Setiarini, KPKNL Jakarta II
Akhir-akhir ini marak kita jumpai penipuan melalui Whatsapp terkait
pelaksanaan lelang BMN yang mengatasnamakan pegawai DJKN. Dilihat dari sudut
pandang manapun, tindak penipuan semacam ini sudah pasti salah dan melanggar
hukum. Tapi coba kita lihat dari sudut pandang lain. Dalam perspektif penulis
yang terlalu positive thinking ini, bisa kita anggap bahwa
masyarakat Indonesia sudah mulai melek dengan kegiatan lelang yang merupakan
salah satu tugas dan fungsi utama Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
Bagaimana tidak, dulu sekali saat-saat awal saya bergabung dengan institusi
tercinta ini, setiap kali menyebut kata ‘lelang’, yang tergambar dalam pikiran
orang-orang pasti lelang terkait pengadaan barang dan jasa atau paling
mendekati mereka akan bilang “Ooh, kerja di Pegadaian”. Aduh Gusti Allah,
rasanya ingin bikin sosialisasi, jiwa korsa DJKN saya menggelora.
Kembali lagi ke topik
penipuan yang sedang marak. Sudah menjadi tugas kita semua selaku punggawa DJKN
untuk memitigasi terjadinya penipuan dengan memberikan klarifikasi
seluas-luasnya, baik melalui situs resmi DJKN maupun akun media sosial resmi
maupun akun media sosial pribadi. Kabar baiknya, fenomena maraknya penipuan ini
juga dapat diartikan bahwa kegiatan lelang yang dilakukan DJKN sudah bukan hal
yang asing di masyarakat. Big applause untuk rekan-rekan Direktorat
Lelang, Direktorat Hukum dan Humas, serta seluruh insan lelang KPKNL di seluruh
Indonesia. Namun harus kita akui juga, masih ada banyak sekali PR yang harus
kita selesaikan dalam penyempurnaan layanan lelang.
Jargon “Sales
means auction, auction means e-Auction” yang dicetuskan oleh
Direktorat Lelang mengandung makna bahwa jual beli melalui lelang menawarkan
banyak keunggulan dari jual beli biasa. Jargon ini juga mengandung cita-cita
luhur agar kegiatan lelang DJKN, terutama melalui e-Auction, dapat disejajarkan
dalam transaksi jual beli biasa dalam masyarakat. Sederhananya, terdapat
harapan agar suatu saat e-Auction bisa memiliki same level of playing
field dengan situs-situs belanja online lainnya. Jadi ingat lirik
lagunya Iwan Fals, “Jalan masih teramat jauh, mustahil berlabuh bila dayung tak
terkayuh..”
Cita-cita yang luhur ini
bukanlah sebuah hal yang mustahil. Bila melihat perkembangan kegiatan lelang
sampai dengan saat ini, saya cukup optimis jargon ini suatu saat tidak hanya
sekedar menjadi jargon pemanis saja. Tapi untuk kondisi saat ini, masih agak
sulit diwujudkan. Masyarakat umum masih akan berfikir seribu kali untuk memilih
lelang sebagai salah satu opsi jual beli mereka, baik sebagai penjual maupun
sebagai pembeli. Kenapa?
Mari kita lihat dulu
dari perspektif penjual. Pertama, memasarkan barang melalui lelang tidak
semudah memasarkan barang melalui marketplace. Terdapat banyak
persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak penjual apabila ingin memasarkan
barangnya melalui lelang. Ya, hal ini memang bertujuan untuk memenuhi prinsip
kehati-hatian. Menjamin agar barang yang dijual melalui lelang sudah sah dan
aman, baik secara fisik maupun legalitas dokumen. Namun tidak bisa kita
pungkiri, hal ini juga menjadi salah satu faktor kurang memasyarakatnya
e-Auction sebagai salah satu opsi dalam penjualan barang.
Kedua, dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang, terdapat kewajiban bagi penjual untuk melakukan pengumuman di surat
kabar apabila objek lelang memiliki limit di atas Rp50 juta. Misalnya anda mau
menjual mobil bekas dengan nilai limit Rp51 juta, maka anda harus terlebih
dahulu harus mengeluarkan biaya untuk membuat pengumuman di surat kabar harian.
Pun jika anda mengajukan permohonan untuk menggunakan E-Auction, kewajiban
mengumumkan di surat kabar juga tidak gugur, karena mengunggah data di
E-Auction tidak bisa dianggap sebagai pengumuman lelang yang sah (Pasal 7 PMK
90/PMK.06/2016).
Itu dari sisi penjual,
sekarang kita lihat dari sisi pembeli. Pertama, keberagaman barang yang dijual
di E-auction sudah pasti tidak sebanyak marketplace. Ya
kembali lagi, kalau cita-cita luhur jargon Sales Means Auction sudah
tercapai mungkin keberagaman barangnya bisa bertambah, tapi sampai dengan saat
ini objek lelang bergerak yang dijual masih didominasi BMN berupa peralatan
inventaris kantor dengan kondisi rusak berat. Ya ini tidak salah, cuma
kadang-kadang saya juga berkhayal kalau sedang ingin beli Coffee
Grinder atau biji kopi arabica Papua Wamena misalnya, saya
cukup buka portal lelang.go.id, tidak perlu buka situs marketplace.
Kedua, masih dari sisi pembeli, adalah dari
proses pembayaran setelah kita ditetapkan sebagai pemenang lelang. Sampai
dengan saat ini belum tersedia opsi pembayaran secara kredit, barang harus
segera dilunasi dalam tempo maksimal 5 hari kerja sejak pelaksanaan
lelang. Cash and carry. Jadi sobat missqueen harap
menyingkir. Sampai dengan saat ini, belum ada kerja sama antara DJKN dengan
pihak perbankan terkait pembiayaan lelang secara kredit. Padahal sebenarnya
opsi pembiayaan perbankan secara kredit ini mampu meningkatkan potensi lelang
laku, terutama dalam lelang eksekusi perbankan berupa Hak Tanggungan.
Bagaimana? Sudah cukup kental ya aura sobat missqueen si
penulis? Mampunya bayar kredit alias nyicil.
Ketiga, informasi dan deskripsi objek lelang
pada portal lelang yang kurang informatif. Kondisi ini membuat banyak calon
pembeli tidak mendapatkan keterangan yang dapat membantu mengenali obyek lelang
secara detail. Jangankan untuk objek lelang berupa tanah atau bangunan, bahkan
untuk objek lelang bergerak saja sebagian besar deskripsinya hanya ditulis “Obyek
dilelang dalam kondisi apa adanya (as is) dengan segala
cacat/resiko/kekurangan fisik dan non fisik dan kewajiban yang timbul dari
transaksi lelang”. Bahkan terkadang, foto yang diunggah hanya berupa foto
hitam putih. Ya memang ada proses Aanwidzing Lelang,
tapi akan lebih baik apabila informasi yang tertera dalam portal lelang lebih
lengkap agar dapat memberikan keyakinan pada calon pembeli lelang
atas obyek yang diminati.
Mengutip kalimat
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata, “Maju sedikit-sedikit,
jangan patah semangat. Konsisten dan persisten dalam melakukan perbaikan sistem
lelang”. Bila hal ini benar-benar dijalankan, bukan tidak
mungkin jargon “Sales means auction, auction means e-Auction”
tidak lagi sekedar menjadi jargon, namun benar-benar dapat
terwujud di masa mendatang.
112 Tahun Lelang
Indonesia, wujud nyata kontribusi kita pada negeri tercinta.