Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Palopo > Artikel
Volunti Non Fit Injuria Dalam Penanganan Perkara Lelang Hak Tanggungan
Toni Agus Wijaya
Kamis, 18 Juni 2020   |   1337 kali

Lelang di Indonesia sudah dikenal sejak tahun 1908 pada masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dengan dikeluarkannya peraturan tentang lelang yang saat itu dikenal dengan Vendu Reglement (VR) berdasarkan Staatsblad 1908 Nomor 189 yang berlaku sejak tanggal 1 April 1908. Sampai saat ini VR tersebut masih berlaku dan menjadi salah satu dasar dalam pembuatan peraturan pelaksanaannya salah satunya yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK Lelang). Dalam PMK Lelang tersebut, Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang. Dalam pelaksanaan lelang melibatkan beberapa pihak diantaranya yakni Penjual, Penyelenggara lelang, Pejabat Lelang dan Pembeli, yang dapat menjadi Penjual yaitu orang, badan hukum atau badan usaha atau instansi yang berdasarkan peraturan perundang­undangan atau perjanjian berwenang untuk menjual barang secara lelang. Sedangkan yang diperbolehkan sebagai  Penyelenggara Lelang adalah KPKNL atau Balai Lelang yang menyelenggarakan lelang dengan penawaran tertulis tanpa kehadiran Peserta Lelang. Tidak semua orang bisa melaksanakan penjualan barang secara lelang, kecuali Pejabat Lelang, Pejabat Lelang itu sendiri merupakan orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang. Sedangkan Pembeli adalah orang atau badan hukum atau badan usaha yang mengajukan penawaran tertinggi dan disahkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang.

 

Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Pemegang Hak Tanggungan merupakan orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Dalam UUHT juga diatur beberapa ketentuan terkait pelaksanaan lelang hak tanggungan, diantaranya:

1.    Pasal 6, Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

2.    Pasal 11 ayat (2) huruf e, janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.

3.    Pasal 20 ayat (1) huruf a dan b, Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan

        Huruf a, hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

       Huruf b, titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.

 

Dalam salah satu klausul yang terdapat dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) juga telah menyebutkan  ”Jika debitur tidak memenuhi kewajiban untuk melunasi utangnya, berdasarkan perjanjian utang piutang tersebut di atas, oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua selaku Pemegang Hak Tanggungan peringkat pertama dengan akta ini diberi dan menyatakan menerima kewenangan, dan untuk itu kuasa, untuk tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Pihak Pertama:

a.     menjual atau suruh menjual di hadapan umum secara lelang Objek Hak Tanggungan baik seluruhnya maupun sebagian - sebagian;

b.    mengatur dan menetapkan waktu, tempat, cara dan syarat-syarat penjualan;

c.     menerima uang penjualan, menandatangani dan menyerahkan kwitansi;

d.    menyerahkan apa yang dijual itu kepada pembeli yang bersangkutan;

e.     mengambil uang dari hasil penjualan itu seluruhnya atau sebagian untuk melunasi utang debitor tersebut di atas; dan

f.      melakukan hal-hal lain yang menurut undang-undang dan peraturan hukum yang berlaku diharuskan atau menurut pendapat Pihak Kedua perlu dilakukan dalam rangka melaksanakan kuasa tersebut”.

 

Pelaksanaan Lelang sebagaimana Pasal 6 UUHT merupakan salah satu jenis Lelang Eksekusi yakni lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/ atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundangundangan, sehingga orang yang berwenang melakukan penjualan lelang yakni Pejabat Lelang Kelas I yang merupakan Pejabat Lelang pegawai DJKN yang berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang Noneksekusi Sukarela. Dengan demikian yang bisa menjadi penyelenggara pelaksanaan lelang eksekusi pasal 6 UUHT yaitu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang selanjutnya disingkat KPKNL, adalah instansi vertikal DJKN yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.

 

Pemegang Hak Tanggungan dalam hal ini selaku Penjual dapat mengajukan permohonan lelang eksekusi Pasal 6 UUHT melalui KPKNL dimana wilayah obyek Hak Tanggungan berada dengan disertai dokumen persyaratan lelang pasal 6 UUHT, antara lain salinan/fotokopi Perjanjian Kredit, salinan/fotokopi Sertifikat Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan, fotokopi sertifikat hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan, salinan/fotokopi Perincian Hutang/jumlah kewajiban debitor yang harus dipenuhi, salinan/fotokopi bukti bahwa debitor wanprestasi, antara lain surat-surat peringatan, surat pernyataan dari kreditor selaku Pemohon Lelang yang isinya akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana; dan salinan/fotokopi Laporan penilaian/penaksiran atau dokumen ringkasan hasil penilaian/penaksiran yang memuat tanggal penilaian/penaksiran, dalam hal nilai limit kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Setelah permohonan lelang berikut syarat-syaratnya diajukan ke Kepala KPKNL, maka KPKNL akan melakukan verifikasi kelengkapan dokumen persyaratan lelang berikut legalitas formal subjek dan objek lelang. Legalitas Formal Subjek dan Objek Lelang adalah suatu kondisi dimana dokumen persyaratan lelang telah dipenuhi oleh Penjual sesuai jenis lelangnya dan tidak ada perbedaan data, menunjukkan hubungan hukum antara Penjual (subjek lelang) dengan barang yang akan dilelang (objek lelang), sehingga meyakinkan Pejabat Lelang bahwa subjek lelang berhak melelang objek lelang, dan objek lelang dapat dilelang. Apabila sudah lengkap dan memenuhi syarat, maka Kepala KPKNL akan menerbitkan Surat Penetapan Jadwal Lelang.

 

Dalam memverifikasi dokumen persyaratan lelang ini, KPKNL tidak bertanggung jawab atas keabsahaan dokumen yang bersifat materiil, seperti halnya keabsahan kepemilikan barang, penetapan nilai limit, keabsahan dokumen persyaratan lelang dan sebagainya, yang bertanggung jawab dalam hal dimaksud yaitu Penjual selaku Pemohon Lelang. Hal inilah yang menjadikan adanya salah satu syarat dalam dokumen persyaratan lelang yaitu adanya surat pernyataan dari kreditor selaku Pemohon Lelang yang isinya akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana. Hal ini juga telah ditegaskan dan diatur dalam Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) PMK Lelang yang mengatur:

1.    Ayat (1) Penjual bertanggung jawab terhadap:

              a. keabsahan kepemilikan barang;

              bkeabsahan dokumen persyaratan lelang;

              c.  penyerahan barang bergerak dan/ atau barang tidak bergerak;

              d. penyerahan dokumen kepemilikan kepada Pembeli; dan

              e. penetapan Nilai Limit

2.    Ayat (2), Penjual bertanggung jawab terhadap gugatan perdata dan/ atau tuntutan pidana yang timbul akibat tidak dipenuhinya peraturan perundang-undangan di bidang Lelang oleh Penjual.

3.    Ayat (3), Penjual bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul, dalam hal tidak memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 

Volenti non fit injuria dalam situs Wikipedia yang telah diterjemahkan yaitu doktrin hukum umum (common law) yang menyatakan bahwa jika seseorang dengan rela menempatkan diri pada posisi dimana suatu resiko dapat terjadi atas adanya suatu peristiwa, namun mereka tidak dapat mengajukan tuntutan terhadap pihak lain dalam gugatan atau delik. Doktrin ini berlaku untuk resiko yang oleh orang telah disadari dan dianggap telah diambil alih tindakannya. Doktrin ini juga dikenal sebagai “Asumsi Risiko Sukarela”.

Pada tulisan Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya yang berjudul Penelitian Hukum, maxim volenti non fit injuria (apabila seseorang mengetahui bahaya yang ada dan dengan suka rela masuk ke dalam bahaya itu, ia dianggap  telah memperkirakan kerugian yang timbul dan tidak dapat minta ganti rugi andaikan kerugian itu benar-benar ada) tumbuh dalam doktrin kebebasan individu tersebut dalam pembuatan kontrak. Kerugian seseorang akibat sebuah kontrak yang dilakukannya, dianggap sebagai resiko yang harus diketahuinya dan harus dipikulnya sendiri karena ia telah menerima kewajiban itu secara sukarela (volenti non fit injuria), perjanjian tetap berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Doktrin volenti non fit injuria adalah salah satu pembelaan dalam gugatan perbuatan melawan hukum yang berasal dari sistem hukum Common law. Pembelaan ini sendiri memiliki sifat yang berbeda-beda pada setiap negara Common law. Di Negara Inggris, doktrin ini digunakan sebagai pembelaan penuh, sehingga Tergugat terbebas dari segala pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum dikarenakan sifatnya yang menghapus sifat melawan hukum. Doktrin ini kemudian dibandingkan dengan pembelaan perbuatan melawan hukum di Indonesia untuk melihat apakah di Indonesia juga berlaku doktrin dari sistem hukum Common law ini. Hasilnya, ada kemiripan antara doktrin volenti non fit injuria ini dengan pembelaan gugatan perbuatan melawan hukum di Indonesia, yaitu adanya persetujuan atau izin dari korban consent serta perkembangan dari pembelaan consent, yaitu informed consent dalam hal sifat, persetujuan, sementara itu terdapat sedikit perbedaan pada objek yang disetujui serta jenis kasus yang dapat menggunakan pembelaan ini  (Studi komparatif doktrin pembelaan volenti non fit injuria di Indonesia dan Inggris = Comparative studies of defence doctrine volenti non fit injuria in Indonesia and England Juliani Hanly, author).

Pemberlakuan adanya surat pernyataan dari kreditor selaku Pemohon Lelang yang isinya akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana sebagai salah satu dokumen persyaratan lelang sudah disadari sejak awal oleh pihak Pemohon Lelang baik terkait resiko adanya gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana, jenis resiko maupun adanya tuntutan ganti rugi yang mungkin akan timbul, karena Keabsahan suatu dokumen persyaratan lelang eksekusi hak tanggungan yang bersifat materiil ini merupakan tanggung jawab pihak Pemohon Lelang selaku Penjual, sedangkan KPKNL hanya sebagai penyelenggara pelaksanaan lelang. Adanya surat pernyataan tersebut menurut penulis bisa dikatakan sebagai penerapan volenti non fit injuria dalam pelaksanaan lelang hak tanggungan demi memberikan jaminan kepastian hukum bagi KPKNL nantinya apabila terdapat adanya gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana yang ditujukan padanya. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 4 PMK Lelang “Lelang yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak dapat dibatalkan”, dan Buku II Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Umum halaman 100 yang berbunyi Suatu pelelangan yang telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku tidak dapat dibatalkan.

Surat pernyataan ini tentu tidak berlaku begitu saja sebagai pembelaan bagi KPKNL atas adanya gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana, namun sebatas adanya gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana yang terkait dengan tanggung jawab penjual sebagaimana pada Pasal 17 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e PMK Lelang. Pembelaan dengan dasar surat pernyataan tersebut menjadi tidak berlaku, apabila dalam pelaksanaan lelang diketahui adanya kelalaian oleh Pejabat Lelang, misalnya SKT/SKPT untuk pelaksanaan lelang berupa tanah atau tanah dan bangunan belum ada/belum terbit namun pelaksanaan lelang tetap berjalan.

Penggunaan Surat Pernyataan dimaksud sebagai bentuk pembelaan oleh penanganan perkara tentu harus selektif juga, dengan melihat adanya dalil-dalil posita dan petitum yang ditujukan kepada KPKNL. Sebagai contoh apabila terdapat suatu debitur yang merasa dirugikan atas adanya pelaksanaan lelang obyek hak tanggungan yang diselenggarakan oleh KPKNL, kemudian mengajukan gugatan perdata dengan dalil adanya Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Pihak Pemohon Lelang dan KPKNL karena merasa nilai limit lelang jauh dari nilai pasaran dengan petitum ada Tuntutan Ganti Rugi (TGR) kepada KPKNL atau Non TGR. Hal yang dilakukan yakni:

1.    Pada saat mediasi baik saat penyampaian langsung maupun dengan membuat resume perdamaian, selain menyampaikan kronologis singkat pelaksanaan lelang oleh KPKNL juga perlu disampaikan pula terkait Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) PMK Lelang dengan bukti permulaan copy surat pernyataan dari penjual serta mohon dikeluarkan sebagai pihak.

2.    Apabila pada mediasi belum bisa, dalam jawaban disampaikan kembali dengan mengajukan Eksepsi Mohon dikeluarkan sebagai Pihak.

Apabila pada angka 1 atau angka 2 di atas, terjadi kesepakatan antara pihak Penggugat dan Pihak KPKNL, maka akan dibuatkan Kesepakatan Perdamaian Sebagian (Acta Van dading) yang ditandatangani pihak Penggugat dengan pihak KPKNL dan Mediator. Penggugat kemudian mengubah gugatan dengan tidak lagi mengajukan pihak KPKNL sebagai pihak lawan. (Pasal 29 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Perma No 1 tahun 2016))

Beberapa pokok penting kesepakatan perdamaian yang pernah penulis alami yang dituangkan dalam  Acta Van dading, antara lain:

1.    Penggugat menyetujui Tergugat ..(KPKNL) dikeluarkan sebagai pihak dalam perkara a quo dan tidak akan menuntut ganti rugi apapun kepada Tergugat ..(KPKNL).

2.    Pelaksanaan lelang oleh Tergugat ..(KPKNL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Risalah Lelang Nomor ………… tanggal ……….. adalah sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat.

3.    Tergugat ..(KPKNL) tidak melakukan perbuatan melawan hukum dalam pelaksanaan lelang a quo.

 

Tidak semua pembelaan dengan menggunakan surat pernyataan dapat berhasil dilakukan, karena perlu juga pemahaman mendalam terkait bunyi Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) PMK Lelang serta Kesepakatan Perdamaian Sepihak dalam Perma No 1 tahun 2016 oleh pihak Penggugat, mengingat selama ini Penggugat ketakutan dengan dikeluarkanya pihak KPKNL akan terkena Eksepsi Kurang Pihak oleh pihak Tergugat yang lain, padahal dengan adanya Kesepakatan Perdamaian Sepihak, pihak Penggugat tidak perlu mencabut gugatan, namun cukup mengubah gugatan.

Sekali lagi penulis tekankan, penggunaan pembelaan ini oleh penangan perkara harus selektif, apabila berhasil maka akan lebih efisien dan efektif waktu dalam penanganan perkaranya sehingga bisa difokuskan untuk penanganan perkara yang lain.

Penulis: Toni Agus Wijaya (Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Palopo)


Daftar Pustaka

Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang

Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/KN/2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada media, Surabaya, Cetakan I.

https://en.wikipedia.org/wiki/Volenti_non_fit_injuria

http://www.lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak/id_abstrak-20445021.pdf#:~:text=ABSTRAK

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini