Kontirubusi
Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun
2020 terealisasi sebesar Rp513.738.203.370,00 dengan kontribusi pemasukan
terbesar berasal dari Pendapatan Sewa Tanah, Gedung dan Bangunan dengan nilai
sebesar Rp441.318.174.033,00. Secara year
on year (yoy) dibandingkan dengan tahun 2019, pendapatan negara yang
berasal dari sewa tanah, gedung dan bangunan mengalami pertumbuhan positif
sebesar 2,41% walaupun ditengah resesi ekonomi akibat serangan pandemi COVID-19.
Salah satu penyebab tren positif dari pertumbuhan sewa tanah, gedung dan
bangunan adalah terjaganya permintaan atas aset tersebut, ditambah lagi dengan
laju pertumbuhan demografi positif yang saat ini dialami oleh Indonesia.
Pengertian
Umum Tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara Berupa Sewa
Sewa
sendiri merupakan salah satu bentuk pemanfaatan dari Barang Milik Negara (BMN).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara
disebutkan terdapat 5 (lima) bentuk pemanfaatan BMN, antara lain Sewa, Pinjam
Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna, dan
juga Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. Salah satu bentuk pemanfaatan yang
lazim dan populer dilaksanakan oleh masyarakat pada umumnya adalah sewa.
Menurut
PP Nomor 28 Tahun 2020, sewa adalah pemanfaatan BMN/D oleh pihak lain dalam
jangka waktu tertentu dan menerima imbalan tunai. Jangka waktu sewa sendiri
secara umum diatur untuk paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.
Akan tetapi untuk pelaksanaan sewa atas BMN/D yang memiliki kriteria seperti
kerja sama infrastruktur, kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan
waktu sewa lebih dari 5 (lima) tahun atau ditentukan lain dalam undang-undang
dapat dilaksanakan lebih dari 5 (lima) tahun.
Pelaksanaan
Sewa Barang Milik Negara
Ketentuan
teknis untuk pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik Negara diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan Barang Milik
Negara. Menurut peraturan tersebut, tujuan dilaksanakannya sewa ada tiga,
antara lain mengoptimalkan pemanfaatan BMN yang belum/tidak digunakan dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan Negara, memperoleh
fasilitas yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan/atau
menunjang tugas dan fungsi instansi Pengguna Barang dan yang terakhir untuk
mencegah penggunaan BMN oleh pihak lain secara tidak sah. Apabila kita telisik
lebih dalam, terlihat bahwa pelaksanaan sewa BMN tidak serta merta untuk
mendapatkan keuntungan finansial saja, melainkan juga sebagai salah satu bentuk
pengamanan aset yang tidak terutilisasi secara maksimal dalam pelaksanaan tugas
dan fungsi.
Ada
dua pihak yang dapat menyewakan BMN yakni Pengelola Barang dalam hal BMN yang
akan disewakan berada dalam penatausahaan Pengelola Barang dan juga Pengguna
Barang dalam hal BMN berada dalam penatausahaan Pengguna Barang setelah
sebelumnya mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Pengelola Barang
sebelum pelaksanaan sewa. Pihak yang dapat menyewa antara lain Badan Usaha
Milik Negara/Daerah/Desa, Perorangan, Unit Penunjang Kegiatan Penyelenggaraan
Pemerintahan/Negara seperti Persatuan/Perhimpunan ASN/TNI/Polri ataupun
Persatuan/Perhimpunan Istri ASN/TNI/Polri dan juga Badan Usaha Lainnya seperti
Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Persekutuan Perdata, Persekutuan Firma
ataupun Persekutuan Komanditer. Sedangkan objek sewa BMN sendiri terdiri dari
tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan. Untuk objek sewa
BMN berupa tanah dan/atau bangunan dapat dilakukan untuk sebagian ataupun
keseluruhan dari aset tersebut dan juga dapat meliputi ruang di bawah ataupun
di atas permukaan tanah.
Dalam
hal legalitas subjek dan objek sewa telah terpenuhi, maka sewa dapat
dilaksanakan setelah sebelumnya mendapatkan izin Pengelola Barang (khusus untuk
BMN pada Pengguna Barang). Pelaksanaan sewa sendiri dituangkan dalam perjanjian
yang ditandatangani oleh para pihak bergantung dari legalitas objek sewa berada
(Pengguna/Pengelola Barang) dan paling sedikit memuat tentang:
1.
Para pihak yang terikat dalam perjanjian;
2.
Jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa dan jangka
waktu;
3.
Tanggung jawab penyewa atas biaya operasional dan
pemeliharaan selama jangka waktu sewa; dan
4.
Hak serta kewajiban dari para pihak.
Kedudukan
Perjanjian Sebagai Hukum Yang Mengikat Bagi Para Pembuat Perjanjian
Menurut
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, dalam pasal 7 disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-Undangan terdiri atas:
1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
4.
Peraturan Pemerintah;
5.
Peraturan Presiden;
6.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan
hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana tercantum
di atas, sehingga apabila terdapat konflik/pertentangan antara peraturan
perundangan yang ada sesuai dengan asas hukum lex superior derogate legi inferior, maka ketentuan yang paling
tinggilah yang harus dilakukan.
Sesuai
dengan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Perubahan Ketiga, Pasal II menyebutkan bahwa “semua lembaga negara yang
ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang
Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Sebagai
implikasi dari aturan peralihan UUD 1945 pasal II tersebut, maka ketentuan
terkait pidana, perdata di Indonesia masih diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan juga Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van
Strafrecht).
Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan bahwa “Semua
persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan
kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Apabila suatu perjanjian
sewa telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka
perjanjian sewa ini dianggap sebagai undang-undang selama perjanjian tersebut telah
dibuat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Akibat Hukum Dari Pelaksanaan Ketentuan
Perjanjian Pelaksanaan Sewa
Akibat hukum yang ditimbulkan dari
pelaksanaan perjanjian ini kuat dan mengikat para pihak serta tidak hanya
mengikat apa yang dengan tegas ditentukannya didalamnya, melainkan juga segala
sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan atau undang-undang. Segala hal yang diatur dalam perjanjian harus
dilaksanakan oleh para pihak selama batas waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian. Dalam pelaksanaan sewa atas tanah dan/atau bangunan, kita mengenal
dua jenis sewa berdasarkan objeknya, yakni sewa atas tanah saja dan juga sewa
atas tanah dan/atau bangunan.
Pemanfaatan BMN secara sewa bukan merupakan
tugas dan fungsi utama dari suatu Kementerian/Lembaga. Kegiatan ini lebih
kepada penggalian potensi atas penerimaan negara dari suatu aset apabila aset
tersebut tidak terlalu digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, sehingga
aset tersebut tetap dapat memberikan manfaat ekonomi dari keberadaannya.
Pelaksanaan sewa yang umum dilakukan oleh para satuan kerja antara lain
penyewaan sebagian tanah atau sebagian tanah dan/atau bangunan untuk
pembangunan ATM, penyewaan sebagian tanah atau sebagian tanah dan/atau bangunan
untuk pendirian usaha kantin/koperasi pegawai ataupun penyewaan sebagian/seluruh
tanah untuk pendirian usaha parkir.
Pada saat pengajuan permohonan sewa, satuan
kerja diminta untuk mencantumkan daftar BMN yang akan dimohonkan sewa. Dalam
hal permohonan sewa tersebut berkaitan dengan penggunaan suatu bangunan milik satuan
kerja yang telah berdiri/eksisting saat ini, maka perhitungan tarif sewa akan
memperhitungkan sewa tanah berikut sewa bangunan yang ada. Apabila permohonan
tersebut hanya berupa tanah kosong untuk kemudian didirikan suatu bangunan oleh
penyewa, maka penentuan tarif yang dikenakan hanya memperhitungkan nilai dari
tanah tersebut.
Hal yang harus dicermati oleh
Pengguna/Pengelola Barang adalah bagaimana status kepemilikan dari bangunan
yang dibangun oleh penyewa sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian sewa,
apakah telah cukup diatur bagaimana status kepemilikannya pasca berakhirnya perjanjian.
Hal ini tidak akan menjadi problematika apabila pelaksanaan pemanfaatan
berbentuk Bangun Guna Serah (BGS)/Bangun Serah Guna (BSG). Dalam pelaksanaan
BGS/BSG Pengguna/Pengelola Barang hanya menyediakan tanah, dan penyediaan
bangunan/fasilitas merupakan tanggung jawab mitra BGS/BSG. Titik perubahan
kepemilikan bergantung dengan skema yang diambil apakah BGS/BSG. Apabila BGS
maka kepemilikan beralih di akhir periode perjanjian, sedangkan BSG kepemilikan
beralih diawal pelaksanaan perjanjian. Akan tetapi seperti yang kita ketahui
BGS/BSG merupakan skema pemanfaatan khusus yang ditempuh dalam hal Pemerintah
memerlukan bangunan dan fasilitas akan tetapi tidak tersedia cukup dana dalam
APBN, sehingga dibutuhkan peran pihak ketiga dalam pengadaanya. Pemilihan mitra
BGS/BSG pun ditentukan berdasarkan tender, sehingga hanya pihak ketiga yang
memiliki kualifikasi yang dapat terlibat didalamnya. Implementasi yang lebih
familiar, kemudahan permohonan dan pelaksanaan perikatan/perjanjian serta
persyaratan dan ketentuan calon mitra yang lebih sederhana menyebabkan
pelaksanaan sewa lebih mudah diterapkan untuk menggalang pundi-pundi rupiah
sebagai penerimaan negara.
Dalam pelaksanaan sewa setidaknya terdapat
klausul yang menjelaskan bagaimana kepastian status kepemilikan bangunan yang
dibangun oleh penyewa, apakah bangunan tersebut akan diserahkan terimakan
kepada pemilik tanah atau akan tetap menjadi milik penyewa pasca berakhirnya perjanjian.
Setidaknya terdapat beberapa skenario yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan
sewa tanah kosong yang dilaksanakan pembangunan diatasnya:
1. Klausul yang paling umum ditemui adalah, pihak penyewa
akan menyerahkan kepada pemilik tanah status kepemilikan bangunan setelah
pelaksanaan perjanjian berakhir. Makna frasa “menyerahkan” berarti dibutuhkan
berita acara serah terima dari kedua belah pihak sebagai bukti adanya
pelepasan-penerimaan kepemilikan diantara para pihak. Bangunan milik penyewa
tidak otomatis beralih kepemilikan kepada pemilik tanah.
2. Opsi klausul lain adalah barang milik penyewa yang
melekat atau berada pada objek sewa secara mutatis mutandis beralih menjadi
milik pemilik tanah setelah pelaksanaan perjanjian berakhir. Apabila klausul ini
digunakan, maka secara otomatis setelah perjanjian berakhir, maka segala barang
yang melekat atau berada di atas objek sewa menjadi milik pemilik tanah. Pemilik
tanah berhak untuk mengakui aset tersebut tanpa menunggu berita acara serah
terima, karena merupakan konsekuensi hukum akibat pelaksanaan perjanjian.
3. Opsi lainnya adalah kepemilikan segala barang yang
melekat atau berada pada objek sewa tetap merupakan milik pihak penyewa,
sehingga pihak penyewa memiliki kewajiban untuk melaksanakan pembongkaran atas
barang tersebut setelah pelaksanaan perjanjian berakhir. Apabila klausul ini
digunakan, maka pemilik tanah akan menyerahkan tanah kosong dan menerima
pengembalian tanah kosong seperti keadaan awal setelah pelaksanaan perjanjian
berakhir.
Dampak dan Manfaat Atas Klausul Peralihan
Kepemilikan
Penafsiran dan pemahaman terdapat konsekuensi
hukum dari ketiga klausul tersebut harus dipahami dengan baik oleh
masing-masing pihak, guna menghindari adanya gugatan hukum di kemudian hari akibat
adanya ketidapuasan pelaksanaan perjanjian dari salah satu pihak. Terdapat dua
alasan utama mengapa pengakuan kepemilikan atas barang yang melekat pada objek
sewa ini menjadi penting bagi satuan kerja, yang pertama ketepatan waktu
pelaksanaan pencatatan atas aset tersebut ke dalam daftar barang milik negara
sebagai perolehan lainnya yang sah, yang kedua perbedaan komponen penyusunan
tarif perhitungan sewa, yang tidak hanya memperhitungkan sewa tanah melainkan
juga sewa barang yang melekat padanya (kita asumsikan bangunan).
Klausul pertama memungkinkan satuan kerja
mendapatkan aset tambahan berupa barang yang melekat pada objek sewa dan hanya
dapat diakui setelah adanya penyerahan formal dari penyewa. Dalam hal penyewa
melaksanakan perpanjangan sewa, maka tarif sewa yang digunakan hanya akan
mempertimbangkan nilai tanah tanpa memperhitungkan bangunan/fasilitas yang ada
diatasnya Jika penyewa melakukan ingkar janji yang berakibat pada berakhirnya
perjanjian, maka status kepemilikan bangunan akan berubah menjadi status quo, satuan kerja tidak dapat mengakui
kepemilikan atas bangunan yang berdiri diatas tanahnya. Apabila terdapat
penyewa lain yang ingin menggunakan lokasi tersebut, satuan kerja harus
mengeluarkan biaya pembongkaran atas bangunan yang telah didirikan oleh penyewa
sebelumnya, sebelum diserahterimakan kepada penyewa yang baru. Satuan kerja
tidak boleh menerima manfaat akibat dari pembangunan yang dilaksanakan oleh
penyewa sebelumnya, karena belum ada penyerahan legalitas formal atas
kepemilikan dari penyewa sebelumnya kepada satuan kerja selaku pemilik tanah.
Klausul kedua memberikan hak kepada satuan
kerja untuk langsung mengakui kepemilikan barang yang melekat pada objek sewa
tanpa menunggu penyerahan formal dari penyewa. Dalam hal masa periode sewa
telah berakhir dan penyewa yang sama ingin melanjutkan kerja sama, maka tarif
yang digunakan tidak hanya memperhitungkan nilai tanah saja, melainkan seluruh
objek yang melekat pada tanah walaupun barang tersebut sebelumnya milik
penyewa. Apabila konsekuensi hukum ini tidak dicermati dengan baik oleh
penyewa, maka sangat mungkin muncul gugatan dari pihak penyewa akibat
ketidakpuasan atas konsekuensi yang terjadi. Apabila satuan kerja melakukan
permohonan perpanjangan sewa hanya atas tanah tanpa mengakui kepemilikan
bangunan tersebut sedangkan secara perjanjian sudah beralih kepemilikan, maka
muncul potential loss atas penerimaan
negara yang dapat beralih menjadi kerugian negara.
Klausul ketiga menjelaskan bahwa satuan kerja
hanya menyewakan tanah untuk periode waktu tertentu dan akan dikembalikan
seperti sedia kala saat berakhirnya perjanjian. Klausul ini bukan berarti tidak
mengandung risiko, karena satuan kerja harus memastikan bahwa penyewa melakukan
restorasi seperti sedia kala atas objek sewa yang telah digunakan. Apabila
penyewa ingkar janji dan tidak melaksanakan pembongkaran, maka terdapat dua
kerugian yang dialami satuan kerja, pertama satuan kerja terganggu dalam
menyewakan objek tersebut kepada pihak lain karena terdapat barang milik pihak
lain di atas objek yang akan disewakan, kedua satuan kerja harus mengeluarkan
biaya tambahan untuk melakukan pembongkaran sebelum menyewakan objek tersebut
kepada pihak lain agar lebih marketable
ketika dipasarkan.
Simpulan dan Saran
Penatausahaan dan Pengelolaan Barang Milik Negara bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan kolaborasi tentang pandangan dan wawasan agar pekerjaan tersebut berjalan dengan baik. Salah satunya sinergi dan keterbukaan pada saat pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian BMN. Berbagai tindakan pasti memiliki konsekuensi hukum, begitu juga dengan pelaksanaan perjanjian pemanfaatan BMN berupa sewa. Konsekuensi yang ditimbulkan tidak hanya memberikan kontribusi positif bagi penerimaan negara tetapi juga mengandung potential loss apabila para pihak kurang cermat dalam mengartikan dan melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian. Sekilas sewa merupakan suatu perbuatan hukum yang sudah sering kita temui dan akrab di dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi sebagai bentuk kehati-hatian dan juga meminimalisir potensi risiko yang terjadi akibat konsekuensi yang ditimbulkan, kita harus memiliki ilmu pengetahuan yang cukup atau melibatkan pihak lain yang lebih memahami legal drafting sebelum melaksanakan suatu perikatan, sehingga tujuan kita untuk menambah pundi-pundi rupiah untuk penerimaan negara dapat tercapai dengan maksimal.
Alifian Setya Utama, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Tangerang I