Pada
Mei 2022, Tim Kedai Lelang KPKNL Malang yang pada Tahun 2021 mendapatkan
apresiasi sebagai Juara III Kompetisi Kedai Lelang DJKN, kembali mendapatkan
apresiasi pada Tahun 2022 dengan mengikuti Pelatihan Customer Experience Management di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebagaimana seorang ahli ilmu berkata, “Tahapan pertama dalam mencari ilmu
adalah mendengarkan, kemudian diam dan menyimak dengan penuh perhatian, lalu
menjaganya, lalu mengamalkannya dan kemudian menyebarkannya.”. Ilmu yang
bermanfaat adalah ilmu yang disebarkan agar lebih banyak orang dapat
mengaplikasikannya. Maka pada sesi berbagi mingguan bertajuk Selasa Rampai
Sarasehan (Selaras), Tim Kedai Lelang membagikan ilmu yang didapatkan di D.I.
Yogyakarta.
Sesi
SELARAS tersebut memantik diskusi dan perspektif yang menarik tentang
pengalaman pelanggan (customer), atau
di bidang pelayanan publik biasa disebut pengguna jasa (stakeholder). Teori Customer
Experience Management diadaptasi tentu saja dengan memperhatikan adanya perbedaan karakter antara pelayanan publik dan perusahaan komersil.
Pelayanan publik tidak mencari keuntungan komersil, di mana keuntungan komersil
bisa didapatkan dengan lebih optimal dari pengalaman pelanggan yang baik.
Pelayanan publik juga memiliki karakter yang berbeda berdasarkan jenis
pelayanannya. Apapun pengalaman yang dirasakan pengguna jasa, mau tidak mau,
pengguna jasa akan kembali untuk mendapatkan pelayanan. Justru hal inilah yang
perlu menjadi dasar pemikiran terkait regulasi dan proses bisnis untuk dapat
menghadirkan panduan dan peraturan yang menghasilkan pelayanan publik yang baik
dan memberikan pengalaman yang baik kepada pengguna jasa. Karena tidak seperti
perusahaan yang berdiri masing-masing, citra yang dihasilkan oleh proses
pelayanan publik sebuah instansi, akan merepresentasikan pendapat masyarakat
terhadap pelayanan publik pada umumnya, membawa citra Aparatur Sipil Negara
(ASN).
Mari
sejenak menempatkan diri sebagai seseorang di tengah masyarakat. Teknologi
membawa kita ke era disrupsi, perubahan terjadi secara signifikan dan cepat,
pun dengan cara kita berinteraksi dengan berbagai pelayanan. Pandemi menjadi
akselerator perubahan karena kondisi yang menempatkan kita untuk menjaga jarak
satu sama lain. Perbankan berlomba menghadirkan berbagai fitur yang tak hanya memungkinkan
segala jenis transaksi dapat dilakukan secara daring, namun juga menghadirkan
berbagai fitur pintar yang terkustomisasi secara personal sehingga kesan yang
didapat pelanggan menjadi lebih menyentuh. Pelayanan yang dahulu memakan waktu
dan tenaga yang banyak, saat ini bisa didapatkan dalam hitungan detik. Muncul
berbagai bank digital yang memaksa bank konvensional berinovasi besar-besaran.
Industri fashion, pertanian, jual beli, pariwisata, pesan antar, dan banyak
bidang lain melakukan hal serupa. Beradaptasi dan berinovasi besar-besaran
untuk mendapatkan pasar. Kita sebagai masyarakat mendapatkan kemudahan yang
amat besar dari era disrupsi teknologi ini. Segalanya lebih mudah, cepat, dan
jauh lebih efisien. Otomatis akan terbentuk sebuah standar dalam diri seseorang
tentang sebuah pelayanan. Ketika seseorang/masyarakat yang terbiasa mendapatkan
kemudahan pelayanan di berbagai bidang sektor privat, kemudian ia mendapatkan
pelayanan publik, maka secara otomatis akan tercipta sebuah pelayanan. Jika
pelayanan masih bersifat konvensional, maka akan tercipta kesan pada seseorang
tersebut bahwa untuk mendapatkan pelayanan publik perlu proses yang lama dan
tidak efisien dibandingkan pelayanan privat yang biasa ia terima. Adaptasi
tidak hanya harus dilakukan oleh perusahaan komersial, tapi juga sektor
pelayanan publik walaupun dalam pelayanan publik tidak ada “persaingan”
langsung.
Adanya proses pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi/Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBK/WBBM) juga menjadi pemantik sektor pelayanan publik untuk berinovasi. Tak sedikit kita merasakan peningkatan signifikan pelayanan publik seperti beralihnya pelayanan konvensional ke pelayanan yang sepenuhnya daring, proses pelayanan yang cepat dan lebih efisien. Kita tidak bisa hanya puas dengan standar dan capaian yang kita buat sendiri tanpa mengindahkan persepsi masyarakat terhadap bagaimana seharusnya pelayanan terjadi. Kuncinya ada dua hal. Pertama adalah kemauan dan kemampuan untuk mengevaluasi diri agar kita mampu melihat sebenar-benarnya apa yang perlu kita perbaiki. Kedua, tidak berhenti bertanya “sudah relevankah pelayanan dan proses bisnis yang kita miliki dengan kebutuhan dan ekspektasi masyarakat ?”. (teks : Neni Puji Artanti/gambar : tangkapan layar materi dari Dra. MC Maryati)