Sejatinya,
BPJS Ketenagakerjaan bukanlah “kawan baru” bagi PUPN/DJKN dalam hal collaborative government di Pengurusan
Piutang Negara. Ada sejarah panjang yang mengiringi perjalanan kemitraan antara
BPJS Ketenagakerjaan dengan PUPN/DJKN. Sejarah BPJS Ketenagakerjaan sendiri
yang saat ini merupakan Badan Hukum Publik sebagaimana dikutip dari website
BPJS Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:
a. Bermula dari dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi
sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha
swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977
tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.
b.
ASTEK sendiri berganti nama melalui UU
No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK).
Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT. Jamsostek sebagai badan
penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek
mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM),
Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh
tenaga kerja dan keluarganya.
c. Tahun
2011, ditetapkanlah UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. Sesuai dengan amanat undang-undang, tanggal 1 Januri 2014 PT Jamsostek
akan berubah menjadi Badan Hukum Publik. PT Jamsostek tetap dipercaya untuk
menyelenggarakan program jaminan sosial tenaga kerja, yang meliputi JKK, JKM,
JHT dengan penambahan Jaminan Pensiun mulai 1 Juli 2015.
d. Pada
tahun 2014 pemerintah menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
sebagai program jaminan sosial bagi masyarakat sesuai UU No. 24 Tahun 2011,
Pemerintah mengganti nama Askes yang
dikelola PT. Askes Indonesia (Persero) menjadi BPJS
Kesehatan dan mengubah Jamsostek yang
dikelola PT. Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan.
Sejarah Panjang BPJS Ketenagakerjaan dengan PUPN/DJKN
Seperti yang sudah penulis jelaskan di atas, BPJS
Ketenagakerjaan telah lama menyerahkan piutang iurannya ke PUPN/DJKN bahkan
sejak sebelum adanya PMK N0.128/PMK.06/2007 dengan beberapa perubahannya
tentang Pengurusan Piutang Negara sampai dengan ditetapkannya peraturan
pengganti melalui PMK No.240/PMK.06/2014 tentang Pengurusan Piutang Negara dan
Perdirjen KN No. 06 tahun 2017 tentang Prosedur Pengurusan Piutang Negara.
Adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor:77/PUU-XI/2011
dimana disebutkan bahwa penyerahan piutang negara yang berasal dari BUMN/D
tidak lagi dapat diurus oleh PUPN kecuali piutang BUMN/D yang berasal dari pola
penyaluran dana berupa risk sharing
atau channeling, turut memberi dampak
bagi Jamsostek (saat itu masih BUMN) dalam proses pengurusan piutang negara di
PUPN/DJKN. Masih segar dalam ingatan penulis yang telah melakukan pengurusan
piutang negara sejak era Jamsostek (BUMN) hingga era BPJS Ketenagakerjaan,
piutang negara penyerahan dari Jamsostek dikembalikan dengan tujuan untuk diserahkan kembali
setelah BPJS Ketenagakerjaan menghitung ulang jumlah tunggakan angsuran agar
memenuhi prinsip “ada dan besarnya pasti” sesuai amanat Perpu No.49 tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara dan PMK No.240/PMK.06/2016
tentang Pengurusan Piutang Negara.
DJKN sendiri telah menerbitkan Surat Edaran Nomor: SE-01/KN/2014
tanggal 16 Maret 2014 tentang Pengurusan Piutang PT Askes (Persero),
PT Asabri (Persero), PT Jamsostek (Persero), dan PT Taspen
(Persero) pasca Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sesuai dengan surat
edaran tersebut, maka DJKN mempunyai kewenangan untuk melakukan pengurusan
piutang yang tak tertagih dari BPJS Ketenagakerjaan
yang berbadan hukum publik. Hal ini dipertegas dengan ditandatanginya
Perjanjian Kerjasama (PKS) antara BPJS Ketenagakerjaan dengan DJKN dengan
Nomor: PER/16/012015 dan Nomor:PRJ-1/KN/2015 tentang Pengurusan Piutang Iuran
Macet dan Denda Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Dengan terbitnya
keputusan tersebut maka “Era Baru” kerjasama pengurusan piutang negara antara BPJS
Ketenagakerjaan dengan PUPN/DJKN telah dimulai.
Dikarenakan BPJS Ketenagakerjaan mempunyai peraturan
tersendiri dalam pengelolaan piutangnya maka pengelolaan piutang BPJS
Ketenagakerjaan tidak merujuk pada PMK No.69/PMK.06/2014 tentang Penggolongan
Kualitas Piutang dan Penyisihan Piutang Tak tertagih. Dikutip dari Buku Saku
FAQ tentang Pedoman Piutang Iuran hal 15, diketahui piutang BPJS
Ketenagakerjaan yang dapat diserahkan pengurusannya adalah Piutang Segmen
Penerima Upah (PU) dan Piutang Segmen Jasa Konstruksi (Jakons), yang meliputi
piutang pokok dan denda iuran kategori macet dan kontijensi.
Potensi Piutang Negara Dapat Diselesaikan (PNDS)
Piutang Negara yang
berasal dari BPJS Ketenagakerjaan per Triwulan III tahun 2018 berdasarkan
sumber data laporan Kep-96 KW PPN.04 adalah sebesar Rp.
464.177.646.583,36 dengan jumlah Berkas Kasus Piutang
Negara (BKPN) sebanyak 3.164 BKPN dari 17 Kanwil DJKN, jika dilakukan perincian
dimulai dari saldo awal BKPN tahun 2018 maka akan diketahui data sebagai
berikut:
Jenis |
Jumlah BKPN |
Nilai Penyerahan (Rp) |
Saldo Awal tahun 2018 (a) |
4.284 |
522.235.638.800,06 |
BKPN Selesai/ PNDS |
1.120 |
58.057.992.216,70 |
Saldo Akhir |
3.164 |
464.177.646.583,36 |
Persentase |
26% |
11,12% |
Sumber:
Direktorat PNKNL DJKN
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa potensi PNDS dari
BPJS Ketenagakerjaan cukup besar dikarenakan
outstanding BPJS Ketenagakerjaan masih cukup besar dan harus dioptimalkan
pengurusannya.
Adapun sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa BKPN
selesai sendiri terdiri dari 4 (empat) unsur: a. BKPN SPPNL (lunas) b. BKPN
SPPNS (penarikan berkas) c. PSBDT d. Pengembalian BKPN, maka menurut hemat
penulis dengan jumlah BKPN yang kemungkinan besar akan terus bertambah setiap
tahunnya maka potensi realisasi BKPN selesai pun akan semakin besar dan
diperlukan berbagai upaya pengurusan piutang negara oleh PUPN/DJKN untuk
menyelesaikan target BPKN selesai sesuai yang tekah ditetapkan.
Bagaimanakah posisi realisasi PNDS BPJS Ketenagakerjaan terhadap
PNDS dari seluruh Kementerian/Lembaga tahun 2018? Realisasi PNDS tahun 2018 untuk seluruh Kementerian/Lembaga
yang diurus oleh PUPN adalah sebesar Rp. 221.758,10 (dalam satuan juta),
sedangkan realisasi PNDS untuk BPJS Ketenagakerjaan (penulis baru
mendapat data sampai Triwulan III tahun 2018) sebagaimana yang telah dijelaskan diatas adalah sebesar Rp. 58.058,70
( dalam satuan juta). Jika dilihat dari persentase, maka PNDS dari BPJS
Ketenagakerjaan menyumbang sebesar 26 (dua puluh enam) persen untuk PNDS
nasional. Sebuah rasio yang cukup besar jika dibandingkan dengan banyaknya Kementerian/Lembaga
yang telah menyerahkan pengurusan piutangnya ke PUPN/DJKN sesuai Perdirjen
Nomor 09 tahun 2017 tentang pembagian wilayah kerja KPKNL seluruh Indonesia dan
wilayah DKI Jakarta.
Sebagai tambahan informasi, KPKNL
Jakarta III sendiri tempat penulis bekerja merupakan salah satu KPKNL yang ikut
melaksanakan pengurusan piutang negara penyerahan dari BPJS Ketenagakerjaan
dengan jumlah 17(tujuh belas) cabang BPJS Ketenagakerjaan wilayah DKI Jakarta
dan dalam kurun waktu 3(tiga) tahun terakhir, realisasi PNDS yang dicapai
selalu diatas 100(seratus) persen dari target yang telah ditetapkan dan
realisasi PNDS dari BPJS Ketenagakerjaan berkisar di angka 90 (sembilan) persen
keatas. Hal ini menunjukkan bahwa PNDS dari BPJS Ketenagakerjaan memberikan
sumbangsih PNDS yang cukup signifikan untuk PNDS nasional.
Permasalahan
dalam pengurusan piutang BPJS Ketenagakerjaan
Karena
karakteristik piutangnya yang terbilang unik dimana piutang negara terjadi
setelah perusahaan menunggak iuran sejak bulan terakhir pembayaran dan sejak
tertunggaknya iuran tersebut perusahaan dikenakan bunga sebesar 2(dua) persen
dari jumlah bulan tunggakan sesuai peraturan yang berlaku di BPJS Ketenagakerjaan maka dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam pelaksanaan
pengurusan piutang dari BPJS Ketenagakerjaan oleh PUPN/DJKN antara lain:
a. Setelah dilakukan pemanggilan oleh PUPN/DJKN,
perusahaan yang untuk selanjutnya disebut debitur tetap melakukan pembayaran ke
rekening BPJS Ketenagakerjaan tanpa memberitahukan kepada pegawai BPJS
Ketenagakerjaan maupun pegawai PUPN/DJKN tanpa membayar Biaya Administrasi
Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) sehingga menyulitkan petugas seksi piutang
negara KPKNL setempat dalam melakukan penagihan Biad PPN sesuai PP No.03 tahun
2018 tentang Tarif PNBP yang berlaku di lingkungan Kementerian Keuangan kepada
debitur meskipun Hak Penyerah Piutang (HPP) dilunasi di BPJS Ketenagakerjaan setempat.
b. Terjadinya koreksi piutang dikarenakan debitur
yang dipanggil oleh PUPN/DJKN dapat membuktikan jumlah hutang yang diserahkan
ke PUPN/DJKN sesuai periode cut off penyerahan terjadi perubahan jumlah pegawai perusahaan sejak
sebelum diserahkan ke KPKNL Jakarta III sehingga perlu dilakukan koreksi
piutang negara sesuai dengan ketentuan pasal 26 PMK No.240/PMK.06/2016 tentang
Pengurusan Piutang Negara.
Solusi
dan Saran terhadap Permasalahan
Terhadap
permasalahan yang terjadi di KPKNL terkait pengurusan piutang negara BPJS Ketenagakerjaan, Direktorat PNKNL
telah mengeluarkan surat edaran tanggal 15 Maret 2019 perihal Pengurusan
Piutang Negara BPJS Ketenagakerjaan dengan beberapa catatan penting sebagai
berikut:
a. Sebelum
menyerahkan pengurusan piutangnya, pihak
BPJS Ketenagakerjaan harus melakukan penagihan terlebih dahulu secara optimal
dan piutang yang diserahkan ada dan besarnya pasti menurut hukum serta piutang yang diserahkan kepada PUPN/DJKN nilainya tetap/tidak berubah.
b. Biad
PPN harus disetor ke kas negara pada setiap pembayaran angsuran maupun
pelunasan yang dilakukan oleh debitur baik melalui KPKNL Jakarta III atau di BPJS Ketenagakerjaan.
c. Koreksi
jumlah hutang hanya dapat
dilakukan atas piutang macet yang telah diserahkan ke PUPN/DJKN sesuai dengan ketentuan
pasal 26 PMK No.240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara.
d. Penyerahan
pengurusan piutang negara cq. BPJS
Ketenagakerjaan sebaiknya dilakukan atas perusahaan yang masih aktif dan
penyerahan BKPN atas debitur yang sama dapat diterima oleh PUPN/DJKN setelah
BKPN pertama lunas/selesai terlebih dahulu.
e.
Peningkatan kerjasama pihak PUPN/DJKN dengan
pihak BPJS Ketenagakerjaan melalui forum kecil di masing-masing KPKNL yang
menangani piutang BPJS Ketenagakerjaan dalam rangka optimalisasi pengurusan
piutang negara.
Menurut
hemat penulis, sebaiknya setiap perusahaan yang telah diserahkan oleh BPJS
Ketenagakerjaan kepada PUPN/DJKN dihentikan sistem pembayarannya di BPJS
Ketenagakerjaan sehingga perusahaan yang menjadi debitur di PUPN/DJKN hanya
dapat melakukan pembayaran di satu pintu (single
window) untuk menghindari ketidaktertagihnya Biad PPN yang menjadi kewajiban
debitur sesuai Pasal 290 PMK No.240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang
Negara.
Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas dapat diketahui bahwa piutang BPJS Ketenagakerjaan memiliki
keunikan tersendiri dibanding piutang Kementerian/Lembaga. Oleh karena itu,
PUPN/DJKN harus memberikan treatment
khusus dalam pelaksanaan pengurusan piutang negara dari BPJS Ketenagakerjaan
dalam rangka optimalisasi pengurusan piutang negara.
Dengan adanya optimalisasi pengurusan piutang negara khususnya piutang BPJS Ketenagakerjaan, diharapkan target PNDS dapat tercapai bagi KPKNL yang menerima penyerahan dari BPJS Ketenagakerjaan. Untuk itu diperlukan sinergi antara pihak PUPN/DJKN dengan pihak BPJS Ketenagakerjaan dalam melakukan penagihan piutang iuran BPJS Ketenagakerjaan.