Bulan Agustus Tahun 2021 nyaris berakhir. Sebuah bulan yang penuh berbagai peristiwa. Dua bulan terakhir masyarakat Indonesia menghadapi puncak wabah di gelombang kedua pandemi COVID-19. Menghadapi angka penularan yang semakin tinggi dan cepat di saat kapasitas rumah sakit sangat terbatas dan vaksinasi yang masih terus diupayakan di tengah berbagai kendala, mengharuskan pemerintah menetapkan kembali kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Penerapan PPKM ini tentu bukan tanpa efek dan konsekuensi. Masyarakat berusaha dengan berbagai cara untuk bertahan dari dampak adanya PPKM, di samping berusaha agar tidak tertular atau berjuang untuk sembuh dari COVID varian Delta, mutasi dari virus COVID-19 yang penularannya sangat cepat sehingga membuat angka kematian akibat virus ini melonjak drastis.
Agustus ini tak hanya kabar-kabar duka yang kita dengar. Awal Agustus rasanya nyaris seluruh warga Indonesia gegap gempita meski di rumah saja menyaksikan ajang Olimpiade 2020 di Tokyo. Ajang olahraga paling bergengsi ini juga menjadi sejarah bagi Indonesia karena Atlet Bulutangkis Ganda Putri berhasil mendapatkan medali emas untuk pertama kalinya. Sebuah kado manis dan penghibur di tengah suasana darurat dan duka. Dua pekan setelah gempita raihan medali emas, Indonesia merayakan dirgahayunya ke-76. Sebuah perayaan yang akan diingat rasanya di hidup saya karena perayaan kemerdekaan ini kita lalui di tengah perjuangan wabah, di tengah dampak PPKM, tanpa perayaan perhelatan lomba di kalangan masyarakat selayaknya biasa kita lakukan.
Tujuh
puluh enam tahun Indonesia merdeka, dua puluh empat tahun lagi Indonesia akan
merayakan usianya yang ke-100. Indonesia 2045, sebuah kondisi yang sudah ramai
diperbincangkan sejak dulu. Berbagai ahli dari berbagai disiplin ilmu
memperkirakan bagaimana kondisi Indonesia di 100 tahun usianya. Bagaimana cara
agar Indonesia mewujudkan amanah undang-undang dasar, menjadi Indonesia yang
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Berbagai prognosis berdasarkan data dibuat oleh
berbagai ahli. Indonesia 2045 memiliki masa depan yang gemilang. Struktur
demografi Indonesia berpotensi menjadi salah satu kekuatan utama karena
Indonesia memiliki bonus demografi, sebuah kondisi di mana penduduk produktif
usia 18-64 tahun berjumlah besar. Penduduk produktif dengan kualitas baik tentu
akan berdampak positif pada perekonomian suatu negara. Para ahli memperkirakan Indonesia
pada 2045 akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar nomor 5 di dunia.
Sungguh sebuah kondisi yang membuncahkan harapan akan masa depan cemerlang bagi
keturunan kita.
Hal
ini mengingatkan saya terhadap buku yang saya baca di bulan Agustus ini. Buku
itu berjudul Indonesia 2045, Gagasan Ekonom Milenial Melihat Masa Depan, yang
juga memuat tulisan para ahli salah satunya adalah Menteri Keuangan Republik
Indonesia, Sri Mulyani Indrawati. Buku lain yang saya baca pada Bulan Agustus
ini adalah Perang Melawan Influenza karya Ravando yang membahas tentang sejarah
pandemi flu spanyol di Indonesia seratus tahun lalu. Pada buku kedua ini saya
membaca banyak hal yang terulang dari penanganan pandemi di tahun 1918 dan
pandemi COVID-19 yang di Indonesia secara resmi ditetapkan pada Maret 2020 dan
belum berakhir hingga kini. Guna
mewujudkan masa depan, kita perlu belajar betul dari sejarah.
Generasi
penerus Indonesia 2045 yang akan menjadi tulang punggung produktivitas negara
adalah mereka yang saat ini menghadapi pandemi COVID dengan segala dampak
sosial, kesehatan, dan ekonomi. Mereka adalah anak-anak yang saat ini sedang
berjuang menghadapi keterbatasan belajar jarak jauh, baik di pusat kota maupun
di berbagai daerah di Indonesia yang memiliki keterbatasan fasilitas dan
infrastruktur. Di skala negara, banyak negara
termasuk Indonesia harus mengambil kebijakan luar biasa yang tentu saja tidak
gampang untuk mengatasi pandemi. Pelebaran defisit, dampak
pada ekonomi sektor riil dan penyesuaian kinerja ekonomi. Indonesia memiliki banyak hal yang harus dikerjakan
agar tetap bisa mewujudkan masa depan Indonesia 2045.
Saya teringat pada sebuah filosofi, “Semua ada hikmahnya”. Segala kondisi yang kita hadapi tentu memberikan hikmah bagi kita. Kini kita semakin mengetahui apa yang perlu diperbaiki. Sedikit dari perenungan saya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan belajar dari pandemi ini. Tingginya angka komorbiditas akibat penyakit degeneratif akibat pola hidup menjadi alarm besar. Perlu ada kampanye besar bahkan restriksi melalui regulasi tentang pola hidup sehat karena masyarakat yang produktif berasal dari individu yang sehat. Selain itu, masyarakat yang memiliki pola hidup sehat tidak akan membebani jaring kesehatan masyakarat dengan pembiayaan penyakit yang dapat dicegah. Pandemi ini juga menyadarkan bahwa ada suatu masa yang mengharuskan masyarakat memiliki dana darurat karena tidak dapat produktif. Maka literasi ekonomi perlu menjadi hal yang diperhatikan sejak dini, tentu saja penguatan ekonomi perlu diwujudkan agar tercipta masyakarat yang memiliki daya lebih juga mampu memiliki dana darurat. Masyarakat juga perlu memiliki literasi digital yang lebih kuat agar tak pontang panting karena hoax. Pandemi ini juga menjadi momentum kita mengevaluasi sistem pendidikan, cara bekerja (way of working), kebutuhan pemerataan akses kesehatan dan banyak hal lainnya. Karena masa depan dapat kita wujudkan dengan kemauan belajar dari sejarah.