Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Menghindari Potential Loss Dalam Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara
Syam Anugrah
Rabu, 15 September 2021   |   2822 kali

 

 

Kontirubusi Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2020 terealisasi sebesar Rp513.738.203.370,00 dengan kontribusi pemasukan terbesar berasal dari Pendapatan Sewa Tanah, Gedung dan Bangunan dengan nilai sebesar Rp441.318.174.033,00. Secara year on year (yoy) dibandingkan dengan tahun 2019, pendapatan negara yang berasal dari sewa tanah, gedung dan bangunan mengalami pertumbuhan positif sebesar 2,41% walaupun ditengah resesi ekonomi akibat serangan pandemi COVID-19. Salah satu penyebab tren positif dari pertumbuhan sewa tanah, gedung dan bangunan adalah terjaganya permintaan atas aset tersebut, ditambah lagi dengan laju pertumbuhan demografi positif yang saat ini dialami oleh Indonesia.

 

Pengertian Umum Tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara Berupa Sewa

Sewa sendiri merupakan salah satu bentuk pemanfaatan dari Barang Milik Negara (BMN). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara disebutkan terdapat 5 (lima) bentuk pemanfaatan BMN, antara lain Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna, dan juga Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. Salah satu bentuk pemanfaatan yang lazim dan populer dilaksanakan oleh masyarakat pada umumnya adalah sewa.

Menurut PP Nomor 28 Tahun 2020, sewa adalah pemanfaatan BMN/D oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan tunai. Jangka waktu sewa sendiri secara umum diatur untuk paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Akan tetapi untuk pelaksanaan sewa atas BMN/D yang memiliki kriteria seperti kerja sama infrastruktur, kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu sewa lebih dari 5 (lima) tahun atau ditentukan lain dalam undang-undang dapat dilaksanakan lebih dari 5 (lima) tahun.

 

Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara

Ketentuan teknis untuk pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara. Menurut peraturan tersebut, tujuan dilaksanakannya sewa ada tiga, antara lain mengoptimalkan pemanfaatan BMN yang belum/tidak digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan Negara, memperoleh fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan/atau menunjang tugas dan fungsi instansi Pengguna Barang dan yang terakhir untuk mencegah penggunaan BMN oleh pihak lain secara tidak sah. Apabila kita telisik lebih dalam, terlihat bahwa pelaksanaan sewa BMN tidak serta merta untuk mendapatkan keuntungan finansial saja, melainkan juga sebagai salah satu bentuk pengamanan aset yang tidak terutilisasi secara maksimal dalam pelaksanaan tugas dan fungsi.

Ada dua pihak yang dapat menyewakan BMN yakni Pengelola Barang dalam hal BMN yang akan disewakan berada dalam penatausahaan Pengelola Barang dan juga Pengguna Barang dalam hal BMN berada dalam penatausahaan Pengguna Barang setelah sebelumnya mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Pengelola Barang sebelum pelaksanaan sewa. Pihak yang dapat menyewa antara lain Badan Usaha Milik Negara/Daerah/Desa, Perorangan, Unit Penunjang Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan/Negara seperti Persatuan/Perhimpunan ASN/TNI/Polri ataupun Persatuan/Perhimpunan Istri ASN/TNI/Polri dan juga Badan Usaha Lainnya seperti Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma ataupun Persekutuan Komanditer. Sedangkan objek sewa BMN sendiri terdiri dari tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan. Untuk objek sewa BMN berupa tanah dan/atau bangunan dapat dilakukan untuk sebagian ataupun keseluruhan dari aset tersebut dan juga dapat meliputi ruang di bawah ataupun di atas permukaan tanah.

Dalam hal legalitas subjek dan objek sewa telah terpenuhi, maka sewa dapat dilaksanakan setelah sebelumnya mendapatkan izin Pengelola Barang (khusus untuk BMN pada Pengguna Barang). Pelaksanaan sewa sendiri dituangkan dalam perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak bergantung dari legalitas objek sewa berada (Pengguna/Pengelola Barang) dan paling sedikit memuat tentang:

1.      Para pihak yang terikat dalam perjanjian;

2.      Jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa dan jangka waktu;

3.      Tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka waktu sewa; dan

4.      Hak serta kewajiban dari para pihak.

 

Kedudukan Perjanjian Sebagai Hukum Yang Mengikat Bagi Para Pembuat Perjanjian

Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam pasal 7 disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:

1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4.      Peraturan Pemerintah;

5.      Peraturan Presiden;

6.      Peraturan Daerah Provinsi; dan

7.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.


Kekuatan hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana tercantum di atas, sehingga apabila terdapat konflik/pertentangan antara peraturan perundangan yang ada sesuai dengan asas hukum lex superior derogate legi inferior, maka ketentuan yang paling tinggilah yang harus dilakukan.

Sesuai dengan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Ketiga, Pasal II menyebutkan bahwa “semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Sebagai implikasi dari aturan peralihan UUD 1945 pasal II tersebut, maka ketentuan terkait pidana, perdata di Indonesia masih diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan juga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht).

Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Apabila suatu perjanjian sewa telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka perjanjian sewa ini dianggap sebagai undang-undang selama perjanjian tersebut telah dibuat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 

Akibat Hukum Dari Pelaksanaan Ketentuan Perjanjian Pelaksanaan Sewa

Akibat hukum yang ditimbulkan dari pelaksanaan perjanjian ini kuat dan mengikat para pihak serta tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukannya didalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang. Segala hal yang diatur dalam perjanjian harus dilaksanakan oleh para pihak selama batas waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Dalam pelaksanaan sewa atas tanah dan/atau bangunan, kita mengenal dua jenis sewa berdasarkan objeknya, yakni sewa atas tanah saja dan juga sewa atas tanah dan/atau bangunan.

Pemanfaatan BMN secara sewa bukan merupakan tugas dan fungsi utama dari suatu Kementerian/Lembaga. Kegiatan ini lebih kepada penggalian potensi atas penerimaan negara dari suatu aset apabila aset tersebut tidak terlalu digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, sehingga aset tersebut tetap dapat memberikan manfaat ekonomi dari keberadaannya. Pelaksanaan sewa yang umum dilakukan oleh para satuan kerja antara lain penyewaan sebagian tanah atau sebagian tanah dan/atau bangunan untuk pembangunan ATM, penyewaan sebagian tanah atau sebagian tanah dan/atau bangunan untuk pendirian usaha kantin/koperasi pegawai ataupun penyewaan sebagian/seluruh tanah untuk pendirian usaha parkir.

Pada saat pengajuan permohonan sewa, satuan kerja diminta untuk mencantumkan daftar BMN yang akan dimohonkan sewa. Dalam hal permohonan sewa tersebut berkaitan dengan penggunaan suatu bangunan milik satuan kerja yang telah berdiri/eksisting saat ini, maka perhitungan tarif sewa akan memperhitungkan sewa tanah berikut sewa bangunan yang ada. Apabila permohonan tersebut hanya berupa tanah kosong untuk kemudian didirikan suatu bangunan oleh penyewa, maka penentuan tarif yang dikenakan hanya memperhitungkan nilai dari tanah tersebut.

Hal yang harus dicermati oleh Pengguna/Pengelola Barang adalah bagaimana status kepemilikan dari bangunan yang dibangun oleh penyewa sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian sewa, apakah telah cukup diatur bagaimana status kepemilikannya pasca berakhirnya perjanjian. Hal ini tidak akan menjadi problematika apabila pelaksanaan pemanfaatan berbentuk Bangun Guna Serah (BGS)/Bangun Serah Guna (BSG). Dalam pelaksanaan BGS/BSG Pengguna/Pengelola Barang hanya menyediakan tanah, dan penyediaan bangunan/fasilitas merupakan tanggung jawab mitra BGS/BSG. Titik perubahan kepemilikan bergantung dengan skema yang diambil apakah BGS/BSG. Apabila BGS maka kepemilikan beralih di akhir periode perjanjian, sedangkan BSG kepemilikan beralih diawal pelaksanaan perjanjian. Akan tetapi seperti yang kita ketahui BGS/BSG merupakan skema pemanfaatan khusus yang ditempuh dalam hal Pemerintah memerlukan bangunan dan fasilitas akan tetapi tidak tersedia cukup dana dalam APBN, sehingga dibutuhkan peran pihak ketiga dalam pengadaanya. Pemilihan mitra BGS/BSG pun ditentukan berdasarkan tender, sehingga hanya pihak ketiga yang memiliki kualifikasi yang dapat terlibat didalamnya. Implementasi yang lebih familiar, kemudahan permohonan dan pelaksanaan perikatan/perjanjian serta persyaratan dan ketentuan calon mitra yang lebih sederhana menyebabkan pelaksanaan sewa lebih mudah diterapkan untuk menggalang pundi-pundi rupiah sebagai penerimaan negara.

Dalam pelaksanaan sewa setidaknya terdapat klausul yang menjelaskan bagaimana kepastian status kepemilikan bangunan yang dibangun oleh penyewa, apakah bangunan tersebut akan diserahkan terimakan kepada pemilik tanah atau akan tetap menjadi milik penyewa pasca berakhirnya perjanjian. Setidaknya terdapat beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan sewa tanah kosong yang dilaksanakan pembangunan diatasnya:

1.    Klausul yang paling umum ditemui adalah, pihak penyewa akan menyerahkan kepada pemilik tanah status kepemilikan bangunan setelah pelaksanaan perjanjian berakhir. Makna frasa “menyerahkan” berarti dibutuhkan berita acara serah terima dari kedua belah pihak sebagai bukti adanya pelepasan-penerimaan kepemilikan diantara para pihak. Bangunan milik penyewa tidak otomatis beralih kepemilikan kepada pemilik tanah.

2.      Opsi klausul lain adalah barang milik penyewa yang melekat atau berada pada objek sewa secara mutatis mutandis beralih menjadi milik pemilik tanah setelah pelaksanaan perjanjian berakhir. Apabila klausul ini digunakan, maka secara otomatis setelah perjanjian berakhir, maka segala barang yang melekat atau berada di atas objek sewa menjadi milik pemilik tanah. Pemilik tanah berhak untuk mengakui aset tersebut tanpa menunggu berita acara serah terima, karena merupakan konsekuensi hukum akibat pelaksanaan perjanjian.

3.      Opsi lainnya adalah kepemilikan segala barang yang melekat atau berada pada objek sewa tetap merupakan milik pihak penyewa, sehingga pihak penyewa memiliki kewajiban untuk melaksanakan pembongkaran atas barang tersebut setelah pelaksanaan perjanjian berakhir. Apabila klausul ini digunakan, maka pemilik tanah akan menyerahkan tanah kosong dan menerima pengembalian tanah kosong seperti keadaan awal setelah pelaksanaan perjanjian berakhir.

 

Dampak dan Manfaat Atas Klausul Peralihan Kepemilikan

Penafsiran dan pemahaman terdapat konsekuensi hukum dari ketiga klausul tersebut harus dipahami dengan baik oleh masing-masing pihak, guna menghindari adanya gugatan hukum di kemudian hari akibat adanya ketidapuasan pelaksanaan perjanjian dari salah satu pihak. Terdapat dua alasan utama mengapa pengakuan kepemilikan atas barang yang melekat pada objek sewa ini menjadi penting bagi satuan kerja, yang pertama ketepatan waktu pelaksanaan pencatatan atas  aset tersebut ke dalam daftar barang milik negara sebagai perolehan lainnya yang sah, yang kedua perbedaan komponen penyusunan tarif perhitungan sewa, yang tidak hanya memperhitungkan sewa tanah melainkan juga sewa barang yang melekat padanya (kita asumsikan bangunan).

Klausul pertama memungkinkan satuan kerja mendapatkan aset tambahan berupa barang yang melekat pada objek sewa dan hanya dapat diakui setelah adanya penyerahan formal dari penyewa. Dalam hal penyewa melaksanakan perpanjangan sewa, maka tarif sewa yang digunakan hanya akan mempertimbangkan nilai tanah tanpa memperhitungkan bangunan/fasilitas yang ada diatasnya Jika penyewa melakukan ingkar janji yang berakibat pada berakhirnya perjanjian, maka status kepemilikan bangunan akan berubah menjadi status quo, satuan kerja  tidak dapat mengakui kepemilikan atas bangunan yang berdiri diatas tanahnya. Apabila terdapat penyewa lain yang ingin menggunakan lokasi tersebut, satuan kerja harus mengeluarkan biaya pembongkaran atas bangunan yang telah didirikan oleh penyewa sebelumnya, sebelum diserahterimakan kepada penyewa yang baru. Satuan kerja tidak boleh menerima manfaat akibat dari pembangunan yang dilaksanakan oleh penyewa sebelumnya, karena belum ada penyerahan legalitas formal atas kepemilikan dari penyewa sebelumnya kepada satuan kerja selaku pemilik tanah.

Klausul kedua memberikan hak kepada satuan kerja untuk langsung mengakui kepemilikan barang yang melekat pada objek sewa tanpa menunggu penyerahan formal dari penyewa. Dalam hal masa periode sewa telah berakhir dan penyewa yang sama ingin melanjutkan kerja sama, maka tarif yang digunakan tidak hanya memperhitungkan nilai tanah saja, melainkan seluruh objek yang melekat pada tanah walaupun barang tersebut sebelumnya milik penyewa. Apabila konsekuensi hukum ini tidak dicermati dengan baik oleh penyewa, maka sangat mungkin muncul gugatan dari pihak penyewa akibat ketidakpuasan atas konsekuensi yang terjadi. Apabila satuan kerja melakukan permohonan perpanjangan sewa hanya atas tanah tanpa mengakui kepemilikan bangunan tersebut sedangkan secara perjanjian sudah beralih kepemilikan, maka muncul potential loss atas penerimaan negara yang dapat beralih menjadi kerugian negara.

Klausul ketiga menjelaskan bahwa satuan kerja hanya menyewakan tanah untuk periode waktu tertentu dan akan dikembalikan seperti sedia kala saat berakhirnya perjanjian. Klausul ini bukan berarti tidak mengandung risiko, karena satuan kerja harus memastikan bahwa penyewa melakukan restorasi seperti sedia kala atas objek sewa yang telah digunakan. Apabila penyewa ingkar janji dan tidak melaksanakan pembongkaran, maka terdapat dua kerugian yang dialami satuan kerja, pertama satuan kerja terganggu dalam menyewakan objek tersebut kepada pihak lain karena terdapat barang milik pihak lain di atas objek yang akan disewakan, kedua satuan kerja harus mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan pembongkaran sebelum menyewakan objek tersebut kepada pihak lain agar lebih marketable ketika dipasarkan.

 

Simpulan dan Saran

Penatausahaan dan Pengelolaan Barang Milik Negara bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan kolaborasi tentang pandangan dan wawasan agar pekerjaan tersebut berjalan dengan baik. Salah satunya sinergi dan keterbukaan pada saat pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian BMN. Berbagai tindakan pasti memiliki konsekuensi hukum, begitu juga dengan pelaksanaan perjanjian pemanfaatan BMN berupa sewa. Konsekuensi yang ditimbulkan tidak hanya memberikan kontribusi positif bagi penerimaan negara tetapi juga mengandung potential loss apabila para pihak kurang cermat dalam mengartikan dan melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian. Sekilas sewa merupakan suatu perbuatan hukum yang sudah sering kita temui dan akrab di dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi sebagai bentuk kehati-hatian dan juga meminimalisir potensi risiko yang terjadi akibat konsekuensi yang ditimbulkan, kita harus memiliki ilmu pengetahuan yang cukup atau melibatkan pihak lain yang lebih memahami legal drafting sebelum melaksanakan suatu perikatan, sehingga tujuan kita untuk menambah pundi-pundi rupiah untuk penerimaan negara dapat tercapai dengan maksimal.


Alifian Setya Utama, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Tangerang I

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini