Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Palu > Artikel
Pembangunan Infrastruktur, Peran DJKN harus lebih Besar
Abd. Choliq
Senin, 28 Desember 2020   |   444 kali

Sesuai data The Global Competitiveness Report tahun 2019[1], daya saing infrastruktur Indonesia masih tertinggal jauh dari negara-negara lain di dunia. Skor infrastruktur Indonesia pada tahun 2019 sebesar 67,7. Indonesia bercokol di urutan ke 72 dari 142 negara. Bahkan di negara-negara ASEAN sendiri, Indonesia yang tergabung dalam kelompok 20 negara ekonomi terbesar di dunia (G20) hanya menempati urutan ke 5 di bawah Singapura (1), Malaysia (35), Brunei Darussalam (58), dan Thailand (71). Ironisnya, peringkat infrastruktur Indonesia tahun 2019 ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2018, Indonesia berada di peringkat 71 dari 142 negara dengan skor sebesar 66,8.

Dari jenis infrastruktur yang diukur, skor konektivitas Bandar Udara di Indonesia termasuk yang menggembirakan. Skor dan peringkat konektivitas Bandar Udara di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara di ASEAN. Indonesia menempati peringkat 5 dari 141 negara dengan skor 100. Namun demikian konektivitas Bandar Udara yang baik ini belum diikuti infrastruktur-infrastruktur lainnya. Sebagai contoh, kualitas jalan di Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand.[2]

Dengan melihat kondisi seperti itu, pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan saat ini merupakan sebuah keniscayaan. Indonesia harus mengejar daya saing infrastukturnya untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi ke depannya. Dalam bidang transportasi misalnya, pembangunan infrastuktur transportasi (bandar udara, jalan, pelabuhan, dan lainnya) dilakukan untuk menghubungkan kawasan produksi dan distribusi dan membuka akses menuju kawasan pariwisata guna menurunkan biaya logistik, memperlancar arus barang dan orang serta meningkatkan kunjungan wisatawan. Untuk itu, berbagai upaya dan terobosan perlu dilakukan agar kebutuhan infrastuktur Indonesia dapat terpenuhi dengan mempertimbangan ketersediaan sumber daya dan dana yang ada.

Skema-skema Pendanaan Infrastruktur

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), Kementerian Keuangan memproyeksikan kebutuhan pendanaan infrastruktur selama 5 tahun (2019-2024) sebesar Rp6.455 triliun. Dengan mengacu pada alokasi anggaran infrastruktur terbesar pada APBN tahun 2019 sebesar Rp419,2 triliun, total dana infrastruktur yang dapat dialokasikan pada APBN selama 5 tahun ke depan hanya sebesar Rp2.096 triliun atau 32,47% dari dan yang dibutuhkan.[3] Dengan demikian, kebutuhan pendanaan infrastruktur untuk memenuhi kesenjangan (gap) tersebut tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada APBN. Kemampuan APBN untuk mendanai seluruh proyek-proyek infrastruktur yang dibutuhkan masih terbatas.

Oleh karena itu,  berbagai bentuk alternatif pendanaan diperlukan. Pendanaan yang berasal dari pembiayaan baik dari lembaga-lembaga multilateral, bantuan negara lain, maupun sumber pendanaan dalam negeri melalui penerbitan Surat Utang Negara, Surat Berharga Syariah Negara, dan obligasi ritel lainnya tetap digunakan. Selain itu, keterlibatan peran serta swasta dan lembaga-lembaga pengelola dana investasi sangat penting sebagai sumber pendanaan potensial yang dapat diandalkan. Dalam hal ini, bentuk Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha - KBPU (Public Private Partnership-PPP) dengan berbagai variasi modelnya merupakan praktik terbaik (best practice). Tak hanya menjadi sumber pendanaan investasi, kerja sama pemerintah swasta dapat meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan infrastruktur yang disediakan.

Selain pendanaan, pembangunan infrastruktur dapat dilakukan dengan mengoptimalkan aset yang ada. Pemerintah dapat menggunakan aset-aset pemerintah baik berupa tanah atau bangunan yang tidak digunakan atau tidak optimal dalam suatu proyek infrastruktur guna mengurangi biaya (cost reduction).  Alih-alih hanya berfokus pada pengadaan infrastruktur yang benar-benar baru (greenfiled) yang membutuhkan biaya besar, Pemerintah dapat melakukan pengembangan atas infrastruktur yang sudah ada (brownfield) yang membutuhkan peningkatan kapasitas atau tidak optimal pemanfaatannya. Pemerintah juga dapat menglihkan penggunaan atau pemanfaatan aset yang sudah ada untuk mendukung pengembangan atau pembangunan infrastruktur dengan pertimbangan optimalisasi dan memberi manfaat lebih besar. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan aset publik berpotensi mengurangi 38% biaya inventasi yang diperlukan dalam pengadaan infrastruktur (McKinsey Global Institute, 2016).[4] Dengan mengacu pada penelitian tersebut dan besaran kebutuhan pendanaan infrastruktur selama 5 tahun ke depan maka potensi penghematan biaya yang dihasilkan dari pengelolaan aset untuk menunjang infrastruktur sebesar Rp2.453 triliun. Di sinilah diperlukan peran manajer aset dalam rangka pengelolaan aset yang lebih baik.

Peran Manajer Aset

Sesuai laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development) atau OECD mengenai kolaborasi investor badan (institutional investor) dan pengelola aset (asset manager)[5], manajer aset memiliki peran sebagai institusi pengambil keputusan utama  (key decision makers) pada proyek infrastruktur. Keterlibatan manajer aset dalam proyek infrastruktur tidak hanya diperlukan setelah aset selesai dibangun atau digunakan, melainkan juga sebelum aset itu dibangun yaitu pada tahap perencanaan atau pengambilan keputusan investasi. Manajer aset harus dapat memastikan nilai uang (value for money) dari aset yang akan dibangun dengan memperhitungkan manfaat ekonomi/sosial yang akan diperoleh dan biaya yang diperlukan dalam pengadaan infrstruktur merupakan yang paling efisien termasuk dengan mempertimbangan optimalisasi aset yang ada.

Peran ini belum dijalankan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) selaku manajer aset Pemerintah (Pusat). Selama ini belum nampak peran DJKN untuk terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan atas proyek-proyek infrastruktur yang ada. Dalam praktik penyediaan infrastruktur melalui skema Public Private Partnership (PPP) atau Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) misalnya, saat ini setidaknya terdapat tiga institusi pemerintah pusat yang terlibat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian/Lembaga (K/L) teknis terkait, dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kemenkeu di sini diwakili oleh DJPPR (bukan DJKN), PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII), dan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA). Peran Kemenkeu yang diwakili ketiga institusi itu pun hanya sebatas memberikan dukungan finansial pemerintah dalam bentuk penjaminan pemerintah, penyediaan fasilitas penyiapan proyek, dan pengalokasian anggaran untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek (Viability Gap Fund) atau VGF.

Peran Manajer Aset dalam rangka mengkaji kebutuhan infrastruktur, dampak ekonomi dan sosial yang akan dihasilkan, dan menetapkan daftar proyek-proyek infrastruktur prioritas dijalankan oleh Bappenas dan Kementerian/Lembaga (K/L) teknis terkait. Sedangkan kajian atas biaya investasi (investment cost) pada suatu proyek infrastruktur dilakukan Kementerian/Lembaga (K/L) teknis selaku Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) untuk proyek yang merupakan inisiatif pemerintah (solicited project) atau pemrakarsa untuk proyek yang bukan merupakan inisiatif pemerintah (unsolicited project). Kemenkeu melalui PT PII dan DJPPR hanya memberikan bantuan yang diperlukan dalam penyiapan proyek oleh PJPK dalam bentuk pendampingan (asistensi) atau penyediaan fasilitas Penyiapan Proyek (Project Development Facility) atau PDF. Reviu atas kajian biaya investasi tersebut dilakukan DJPPR hanya apabila berdasarkan hasil kajian PJPK terdapat usulan VGF. Usulan VGF ini yang kemudian dibahas dengan DJA untuk dianggarkan atau disediakan dalam APBN.

Peran DJKN sebagai Manajer Aset

Meskipun tidak terlibat secara langsung, tidak berarti DJKN tidak berperan sama sekali dalam pembangunan infrastruktur. PT PII yang menjadi perwakilan Kemenkeu dalam memberikan penjaminan pemerintah kepada Badan Usaha pelaksana proyek merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang pembinaannya berada di bawah DJKN. Selain itu, DJKN juga membawahi Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang salah satu fungsinya ialah menyediakan dana talangan pengadaan lahan untuk proyek infrastruktur (land funding). Peran DJKN lebih besar untuk proyek-proyek infrastruktur yang bersifat brownfield. Namun kerja sama untuk proyek-proyek seperti ini tidak menggunakan skema KPBU melainkan skema lain yaitu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI). KSPI dan KPBU sebenarnya merupakan variasi bentuk dari PPP yang sama-sama menggunakan model BOT (Build, Operate, Transfer).

Perbedaan KSPI dan KPBU terletak pada cara pandang terhadap suatu proyek infrastruktur. KPBU melihat suatu proyek infrastruktur semata-mata sebagai sarana penyediaan layanan publik (public service) yang pembiayaan layanan itu ditanggung pemerintah, sepenuhnya dalam bentuk pembayaran ketersediaan layanan (availability payment) atau sebagian dalam bentuk VGF, dan/atau masyarakat pengguna layanan dalam bentuk pengenaan tarif (user charge). KSPI tidak melihat suatu proyek infrastruktur semata-mata sebagai sarana penyediaan layanan publik (public service) melainkan juga sebagai sumber penerimaan negara (revenue generator). Penerimaan itu diperoleh dalam hal suatu proyek infrastruktur sangat menguntungkan bagi swasta sebagai mitra kerjasama berupa pengembalian atas keuntungan (clawback).

Selain KSPI, terdapat skema lain atas penggunaan aset pemerintah untuk suatu proyek infrastruktur yaitu sewa dan Kerja Sama Pemanfaatan (KSP). Meskipun tarif sewa untuk infrastruktur jauh lebih rendah (karena adanya diskon atau penyesuai) dibanding sewa untuk kepentingan bisnis atau komersial, pengenaan tarif atas penggunaan aset dalam suatu proyek infrastruktur tampaknya bertentangan dengan peran manajemen aset dalam mengurangi kebutuhan biaya investasi untuk pembangunan infrastruktur. Padahal biaya investasi tersebut, termasuk biaya sewa yang dibayarkan pelaksana proyek kepada pemerintah, pada akhirnya akan ditagihkan kepada pemerintah dalam perhitungan AP/VGF atau dibebankan kepada masyarakat dalam perhitungan tarif. Semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk suatu proyek infrastruktur maka AP/VGF/Tarif yang dibayarkan pemerintah/masyarakat semakin tinggi. Penerimaan di satu sisi akan menjadi pengeluaran di sisi lainnya.

Peran yang diharapkan

Infrastruktur, sebagaimana yang kita pahami, merupakan aset publik sekaligus investasi jangka panjang pemerintah sehingga suatu proyek infrastruktur akan erat kaitannya dengan pengelolaan aset (baca BMN) dan investasi pemerintah (baca KND). Kedua hal ini merupakan fungsi utama (core business) DJKN. Untuk itu DJKN seyogyanya mengambil peran yang lebih besar. Terkait dengan pengelolaan aset negara, alih-alih mengejar penerimaan (return on asset), DJKN sebaiknya memfokuskan diri untuk mengoptimalkan peran aset untuk mendukung pelaksanaan fungsi pemerintahan, penyediaan layanan umum, dan sarana pencapaian kesejahteraan masyarakat. Manfaat ekonomi dan sosial dari aset publik menjadi lebih penting daripada manfaat finansial. Manfaat finansial aset publik harus didudukkan kembali posisinya sebagai penunjang untuk mencapai manfaat ekonomi dan sosial. Penerimaan yang diperoleh dari pengelolaan aset pada hakikatnya akan digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial.

Fungsi aset pemerintah untuk memberi manfaat ekonomi dan sosial dapat lebih dioptimalkan melalui perannya dalam mendukung proyek-proyek infrastruktur publik baik yang dilaksanakan sendiri oleh pemerintah maupun dilaksanakan oleh pihak lain. Penggunaan aset yang ada untuk mengurangi biaya investasi dan beban tarif masyarakat menjadi sesuatu yang penting. Dukungan manajemen aset bagi penyediaan layanan publik, fasilitas, dan konektivitas dalam rangka mengakselerasi pertumbuhan ekonomi menjadi sesuatu yang stratejik. Pengelolaan portofolio aset publik termasuk infrastruktur di dalamnya menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Pengelolaan portofolio aset dilakukan untuk memastikan kinerja aset publik untuk memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan publik sesuai tujuan aset tersebut diadakan dapat tercapai. Pengelolaan portofolio melalui pengukuran kinerja aset berdasarkan indikator-indikator yang relevan dilakukan untuk mengetahui aset yang memberi manfaat optimal dan tidak. Dalam hal infrastruktur, pengelolaan portofolio infrastruktur dilakukan berdasarkan analisis dampak ekonomi dan sosial untuk mengevaluasi proyek-proyek infrastruktur yang sudah berjalan.

Selain perannya sebagai manajer aset dalam rangka pengelolaan portofolio infrastruktur, DJKN dapat mengambil peran lebih besar dalam setiap tahapan pelaksanaan proyek infrastruktur. Dalam tahapan identifikasi proyek (Project Identification), misalnya, DJKN dapat terlibat dalam melakukan penilaian atas value for money dari proyek yang akan dilakukan untuk mengetahui perkiraan dampak ekonomi dan sosial yang dapat dihasilkan dari proyek tersebut. Dalam tahap Persiapan Proyek (Project Preparation), DJKN dapat melakukan reviu atas hasil kelayakan studi proyek infrastruktur untuk memastikan perhitungan biaya investasi proyek merupakan biaya yang paling efisien. Dalam tahap Transaksi Proyek (Project Transaction), DJKN dapat berperan dalam melakukan supervisi dan pengawasan pelaksanaan tender dan negosiasi. Dalam tahap Implementasi Proyek (Project Management), selain perannya dalam melakukan pengelolaan portofolio infrastruktur, DJKN juga dapat berperan dalam penyesuaian, renegosiasi, restrukturisasi, atau pendanaan kembali (refinancing)  atas proyek-proyek infrastruktur yang telah berjalan.

Simpulan

Pembangunan infrastruktur merupakan upaya strategis yang memiliki tujuan jangka panjang sehingga analisis atas kebutuhan, manfaat, dan biaya yang diperlukan harus dilakukan dengan cermat. Manfaat infrastruktur untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu didukung melalui upaya kita bersama. Sesuai fungsinya, manajer aset seyogyangya memiliki peran besar dalam setiap keputusan investasi atas suatu proyek infrastruktur. Fungsi ini sejalan dengan peran Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal untuk memastikan setiap rupiah uang negara yang dikeluarkan dapat memberi manfaat yang setimpal. Untuk itu diperlukan perubahan paradigma pengelolaan aset negara yang lebih berorientasi pada pencapaian tujuan ekonomi dan sosial daripada finansial. Infrastuktur merupakan aset strategis yang memiliki peran langsung dalam pencapaian tujuan tersebut sehingga harus didukung dengan daya upaya yang ada. Perubahan paradigma terhadap aset infrastuktur dari aset yang menghasilkan penerimaan (income producing assets) menjadi aset  yang menghasilkan layanan publik terbaik (public service assets) akan mendorong peran yang lebih besar bagi DJKN. Peran yang sesuai dengan visinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Penulis: Surya Hadi Purnama KPKNL Palu

Referensi:

[4] Dikutip dari bahan paparan Olga Kaganova, PhD dengan judul Central Government Property Asset

Management: International Trends and Some Implications for Indonesia. Disampaikan dalam webinar yang diadakan Direktorat BMN pada tanggal 23 Desember 2020.

[5] Halaman 9, first draft report G20/OECD Report On The Collaboration With Institutional Investors And Asset Managers On Infrastructure: Recommendations And The Way Forward In The Context Of The Pandemic.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini