Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Madrasah di Atas Awan
Frans Edison Sihombing
Rabu, 19 April 2017   |   342 kali

Fajar baru saja menyingsing ketika tim sertifikasi tanah negara KPKNL Padang Sidimpuan dan Kantor Pertanahan Tapanuli Selatan bergerak menuju Gunung Tua, ibukota Kabupaten Padang Lawas Utara. Tujuan kami adalah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Sihapas-hapas yang terletak di desa terpencil di puncak Tor Sidardar yang masuk kawasan Bukit Barisan. Kepala MIN , H. Mukrin, sudah menyiapkan 4 buah  kendaraan roda dua ber –ban pancal yang akan membawa kami ke lokasi pengukuran. Sedikit panik tim pun bertanya mengapa ? Dijawab beliau agar lebih cepat sampai. Tanpa banyak bertanya lagi tim pun segera naik dan bergerak menuju lokasi.


 Sudah lewat tengah hari dan disaat jalan tanah berbatu mulai berganti tanah berpasir, tim pun belum mencapai lokasi. Diterpa terik matahari ,  kondisi fisik anggota tim mulai turun saat setengah perjalanan dilalui. Tanpa dinyana cuaca berubah drastis, matahari berganti awan gelap diiringi hujan gerimis. Jalan pun sudah berganti melalui jalan tanah menyempit bak jalur tikus. Berkali-kali sepeda motor tergelincir dan terperosok jalan yang sudah mirip aliran air. Sempat terbersit rasa frustasi karena lelah akibat beberapa kali tim harus berjalan kaki dan mendorong motor karena jalan licin dan tanjakan curam Bukit Batu Marlela, salah satu bukit di deretan Bukit Barisan. Teriakan Kepala MIN Sihapas-hapas bahwa lokasi sudah dekat, membangkitkan kembali semangat tim untuk menyukseskan program nasional tersebut.


 Menjelang sore hari sampailah tim di Balai Desa Sihapas-hapas dan tak dinyana kondisi bangunan madrasah mengingatkan kita akan kondisi sekolah di filem fenomenal Laskar Pelangi. Dinding papan dan berjendela kayu tua serta berlantai tanah, menambah ragam potret dunia pendidikan kita. Rasa lelah yang mendera sedikit terobati dengan berkumpulnya anak-anak madrasah yang berlari-lari riang menyambut kepala madrasah dan tim. Kami pun diajak mereka ke dalam kelas yang gelap tanpa listrik dan meja kursi kayu sederhana. Tak terbayang kondisi nyata dunia pendidikan di Indonesia bagian barat tak jauh lebih baik dari bagian lainnya.


 Tak lama kemudian hujan deras pun turun mengguyur desa dan informasi masyarakat bahwa air sungai Batangpane yang berhulu di Bukit Tor Sidardar sudah meluap setinggi dada orang dewasa sehingga tak mungkin dilewati. Alhasil malam itu kami harus bermalam di rumah Kepala Desa, Bapak Rachmat. Anggota tim yang sama sekali tidak mempersiapkan pakaian pun akhirnya bermalam di rumah panggung kayu dengan ditemani ayam – ayam yang berkandang dibawahnya. Cuaca dingin tanpa listrik dan kelelahan yang mendera membuat anggota tim tetap tertidur lelap dengan pakaian yang terpercik lumpur dalam perjalanan siang tadi.


 Akhirnya pagi pun tiba. Setelah sholat subuh, anggota tim mencoba mandi di anak sungai seperti masyarakat desa lakukan ditemani segerombolan monyet ekor panjang yang tak berhenti bersahutan dan melompat-lompat antar dahan. Pukul 10 pagi tim memutuskan pamit kepada Kepala Desa yang memberi saran agar tim merubah jalur perjalanan agar tidak bertemu sungai yang meluap semalam. Guna memastikan keselamatan tim, Kepala Desa pun menugaskan warganya mengantarkan kami sampai ke kota. Memang kami tidak melewati sungai Batangpane yang meluap. Namun entah berapa belas kali kami harus melewati jalur anak sungai, tanjakan curam berpasir dan turunan tajam yang membuat jantung berdegup kencang. Terjerembab dalam lumpur menjadi menu siang itu. Sempat kami beristirahat di atas Bukit Batu Kembar sehingga terasa berada diatas awan. Atas lindungan Allah SWT, sore hari tim akhirnya sampai di Gunung Tua. Bagi kami itu suatu pengalaman yang tak terlupakan dan membuktikan bahwa DJKN juga hadir di daerah terpencil. Sampai jumpa Madrasah di Atas Awan.

( Penulis : Adi Suharna, Foto : M. Trisno F, Edited : HI )


 


Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini