Pengurusan piutang negara dan pelayanan
lelang merupakan dua tugas DJKN yang berada pada area hilir dan terkadang berfungsi
sebagai the last resort. Secara definisi, piutang negara merupakan akibat
dari kegiatan pemerintah yang menimbukan kewajiban bayar oleh pihak lain. Pada
lingkup DJKN, piutang negara yang ditangani pun merupakan piutang yang sudah
dalam kategori macet. Sementara itu, layanan lelang juga merupakan bagian dari tahapan
akhir suatu kegiatan, seperti penghapusan pada siklus pengelolaan BMN, penjualan
jaminan pada kredit perbankan, atau pelaksanaan putusan hukum.
Sifat pekerjaan seperti ini tentu
memiliki resiko yang berkaitan dengan potensi menurunnya intensitas pekerjaan
ketika tata kelola kegiatan yang berada di area hulu sudah semakin baik atau adanya
perubahan regulasi. Misalnya, ketika pencegahan munculnya piutang negara pada
level Kementerian/Lembaga sudah semakin efektif, maka penyerahan piutang negara
juga akan semakin menurun. Contoh lainnya, pelayanan lelang yang saat ini di
dominasi oleh lelang Hak Tanggungan dari sektor perbankan juga akan semakin
menurun apabila tata kelola sistem kredit di perbankan semakin prudent. Selain
itu, meskipun saat ini akses lelang semakin terbuka untuk semua kalangan, tapi segmen
pasarnya masih bersifat spesifik dan terbatas. Lalu apa yang harus kita
lakukan?
Piutang Negara: Outstanding
Minimal dan DJKN menjadi Regulatory-Supervisory Body
Secara alamiah, sasaran terakhir
dari upaya pengurusan piutang negara adalah menghasilkan outstanding
piutang yang minimal. Tentunya hal ini dapat dicapai melalui tiga level
strategi, yaitu 1) meminimalisasi terjadinya piutang negara yang bermasalah; 2)
optimalisasi pengurusan piutang negara pada Kementerian/Lembaga (belum kategori
macet); dan 3) pengurusan piutang negara yang telah masuk dalam kategori macet.
DJKN saat ini fokus untuk menangani piutang pada level 3. Oleh karena itu, DJKN
mungkin perlu menginisiasi untuk mengambil peran pada level 1 dan 2 melalui joint
program antara DJKN dan Kementerian/Lembaga. Ini bukan merupakan ide baru,
dimana tugas pengurusan piutang negara secara perlahan diubah menjadi tugas
pengelolaan. Proses ini juga pastinya akan menjadi jalan yang panjang karena
tujuan akhirnya adalah pembangunan sistem dimana kondisi level 1 benar-benar
terjadi dengan efektif dan efisien.
Namun, setelah level 1 itu terwujud,
pertanyaan selanjutnya adalah apakah kemudian tugas piutang negara menjadi
terhenti atau hilang? Jawabannya tentu tidak terhenti, tapi dominasi
pengelolaan piutang negara mungkin akan hampir berpindah dari DJKN ke
Kementerian/Lembaga dengan sifat pekerjaan yang cenderung mengarah pada
upaya-upaya preventif agar piutang negara yang bermasalah tidak muncul. Oleh
karena itu, unit piutang negara di DJKN mungkin akan bersifat sebagai regulatory-supervisory
body, dengan spesialisasi pekerjaan yang sifatnya sangat spesifik dan
terbatas. Konsep ini mirip dengan mekanisme pengelolaan BMN yang saat ini
berjalan. Kondisi ini tentunya juga tidak akan cepat dan mudah terwujud karena
untuk menuntaskan level 2 dan 3 saja merupakan pekerjaan yang memerlukan extra
effort. Namun demikian, optimisme dan kerangka perencanaan ke arah level 1
atau 2 mungkin perlu dibangun mulai sekarang.
Lelang: Berkembangnya Lelang
Sukarela dan BLU (BUMN) Lelang
Menurunnya frekuesi lelang
terutama dari lelang Hak Tanggungan mungkin saja terjadi dengan adanya sistem kredit
yang semakin prudent dan membaiknya kondisi perekonomian. Oleh karena
itu, penggalian potensi lelang dari sektor lain wajib untuk dilakukan. Program-program
inovatif yang telah dilakukan oleh DJKN, seperti digitalisasi proses bisnis
lelang, perbaikan mekanisme pra-lelang, dan pengikutsertaan UMKM dalam proses
lelang, merupakan langkah-langkah yang brilliant untuk menghidupkan
lelang sebagai suatu “industri baru” di tengah masyarakat. Upaya ini perlu
untuk terus digencarkan, terlebih lagi jika memang kedepan potensi lelang dari
sumber existing sudah menunjukkan penurunan.
Salah satu sumber lelang yang
belum optimal namun sangat potensial adalah lelang sukarela, dimana end
state-nya adalah lelang menjadi metode transaksi yang “sebanding” dengan
transaksi jual beli lainnya, seperti model e-commerce yang saat ini ada.
Untuk menuju tahap ini sepertinya memang akan sulit apabila dilakukan oleh
institusi yang berlatang belakang pemerintahan, karena dari sisi “fleksibiltas”
pengelolaan keuangan (bisnis) tidak se-luwes badan usaha privat. BLU
(atau BUMN) mungkin salah satu bentuk yang bisa dijadikan sebagai wadah ketika
upaya-upaya yang telah dilakukan oleh DJKN untuk menggiatkan sektor lelang
sukarela telah menunjukkan perkembangan yang semakin pesat.
Namun demikian, untuk dekade ke
depan, DJKN mungkin akan masih tetap menjadi leading unit dalam
pelaksanan lelang yang tentunya dengan constraint keterbatasan
fleksibilitas pengelolaan keuangan. Dengan keterbatasan itu, dua hal yang mungkin
dapat dan telah dilakukan oleh DJKN adalah 1) penyempurnaan regulasi dan platform
lelang online (lelang.go.id atau e-auction) serta 2) bagaimana
memperluas pangsa pasar pengguna jasa lelang, baik dari pemohon maupun peserta.
Target untuk penyempurnaan platform
cukup sederhana, yaitu dengan menyamakan fitur lelang online dengan fitur
yang ada di e-commerce lainnya. Misalnya, inisiasi untuk penambahan
fitur layanan pengiriman barang atau pembayaran sistem kredit. Meskipun dalam pratiknya
belum bisa diimplementasikan secara penuh karena batasan regulasi, namun paling
tidak dari aspek sistem informasi sudah siap. Sementara untuk perluasan pangsa
pasar bisa dilakukan dengan memperbaiki dan menjaga kesinambungan komunikasi
antara DJKN dengan pemohon, peserta, dan pembeli lelang. Dengan adanya
digitalisasi, data pemohon, peserta, pembeli lelang saat ini telah terhimpun ke
dalam basis data yang sifatnya terintegrasi. Program pasca lelang (lanjutan),
seperti penyampaian info-info lelang terbaru atau program-program menarik
lainnya bisa terus dilakukan dengan memanfaatkan basis data ini. Dari aspek data
analisis, bisa juga dilakukan dengan menganalisasi preferensi peserta atau pembeli
lelang yang ada di dalam basis data sebagai landasan untuk strategi komunikasi
kedepannya. Pemanfaatan basis data ini mungkin belum banyak kita lakukan saat
ini. Selain itu, ekstensifikasi pangsa pasar lelang juga bisa dilakukan dengan platform
media-media sosial yang saat ini sangat mendominasi di semua kalangan.
Penulis: Andar Ristabet Hesda
(KPKNL Surakarta)
Foto: @bill_oxford (under unsplash.com
license)