Tahun 2020 telah
memasuki bulan kesembilan, dengan tujuh bulan di antaranya Indonesia berjibaku
melawan pandemi yang belum jua menunjukkan kurva menurun. Kuartal kedua pun
menjadi masa-masa yang cukup berat bagi banyak orang. Umat Muslim di Indonesia
untuk pertama kalinya merasakan suasana bulan Ramadan dan Idul Fitri yang
sungguh berbeda. Para siswa sekolah melakukan penyesuaian signifikan dalam
sistem belajar mengajar, berbagai sektor industri terpukul cukup dalam sehingga
tingkat pengangguran naik cukup signifikan sebagaimana disampaikan Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas di akhir kuartal II
Tahun 2020. Sebagaimana data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) di laman
resminya pada 5 Agustus 2020, Ekonomi Indonesia Triwulan II-2020 mengalami
kontraksi pertumbuhan sebesar 5,32 persen.
Bila kuartal III Tahun 2020, pertumbuhan ekonomi secara year on year
negatif, maka Indonesia resmi memasuki masa resesi.
Kita semua tak dapat
memilih mana yang harus didahulukan, ekonomi atau kesehatan. Karena keduanya
berhubungan sangat erat dan pertanyaan mana yang harus didahulukan bukanlah
pertanyaan yang elok. Kita semua memiliki peran masing-masing sesuai bidangnya
untuk berjuang bersama sama untuk selamat baik dari keterpurukan ekonomi maupun
bencana kesehatan yang mengerikan. Di bidang ekonomi, pemerintah telah
melakukan berbagai upaya untuk menghindari resesi melalui government spending yang menjadi daya ungkit pemulihan ekonomi dan
berbagai paket kebijakan bagi UMKM baik restrukturisasi, subsidi bunga, kredit
berbunga rendah, dan bantuan UMKM
sebagai kelompok yang memiliki peran sangat strategis bagi perekonomian
Indonesia.
Lalu, di mana peran
kita sebagai individu agar Indonesia dapat melewati berbagai efek pandemi ini?
Saat artikel ini
ditulis, angka penambahan kasus pertama kalinya menyentuh angka 4 ribu orang
dengan tingkat tes di bawah 0,1 dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
yang menetapkan standar di kisaran garis 1. Perjalanan nampaknya masih amat
panjang dan berat. Upaya kita sebagai individu dalam menghadapi krisis di
bidang ekonomi maupun kesehatan harus sama tinggi, persisten, dan sama kuat.
Klaster positif COVID-19 semakin banyak bermunculan, fasilitas kesehatan
semakin mendekati kapasitas maksimalnya, lebih dari 100 dokter gugur
menjalankan tugas, maka menghindari paparan COVID-19 rasa-rasanya adalah
satu-satunya pilihan yang kita punya. Seluruh pihak perlu memaknai klausa “adaptasi
kebiasaan baru” tidak sebatas definisi, namun juga mendalami esensi. Masyarakat
perlu beradaptasi dan menormalisasi sistem kerja, bermasyarakat, berniaga, dan
melakukan berbagai hal tanpa interaksi fisik. Adaptasi yang memerlukan kerangka
regulasi dengan segala konsekuensinya demi mewujudkan kinerja tanpa interaksi. Berbagai
skema dan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah tak dapat
dilakukan oleh pemerintah sendiri, namun disiplin tinggi dari masyarakatlah
yang akan menuntaskan pandemi ini. Kedisiplinan atas aturan muncul dari
pemahaman yang menyeluruh, bukan hanya penegakan regulasi. Masyarakat yang
disiplin menjaga jarak hanya akan terwujud apabila kebutuhan primernya
terpenuhi. Hal ini diupayakan oleh pemerintah melalui Bantuan
Sosial (Bansos) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Pemerintah tidak
bisa bergerak sendiri. Seluruh elemen masyarakat perlu bergerak untuk pulih
dari tekanan perekonomian yang terjadi dan memastikan sebanyak mungkin orang
berdisiplin menjaga jarak karena kebutuhan primernya terpenuhi. Pada masa
pandemi ini, yang terpukul cukup telak adalah UMKM. UMKM memiliki skala modal
dan omset dalam kategori kecil, namun kelompok usaha UMKM merupakan kelompok
usaha terbesar yang dapat dikatakan memiliki peran strategis dalam menopang
perekonomian Indonesia. Sedangkan, kita sebagai individu di masa pandemi ini
perlu memastikan bahwa kita memiliki kecukupan dan ketersediaan dana darurat,
kepastian masa depan melalui berbagai investasi, dan di saat yang sama berperan
dalam kebangkitan perekonomian Indonesia. Sungguh terdengar berat namun
memungkinkan untuk dilakukan. Konsumsi adalah hal yang akan dilakukan oleh
setiap orang. Di masa sulit ini, kita perlu melakukan kegiatan konsumsi secara
sini kini (mindfull) dan berkesadaran
memilah prioritas. Pada saat yang sama, pilihan kita melakukan konsumsi dapat
memberdayakan sektor UMKM dengan mengalihkan pilihan kita ke produk-produk
lokal. Terlihat sederhana, namun tindakan ini dapat menimpulkan efek pengganda
(multiplier effect) karena dalam sebuah produk yang kita gunakan, terlibat
berbagai lini mulai dari penyedia bahan baku, jasa antar, penyedia jasa lainnya
yang seringnya melibatkan pelaku industri di skala mikro, kecil, maupun
menengah. Hal “kecil” ini jika dilakukan oleh berjuta, berpuluh, ber-ratus juta
penduduk Indonesia, maka ketahanan perekonomian dan kemungkinan sebanyak
mungkin orang berdiam di rumah karena kebutuhannya terpenuhi, akan dapat
terwujud.
Saya, dalam tujuh bulan masa pandemi ini, melakukan berbagai penyesuaian yang saya anggap perlu. Saya tak lagi mendatangi mall untuk berbelanja, saya tak lagi menaiki moda transportasi darat dan udara mengunjungi berbagai kota, saya membatasi pergerakan saya. Ada penyesuaian pengeluaran yang saya lakukan. Saya mencoba memastikan dana darurat saya memadai dan kepastian masa depan melalui investasi, saya wujudkan dengan membeli surat berharga yang diterbitkan negara. Tak hanya saya mengalokasikan sumber daya saya untuk masa depan dengan berinvestasi, namun juga secara bersamaan berkontribusi membangun negara. Dalam masa ini, kebutuhan akan konsumsi masih tetap harus dipenuhi dan tak berhenti. Saya tak lagi membeli baju di mall besar, namun membeli berbagai dagangan yang ditawarkan sahabat-sahabat saya yang kesemuanya berskala kecil. Keterbatasan pergerakan juga membuat saya membeli berbagai makanan yang diperdagangkan oleh para pelaku UMKM yang dalam proses pembeliannya, ada jasa pengantaran yang turut terberdayakan. Produk lokal kini tak melulu berbicara tentang kebanggaan, namun juga kualitas yang tak kalah bersaing dengan produk dari luar negeri atau produk industri besar. Usai menyantap makanan atau mengenakan pakaian lokal, tak lupa saya mengabadikannya pada laman media sosial saya. Ini bukan sekadar masalah eksistensi, namun media sosial dalam skala apapun menjadi media paling efektif dalam melakukan pemasaran. Sedikit ulasan apik dari kita, bisa saja membuka pintu rejeki dan peluang bagi orang lain, sekecil apa pun kemungkinan itu. Seorang sahabat berkata, lakukan sekecil apa pun yang kita bisa untuk orang lain. Hal tersebut lebih baik daripada diam. Semoga Tuhan memberikan keselamatan bagi bangsa ini. Mari berpartisipasi dan menjadi manfaat bagi orang lain, dengan sumber daya yang kita miliki.
(Teks : Neni Puji Artanti - KPKNL Malang / Gambar : @fith101 dari instagram resmi @kemenkeuri)