harus nostalgia dengan teman pilotnya Maria Rambeau, yang diperankan oleh Lashana Lynch. Selain
itu dirinya juga harus berulang-ulang diajarkan rasa memori emosi oleh anak
perempuan Maria Rambeau di dunia drigantara.
Akhirnya, Film Kapten
Marvel ini cukup Happy Ending, dimana kekuatan Sang Kelembutan Carol Denvers
mampu mengendalikan kekuatannya hingga level energi. Dalam analisis Gender,
tentu banyak pesan yang disampaikan oleh Film tersebut. Sosok Perempuan yang
Berani, Tangguh, Fighter, Lembut, Cerdas, dan memiliki kekuatan ini setidaknya
akan menjadi contoh bagi anak-anak tidak hanya perempuan tetapi juga laki-laki,
dimana peran laki-laki dan peremapuan dalam perbedaan jenis kelaminnya bisa setara
dalam wajah konstruksi sosial kehidupan di dunia.
Tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan, kecuali hanya pada jenis kelamin. Namun hal itu pun bukan dalam pengkondisian part of body yang begitu berbeda, karena perbedaan tubuh (jenis kelamin) tersebut adalah pengkondisian hukum alam (sunnatulloh) agar manusia melakukan kolaborasi, kerjasama dalam membangun tujuan kehidupan agar terciptanya keseimbangan, keadilan dan kesetaraan.
(Rusmawati Damarsari, Sekretariat Direktorat Jenderal)