Dari data revaluasi BMN tahun 2017-2018 yang telah dilakukan, secara umum Ditjen Kekayaan Negara telah mempunyai database profil untuk memapping aset-aset yang telah bekerja melampaui ekspektasi, sesuai ekspektasi, maupun yang di bawah ekspektasi. Penulis mempunyai keyakinan bahwa berdasarkan database tersebut, decision maker di Kantor Pusat Ditjen Kekayaan Negara telah mempunyai planning dan kebijakan untuk melecut aset-aset yang kurang memenuhi ekspektasi (underutilized).
Jika direnungkan kembali,
tujuan Barang Milik Negara (BMN) dibeli atau diadakan adalah untuk menunjang
penyelenggaraan tugas dan fungsi suatu instansi pemerintah. Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah,
menyebutkan bahwa Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang berwenang dan
bertanggungjawab menggunakan Barang Milik Negara yang berada dalam
penguasaannya untuk kepentingan penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga atau kantor yang
dipimpinnya.
Oleh
karena itu,
idealnya keberadaan barang milik negara seharusnya
digunakan seoptimal mungkin agar tidak
underutilized atau idle.
Suatu barang milik negara dapat
dikatakan idle apabila barang milik negara tidak digunakan untuk
menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga. Dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 71/PMK.06/2016 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Milik Negara
yang Tidak Digunakan untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian
Negara/Lembaga ditegaskan kembali bahwa secara prinsip Pengguna Barang wajib
menyerahkan barang milik negara idle pada
Kementerian/Lembaga unit kerja Pengguna Barang bersangkutan kepada Pengelola Barang.
Regulasi tersebut juga mengatur kriteria dan pengecualian suatu barang mililk negara dikategorikan
sebagai barang milik negara idle atau
tidak.
Berdasarkan data
pengelolaan aset tahun 2013
sampai
dengan tahun 2018,
nilai barang milik negara idle mengalami
tren kenaikan. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2013 menunjukkan nilai barang milik
negara idle tercatat
Rp21,32 miliar. Pada tahun 2016,
barang
milik negara idle naik
hampir dua kali lipat menjadi Rp40,62 miliar. Ditjen Kekayaan Negara menemukan dari
sekitar 408.000 unit barang milik negara yang direvaluasi pada 2017, terdapat
1.000 aset yang dikategorikan idle. Barang milik negara yang idle sebenarnya memberikan
kerugian bagi negara. Misalnya, adanya kerugian dari pemeliharaan aset, atau
hilangnya kesempatan/loss opportunity untuk memperoleh penerimaan negara bukan
pajak atau manfaat sosial lainnya.
Kadang dijumpai bahwa satuan kerja sebagai pengguna barang belum bisa mengoptimalkan aset dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, kiranya perlu
asistensi intensif dari DJKN dhi. KPKNL untuk memberdayakan aset yang berada
di satuan kerja tersebut, misalnya dengan pemberian advice ataupun alternatif-alternatif
untuk memanfaatkan aset idle satuan kerja.
Salah
satu upaya yang bisa ditempuh antara lain melalui secondment/penugasan dengan
menempatkan pegawai Ditjen Kekayaan Negara dalam jangka waktu tertentu pada
satuan kerja yang membutuhkan pendampingan dan sharing knowledge atas
pengelolaan barang milik negara. Selain bermanfaat bagi satuan kerja dalam
melaksanakan pengelolaan barang milik negara secara optimal, program secondment
juga bermanfaat untuk mengembangkan kompetensi dan kapabilitas pegawai Ditjen
Kekayaan Negara.
Melalui program secondment, permasalahan-permasalahan terkait pengelolaan barang milik negara di satuan kerja dapat segera diatasi dan dicarikan pemecahannya oleh pegawai yang melaksanakan program tersebut. Operator pengguna barang pada satuan kerja akan mendapatkan arahan dari pejabat KPKNL dalam jangka waktu tertentu guna menggali informasi dan pengetahuan serta praktik langsung atas pengelolaan barang milik negara yang sesuai regulasi. Selain itu, operator pengguna barang satuan kerja dapat bertukar informasi dan pengetahuan dalam rangka mengoptimalkan barang milik negara yang berada di lingkungannya. Masukan-masukan yang konstruktif dapat diberikan oleh KPKNL kepada satuan kerja antara lain dalam proses identifikasi atas optimalisasi barang milik negara yang dikelolanya. Kondisi barang milik negara di lapangan, kondisi sosial kultural serta kondisi ekonomi di lingkungan barang milik negara berada dapat diprofilling dan dimapping secara berkesinambungan antara KPKNL sebagai pengelola barang dan satuan kerja sebagai pengguna barang. Kendala serta hambatan di lapangan juga dapat segera dicarikan alternatif solusi untuk selanjutnya dieskalasi kepada para pengambil keputusan pada satuan kerja.
Sebagai penutup, program secondment dapat menjadi alternatif untuk membawa angin segar pada pengelolaan barang milik negara. Optimalisasi barang milik negara tidak melulu harus selalu menjadi uang, namun barang milik negara juga dapat dioptimalkan untuk kepentingan sosial. Dan hal itulah yang harus menjadi mindset pengelola maupun pengguna dalam memperlakukan barang milik negara agar tidak idle atau underutilized.
Penulis: Mahmud Ashari (Kepala Seksi Hukum dan Informasi KPKNL Kisaran)