Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kebijakan Keringanan Utang di Masa Pandemi
Retno Nur Indah
Rabu, 24 Maret 2021   |   304 kali

Pada tanggal 8 Februari 2021 yang lalu, Menteri Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.06/2021 tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah yang Diurus/Dikelola oleh PUPN/DJKN dengan Mekanisme Crash Program Tahun Anggaran 2021. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tersebut merupakan salah satu kebijakan penting untuk memperbaiki tata kelola Piutang Negara dan juga merupakan kelanjutan dari kebijakan sebelumnya yaitu PMK 163/PMK.06/2020 yang mengatur mengenai pengelolaan piutang negara. Crash Program adalah optimalisasi penyelesaian Piutang Negara yang dilakukan secara terpadu dalam bentuk pemberian keringanan utang atau moratorium tindakan hukum atas Piutang Negara.

PMK 15 merupakan amanat Pasal 39 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2021.  Dalam PMK ini diatur tata cara memberikan keringanan utang bagi debitor yang mengajukan permohonan tertulis kepada KPKNL.  Disamping merupakan amanat undang-undang, kebijakan keringanan utang juga merupakan bentuk empati pemerintah di masa pandemi Covid-19.  Kebijakan ini merupakan kebijakan di masa pandemi untuk debitor kecil tertentu.

Oleh karena itu, hanya debitor kecil dengan kriteria tertentu yang berhak mendapatkan keringanan utang, yaitu debitor UMKM dengan pagu sampai dengan Rp5 miliar, debitor penerima KPR RS/RSS dengan pagu sampai dengan Rp100 juta dan debitor piutang instansi pemerintah lainnya dengan jumlah kewajiban sampai dengan Rp1 miliar.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan, ada kurang lebih 36.283 debitor di seluruh Indonesia yang berpotensi mengikuti program keringanan utang dengan nilai total piutang sebesar Rp1,17 triliun.  Dari 36.283 debitor tersebut, terdapat 1.749 debitor dengan nilai piutang Rp42,4 miliar yang aktif melakukan pembayaran/angsuran.  Melihat data tersebut, 1.749 debitor yang aktif melakukan pembayaran merupakan sasaran utama program keringanan utang mengingat tentunya relatif lebih mudah menjalin komunikasi terkait program ini.  Apabila hanya 1.749 debitor yang melakukan pembayaran, berarti hanya sekitar 4,8 persen debitor dari seluruh sasaran program dengan nilai 3,6 persen dari nilai total utang yang layak mendapatkan keringanan.  Mempertimbangkan hal tersebut, timbul pertanyaan, apakah program ini tepat untuk pemulihan ekonomi nasional dalam masa pandemi dan bagaimana dengan hasil yang dapat diperoleh pemerintah?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba untuk mengupas karakteristik piutang yang memenuhi syarat untuk mengikuti program keringanan utang berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan RI.  Jika ditilik dari umur piutang, maka sekitar 42 persen piutang telah berumur lebih dari 3 tahun, atau debitor telah berutang lebih dari 3 tahun.  Ini berarti semakin tua umur piutang, makin kecil kemungkinan dapat tertagih.  Namun demikian, mengingat masih terdapat sekitar 58 persen debitor yang berutang kurang dari 3 tahun, maka ada secercah harapan utang dapat tertagih.

Adapun ditilik dari barang jaminan atau agunan, hanya sekitar 14 persen debitor memiliki utang yang didukung dengan barang jaminan tidak bergerak berupa tanah dan bangunan, sehingga sebagian besar atau 86 persennya merupakan debitor yang utangnya didukung oleh barang jaminan yang tidak berupa tanah dan bangunan atau bahkan tidak didukung oleh barang jaminan.  Utang yang tidak didukung oleh barang jaminan tentunya akan sulit untuk ditagih atau di-recovery.

Selain itu, terdapat 2 (dua) klasifikasi debitor yang patut mendapat perhatian khusus karena jumlahnya cukup besar, yaitu debitor pasien rumah sakit pemerintah dan debitor mahasiswa yang menunggak biaya kuliah (SPP).  Dengan profil debitor seperti itu, dapat dipastikan utang tidak didukung dengan barang jaminan dan rata-rata hampir tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pelunasan.  Tentu saja kebijakan seperti ini menjadi sangat berpihak kepada masyarakat, terutama yang terdampak pandemi.

Selanjutnya, stimulus yang diberikan berupa pemberian keringanan seluruh sisa utang bunga, denda, dan ongkos/biaya lainnya, keringanan utang pokok sebesar 35 persen untuk utang yang didukung dengan barang jaminan berupa tanah atau tanah dan bangunan dan 60 persen jika utang tidak didukung oleh barang jaminan berupa tanah atau tanah dan bangunan.  Selain itu, terdapat tambahan keringanan utang pokok sebesar 50 persen apabila lunas sampai dengan bulan Juni 2021, 30 persen pada Juli sampai dengan September, dan 20 persen pada Oktober sampai dengan 20 Desember 2021.

Bentuk stimulus yang lain berupa moratorium tindakan hukum seperti penundaan penyitaan barang jaminan/harta kekayaan lain, penundaan lelang dan penundaan paksa badan.  Tindakan moratorium tersebut tentu sangat membantu di kala kondisi ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini.

Besaran stimulus dan moratorium tindakan hukum yang ditawarkan sangat menarik, khususnya bagi debitor yang pernah melakukan pembayaran.  Apalagi mengingat karakteristik utang yang tingkat recovery-nya rendah, khususnya untuk utang yang tidak didukung barang jaminan.   Dengan demikian, alih-alih kehilangan seluruh potensi penerimaan dari utang, pemerintah masih bisa mendapatkan hasil apabila paling tidak 1.749 debitor tersebut mau memanfaatkan skema yang ditawarkan.  Tentunya diharapkan debitor lain yang semula sama sekali tidak pernah melakukan pembayaran dapat turut serta mengikuti program ini. 

Untuk itu, strategi komunikasi yang telah dirancang oleh Kementerian Keuangan sangat penting untuk keberhasilan program.  Jangan sampai Crash Program ini kurang diminati oleh debitor karena debitor tidak terinformasikan dengan baik karena kurangnya strategi komunikasi. Kemudian tentu saja yang paling menentukan adalah kerja keras dari pihak Kementerian Keuangan dan instansi pemilik piutang (penyerah piutang) dalam melakukan langkah-langkah untuk mensukseskan program keringanan utang.  Sebab banyak cara yang bisa dilakukan oleh Kementerian Keuangan untuk memberitahukan rencana pelaksanaan Crash Program kepada debitor yang berhak diberikan Crash Program. Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara Kementerian Keuangan dengan instansi pemilik piutang (penyerah piutang) agar program keringanan utang dapat berhasil selain juga pelaksanaan kerja sama penyelesaian (joint program) dengan instansi pemilik piutang (penyerah piutang).  Debitor yang menjadi sasaran program ini harus mendapatkan informasi sesegera mungkin, karena makin dini mengikuti program, makin besar nilai keringanan utang yang didapatkan.  Semoga para debitor yang menjadi sasaran program keringanan utang bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk dapat melunasi utangnya sebab kesempatan ini hanya berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2021.

 

Penulis            : Retno Nur Indah, Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Singkawang

Infografis         : Humas DJKN

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Foto Terkait Artikel
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini