Salah satu tolok ukur predikat WBK/WBBM pada sebuah instansi pemerintah adalah telah terbebasnya semua lini dalam instansi tersebut dari korupsi dan gratifikasi. Hal ini merupakan syarat mutlak yang tidak dapat ditawar lagi.
Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas meliputi uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik baik secara langsung ataupun tidak langsung kepada Pegawai atau Penyelenggara Negara.
Istilah gratifikasi sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat. Pasalnya, gratifikasi sering dilakukan agar seseorang mudah untuk mencapai tujuannya. Namun, perlu diketahui tidak semua gratifikasi bertentangan dengan hukum.
Gratifikasi
sebenarnya telah menjadi budaya turun temurun bangsa kita. Seperti acara
pernikahan, khitanan, syukuran, dan lain sebagainya. Pada acara tersebut
dilakukan praktik pemberian hadiah sebagai bentuk ekspresi persahabatan,
solidaritas, dan kekeluargaan. Namun, pada perkembangannya, gratifikasi telah
dibelokkan menjadi sebuah cara untuk memperlancar sebuah urusan. Gratifikasi
sering kali ditunggangi oleh kepentingan terselubung.
Pemberian
gratifikasi pada umumnya tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pejabat
secara langsung, namun cenderung sebagai “tanam budi” atau upaya menarik
perhatian pejabat. Tanam budi ini kemudian menciptakan benturan kepentingan
antara pejabat yang diberi gratifikasi dan pelaku pemberi gratifikasi. Benturan
kepentingan yang terjadi menyebabkan perumusan kebijakan menjadi tidak
objektif, berpihak, dan sering kali diskriminatif. Hal lain yang dapat terjadi
adalah pengangkatan pegawai berdasarkan balas jasa, pemilihan partner atau
rekanan kerja berdasarkan keputusan yang tidak professional, dan lain
sebagainya.
Gratifikasi pada
dasarnya adalah “suap terselubung”. Pegawai atau penyelenggara negara yang
terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus
melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya.
Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar korupsi. Gratifikasi tersebut dilarang
karena dapat mendorong sikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak professional,
sehingga tidak dapat melaksankan tugasnya dengan baik.
PMK Nomor 227/PMK.09/2021 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Kementerian Keuangan membagi gratifikasi menjadi dua kategori yaitu gratifikasi yang wajib dilaporkan dan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan. Gratifikasi yang wajib dilaporkan meliputi gratifikasi yang diterima atau ditolak oleh Pegawai atau Penyelelnggara Negara yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang bersangkutan.
Contoh
gratifikasi yang tidak boleh diterima biasanya berhubungan dengan: 1). Terkait
dengan pemberian layanan pada masyarakat diluar penerimaan yang sah; 2). Terkait
dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah; 3). Terkait
dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi diluar
penerimaan yang sah; 4). Terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas diluar
penerimaan yang sah/resmi dari instansi; 5). Dalam proses penerimaan/promosi/mutasi
pegawai.
Gratifikasi yang
tidak wajib dilaporkan meliputi:
a. Pemberian dalam keluarga yaitu
kakek nenek, bapak ibu/mertua, suami/ istri, anak/ menantu, anak angkat/wali
yang sah, cucu, besan, paman/bibi, kakak/adik/ipar, sepupu dan keponakan,
sepanjang tidak terdapat Benturan Kepentingan;
b. Keuntungan atau bunga dari
penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;
c. Manfaat dari koperasi,
organisasi kepegawaian atau organisasi yang sejenis berdasarkan keanggotaan, yang
berlaku umum;
d. Perangkat atau perlengkapan
yang diberikan kepada peserta dalam kegiatan kedinasan seperti seminar, workshop,
konferensi, pelatihan, atau kegiatan sejenis, yang berlaku umum;
e. Hadiah tidak dalam bentuk uang
atau alat tukar lainnya, yang dimaksudkan sebagai alat promosi atau sosialisasi
yang menggunakan logo atau pesan sosialisasi, sepanjang tidak memiliki Benturan
Kepentingan dan berlaku umum;
f. Hadiah, apresiasi atau
penghargaan dari kejuaraan, perlombaan atau kompetisi yang diikuti dengan biaya
sendiri dan tidak terkait dengan kedinasan;
g. Penghargaan baik berupa uang
atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan
oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
h. Hadiah langsung/ undian, diskon
/ rabat, voucher, point rewards, atau suvenir yang berlaku umum dan tidak
terkait kedinasan;
i. Kompensasi atau honor atas
profesi di luar kegiatan kedinasan yang tidak terkait dengan tugas dan
kewajiban, sepanjang tidak terdapat Benturan Kepentingan dan tidak melanggar
peraturan/kode etik pegawai/pejabat yang bersangkutan;
j. Kompensasi yang diterima terkait
kegiatan kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi dan pembiayaan
yang telah ditetapkan dalam standar biaya yang berlaku di instansi penerima
Gratifikasi sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat Benturan
Kepentingan, dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima;
k. Karangan bunga sebagai ucapan
yang diberikan dalam acara seperti pertunangan, pernikahan, kelahiran,
kematian, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/ agama
lainnya, pisah sambut, pensiun, promosi jabatan;
l. Pemberian terkait dengan
pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitanan, potong gigi, atau
upacara adat/ agama lainnya dengan batasan nilai sebesar Rp 1.000.000,00 (satu
juta rupiah) setiap pemberi;
m. Pemberian terkait dengan
musibah atau bencana yang dialami oleh diri penerima Gratifikasi, suami, istri,
anak, bapak, ibu, mertua, dan/ atau menantu penerima Gratifikasi sepanjang
tidak terdapat Benturan Kepentingan, dan memenuhi kewajaran atau kepatutan;
n. Pemberian sesama rekan kerja
dalam rangka pisah sambut, pensiun, mutasi jabatan, atau ulang tahun yang tidak
dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya paling banyak senilai Rp300.000,00
(tiga ratus ribu rupiah) setiap pemberian per orang, dengan total pemberian
tidak melebihi Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari
pemberi yang sama, sepanjang tidak terdapat Benturan Kepentingan;
o. Pemberian sesama rekan kerja
yang tidak dalam bentuk uang atau alat tukar lainnya, dan tidak terkait
kedinasan paling banyak senilai Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) setiap
pemberian per orang, dengan total pemberian tidak melebihi Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari pemberi yang sama, sepanjang tidak
terdapat Benturan Kepentingan;
p. Pemberian berupa hidangan atau
sajian yang berlaku umum; dan
q. Pemberian cendera mata/plakat
kepada instansi dalam rangka hubungan kedinasan dan kenegaraan, baik di dalam
negeri maupun luar negeri sepanjang tidak diberikan untuk individu Pegawai atau
Penyelenggara Negara.
Sebagai upaya
pelaksananaan pengendalian gratifikasi di lingkungan Kementerian Keuangan
dibentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG). UPG terdiri dari UPG koordianator
yang dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal dan UPG Unit Kerja yang salah
satunya terbentuk di tingkat eselon III sebagai UPG Tingkat III.
Baru-baru ini
KPKNL Tegal menerima gratifikasi berupa makanan (1 paket telor asin) dari salah
satu Satuan Kerja di wilayah KPKNL Tegal. Sesuai peraturan maka obyek
gratifikasi dilaporkan ke UPG. Selanjutnya UPG menyerahkan obyek gratifikasi
tersebut ke Panti Pelayanan Sosial Anak Suko Mulyo Tegal. Hal ini sejalan
dengan Pasal 9 huruf b PMK Nomor 227/PMK.09/2021 yang menyebutkan bahwa “untuk objek Gratifikasi berupa makanan dan/
atau minuman yang mudah rusak sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak
memungkinkan untuk dikembalikan kepada pihak pemberi Gratifikasi, dapat disalurkan
sebagai bantuan sosial kepada pihak yang membutuhkan oleh penerima Gratifikasi
atau UPG Unit Kerja;
Pada dasarnya
gratifikasi harus ditolak, namun jika
terpaksa harus diterima maka harus dilaporkan ke UPG dan ditindaklanjuti sesuai
peraturan perundangan yang berlaku. Gratifikasi merupakan akar dari korupsi
karena gratifikasi dapat menjerumuskan kita ke dalam tindakan-tindakan korupsi
lainnya. Oleh sebab itu, mari senantiasa menanamkan sikap anti korupsi dan
menjaga integritas guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berkualitas. (Dari berbagai sumber)