Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Pekanbaru > Artikel
Pembentukan Iklim Kerja untuk Membangun Budaya Inovasi
Eva Resia
Senin, 23 Agustus 2021   |   2840 kali

Edgar Schein’s Culture Model yang dipublikasikan pertama kali pada tahun 1980 menggambarkan faktor-faktor yang membentuk suatu budaya kerja yang mendukung terciptanya inovasi pada suatu organisasi. Dalam model tersebut, digambarkan sebuah piramida yang terbagi oleh tiga lapisan. Pada bagian atas dari piramida tersebut terdapat artefak, sedangkan bagian tengahnya ada lapisan value, dan pada bagian bawah adalah asumsi. Sesuai bentuknya, maka lapisan atas memiliki pengaruh terkecil, sedangkan lapisan paling bawah memiliki pengaruh paling besar dalam pembentukan budaya kerja organisasi.

Artefak adalah semua sarana, prasarana, maupun acara yang dimaksudkan untuk meningkatkan motivasi dalam pembentukan budaya kerja. Hal ini bisa saja berbentuk penataan ruang kerja yang dinamis, lay-out open space, penuh warna, dan dilengkapi fasilitas-fasilitas yang diperkirakan mendukung terbentuknya budaya kerja inovasi. Tulisan-tulisan motivasi dan nilai-nilai budaya dalam bentuk poster atau bentuk apapun yang dipajang dalam ruang kantor juga masuk dalam kategori ini. Termasuk juga dalam lapisan ini adalah acara-acara kompetisi antar pegawai dalam menjalankan budaya kerja. Artefak ini diyakini dapat menumbuhkan keterlibatan, menginspirasi inovasi, dan mendorong produktivitas pegawai.

Banyak organisasi dan kantor menggunakan artefak ini sebagai sarana untuk menumbuhkan budaya inovasi pegawainya. Ruang kantor saat ini sudah didesain sedemikian rupa sehingga memenuhi kebutuhan pegawainya untuk berinovasi. Desain ruang kerja dengan fokus pada manusia, sehingga ruang kerja menjadi dinamis, tidak terikat, dan memungkinkan pegawainya mendapatkan pengalaman kerja yang memberikan kesempatan untuk bereksperimen. Ruang kerja juga tidak lagi terkesan resmi, bahkan pada banyak contoh terdapat unsur keceriaan dan permainan, sesuatu yang diyakini dibutuhkan oleh otak manusia dalam menyusun inovasi dan kreativitas.

Upaya untuk membangun budaya kerja melalui artefak akan sangat mudah terlihat oleh pegawai. Bentuknya yang berupa benda atau acara sangat mudah dikenali dan dirasakan oleh pegawai.  Namun demikian keefektivannya untuk membangun budaya inovasi tidak terlalu besar. Artefak ini paling tidak dapat digunakan sebagai trigger bagi terbangunnya budaya kerja. Artefak-artefak yang dibuat diharapkan bisa memberikan informasi yang jelas bagi pegawai akan program pembangunan budaya kerja yang sedang dijalankan, yang pada gilirannya nanti dapat memberikan dukungan atas program tersebut dan menciptakan berbagai inovasi bagi kemajuan organisasi.

Lapisan tengah dari piramid adalah value atau nilai-nilai yang dianut. Lapisan ini memiliki efektivtas yang lebih baik dari lapisan artefak, tapi belum menjadi penentu utama dalam membangun budaya kerja yang mendukung terciptanya inovasi. Lapisan value ini  terbagi lagi menjadi dua sub bagian yaitu value yang dinyatakan secara resmi pada bagian atas, dan value yang tidak dinyatakan namun hadir dalam keseharian pada bagian bawah. Value yang resmi disampaikan merupakan pedoman bagi seluruh pegawai dalam berprilaku, baik dalam berinteraksi sesama anggota organisasi, maupun dalam menghadapi permasalahan dari pihak eksternal. Adapun value yang tidak dinyatakan secara resmi namun hadir dalam interaksi pegawai sehari-hari dapat dikatakan sebagai kesepakatan tidak tertulis yang menjadi pedoman oleh seluruh anggota dalam berinteraksi.

Nilai-nilai perilaku Organisasi bisa bersumber dari pimpinan, atau pendiri organisasi, atau untuk organisasi publik biasanya merupakan kesepakatan dari semua pihak yang terlibat. Nilai-nilai ini kemudian diinternalisasikan ke seluruh anggota organisasi, dan diharapkan akan menjadi konsep nilai yang hidup dalam setiap perilaku anggotanya. Nilai-nilai ini juga akan disosialisasikan kepada anggota baru organisasi, sehingga secara keseluruhan nilai-nilai ini akan terus hidup dan menjadi keseharian setiap anggotanya dalam berinteraksi dan menyelesaikan permasalahan yang ada.

Berdasarkan penelitian O’Reily, Chatman, dan Caldwell (1991), serta Sheridan (1992)  memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara person-culture fit dengan tingkat kepuasaan kerja, komitmen, dan turnover anggota. Individu yang memiliki nilai-nilai pribadi yang sama dengan nilai-nilai organisasi akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi, memiliki komitmen yang tinggi, dan akan tetap bertahan dalam organisasi tersebut, begitu pula sebaliknya.

Lapisan terakhir dan terpenting, serta sangat mempengaruhi terbentuknya budaya kerja yang mendukung terciptanya inovasi adalah asumsi. Asumsi ini merupakan hal yang lebih dalam dari value. Asumsi ini merupakan kesadaran atau keyakinan setiap anggota organisasi terhadap nilai-nilai dan budaya kerja yang terbentuk dari pengalamannya selama berinteraksi dalam organisasi.  Dengan demikian semua aspek akan mempengaruhi asumsi ini, seperti perilaku pimpinan, perilaku sejawat, konsitensi kebijakan, komunikasi kebijakan, dan lain sebagainya. Asumsi ini akan membentuk kebiasaan dan pada akhirnya jika berlangsung secara kolektif akan menjadi budaya kerja.

Soren Kaplan, seorang Profesor pada USC Marshall School of Business menjelaskan bahwa para pegawai akan mendapatkan berbagai pengalaman dari melihat atau berinteraksi dengan pimpinan. Keputusan dan kebiasaan pimpinan, baik yang disadari ataupun tidak disadari pimpinan, akan membentuk asumsi pada pegawai terkait mana kebiasaan yang diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Lebih lanjut dinyatakan jika kita ingin merubah kebiasaan pegawai, maka ciptakanlah pengalaman baru atau berbeda, dimana pengalaman itu akan membuat asumsi yang akan menggantikan asumsi mereka selama ini. Pada akhirnya jika kita secara konsisten memberikan pengalaman tersebut, maka ini akan secara jelas menyampaikan pesan kepada pegawai bahwa asumsi baru tersebut adalah sesuatu yang diinginkan. Jika hal demikian sudah terjadi maka dengan sendirinya kebiasaan dan budaya yang mendukung terciptanya inovasi akan mengikuti.

Dari sini bisa dipahami, peran pimpinan sangat besar dalam menciptakan budaya kerja inovasi, serta juga harus disadari menciptakan budaya tersebut memerlukan waktu yang tidak sebentar. Hal lain yang juga bisa dipahami adalah inovasi bukan merupakan sesuatu yang bisa dipaksakan kehadirannya. Jika asumsi yang ada di benak pegawai adalah asumsi-asumsi kerja yang tidak mendukung terciptanya inovasi, namun pegawai dipaksa membuat inovasi, maka dapat dipastikan inovasi yang dihasilkan tidak memiliki akar yang kuat atau hanya bersifat di permukaan. Inovasi itu hanya dibuat untuk keperluan tertentu dan akan hilang dengan sendirinya jika kepentingan telah berlalu. Inovasi ini juga tidak banyak mendukung peningkatan kerja yang diinginkan organisasi. 

Menciptakan Inovasi yang kuat

Nah, jika budaya yang mendukung terciptanya inovasi telah terbantuk, langkah selanjutnya tentunya memastikan inovasi tersebut benar-benar berdampak dan memiliki manfaat bagi organisasi dan pengguna jasa. Harus dipastikan juga, inovasi yang dibangun akan memiliki dampak positif bagi peningkatan kinerja atau citra organisasi secara keseluruhan. Inovasi yang dibangun juga harus didasari oleh keinginan untuk menghilangkan permasalahan atau kondisi yang dinilai tidak efektif dan efisien, serta didasari keinginan untuk memberikan peningkatan pelayanan bagi pengguna  jasa.

Untuk itu, pengalaman para innovator yang berhasil dapat disimak dan dipelajari. Pengalaman gojek, traveloka, di tingkat nasional, atau air bnb, dan tesla di tingkat internasional yang menelurkan inovasi yang berhasil mendisrupsi industri bisnis masing-masing sangat menarik untuk diambil sebagai pelajaran. Bagaimana mereka sampai pada inovasi yang ada, apa cara pikir yang mereka gunakan dalam membangun inovasi yang pada akhirnya dapat mendisrupsi pasar.

Dr.Indrawan Nugroho, dalam channel youtubenya dengan video  “Cara Berpikir Para Disruptor Industri” menjelaskan bahwa, para innovator tersebut mengunakan cara berpikir yang disebut First Principle Thinking. Cara berpikir ini sendiri sebenarnya sudah dikemukakan philsuf Yunani Aristoteles, yang menyatakan bahwa dengan memahami prinsip-prinsip dasar dari suatu objek, maka akan diperoleh pemahaman yang lebih banyak. Prinsip ini meminta kita memahami hal yang paling mendasar dari suatu objek  sampai menemukan satu kebenaran yang paling dasar.

Prinsip ini digunakan oleh para innovator dengan cara terlebih dahulu memahami secara mendasar industri yang digelutinya. Dengan memahami hal yang paling mendasar itulah, maka dapat disusun strategi dan formula untuk berhasil dalam industri tersebut dengan mengeluarkan berbagai inovasi. Contoh yang digunakan untuk menjelaskan cara berpikir ini dalam video tersebut adalah bahwa first principle thinking dalam industri perhotelan adalah menyediakan akomodasi yang nyaman, atau dalam industri perdagangan adalah menjadi mempertemukan pedagang dan pembeli.

Dalam contoh itu disebutkan bahwa untuk menghadirkan first principle thinking dalam industri perhotelan maka kita hanya perlu menyediakan kamar akomodasi, namun tidak perlu memilikinya, begitu juga dalam industri perdagangan, kita tidak perlu memiliki pasar dalam mempertemukan pedagang dan pembeli. Prinsip ini tentunya bisa diterapkan dalam pekerjaan kita masing-masing. Mari cari hal mendasar dalam kerjaan kita, maka kita akan bisa menemukan inovasi cerdas untuk mendapatkan kesuksesan.

 

*)Ditulis oleh Rachmat Kurniawan, Kepala KPKNL Pekanbaru

 

Sumber Referensi:

https://www.youtube.com/watch?v=X8_8yYEJRlI

https://www.youtube.com/watch?v=PJ4CSPU3-64

https://www.youtube.com/watch?v=136BH2iJ6r4&list=RDCMUC1SwRNlsG7CvewxJbycKmiA&index=5

Al-Amin, Raden Pamungkas. (2010). Kajian tentang Nilai-nilai Inti Budaya Organisasi dan Komitmen Anggota Aiesec Local Committee Universitas Brawijaya Malang. Jurnal Aplikasi Manajemen. Volume 9 Nomor 3 Agustus 2010 Halaman 607-616

Ihksan, Anwar. (2016). Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja Tehadap Kinerja Karyawan Non Dosen Pada Universitas Mercu Buana Jakarta. Jurnal Ilmu Manajemen dan Bisnis Volume 2 No. 1 Maret 2016. Halaman 17 – 35

Irawati, Dwi. (2009). Implementasi Nilai-nilai Budaya Organisasi Melalui Sosialisasi Budaya Organisasi. Jurnal Manajemen Vol.9 No. 1 Halaman 73-80

Meiyanto, Sito. Santhoso, Fauzan Heru. (1999) Nilai-nilai Kerja dan Komitmen Organisasi: Sebuah Studi Dalam Konteks Pekerja Indonesia. Jurnal Psikologi 1999 No. 1 Halaman 29 -40

Rahmat, Miftahul. Dkk. (2020) Hubungan Budaya Organisasi dengan Inovasi Perusahaan. Jurnal Ilmiah, Manajemen Sumber Daya Manusia. Vol. 4 No. 2. Januari 2021. Halaman 145-152

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini