Sewa adalah pemanfaatan Barang
Milik Negara/Daerah (BMN/D) oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan
menerima imbalan tunai.[1] Tujuan dilakukan sewa
adalah untuk mengoptimalkan pemanfaatan BMN yang belum/tidak digunakan dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi. Penyewaan BMN dilakukan sepanjang memberikan
manfaat ekonomi bagi Pemerintah dan masyarakat.
Dalam penyelenggaraan
pertambangan batubara, pemerintah melaksanakan perjanjian dengan badan usaha yang
melakukan kegiatan usaha pertambangan batubara, yang disebut dengan kontrak
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sesuai PP 27 Tahun
2014 jo. PP 28 Tahun 2020 bahwa salah satu jenis BMN adalah barang yang berasal
dari perolehan lainnya yang sah antara lain barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan
perjanjian/kontrak. Dengan demikian, maka barang yang dimiliki kontraktor
selama masa PKP2B menjadi BMN PKP2B. Salah satu pertimbangan pemanfaatan BMN
PKP2B adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dimana pemanfaatan tersebut
tidak mengubah status kepemilikan objek pemanfaatan sebagai BMN PKP2B melalui sewa.
Sebagai bentuk jawaban atas perkembangan,
permasalahan dan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan pertambangan mineral dan
batubara, Pemerintah dalam aturan perundang-undangan baru merubah kontrak PKP2B
menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Sesuai Pasal 169 A Ayat 3 UU
Nomor 3 Tahun 2020 disebutkan bahwa dalam pelaksanaan perpanjangan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi
Kontrak/Perjanjian, seluruh barang yang diperoleh selama masa pelaksanaan PKP2B
yang ditetapkan menjadi barang milik negara tetap dapat dimanfaatkan dalam kegiatan
pengusahaan.[2]
Pertambangan
Batubara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mana BMN tersebut
akan dikenakan sewa berupa tarif pemanfaatan BMN. Hal ini menjadi salah satu
akibat yang ditimbulkan dari perubahan status tersebut dimana ada konsekuensi
peningkatan penerimaan negara bukan pajak atas penjualan batubara. Adapun barang
dan peralatan yang diperoleh dan/atau dibeli pemegang IUPK sebagai Kelanjutan
Operasi Kontrak/Perjanjian tidak lagi menjadi BMN PKP2B.
PT Kaltim Prima Coal sebagai
salah satu pemegang PKP2B yang telah berakhir masa kontraknya pada tanggal 31
Desember 2021, telah diberikan IUPK sebagai kelanjutan operasi. Adapun dengan
perubahan dimaksud, perlu ditindaklanjuti atas pemanfaatan BMN yang diperoleh
selama masa pelaksanaan PKP2B yang dikenakan sewa berupa tarif pemanfaatan BMN.
Berdasarkan latar belakang
tersebut, apa manfaat dari prosedur pemanfaatan sewa BMN pada era IUPK ini jika
dibandingkan dengan prosedur pemanfaatan sewa BMN pada umumnya? Bagaimana
urgensi perubahan tarif sewa pemanfaatan BMN PKP2B pada masa IUPK sebagai
pelaksanaan amanat UU No. 3 tahun 2020 dalam rangka meningkatkan pendapatan
penerimaan negara.
Berdasarkan
artikel dari Suryani Suyanto & Associates yang berjudul PKP2B jadi
IUPK, risiko dari beban perpajakan semakin besar mengungkapkan
bahwa Perubahan status dari Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara
(PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Kelanjutan Operasi
membawa konsekuensi adanya peningkatan penerimaan negara. Rezim perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk IUPK eks
PKP2B pun bakal berubah. Selain terjadi kenaikan tarif pada sejumlah komponen
pajak dan PNBP, perubahan ini pun membawa risiko beban perpajakan yang lebih
tinggi.[3]
Sementara itu, Feldha Shastiana Putri dan Lilis Ardini
dalam Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Volume 9 No. 1 tahun 2020 yang berjudul
Optimalisasi Pemanfaatan Sewa Barang Milik Negara Untuk Meningkatkan Penerimaan
Negara Bukan Pajak menyatakan bahwa pemanfaatan kekayaan negara dalam rangka
peningkatan penerimaan negara bukan pajak pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang Surabaya belum optimal. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya Satker
yang cenderung memiliki ego sektoral (self-belonging). Selain itu, masih
terdapat aset yang tidak terpakai (idle), tidak digunakan sesuai
peruntukannya (under used), dan tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya
(tertinggi dan terbaik), tarif sewa yang dinilai tinggi, database yang
kurang. efisien, dan belum ada undang-undang tentang kekayaan negara.[4]
Sesuai dengan PMK Nomor 115/PMK.06/2020 tentang Pemanfaatan
BMN menyatakan bahwa tata pelaksanaan sewa BMN pada umumnya dibagi menjadi dua,
yaitu tata cara pelaksanaan sewa BMN yang berada pada Pengelola Barang dan tata
cara pelaksanaan sewa BMN yang berada pada Pengguna Barang. Tata cara
pelaksanaan sewa BMN yang berada pada Pengelola Barang dapat dilaksanakan atas
inisiasi Pengelola Barang, atas permohonan calon penyewa, pemilihan penyewa, penerapan faktor penyesuai
dan penambahan jangka waktu karena kondisi tertentu, dan perjanjian sewa.
Pelaksanaan
sewa atas inisiasi Pengelola Barang dilakukan dengan
serangkaian prosedur oleh Pengelola Barang. Seperti melakukan pendataan
dan penelitian BMN, menugaskan Penilai untuk melakukan penilaian BMN yang akan disewakan, melakukan
kajian kelayakan
BMN yang akan disewakan berikut perhitungan besaran sewa berdasarkan hasil
pelaksanaan penilaian, serta menerbitkan keputusan sewa dengan mempertimbangkan hasil
penelitian, kajian kelayakan, dan penilaian atau daftar tarif pokok sewa.
Pelaksanaan
sewa atas permohonan calon penyewa dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
Pertama, permohonan. Calon penyewa
mengajukan permohonan sewa kepada pengelola barang disertai syarat-syaratnya. Kedua, penelitian dan
Penilaian. Pengelola Barang menugaskan
Penilai untuk melakukan penilaian
objek Sewa guna memperoleh nilai wajar atas Sewa sebagai tarif pokok Sewa. Hasil
pelaksanaan Penilaian digunakan oleh Pengelola Barang dalam melakukan kajian
kelayakan penyewaan dan perhitungan besaran Sewa. Ketiga, persetujuan. Pengelola Barang
memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan Sewa yang diajukan dengan
mempertimbangkan hasil penelitian dan penilaian.
Tahapan
pelaksanaan sewa atas BMN yang berada pada Pengguna Barang meliputi Pertama, permohonan.
Pengguna Barang mengajukan
permohonan persetujuan sewa kepada Pengelola Barang. Kedua, penelitian
dan penilaian. Pengelola Barang melakukan penelitian atas kelayakan penyewaan
terkait permohonan dari Pengguna Barang. Pengelola Barang menugaskan Penilai
untuk melakukan Penilaian objek Sewa guna memperoleh nilai wajar atas sewa
sebagai tarif pokok sewa.
Ketiga, persetujuan. Pengelola
Barang memberikan persetujuan
atau penolakan atas permohonan sewa yang diajukan dengan
mempertimbangkan hasil penelitian dan penilaian; Besaran sewa
yang dicantumkan dalam
surat persetujuan merupakan nilai
hasil perhitungan tarif pokok sewa dikalikan faktor penyesuai Sewa,
dalam hal terdapat usulan besaran sewa dari Pengguna Barang yang lebih besar
dari hasil penilaian, maka besaran sewa yang ditetapkan oleh Pengelola Barang
adalah sebesar usulan besaran sewa dari Pengguna Barang.
Pengguna
Barang dapat melakukan pemilihan penyewa
secara langsung atau melalui mekanisme lelang. Penerapan faktor
penyesuaian dan penambahan jangka
waktu karena kondisi tertentu. Perjanjian sewa ditandatangani
oleh Pengguna Barang dan penyewa dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan
sejak diterbitkannya surat persetujuan Sewa oleh Pengelola Barang.
Sebagai salah satu bentuk BMN yang diperoleh berdasarkan
perjanjian/kontrak, BMN PKP2B juga dapat dilakukan pemanfaatan dalam bentuk
sewa sebagai wujud optimalisasi pengelolaan kekayaan negara yang menjadi bagian
dari penerimaan negara. Selama masa PKP2B pada PT Kaltim Prima Coal, hanya
terdapat 1 (satu) perjanjian atas optimalisasi BMN PKP2B pemanfaatan BMN dalam
bentuk sewa berupa jalan (Road-1 Wharf Mine) seluas 37.100 m2 dan lahan seluas
125.000 m2 dalam area Pelabuhan Khusus Batubara. Adapun besaran sewa yang
ditetapkan dan menjadi penerimaan negara yaitu sebesar Rp. 9.383.325.000,00
(sembilan miliar tiga ratus delaan puluh tiga juta tiga ratus dua puluh lima
ribu rupiah).
Setelah
melihat prosedur sewa BMN pada umumnya, Penulis menyampaikan prosedur
pemanfaatan sewa BMN pada era Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dalam Pasal
169 A UU Nomor 3 Tahun 2020 menyebutkan kontraktor PKP2B diberikan jaminan
perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah
memenuhi persyaratan dengan pertimbangan adanya upaya peningkatan penerimaan
negara yang salah satunya dilakukan melalui pengaturan kembali pengenaan pajak
dan penerimaan negara bukan pajak. Menindaklanjuti hal tersebut, berdasarkan
kajian yang dilaksanakan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal
Anggaran dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara bahwa salah satu hal yang
diatur kembali terkait pengenaan PNBP adalah pengenaan sewa berupa tarif pemanfaatan
BMN sebagai tindak lanjut ketentuan dalam pelaksanaan perpanjangan IUPK sebagai
Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian yaitu seluruh barang yang diperoleh
selama masa pelaksanaan PKP2B yang ditetapkan menjadi BMN tetap dapat
dimanfaatkan dalam kegiatan pengusahaan Pertambangan Batubara.
Hasil
kajian tersebut telah dituangkan dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah
sebagai tindak lanjut atas diterbitkannya UU Nomor 3 Tahun 2020. Dalam
rancangan tersebut, ditentukan tarif pemanfaatan sewa BMN sebesar 0,21 persen
dari total harga produksi penjualan batubara. Setiap perusahaan yang memiliki
IUPK, akan dikenakan tarif sewa BMN dimaksud baik memanfaatkan atau tidak
memanfaatkan BMN, sehingga akan memberikan kepastian dalam penerimaan negara
khususnya PNBP sewa BMN.
Berikut
manfaat dari prosedur pemanfaatan sewa BMN pada era IUPK jika dibandingkan
dengan prosedur pemanfaatan sewa BMN pada umumnya:
1.
Prosedur
pemanfaatan BMN khususnya sewa atas BMN PKP2B menjadi lebih ringkas dan mudah
dibandingkan dengan prosedur pemanfaatan sewa BMN pada umumnya.
2.
Adanya
kepastian tarif tunggal yang ditetapkan atas pemanfaatan sewa BMN sehingga
tidak diperlukan proses penilaian BMN sebagai dasar penerapan tarif sewa.
3.
Potensi
penerimaan negara menjadi lebih besar mengingat adanya kepastian penerimaan PNBP
dari Sewa BMN yang diperoleh berdasarkan penjualan batubara.
Perubahan
tarif sewa pemanfaatan BMN PKP2B pada masa IUPK memiliki urgensi yang tinggi
untuk meningkatkan pendapatan penerimaan negara sebagai pelaksanaan amanat UU
Nomor 3 Tahun 2020. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan pemanfaatan BMN
PKP2B dalam bentuk sewa sebelum dan sesudah masa IUPK. Pemanfaatan BMN dalam
bentuk sewa sebelum masa IUPK hanya menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp
9.383.325.000,00 selama masa PKP2B. Dengan adanya tarif tunggal atas sewa
pemanfaatan BMN PKP2B pada masa IUPK akan meningkatkan penerimaan negara secara
signifikan karena adanya PNBP atas sewa BMN setiap tahunnya atas penjualan
batubara.
Penerapan
tarif sewa pemanfaatan BMN PKP2B pada masa IUPK akan memberikan dampak berupa
simplifikasi prosedur dalam pemanfaatan sewa BMN, sehingga memudahkan
perusahaan untuk melakukan inventaris kembali atas BMN yang dimanfaatkan.
Selain itu, penerapan tarif tersebut menjadi kesatuan hukum yang padu dalam hal
pengelolaan BMN PKP2B pada masa IUPK yang tentunya memberikan manfaat bersama
baik Pemerintah dan perusahaan pertambangan batubara.
Berdasarkan
hasil analisis dan pembahasan tersebut, Penulis dapat memberikan simpulan bahwa
PT Kaltim Prima Coal akan semakin lebih mudah dalam memanfaatkan BMN dalam
bentuk sewa pada masa IUPK secara administrasi daripada sewa BMN pada umumnya
dengan adanya simplifikasi prosedur. Pengenaan tarif 0,21 persen tidak
memandang perusahaan memanfaatkan BMN atau tidak karena pengenaan tarif sewa
dimaksud berdasarkan penjualan batubara, sehingga dapat meningkatkan penerimaan
negara secara signifikan. Kepastian tarif atas sewa BMN PKP2B akan menjadi daya
tarik investor untuk berinvestasi di PT Kaltim Prima Coal yang telah memperoleh
IUPK Kelanjutan Operasi sebagai wujud adanya kepastian hukum dan kesederhanaan
administrasi dalam pengelolaan aset sehingga menciptakan iklim usaha
pertambangan yang terjamin.
Penulis
menyarankan bahwa Rancangan
Peraturan Pemerintah terkait Pemanfaatan BMN PKP2B pada Masa IUPK untuk segera
diterbitkan sehingga ada kepastian hukum atas implementasi IUPK. BMN yang tidak
dimanfaatkan oleh PT Kaltim Prima Coal agar diapat diinventaris dan dilakukan pemanfaatan
dalam bentuk lain serta pemindahtangan dalam bentuk penjualan dan penerusan
sewa kepada pihak lain dengan persetujuan Pengelola Barang dan Pengguna Barang
sesuai Pasal 9 ayat (3) PMK Nomor 115 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan BMN
sehingga dapat menurunkan biaya operasional perusahaan dan meningkatkan PNBP.
***
*Ditulis Oleh: Mulyadi, Adit, Dio, dan
Desy
[1] Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah
[2] Pasal 169 A ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara
[3] www.ssas.co.id. Suryani Suyanto & Associates.PKP2B jadi IUPK, risiko
dari beban perpajakan semakin besar
[4] Feldha Shastiana Putri dan Lilis Ardini. Optimalisasi Pemanfaatan Sewa Barang Milik Negara Untuk
Meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi Volume 9 No. 1 tahun 2020.