Social Distancing sebagai bagian dari
protokol menghadapi wabah Covid-19 seperti saat ini menimbulkan banyak kreativitas
baik karena keterpaksaan keadaan ataupun tidak. Salah satu kreativitas yang
dilakukan oleh insan Direktorat Hukum dan Humas, DJKN beberapa hari lalu,
tepatnya Kamis, 28 Mei 2020, adalah belajar menulis (yang dikemas dalam sharing
knowledge) sebuah artikel yang dilakukan secara virtual. Kegiatan ini
sangat menarik tentunya bagi peserta yang rata-rata berkecimpung di dunia
publikasi dan informasi. Pun ini sesuatu yang tidak biasa dilakukan,
mengingat pegawai negeri sipil lebih akrab dengan workshop, dengan
kehadiran di lokasi seperti balai diklat. Lalu apa yang menarik
dari kegiatan ini sehingga waktu yang tersedia ludes baik oleh pembicara maupun
tanya jawab para peserta. Ada beberapa faktor berdasarkan pengamatan penulis,
yang juga hadir secara virtual sebagai peserta, yang membuat acara ini menjadi
asyik saja.
Pertama. Keberadaan pegawai di lingkungan kerja dan
pola penempatan (mutasi) yang ada, sangat mungkin sebagian peserta adalah newbee dengan
tugas baru sebagai humas. Pastinya tugas tersebut menuntut untuk lebih
akrab dengan dunia publikasi, media sosial, teknologi informasi, dan
pesan-pesan yang harus tersampaikan kepada audien
dengan baik dan lengkap. Pemanfaatan sarana dalam kondisi social
distancing untuk menyampaikan informasi dan bagaimana informasi itu
disajikan agar memenuhi harapan informan (orang yang memberi informasi) menjadi
sesuatu yang harus dipelajari dan dikuasai. Keingintahuan peserta akan hal
tersebut bisa jadi pendorong utama untuk terlibat dalam kegiatan ini.
Selain faktor rasa ingin tahu tentang dunia
kehumasan, faktor (Kedua) yang sangat penting dalam menulis adalah motivasi. Edward U.P. Nainggolan menyampaikan satu motivasi
dari pepatah latin yang sangat mengesankan berbunyi “VERBA VOLUNT, SCRIPTA
MANENT (Lisan Akan Hilang, Sementara Tulisan Akan Tetap Kekal)”. Pepatah ini
singkat, mudah diingat dan mempunyai daya motivasi yang luar biasa. Jika boleh
diterjemahkan dalam bahasa motivasi yang lain (bahasa bebas menurut penulis)
maka itu berbunyi “tulislah, kelak orang akan tahu”. Dengan
motivasi ini peserta merasa diberi oleh-oleh
yang sangat berharga. Menyebut pepatah itu sepertinya sudah mampu menggerakan
sebagian andrenalin untuk menulis walaupun sekedar sepatah kata.
Ketiga. Faktor menarik berikutnya adalah pengalaman.
Sebagai peserta yang masih awam dalam dunia tulis menulis, pengalaman pembicara
untuk diceritakan adalah hal yang ditunggu-tunggu. Pengalaman Pak Edo (sapaan
akrab Edward U.P. Nainggolan) dalam menulis artikel opini misalnya, beliau menjelaskan bahwa opini akan menarik apabila
membahas suatu peristiwa yang sedang berlangsung, misalnya terkait Covid-19.
Peristiwa tersebut kemudian dipertajam dengan mengambil sudut pandang (angel) yang menarik. Beliau juga menceritakan
dengan semangat pengalamannya ketika ia mengorganisir stafnya untuk membuat
artikel/opini di media dengan cara mewajibkan setiap bidang menulis opini
secara bergantian setiap minggu dan menugaskan Bidang KIHI berperan selaku
editor atas setiap berita dan opini. Dalam motivasinya, Pak Edo menuliskan
‘tidak ada penulis opini yang langsung terkenal, semua dari bawah. Salah satu
cara belajar menulis (opini) yang baik (yaitu) membaca opini-opini dari penulis
terkenal. Pelajari kalimat dan bagaimana sang penulis mengungkapkan buah
pikirannya. Pengalaman Pak Edo membuka wawasan baru bahwa keterlibatan pimpinan
untuk menggerakan budaya menulis sangat besar pengaruhnya.
Keempat. Faktor asyik berikutnya adalah “Praktis
dan To The Point”. Sebagian peserta biasanya mengalami kejenuhan
ketika materi yang diberikan terlalu panjang dan kurang dibutuhkan oleh
peserta. Penyampaian yang ringkas lugas jelas oleh para pembicara dan
pengalaman-pengalaman praktis membuat peserta betah. Poin khusus yang didapat
dari kegiatan ini adalah bagaimana mengatasi hambatan menulis dan
kesalahan-kesalahan umum yang sering terjadi dalam menulis. Pak Edo
menyampaikan step-step untuk menulis yang dimulai
dari: Ada Ide (dari membaca, mendengar dan diskusi), membuat kerangka
tulisan, melakukan riset sederhana, membuat tulisan dengan menuangkan ide,
kemudian edit substansi dan bahasa. Nilam Rakhmawati yang kesehariannya
bekerja di Publikasi Elektronik, Manajemen Publikasi, Biro KLI Setjen Kemenkeu RI
memberi kunci bagaimana mengenali kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam
menulis artikel. Kesalahan dimaksud seperti: (a) antara judul dan badan
artikel tidak berhubungan, kalimat terlalu panjang dalam menjelaskan.
Harusnya dipecah lagi supaya enak dibaca, (b) Isi terlalu panjang
melebihi tiga halaman A4, (c) terlalu panjang di pengantar, (d) terlalu detail,
(e) bahasa terlalu teknis (f) terlalu mengawang-awang (harus to the point), (g) terlalu negatif, dan
salah ketik (typo).
Kelima. Pelatihan adalah langkah awal sukses
menulis, tanpa pelatihan tidak akan tercapai kemahiran menulis. Pelatihan juga
bentuk sinkronisasi teori dan praktek. Meskipun pelatihan secara virtual,
peserta dalam kegiatan ini diharuskan membuat tulisan bebas (Free Writing) selama tiga
menit dengan tema pilihan. Tujuan Free Writing ini (sesuai
tertulis dalam materi Nilam) untuk melepas rasa ingin mengedit, menyensor,
dan rasa buntu saat menulis. Hasil tulisan selanjutnya di-sharing via
daring untuk dibahas bersama. Melalui cara seperti ini peserta berlatih
bagaimana seharusnya membuat tulisan mengalir ke tangan tanpa harus terjeda
banyak hal. Perintah pembicara dalam latihan ini adalah lakukan saja tanpa
memikirkan titik koma, tata bahasa, urutan logis, dan sebagainya.
Pada bagian akhir diadakan umpan balik dengan
cara dialog atau tanya jawab. Ini bagian dari harapan peserta untuk menuntaskan
keingintahuan pada materi yang disampaikan. Sesi ini ternyata dimanfaatkan
dengan baik oleh peserta dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan teknis menulis.
Ini menunjukan respon positif dari peserta bahwa mereka antusias belajar
menulis, tidak harus di kelas, tapi jarak jauh pun tetap asyik. (Gsw)
Penulis: Wahidin dari KPKNL Palembang