Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kepala KPKNL Yogyakarta: Seharusnya Semua Ketentuan Melindungi Pembeli Yang Beritikad Baik
Yuhar Lelo Ganjaran Samudra
Kamis, 08 Agustus 2019   |   238 kali

Yogyakarta - Selasa (06/07) Kepala KPKNL Yogyakarta Marhaeni Rumiasih menjadi narasumber dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh  Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) D.I. Yogyakarta. Acara yang digelar  di Aula Hotel Grand Aston, Yogyakarta itu mengambil tema “Pelaksanaan Pencabutan Sita Berdasar Surat Paksa dan Berita Acara Sita Hak Atas Tanah Yang Dibebani Hak Tanggungan” ini dihadiri  oleh perwakilan dari Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) D.I. Yogyakarta, Kanwil BPN D.I. Yogyakarta dan Kantor Pertanahan di wilayah provinsi D.I. Yogyakarta.

Dalam FGD tersebut Marhaeni Rumiasih memaparkan bahwa keterkaitan antara Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Perbankan dengan obyek yang diikat Hak Tanggungan (HT) yang terdapat Sita Pajak adalah bagaimana posisi pembeli yang akan melakukan balik nama, bagaimana efektivitas preferensi terhadap Hak Tanggungan yang terdapat  Sita Pajak tersebut kaitannya dengan BPN.

Mbak Heni, panggilan akrab Marhaeni Rumiasih memaparkan bahwa latar belakang HT sebenarnya muncul untuk memfasilitasi investasi dan perkembangan perdagangan di Indonesia. Kondisi tersebut muncul pada saat Indonesia sedang mengalami krisis, sebagai sebuah way out. “Dahulu masih menggunakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Hipotek. Meskipun sifatnya sementara, tetapi sifat sementaranya itu sangat lama untuk bisa memunculkan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Sehingga dengan latar belakang yang pembuatannya seperti dipercepat, peraturannya mungkin masih banyak celah, masing bolong-bolong, salah satunya adalah tentang Eksekusinya,” paparnya. 

Lebih lanjut, Heni  menjelaskan bahwa eksekusi di UUHT sudah diatur di pasal 20 yaitu pasal 6, pasal 14 dan atas kesepakatan bersama. Akan tetapi petunjuk pelaksanaannya sampai sekarang belum pernah dibuat. “Jika mengacu pada pasal peralihan kita harus kembali ke pasal 224 HIR tentang Hukum Acara, Eksekusi Hak Tanggungan atau Eksekusi Hipotek. Ini yang perlu kita pahami bersama terlebih dahulu,” ujarnya. Orang akan bingung akan menggunakan pasal yang mana, pasal 20 UUHT atau pasal 224 HIR, ” tambahnya.

Heni menambahkan bahwa selama ini sering terjadi overlapping terhadap peraturan. Sita Pajak dan Hak Tanggungan. Berbagai permasalahan mengemuka, seperti bagaimana jika obyek HT juga dilakukan penyitaan? Dapatkah keadaan tersebut dieksekusi? Apakah keadaan tersebut bisa memberikan kepastian pengembalian dana atau piutangnya? Bagaimana preferensi pemegang HT, apakah pembeli yg beritikat baik bisa mendapatkan kepastian dalam menguasai obyek? “ Itulah konsekuensi kesulitan dari adanya Hak Tanggungan dan Sita Pajak pada obyek yang sama. Seharusnya semua ketentuan itu melindungi pembeli yang beritikad baik,” kata Heni.

“ Solusi terbaik adalah bahwa kita harus taat pada asas hukum yang berlaku di Indonesia,” tutupnya mengakhiri pemaparan yang disambut tepuk tangan seluruh peserta FGD. (Djoehard)

 

Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini