Sesuai data The Global Competitiveness Report
tahun 2019[1],
daya saing infrastruktur Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara
lain di dunia. Skor infrastruktur Indonesia pada tahun 2019 sebesar 67,7.
Indonesia bercokol di urutan ke 72 dari 142 negara. Bahkan di negara-negara
ASEAN sendiri, Indonesia yang tergabung dalam kelompok 20 negara ekonomi
terbesar di dunia (G20) hanya menempati urutan ke 5 di bawah Singapura (1), Malaysia
(35), Brunei Darussalam (58), dan Thailand (71). Ironisnya, peringkat
infrastruktur Indonesia tahun 2019 ini mengalami penurunan dari tahun
sebelumnya. Pada tahun 2018, Indonesia berada di peringkat 71 dari 142 negara
dengan skor sebesar 66,8.
Dari jenis infrastruktur yang diukur, skor konektivitas
Bandar Udara di Indonesia termasuk yang menggembirakan. Skor dan peringkat
konektivitas Bandar Udara di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara
negara-negara di ASEAN. Indonesia menempati peringkat 5 dari 141 negara dengan
skor 100. Namun demikian konektivitas Bandar Udara yang baik ini belum diikuti
infrastruktur-infrastruktur lainnya. Sebagai contoh, kualitas jalan di
Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan
Thailand.[2]
Dengan melihat kondisi seperti itu, pembangunan
infrastruktur yang gencar dilakukan saat ini merupakan sebuah keniscayaan. Indonesia
harus mengejar daya saing infrastukturnya untuk mengakselerasi pertumbuhan
ekonomi ke depannya. Dalam bidang transportasi misalnya, pembangunan
infrastuktur transportasi (bandar udara, jalan, pelabuhan, dan lainnya) dilakukan
untuk menghubungkan kawasan produksi dan distribusi dan membuka akses menuju
kawasan pariwisata guna menurunkan biaya logistik, memperlancar arus barang dan
orang serta meningkatkan kunjungan wisatawan. Untuk itu, berbagai upaya dan
terobosan perlu dilakukan agar kebutuhan infrastuktur Indonesia dapat terpenuhi
dengan mempertimbangan ketersediaan sumber daya dan dana yang ada.
Skema-skema Pendanaan Infrastruktur
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan
Risiko (DJPPR), Kementerian Keuangan memproyeksikan kebutuhan pendanaan infrastruktur selama
5 tahun (2019-2024) sebesar Rp6.455 triliun. Dengan mengacu pada alokasi anggaran
infrastruktur terbesar pada APBN tahun 2019 sebesar Rp419,2 triliun, total dana
infrastruktur yang dapat dialokasikan pada APBN selama 5 tahun ke depan hanya
sebesar Rp2.096 triliun atau 32,47% dari dan yang dibutuhkan.[3]
Dengan demikian, kebutuhan pendanaan infrastruktur untuk memenuhi kesenjangan (gap)
tersebut tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada APBN. Kemampuan APBN untuk
mendanai seluruh proyek-proyek infrastruktur yang dibutuhkan masih terbatas.
Oleh karena itu, berbagai bentuk
alternatif pendanaan diperlukan. Pendanaan yang berasal dari pembiayaan baik
dari lembaga-lembaga multilateral, bantuan negara lain, maupun sumber pendanaan
dalam negeri melalui penerbitan Surat Utang Negara, Surat Berharga Syariah Negara, dan obligasi ritel lainnya
tetap digunakan. Selain itu, keterlibatan peran serta swasta dan
lembaga-lembaga pengelola dana investasi sangat penting sebagai sumber
pendanaan potensial yang dapat diandalkan. Dalam hal ini, bentuk Kerjasama
Pemerintah dan Badan Usaha - KBPU (Public Private Partnership-PPP) dengan berbagai
variasi modelnya merupakan praktik terbaik (best practice). Tak hanya
menjadi sumber pendanaan investasi, kerja sama pemerintah swasta dapat
meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan infrastruktur yang disediakan.
Selain pendanaan, pembangunan infrastruktur dapat dilakukan dengan
mengoptimalkan aset yang ada. Pemerintah dapat menggunakan aset-aset pemerintah
baik berupa tanah atau bangunan yang tidak digunakan atau tidak optimal dalam
suatu proyek infrastruktur guna mengurangi biaya (cost reduction). Alih-alih hanya berfokus pada pengadaan
infrastruktur yang benar-benar baru (greenfiled) yang membutuhkan biaya
besar, Pemerintah dapat melakukan pengembangan atas infrastruktur yang sudah
ada (brownfield) yang membutuhkan peningkatan kapasitas atau tidak
optimal pemanfaatannya. Pemerintah juga dapat menglihkan penggunaan atau
pemanfaatan aset yang sudah ada untuk mendukung pengembangan atau pembangunan
infrastruktur dengan pertimbangan optimalisasi dan memberi manfaat lebih besar.
Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan aset publik berpotensi mengurangi 38%
biaya inventasi yang diperlukan dalam pengadaan infrastruktur (McKinsey Global
Institute, 2016).[4]
Dengan mengacu pada penelitian tersebut dan besaran kebutuhan pendanaan infrastruktur selama 5
tahun ke depan maka potensi penghematan biaya yang
dihasilkan dari pengelolaan aset untuk menunjang infrastruktur sebesar Rp2.453
triliun. Di sinilah diperlukan peran manajer aset dalam rangka pengelolaan aset
yang lebih baik.
Peran Manajer Aset
Sesuai laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation
for Economic Co-operation and Development) atau OECD mengenai kolaborasi
investor badan (institutional investor) dan pengelola aset (asset
manager)[5],
manajer aset memiliki peran sebagai institusi pengambil keputusan utama (key decision makers) pada proyek
infrastruktur. Keterlibatan manajer aset dalam proyek infrastruktur tidak hanya
diperlukan setelah aset selesai dibangun atau digunakan, melainkan juga sebelum
aset itu dibangun yaitu pada tahap perencanaan atau pengambilan keputusan
investasi. Manajer aset harus dapat memastikan nilai uang (value for money)
dari aset yang akan dibangun dengan memperhitungkan manfaat ekonomi/sosial yang
akan diperoleh dan biaya yang diperlukan dalam pengadaan infrstruktur merupakan
yang paling efisien termasuk dengan mempertimbangan optimalisasi aset yang ada.
Peran ini belum dijalankan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku manajer aset Pemerintah
(Pusat). Selama ini belum nampak peran DJKN untuk terlibat
secara langsung dalam pengambilan keputusan atas proyek-proyek infrastruktur
yang ada. Dalam praktik penyediaan infrastruktur melalui skema Public
Private Partnership (PPP) atau Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)
misalnya, saat ini setidaknya terdapat tiga institusi pemerintah pusat yang
terlibat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas),
Kementerian/Lembaga (K/L) teknis terkait, dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kemenkeu di sini diwakili
oleh DJPPR (bukan DJKN), PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII), dan Direktorat Jenderal Anggaran
(DJA). Peran Kemenkeu yang diwakili ketiga institusi itu pun hanya
sebatas memberikan dukungan finansial pemerintah dalam bentuk penjaminan
pemerintah, penyediaan fasilitas penyiapan proyek, dan pengalokasian anggaran
untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek (Viability Gap Fund) atau VGF.
Peran Manajer Aset dalam rangka mengkaji kebutuhan infrastruktur, dampak
ekonomi dan sosial yang akan dihasilkan, dan menetapkan daftar proyek-proyek
infrastruktur prioritas dijalankan oleh Bappenas dan Kementerian/Lembaga (K/L)
teknis terkait. Sedangkan kajian atas biaya investasi (investment cost) pada
suatu proyek infrastruktur dilakukan Kementerian/Lembaga (K/L) teknis selaku
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) untuk proyek yang merupakan inisiatif
pemerintah (solicited project) atau pemrakarsa untuk proyek yang bukan
merupakan inisiatif pemerintah (unsolicited project). Kemenkeu melalui PT PII dan DJPPR hanya memberikan bantuan yang diperlukan
dalam penyiapan proyek oleh PJPK dalam bentuk pendampingan (asistensi) atau
penyediaan fasilitas Penyiapan Proyek (Project Development Facility)
atau PDF. Reviu atas kajian biaya investasi tersebut dilakukan DJPPR hanya
apabila berdasarkan hasil kajian PJPK terdapat usulan VGF. Usulan VGF ini yang
kemudian dibahas dengan DJA untuk dianggarkan atau disediakan dalam APBN.
Peran DJKN sebagai Manajer Aset
Meskipun tidak terlibat secara langsung, tidak berarti DJKN tidak
berperan sama sekali dalam pembangunan infrastruktur. PT PII yang menjadi
perwakilan Kemenkeu dalam memberikan penjaminan pemerintah kepada
Badan Usaha pelaksana proyek merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
pembinaannya berada di bawah DJKN. Selain itu, DJKN juga membawahi Lembaga Manajemen
Aset Negara (LMAN) sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang salah satu fungsinya
ialah menyediakan dana talangan pengadaan lahan untuk proyek infrastruktur (land
funding). Peran DJKN lebih besar untuk proyek-proyek infrastruktur yang
bersifat brownfield. Namun kerja sama untuk proyek-proyek seperti ini
tidak menggunakan skema KPBU melainkan skema lain yaitu Kerja Sama Penyediaan
Infrastruktur (KSPI). KSPI dan KPBU sebenarnya merupakan variasi bentuk dari
PPP yang sama-sama menggunakan model BOT (Build, Operate, Transfer).
Perbedaan KSPI dan KPBU terletak pada cara pandang terhadap suatu
proyek infrastruktur. KPBU melihat suatu proyek infrastruktur semata-mata
sebagai sarana penyediaan layanan publik (public service) yang
pembiayaan layanan itu ditanggung pemerintah, sepenuhnya dalam bentuk
pembayaran ketersediaan layanan (availability payment) atau sebagian
dalam bentuk VGF, dan/atau masyarakat pengguna layanan dalam bentuk pengenaan
tarif (user charge). KSPI tidak melihat suatu proyek infrastruktur
semata-mata sebagai sarana penyediaan layanan publik (public service)
melainkan juga sebagai sumber penerimaan negara (revenue generator).
Penerimaan itu diperoleh dalam hal suatu proyek infrastruktur sangat
menguntungkan bagi swasta sebagai mitra kerjasama berupa pengembalian atas
keuntungan (clawback).
Selain KSPI, terdapat skema lain atas penggunaan aset pemerintah untuk
suatu proyek infrastruktur yaitu sewa dan Kerja Sama Pemanfaatan (KSP). Meskipun
tarif sewa untuk infrastruktur jauh lebih rendah (karena adanya diskon atau
penyesuai) dibanding sewa untuk kepentingan bisnis atau komersial, pengenaan
tarif atas penggunaan aset dalam suatu proyek infrastruktur tampaknya
bertentangan dengan peran manajemen aset dalam mengurangi kebutuhan biaya
investasi untuk pembangunan infrastruktur. Padahal biaya investasi tersebut,
termasuk biaya sewa yang dibayarkan pelaksana proyek kepada pemerintah, pada
akhirnya akan ditagihkan kepada pemerintah dalam perhitungan AP/VGF atau
dibebankan kepada masyarakat dalam perhitungan tarif. Semakin tinggi biaya yang
dikeluarkan untuk suatu proyek infrastruktur maka AP/VGF/Tarif yang dibayarkan
pemerintah/masyarakat semakin tinggi. Penerimaan di satu sisi akan menjadi
pengeluaran di sisi lainnya.
Peran yang diharapkan
Infrastruktur, sebagaimana yang kita pahami, merupakan aset publik
sekaligus investasi jangka panjang pemerintah sehingga suatu proyek
infrastruktur akan erat kaitannya dengan pengelolaan aset (baca BMN) dan
investasi pemerintah (baca KND). Kedua hal ini merupakan fungsi utama (core
business) DJKN. Untuk itu DJKN seyogyanya mengambil peran yang lebih besar.
Terkait dengan pengelolaan aset negara, alih-alih mengejar penerimaan (return
on asset), DJKN sebaiknya memfokuskan diri untuk mengoptimalkan peran aset
untuk mendukung pelaksanaan fungsi pemerintahan, penyediaan layanan umum, dan
sarana pencapaian kesejahteraan masyarakat. Manfaat ekonomi dan sosial dari
aset publik menjadi lebih penting daripada manfaat finansial. Manfaat finansial
aset publik harus didudukkan kembali posisinya sebagai penunjang untuk mencapai
manfaat ekonomi dan sosial. Penerimaan yang diperoleh dari pengelolaan aset
pada hakikatnya akan digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan ekonomi dan
sosial.
Fungsi aset pemerintah untuk memberi manfaat ekonomi dan sosial dapat
lebih dioptimalkan melalui perannya dalam mendukung proyek-proyek infrastruktur
publik baik yang dilaksanakan sendiri oleh pemerintah maupun dilaksanakan oleh
pihak lain. Penggunaan aset yang ada untuk mengurangi biaya investasi dan beban
tarif masyarakat menjadi sesuatu yang penting. Dukungan manajemen aset bagi
penyediaan layanan publik, fasilitas, dan konektivitas dalam rangka mengakselerasi
pertumbuhan ekonomi menjadi sesuatu yang stratejik. Pengelolaan portofolio aset
publik termasuk infrastruktur di dalamnya menjadi hal yang penting untuk
dilakukan. Pengelolaan portofolio aset dilakukan untuk memastikan kinerja aset
publik untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan publik sesuai
tujuan aset tersebut diadakan dapat tercapai. Pengelolaan portofolio melalui
pengukuran kinerja aset berdasarkan indikator-indikator yang relevan dilakukan
untuk mengetahui aset yang memberi manfaat optimal dan tidak. Dalam hal
infrastruktur, pengelolaan portofolio infrastruktur dilakukan berdasarkan
analisis dampak ekonomi dan sosial untuk mengevaluasi proyek-proyek
infrastruktur yang sudah berjalan.
Selain perannya sebagai manajer aset dalam rangka pengelolaan
portofolio infrastruktur, DJKN dapat mengambil peran lebih besar dalam setiap
tahapan pelaksanaan proyek infrastruktur. Dalam tahapan identifikasi proyek (Project
Identification), misalnya, DJKN dapat terlibat dalam melakukan penilaian
atas value for money dari proyek yang akan dilakukan untuk mengetahui
perkiraan dampak ekonomi dan sosial yang dapat dihasilkan dari proyek tersebut.
Dalam tahap Persiapan Proyek (Project Preparation), DJKN dapat melakukan
reviu atas hasil kelayakan studi proyek infrastruktur untuk memastikan
perhitungan biaya investasi proyek merupakan biaya yang paling efisien. Dalam
tahap Transaksi Proyek (Project Transaction), DJKN dapat berperan dalam
melakukan supervisi dan pengawasan pelaksanaan tender dan negosiasi. Dalam
tahap Implementasi Proyek (Project Management), selain perannya dalam
melakukan pengelolaan portofolio infrastruktur, DJKN juga dapat berperan dalam penyesuaian,
renegosiasi, restrukturisasi, atau pendanaan kembali (refinancing) atas proyek-proyek infrastruktur yang telah
berjalan.
Simpulan
Pembangunan infrastruktur merupakan upaya strategis yang memiliki
tujuan jangka panjang sehingga analisis atas kebutuhan, manfaat, dan biaya yang
diperlukan harus dilakukan dengan cermat. Manfaat infrastruktur untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu didukung melalui upaya kita
bersama. Sesuai fungsinya, manajer aset seyogyangya memiliki peran besar dalam
setiap keputusan investasi atas suatu proyek infrastruktur. Fungsi ini sejalan
dengan peran Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal untuk memastikan setiap
rupiah uang negara yang dikeluarkan dapat memberi manfaat yang setimpal. Untuk
itu diperlukan perubahan paradigma pengelolaan aset negara yang lebih
berorientasi pada pencapaian tujuan ekonomi dan sosial daripada finansial.
Infrastuktur merupakan aset strategis yang memiliki peran langsung dalam
pencapaian tujuan tersebut sehingga harus didukung dengan daya upaya yang ada.
Perubahan paradigma terhadap aset infrastuktur dari aset yang menghasilkan penerimaan
(income producing assets) menjadi aset
yang menghasilkan layanan publik terbaik (public service assets)
akan mendorong peran yang lebih besar bagi DJKN. Peran yang sesuai dengan
visinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penulis: Surya Hadi Purnama KPKNL Palu
[1] Dikutip dari laman https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/10/11/daya-saing-infrastruktur-indonesia-urutan-kelima-di-asean.
Diakses pada tanggal 28 Desember 2020
[2] Dikutip dari laman https://supplychainindonesia.com/daya-saing-bandara-dan-infrastruktur-transportasi-indonesia-lainnya.
Diakses pada tanggal 28 Desember 2020
[3] Dikutip dari laman https://katadata.co.id/yuliawati/finansial/5e9a4e61a3fe9/dana-infrastruktur-dalam-5-tahun-rp-6455-triliun-sulit-andalkan-apbn.
Diakses pada tanggal 28 Desember 2020.
[4] Dikutip dari bahan paparan Olga Kaganova, PhD dengan judul Central
Government Property Asset
Management: International Trends and
Some Implications for Indonesia. Disampaikan dalam webinar yang diadakan Direktorat
BMN pada tanggal 23 Desember 2020.
[5] Halaman 9, first draft report G20/OECD Report
On The Collaboration With Institutional Investors And Asset Managers On
Infrastructure: Recommendations And The Way Forward In The Context Of The
Pandemic.