Edgar Schein’s Culture Model yang
dipublikasikan pertama kali pada tahun 1980 menggambarkan faktor-faktor yang
membentuk suatu budaya kerja yang mendukung terciptanya inovasi pada suatu
organisasi. Dalam model tersebut, digambarkan sebuah piramida yang terbagi oleh
tiga lapisan. Pada bagian atas dari piramida tersebut terdapat artefak,
sedangkan bagian tengahnya ada lapisan value, dan pada bagian bawah adalah
asumsi. Sesuai bentuknya, maka lapisan atas memiliki pengaruh terkecil,
sedangkan lapisan paling bawah memiliki pengaruh paling besar dalam pembentukan
budaya kerja organisasi.
Artefak adalah
semua sarana, prasarana, maupun acara yang dimaksudkan untuk meningkatkan
motivasi dalam pembentukan budaya kerja. Hal ini bisa saja berbentuk penataan
ruang kerja yang dinamis, lay-out open
space, penuh warna, dan dilengkapi fasilitas-fasilitas yang diperkirakan
mendukung terbentuknya budaya kerja inovasi. Tulisan-tulisan motivasi dan
nilai-nilai budaya dalam bentuk poster atau bentuk apapun yang dipajang dalam
ruang kantor juga masuk dalam kategori ini. Termasuk juga dalam lapisan ini
adalah acara-acara kompetisi antar pegawai dalam menjalankan budaya kerja.
Artefak ini diyakini dapat menumbuhkan keterlibatan, menginspirasi inovasi, dan
mendorong produktivitas pegawai.
Banyak
organisasi dan kantor menggunakan artefak ini sebagai sarana untuk menumbuhkan
budaya inovasi pegawainya. Ruang kantor saat ini sudah didesain sedemikian rupa
sehingga memenuhi kebutuhan pegawainya untuk berinovasi. Desain ruang kerja
dengan fokus pada manusia, sehingga ruang kerja menjadi dinamis, tidak terikat,
dan memungkinkan pegawainya mendapatkan pengalaman kerja yang memberikan
kesempatan untuk bereksperimen. Ruang kerja juga tidak lagi terkesan resmi,
bahkan pada banyak contoh terdapat unsur keceriaan dan permainan, sesuatu yang
diyakini dibutuhkan oleh otak manusia dalam menyusun inovasi dan kreativitas.
Upaya untuk
membangun budaya kerja melalui artefak akan sangat mudah terlihat oleh pegawai.
Bentuknya yang berupa benda atau acara sangat mudah dikenali dan dirasakan oleh
pegawai. Namun demikian keefektivannya
untuk membangun budaya inovasi tidak terlalu besar. Artefak ini paling tidak
dapat digunakan sebagai trigger bagi terbangunnya budaya kerja. Artefak-artefak
yang dibuat diharapkan bisa memberikan informasi yang jelas bagi pegawai akan
program pembangunan budaya kerja yang sedang dijalankan, yang pada gilirannya
nanti dapat memberikan dukungan atas program tersebut dan menciptakan berbagai
inovasi bagi kemajuan organisasi.
Lapisan tengah
dari piramid adalah value atau
nilai-nilai yang dianut. Lapisan ini memiliki efektivtas yang lebih baik dari
lapisan artefak, tapi belum menjadi penentu utama dalam membangun budaya kerja
yang mendukung terciptanya inovasi. Lapisan value
ini terbagi lagi menjadi dua sub bagian
yaitu value yang dinyatakan secara
resmi pada bagian atas, dan value
yang tidak dinyatakan namun hadir dalam keseharian pada bagian bawah. Value yang resmi disampaikan merupakan
pedoman bagi seluruh pegawai dalam berprilaku, baik dalam berinteraksi sesama
anggota organisasi, maupun dalam menghadapi permasalahan dari pihak eksternal.
Adapun value yang tidak dinyatakan
secara resmi namun hadir dalam interaksi pegawai sehari-hari dapat dikatakan
sebagai kesepakatan tidak tertulis yang menjadi pedoman oleh seluruh anggota
dalam berinteraksi.
Nilai-nilai
perilaku Organisasi bisa bersumber dari pimpinan, atau pendiri organisasi, atau
untuk organisasi publik biasanya merupakan kesepakatan dari semua pihak yang
terlibat. Nilai-nilai ini kemudian diinternalisasikan ke seluruh anggota
organisasi, dan diharapkan akan menjadi konsep nilai yang hidup dalam setiap
perilaku anggotanya. Nilai-nilai ini juga akan disosialisasikan kepada anggota
baru organisasi, sehingga secara keseluruhan nilai-nilai ini akan terus hidup
dan menjadi keseharian setiap anggotanya dalam berinteraksi dan menyelesaikan permasalahan
yang ada.
Berdasarkan
penelitian O’Reily, Chatman, dan Caldwell (1991), serta Sheridan (1992) memperlihatkan adanya hubungan yang kuat
antara person-culture fit dengan
tingkat kepuasaan kerja, komitmen, dan turnover anggota. Individu yang memiliki
nilai-nilai pribadi yang sama dengan nilai-nilai organisasi akan memiliki
kepuasan kerja yang tinggi, memiliki komitmen yang tinggi, dan akan tetap
bertahan dalam organisasi tersebut, begitu pula sebaliknya.
Lapisan terakhir
dan terpenting, serta sangat mempengaruhi terbentuknya budaya kerja yang
mendukung terciptanya inovasi adalah asumsi. Asumsi ini merupakan hal yang
lebih dalam dari value. Asumsi ini
merupakan kesadaran atau keyakinan setiap anggota organisasi terhadap
nilai-nilai dan budaya kerja yang terbentuk dari pengalamannya selama
berinteraksi dalam organisasi. Dengan
demikian semua aspek akan mempengaruhi asumsi ini, seperti perilaku pimpinan,
perilaku sejawat, konsitensi kebijakan, komunikasi kebijakan, dan lain
sebagainya. Asumsi ini akan membentuk kebiasaan dan pada akhirnya jika
berlangsung secara kolektif akan menjadi budaya kerja.
Soren Kaplan, seorang
Profesor pada USC Marshall School of
Business menjelaskan bahwa para pegawai akan mendapatkan berbagai
pengalaman dari melihat atau berinteraksi dengan pimpinan. Keputusan dan kebiasaan
pimpinan, baik yang disadari ataupun tidak disadari pimpinan, akan membentuk
asumsi pada pegawai terkait mana kebiasaan yang diperbolehkan dan mana yang
tidak diperbolehkan. Lebih lanjut dinyatakan jika kita ingin merubah kebiasaan
pegawai, maka ciptakanlah pengalaman baru atau berbeda, dimana pengalaman itu
akan membuat asumsi yang akan menggantikan asumsi mereka selama ini. Pada
akhirnya jika kita secara konsisten memberikan pengalaman tersebut, maka ini
akan secara jelas menyampaikan pesan kepada pegawai bahwa asumsi baru tersebut
adalah sesuatu yang diinginkan. Jika hal demikian sudah terjadi maka dengan
sendirinya kebiasaan dan budaya yang mendukung terciptanya inovasi akan
mengikuti.
Dari sini bisa dipahami, peran pimpinan sangat besar dalam menciptakan budaya kerja inovasi, serta juga harus disadari menciptakan budaya tersebut memerlukan waktu yang tidak sebentar. Hal lain yang juga bisa dipahami adalah inovasi bukan merupakan sesuatu yang bisa dipaksakan kehadirannya. Jika asumsi yang ada di benak pegawai adalah asumsi-asumsi kerja yang tidak mendukung terciptanya inovasi, namun pegawai dipaksa membuat inovasi, maka dapat dipastikan inovasi yang dihasilkan tidak memiliki akar yang kuat atau hanya bersifat di permukaan. Inovasi itu hanya dibuat untuk keperluan tertentu dan akan hilang dengan sendirinya jika kepentingan telah berlalu. Inovasi ini juga tidak banyak mendukung peningkatan kerja yang diinginkan organisasi.
Menciptakan Inovasi yang kuat
Nah, jika budaya
yang mendukung terciptanya inovasi telah terbantuk, langkah selanjutnya
tentunya memastikan inovasi tersebut benar-benar berdampak dan memiliki manfaat
bagi organisasi dan pengguna jasa. Harus dipastikan juga, inovasi yang dibangun
akan memiliki dampak positif bagi peningkatan kinerja atau citra organisasi
secara keseluruhan. Inovasi yang dibangun juga harus didasari oleh keinginan
untuk menghilangkan permasalahan atau kondisi yang dinilai tidak efektif dan
efisien, serta didasari keinginan untuk memberikan peningkatan pelayanan bagi
pengguna jasa.
Untuk itu,
pengalaman para innovator yang
berhasil dapat disimak dan dipelajari. Pengalaman gojek, traveloka, di tingkat
nasional, atau air bnb, dan tesla di tingkat internasional yang menelurkan
inovasi yang berhasil mendisrupsi industri bisnis masing-masing sangat menarik untuk
diambil sebagai pelajaran. Bagaimana mereka sampai pada inovasi yang ada, apa
cara pikir yang mereka gunakan dalam membangun inovasi yang pada akhirnya
dapat mendisrupsi pasar.
Dr.Indrawan
Nugroho, dalam channel youtubenya dengan video
“Cara Berpikir Para Disruptor Industri” menjelaskan bahwa, para
innovator tersebut mengunakan cara berpikir yang disebut First Principle Thinking. Cara berpikir ini sendiri sebenarnya sudah
dikemukakan philsuf Yunani Aristoteles, yang menyatakan bahwa dengan memahami
prinsip-prinsip dasar dari suatu objek, maka akan diperoleh pemahaman yang
lebih banyak. Prinsip ini meminta kita memahami hal yang paling mendasar dari
suatu objek sampai menemukan satu
kebenaran yang paling dasar.
Prinsip ini
digunakan oleh para innovator dengan cara terlebih dahulu memahami secara
mendasar industri yang digelutinya. Dengan memahami hal yang paling mendasar
itulah, maka dapat disusun strategi dan formula untuk berhasil dalam industri
tersebut dengan mengeluarkan berbagai inovasi. Contoh yang digunakan untuk
menjelaskan cara berpikir ini dalam video tersebut adalah bahwa first principle thinking dalam industri
perhotelan adalah menyediakan akomodasi yang nyaman, atau dalam industri
perdagangan adalah menjadi mempertemukan pedagang dan pembeli.
Dalam contoh itu
disebutkan bahwa untuk menghadirkan first
principle thinking dalam industri perhotelan maka kita hanya perlu
menyediakan kamar akomodasi, namun tidak perlu memilikinya, begitu juga dalam
industri perdagangan, kita tidak perlu memiliki pasar dalam mempertemukan
pedagang dan pembeli. Prinsip ini tentunya bisa diterapkan dalam pekerjaan kita
masing-masing. Mari cari hal mendasar dalam kerjaan kita, maka kita akan bisa
menemukan inovasi cerdas untuk mendapatkan kesuksesan.
*)Ditulis oleh
Rachmat Kurniawan, Kepala KPKNL Pekanbaru
Sumber Referensi:
https://www.youtube.com/watch?v=X8_8yYEJRlI
https://www.youtube.com/watch?v=PJ4CSPU3-64
https://www.youtube.com/watch?v=136BH2iJ6r4&list=RDCMUC1SwRNlsG7CvewxJbycKmiA&index=5
Al-Amin, Raden Pamungkas. (2010). Kajian tentang Nilai-nilai Inti Budaya
Organisasi dan Komitmen Anggota Aiesec Local Committee Universitas Brawijaya
Malang. Jurnal Aplikasi Manajemen. Volume 9 Nomor 3 Agustus 2010 Halaman
607-616
Ihksan, Anwar. (2016). Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan
Kerja Tehadap Kinerja Karyawan Non Dosen Pada Universitas Mercu Buana Jakarta.
Jurnal Ilmu Manajemen dan Bisnis Volume 2 No. 1 Maret 2016. Halaman 17 – 35
Irawati, Dwi. (2009). Implementasi Nilai-nilai Budaya Organisasi Melalui
Sosialisasi Budaya Organisasi. Jurnal Manajemen Vol.9 No. 1 Halaman 73-80
Meiyanto, Sito. Santhoso, Fauzan Heru. (1999) Nilai-nilai Kerja dan
Komitmen Organisasi: Sebuah Studi Dalam Konteks Pekerja Indonesia. Jurnal
Psikologi 1999 No. 1 Halaman 29 -40
Rahmat, Miftahul. Dkk. (2020) Hubungan Budaya Organisasi dengan Inovasi Perusahaan. Jurnal Ilmiah, Manajemen Sumber Daya Manusia. Vol. 4 No. 2. Januari 2021. Halaman 145-152