Pada sebuah kesempatan, Menteri
Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa aset negara
harus bekerja keras, tidak hanya dicatatkan di neraca lalu tidur. Selain
berguna untuk negara, aset tersebut juga harus mampu mendatangkan kesejahteraan
bagi rakyat Indonesia.
Nada serupa juga disampaikan oleh
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Racmatarwata, bahwa pihaknya ingin
membuat aset negara berkeringat, menghasilkan pemasukan bagi negara. Dari
pernyataan dua tokoh sentral Kementerian Keuangan tersebut, membuka cakrawala
pandang baru bagaimana aset negara seharusnya diperlakukan.
Secara teori, sepertinya mudah untuk
melaksanakannya, hitung-hitungannya pun jelas. Tetapi, realitanya tidak
selinier dengan teori diatas (locus di wilayah kerja KPKNL Tegal).
Hal tersebut dapat dilihat dari hasil pemanfaatan BMN pada KPKNL Tegal yang
faktanya baru mencapai Rp66,84 juta selama tiga tahun terakhir. Jumlah asetnya
pun dapat dihitung dengan jari tangan, meskipun secara kasat mata potensinya
cukup besar.
Kami mencoba menguraikan potensi yang ada. Menurut catatan KPKNL Tegal selaku pengelola BMN, jumlah aset pemerintah berupa tanah dan atau bangunan di wilayahnya - sengaja dibatasi dua jenis aset tetap itu saja - ada sebanyak 1.547 item, senilai total Rp891,23 miliar, tersebar di 163 satker. Barang-barang tersebut secara fungsional memang dipergunakan untuk menunjang tusi masing-masing satker. Namun demikian, kadang kala beberapa ruang/space terlihat tidak/belum digunakan. Ruang kosong tersebut semestinya dapat dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan ekonomi yang mampu menghasilkan uang.
Untuk memafaatkan sebuah aset negara tidak harus menunggu aset itu idle secara keseluruhan dahulu. Sebagai gambaran, pada 2014 hingga sekarang, KPKNL Tegal telah berhasil memanfaatkan lahan kantornya secara parsial dalam bentuk sewa kepada pihak ketiga. Area seluas 6 m2 di sekitar pagar depan kantor itu disewakan kepada sebuah bank BUMN, untuk menempatkan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) bank tersebut. Hal itu membuktikan bahwa setiap jengkal aset negara dapat dimanfaatkan dan menghasilkan rupiah yang relatif besar.
Dari segi ketentuan, pemerintah
telah memberikan lampu hijau dan aturan main yang lengkap terhadap pemanfaatan
BMN. Setidaknya terdapat dua Peraturan Menteri Keuangan yang mengawal
pelaksanaan pemanfaatan BMN. Prinsip dasarnya adalah tidak merugikan negara dan
tidak mengganggu pelaksanaan penyelenggaraan tusi pemerintahan negara serta
memperhatikan kepentingan umum.
Lalu mengapa pemanfaatan BMN,
khususnya di wilayah kerja KPKNL Tegal terbilang masih rendah? Kami mencoba mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut, melalui pengamatan dengan kaca
mata awam dan studi terhadap peraturan dan perundangan. Setidaknya ada 5 faktor
yang perlu menjadi perhatian.
Pertama, sesuai ketentuan,
kewenangan melakukan pemanfaatan BMN berada di tangan satker selaku kuasa pengguna
BMN, termasuk pemanfaatan secara parsial. Kuasa Pengelola BMN dalam hal ini KPKNL,
juga mempunyai kewenangan yang sama khusus aset idle yang diserahkan ke KPKNL. Padahal berdasarkan laporan Pengawasan
dan Pengendalian (Wasdal) BMN yang dilakukan KPKNL Tegal, hingga saat ini belum
ada satker yang melaporkan aset idle-nya.
Dengan demikian, bola berada di tangan satker sepenuhnya.
Kedua, sampai dengan detik ini, peran
sebagai asset manager dan revenue center seolah masih menjadi
tanggung jawab DJKN sepenuhnya. Idealnya, satker juga memiliki semangat yang
sama mengoptimalkan aset negara, terutama di bawah penguasaaannya.
Ketiga, dalam berbagai ketentuan
yang mengatur tentang pemanfaatan BMN, belum ada yang menjelaskan manfaat langsung
bagi satker atas pemanfaatan BMN pada dilakukan. Misalnya, ada skema bagi hasil.
Melalui skema itu, satker mendapat bagian dari transaksi yang terjadi, untuk keperluan
peningkatan kapasitas pegawainya.
Keempat, prinsip dasar pemanfaatan
BMN, salah satunya adalah tidak merugikan negara. Terutama pemanfaatan yang
menghasilkan pendapatan berupa uang. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi keberanian
kedua belah pihak dalam mengambil sebuah keputusan. Bayang-bayang kalimat
merugikan negara harus direduksi. Pemeriksa maupun penegak hukum harus memiliki
pemahaman yang sama terhadap proses pemanfaatan BMN, sehingga memberi rasa aman
bagi para pengambil keputusan. Jika perlu ditambahkan klausul membebaskan para
pihak dari segala tuntutan/acquit et de charge,
sepanjang tidak terjadi fraud.
Kelima, ketentuan mengenai
pemanfaatan BMN juga perlu disosialisasikan ke masyarakat baik badan hukum
maupun perorangan. Dengan demikian masyarakat mengetahui adanya peluang memanfaatkan
aset negara yang tidak digunakan sepenuhnya untuk kegiatan bisnis.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari
tulisan ini adalah aset negara harus melek dan berkeringat, dalam artian bekerja keras sehingga
menghasilkan pendapatan. Aset negara tidak boleh hanya menjadi penghias manis
laporan keuangan pemerintah saja. Fakta di lapangan pemanfaatan BMN masih
rendah. Ada 5 faktor yang menurut kami harus menjadi perhatian sebagaimana
diuraikan di atas. Untuk mengujinya, KPKNL perlu melakukan kajian dengan metode
yang tepat sehingga dapat mengetahui kebenaran atas faktor-faktor itu sekaligus
mencarikan solusi yang paling baik.
(@wD_HI_KPKNL_Tegal)