Lelang di
Indonesia sudah dikenal sejak tahun 1908 pada masa pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda dengan dikeluarkannya peraturan tentang lelang yang saat itu dikenal
dengan Vendu Reglement (VR)
berdasarkan Staatsblad 1908 Nomor 189
yang berlaku sejak tanggal 1 April 1908. Sampai saat ini VR tersebut masih
berlaku dan menjadi salah satu dasar dalam pembuatan peraturan pelaksanaannya
salah satunya yakni Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang (PMK Lelang). Dalam PMK Lelang tersebut, Lelang adalah penjualan barang yang terbuka
untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/ atau lisan yang semakin meningkat
atau menurun untuk mencapai harga tertinggi,
yang didahului dengan Pengumuman Lelang.
Dalam pelaksanaan lelang melibatkan beberapa pihak diantaranya yakni Penjual,
Penyelenggara lelang, Pejabat Lelang dan Pembeli, yang dapat menjadi Penjual yaitu orang, badan hukum atau badan usaha atau instansi
yang berdasarkan peraturan perundangundangan atau perjanjian berwenang untuk
menjual barang secara lelang. Sedangkan yang diperbolehkan sebagai Penyelenggara Lelang adalah KPKNL atau Balai Lelang yang
menyelenggarakan lelang dengan penawaran tertulis tanpa kehadiran Peserta
Lelang. Tidak semua orang bisa melaksanakan penjualan barang secara lelang,
kecuali Pejabat Lelang, Pejabat Lelang itu sendiri merupakan orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
diberi wewenang khusus untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang.
Sedangkan Pembeli
adalah orang atau badan hukum atau badan usaha yang mengajukan penawaran
tertinggi dan disahkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), Hak
Tanggungan adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Pemegang
Hak Tanggungan merupakan orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan
sebagai pihak yang berpiutang. Dalam UUHT juga diatur beberapa ketentuan
terkait pelaksanaan lelang hak tanggungan, diantaranya:
1. Pasal 6, Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut.
2. Pasal 11 ayat (2) huruf e, janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila
debitor cidera janji.
3. Pasal 20 ayat (1)
huruf a dan b, Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan
Huruf a, hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
Huruf b, titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan
dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan
dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
Dalam
salah satu klausul yang terdapat dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
juga telah menyebutkan ”Jika debitur tidak memenuhi kewajiban
untuk melunasi utangnya, berdasarkan perjanjian utang piutang tersebut di atas,
oleh Pihak Pertama, Pihak Kedua selaku Pemegang Hak Tanggungan peringkat
pertama dengan akta ini diberi dan menyatakan menerima kewenangan, dan untuk
itu kuasa, untuk tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Pihak Pertama:
a.
menjual atau suruh menjual di hadapan umum secara lelang Objek Hak Tanggungan baik seluruhnya maupun
sebagian - sebagian;
b.
mengatur dan menetapkan waktu, tempat, cara dan syarat-syarat penjualan;
c.
menerima uang penjualan, menandatangani dan menyerahkan kwitansi;
d.
menyerahkan apa yang dijual itu kepada pembeli yang bersangkutan;
e.
mengambil uang dari hasil penjualan itu seluruhnya atau sebagian untuk
melunasi utang debitor tersebut di atas; dan
f.
melakukan hal-hal lain yang menurut undang-undang dan peraturan hukum yang
berlaku diharuskan atau menurut pendapat Pihak Kedua perlu dilakukan dalam
rangka melaksanakan kuasa tersebut”.
Pelaksanaan Lelang
sebagaimana Pasal 6 UUHT merupakan salah satu jenis Lelang Eksekusi yakni
lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan, dokumen-dokumen
lain yang dipersamakan dengan itu, dan/ atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan
perundangundangan, sehingga orang yang berwenang melakukan penjualan lelang
yakni Pejabat Lelang Kelas I yang merupakan Pejabat Lelang pegawai DJKN yang
berwenang melaksanakan Lelang Eksekusi, Lelang Noneksekusi Wajib, dan Lelang
Noneksekusi Sukarela. Dengan demikian yang bisa menjadi penyelenggara
pelaksanaan lelang eksekusi pasal 6 UUHT yaitu Kantor Pelayanan Kekayaan Negara
dan Lelang selanjutnya disingkat KPKNL, adalah instansi vertikal DJKN yang
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
Pemegang Hak
Tanggungan dalam hal ini selaku Penjual dapat mengajukan permohonan lelang
eksekusi Pasal 6 UUHT melalui KPKNL dimana wilayah obyek Hak Tanggungan berada
dengan disertai dokumen persyaratan lelang pasal 6 UUHT, antara lain
salinan/fotokopi Perjanjian Kredit, salinan/fotokopi Sertifikat Hak Tanggungan
dan Akta Pemberian Hak Tanggungan, fotokopi sertifikat hak atas tanah yang
dibebani Hak Tanggungan, salinan/fotokopi Perincian Hutang/jumlah kewajiban
debitor yang harus dipenuhi, salinan/fotokopi bukti bahwa debitor wanprestasi,
antara lain surat-surat peringatan, surat pernyataan dari kreditor selaku
Pemohon Lelang yang isinya akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan
perdata dan/atau tuntutan pidana; dan salinan/fotokopi Laporan
penilaian/penaksiran atau dokumen ringkasan hasil penilaian/penaksiran yang
memuat tanggal penilaian/penaksiran, dalam hal nilai limit kurang dari Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setelah permohonan lelang berikut
syarat-syaratnya diajukan ke Kepala KPKNL, maka KPKNL akan melakukan verifikasi
kelengkapan dokumen persyaratan lelang berikut legalitas formal subjek dan
objek lelang. Legalitas Formal Subjek
dan Objek Lelang adalah suatu kondisi dimana dokumen persyaratan lelang telah
dipenuhi oleh Penjual sesuai jenis lelangnya dan tidak ada perbedaan data,
menunjukkan hubungan hukum antara Penjual (subjek lelang) dengan barang yang
akan dilelang (objek lelang), sehingga meyakinkan Pejabat Lelang bahwa subjek
lelang berhak melelang objek lelang, dan objek lelang dapat dilelang. Apabila
sudah lengkap dan memenuhi syarat, maka Kepala KPKNL akan menerbitkan Surat
Penetapan Jadwal Lelang.
Dalam memverifikasi dokumen persyaratan lelang
ini, KPKNL tidak bertanggung jawab atas keabsahaan dokumen yang bersifat
materiil, seperti halnya keabsahan kepemilikan barang, penetapan nilai limit,
keabsahan dokumen persyaratan lelang dan sebagainya, yang bertanggung jawab
dalam hal dimaksud yaitu Penjual selaku Pemohon Lelang. Hal inilah yang
menjadikan adanya salah satu syarat dalam dokumen persyaratan lelang yaitu
adanya surat pernyataan dari kreditor
selaku Pemohon Lelang yang isinya akan bertanggung jawab apabila terjadi
gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana. Hal ini juga telah ditegaskan dan diatur dalam Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3)
PMK Lelang yang mengatur:
1.
Ayat (1) Penjual
bertanggung jawab terhadap:
a. keabsahan
kepemilikan barang;
b. keabsahan
dokumen persyaratan lelang;
c. penyerahan
barang bergerak dan/ atau barang tidak bergerak;
d. penyerahan
dokumen kepemilikan kepada Pembeli; dan
e. penetapan
Nilai Limit
2.
Ayat (2), Penjual
bertanggung jawab terhadap gugatan perdata dan/ atau tuntutan pidana yang
timbul akibat tidak dipenuhinya peraturan perundang-undangan di bidang Lelang
oleh Penjual.
3.
Ayat (3), Penjual bertanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul, dalam hal tidak
memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Volenti
non fit injuria dalam situs Wikipedia yang telah
diterjemahkan yaitu doktrin hukum umum (common law) yang menyatakan bahwa jika
seseorang dengan rela menempatkan diri pada posisi dimana suatu resiko dapat
terjadi atas adanya suatu peristiwa, namun mereka tidak dapat mengajukan
tuntutan terhadap pihak lain dalam gugatan atau delik. Doktrin ini berlaku
untuk resiko yang oleh orang telah disadari dan dianggap telah diambil alih
tindakannya. Doktrin ini juga dikenal sebagai “Asumsi Risiko Sukarela”.
Pada tulisan Peter
Mahmud Marzuki dalam bukunya yang berjudul Penelitian Hukum, maxim volenti non fit injuria (apabila
seseorang mengetahui bahaya yang ada dan dengan suka rela masuk ke dalam bahaya
itu, ia dianggap telah memperkirakan
kerugian yang timbul dan tidak dapat minta ganti rugi andaikan kerugian itu
benar-benar ada) tumbuh dalam doktrin kebebasan individu tersebut dalam
pembuatan kontrak. Kerugian seseorang akibat sebuah kontrak yang dilakukannya,
dianggap sebagai resiko yang harus diketahuinya dan harus dipikulnya sendiri
karena ia telah menerima kewajiban itu secara sukarela (volenti non fit
injuria), perjanjian tetap berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya.
Doktrin volenti non fit injuria adalah salah
satu pembelaan dalam gugatan perbuatan melawan hukum yang berasal dari sistem
hukum Common law. Pembelaan ini
sendiri memiliki sifat yang berbeda-beda pada setiap negara Common law. Di Negara Inggris, doktrin
ini digunakan sebagai pembelaan penuh, sehingga Tergugat terbebas dari segala
pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum dikarenakan sifatnya yang menghapus
sifat melawan hukum. Doktrin ini kemudian dibandingkan dengan pembelaan
perbuatan melawan hukum di Indonesia untuk melihat apakah di Indonesia juga
berlaku doktrin dari sistem hukum Common
law ini. Hasilnya, ada kemiripan antara doktrin volenti non fit injuria ini dengan pembelaan gugatan perbuatan
melawan hukum di Indonesia, yaitu adanya persetujuan atau izin dari korban
consent serta perkembangan dari pembelaan consent, yaitu informed consent dalam hal sifat, persetujuan, sementara itu
terdapat sedikit perbedaan pada objek yang disetujui serta jenis kasus yang
dapat menggunakan pembelaan ini (Studi
komparatif doktrin pembelaan volenti non fit injuria di Indonesia dan Inggris =
Comparative studies of defence doctrine volenti non fit injuria in Indonesia
and England Juliani Hanly, author).
Pemberlakuan adanya surat pernyataan dari kreditor selaku
Pemohon Lelang yang isinya akan bertanggung jawab apabila terjadi gugatan
perdata dan/atau tuntutan pidana sebagai salah satu dokumen persyaratan lelang sudah
disadari sejak awal oleh pihak Pemohon Lelang baik terkait resiko adanya
gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana, jenis resiko maupun adanya tuntutan
ganti rugi yang mungkin akan timbul, karena Keabsahan suatu dokumen persyaratan
lelang eksekusi hak tanggungan yang bersifat materiil ini merupakan tanggung
jawab pihak Pemohon Lelang selaku Penjual, sedangkan KPKNL hanya sebagai
penyelenggara pelaksanaan lelang. Adanya surat pernyataan tersebut menurut
penulis bisa dikatakan sebagai penerapan volenti
non fit injuria dalam pelaksanaan lelang hak tanggungan demi memberikan
jaminan kepastian hukum bagi KPKNL nantinya apabila terdapat adanya gugatan
perdata dan/atau tuntutan pidana yang ditujukan padanya. Hal ini sejalan dengan
bunyi Pasal 4 PMK Lelang “Lelang yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak
dapat dibatalkan”, dan Buku II Mahkamah Agung tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Peradilan Umum halaman 100 yang berbunyi Suatu pelelangan yang telah dilaksanakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku tidak dapat dibatalkan.
Surat pernyataan ini tentu tidak berlaku begitu saja sebagai pembelaan
bagi KPKNL atas adanya gugatan perdata dan/atau tuntutan pidana,
namun sebatas adanya gugatan
perdata dan/atau tuntutan pidana yang terkait dengan tanggung jawab penjual
sebagaimana pada Pasal 17 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e PMK Lelang. Pembelaan
dengan dasar surat pernyataan tersebut menjadi tidak berlaku, apabila dalam
pelaksanaan lelang diketahui adanya kelalaian oleh Pejabat Lelang, misalnya
SKT/SKPT untuk pelaksanaan lelang berupa tanah atau tanah dan bangunan belum
ada/belum terbit namun pelaksanaan lelang tetap berjalan.
Penggunaan Surat Pernyataan dimaksud sebagai bentuk pembelaan oleh
penanganan perkara tentu harus selektif juga, dengan melihat adanya dalil-dalil
posita dan petitum yang ditujukan kepada KPKNL. Sebagai contoh apabila terdapat
suatu debitur yang merasa dirugikan atas adanya pelaksanaan lelang obyek hak
tanggungan yang diselenggarakan oleh KPKNL, kemudian mengajukan gugatan perdata
dengan dalil adanya Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Pihak Pemohon
Lelang dan KPKNL karena merasa nilai limit lelang jauh dari nilai pasaran
dengan petitum ada Tuntutan Ganti Rugi (TGR) kepada KPKNL atau Non TGR. Hal yang
dilakukan yakni:
1.
Pada saat mediasi baik saat penyampaian
langsung maupun dengan membuat resume perdamaian, selain menyampaikan kronologis
singkat pelaksanaan lelang oleh KPKNL juga perlu disampaikan pula terkait Pasal
17 ayat (1), (2) dan (3) PMK Lelang dengan bukti permulaan copy surat
pernyataan dari penjual serta mohon dikeluarkan sebagai pihak.
2.
Apabila pada mediasi belum bisa, dalam
jawaban disampaikan kembali dengan mengajukan Eksepsi Mohon dikeluarkan sebagai
Pihak.
Apabila pada angka 1
atau angka 2 di atas, terjadi kesepakatan antara pihak Penggugat dan Pihak
KPKNL, maka akan dibuatkan Kesepakatan Perdamaian Sebagian (Acta Van dading) yang ditandatangani
pihak Penggugat dengan pihak KPKNL dan Mediator. Penggugat kemudian mengubah
gugatan dengan tidak lagi mengajukan pihak KPKNL sebagai pihak lawan. (Pasal 29
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan (Perma No 1 tahun 2016))
Beberapa pokok penting kesepakatan
perdamaian yang pernah penulis alami yang dituangkan dalam Acta Van
dading, antara lain:
1.
Penggugat
menyetujui Tergugat ..(KPKNL) dikeluarkan sebagai pihak dalam perkara a quo dan tidak akan menuntut ganti rugi
apapun kepada Tergugat ..(KPKNL).
2.
Pelaksanaan
lelang oleh Tergugat ..(KPKNL) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan Risalah Lelang Nomor ………… tanggal ………..
adalah sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat.
3. Tergugat ..(KPKNL) tidak melakukan perbuatan melawan hukum dalam
pelaksanaan lelang a quo.
Tidak semua pembelaan dengan menggunakan
surat pernyataan dapat berhasil dilakukan, karena perlu juga pemahaman mendalam
terkait bunyi Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3) PMK Lelang serta
Kesepakatan Perdamaian Sepihak dalam Perma No 1 tahun 2016 oleh pihak
Penggugat, mengingat selama ini Penggugat ketakutan dengan dikeluarkanya pihak
KPKNL akan terkena Eksepsi Kurang Pihak oleh pihak Tergugat yang lain, padahal
dengan adanya Kesepakatan Perdamaian Sepihak, pihak Penggugat tidak perlu
mencabut gugatan, namun cukup mengubah gugatan.
Sekali lagi penulis tekankan,
penggunaan pembelaan ini oleh penangan perkara harus selektif, apabila berhasil
maka akan lebih efisien dan efektif waktu dalam penanganan perkaranya sehingga
bisa difokuskan untuk penanganan perkara yang lain.
Penulis: Toni Agus Wijaya (Kepala Seksi
Hukum dan Informasi KPKNL Palopo)
Daftar Pustaka
Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Staatsblad 1941:3)
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
Peraturan
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/KN/2017 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Lelang
Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan
Peter
Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada media, Surabaya, Cetakan I.
https://en.wikipedia.org/wiki/Volenti_non_fit_injuria
http://www.lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak/id_abstrak-20445021.pdf#:~:text=ABSTRAK