Pengembangan
inovasi berupa aplikasi digital berbasis information
technology (inovasi IT) di unit-unit kerja telah menjadi keharusan dalam
pembangunan Zona
Integritas (ZI). Terdapat anggapan bahwa poin
pentingnya terletak pada adanya inovasi IT itu sendiri, soal manfaatnya adalah
perkara lain, sehingga banyak inovasi yang dibangun tidak sustainable. Berangkat dari hal ini, artikel ini mencoba untuk men-trigger critical thingking kita dalam
melihat inovasi IT.
Pembangunan Zona Integritas (ZI) sebagai bentuk
pelaksanaan island of integrity
memiliki dua tujuan yakni menciptakan organisasi birokrasi yang bebas dari
korupsi dan menciptakan birokrasi yang melayani. Dalam kerangka logis
pembangunan ZI sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi Nomor 90 Tahuan 2021 tentang Pembangunan dan Evaluasi
Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih
dan Melayani di Instansi Pemerintah, pembangunan ZI meliputi dua komponen
yaitu komponen pengungkit dan hasil. Komponen pengungkit mencakup enam area perubahan
yang salah satunya adalah penataan tatalaksana. Dalam ketentuan tersebut,
penataan tatalaksana dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan efesiensi dan
efektivitas sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efesien, dan
terukur. Salah satu target yang ingin dicapai dari komponen penataan
tatalaksana adalah meningkatnya penggunaan teknologi informasi dan proses
penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang mengarah pada tranformasi digital
yang memberikan nilai manfaat.
Di era disrupsi teknologi digital sekarang ini,
komponen ketatalaksanaan dalam reformasi birokrasi diterjemahkan
dengan mengembangkan berbagai aplikasi berbasis tekonologi digital, mulai dari
yang sederhana sampai dengan yang kompleks. Tidak jarang proses pengembangan
inovasi berbasis digital itu menguras lebih banyak energi, biaya, dan sumber
daya dibanding komponen lain dalam proses pembangunan ZI, yang dalam
perkembangannya kemudian seringkali menunjukkan kecenderungan yang melenceng
dari tujuan utamanya yaitu meningkatkan efesiensi dan efektivitas. Sebagai akibatnya banyak inovasi IT yang muncul, mati perlahan-lahan
segera setelah di-lounching.
Setidaknya
ada tiga faktor yang mempengaruhi kenapa suatu inovasi IT yang dibangun di
tingkat operasional/unit kerja tidak sustainable
(bisa jadi lebih dari tiga). Pertama, pembangunan inovasi itu dilakukan
dengan tidak dilatarbelakangi oleh kebutuhan substansial yang timbul karena
permasalahan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, namun lebih sebagai upaya
untuk memenuhi persyaratan dalam pembangunan ZI atau kegiatan lainnya. Kedua, berkaitan
dengan hal pertama tadi, inovasi IT yang
dikembangkan tidak memberi dampak yang positif pada pada organisasi dan pengguna.
Di sini, inovasi IT yang dikembangkan bukannya meringankan beban tugas pengguna
dan menjawab persoalan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi, malah menambah pekerjaan
yang tidak perlu, sehingga pengguna enggan menggunakannya. Ketiga, Inovasi IT dikembangkan
secara terburu-buru sehingga tidak memperhitungkan aspek-aspek yang dibutuhkan
untuk tumbuh dan berkembangnya suatu inovasi IT. Disini, salah satunya, seringkali
inovasi yang dibangun justru tidak mampu menjamin keamanan data.
Akhirnya, kematian dan keberlanjutan suatu inovasi seharusnya menjadi pelajaran yang berharga untuk dapat menjadi petunjuk menuju masa depan. Demi menyosong masa depan itu, dengan pembangunan birokrasi yang dinamis, pengembangan inovasi IT yang berkelanjutan harusnya menjadi kunci. Inovasi IT hendaknya bermula dari kejujuran kita bahwa inovasi itu memang dibutuhkan, dan pada akhirnya bukan hanya mengubah wajah layanan namun juga mampu mempromosikan budaya anti korupsi (sebagai contoh inovasi e lelang dengan lelang.go.id sebagaimana dibahas dalam artikel Menatap Masa Depan DJKN di Tengah Perubahan pada website https://www.djkn.kemenkeu.go.id/).