Berbagai pernyataan masyarakat terhadap
kinerja organisasi publik atau pemerintahan masih banyak dijumpai sebagai
penilaian yang berkonotasi negatif. Beberapa kritik tersebut adalah berkaitan
dengan para birokrat yang malas dan dianggap tidak memiliki penjiwaan dalam
bekerja atau kritik tersebut menyasar pada struktur organisasi publik yang
dianggap terlalu besar, lamban, percuma, tidak dapat diandalkan, tidak
transparan, serta tidak efisien.[1] Namun pada sisi yang lain,
organisasi sektor publik mulai menyadari bahwa reputasi organisasi adalah
sesuatu yang penting, kesadaran ini terkait dengan anggapan bahwa reputasi yang
baik menjadi modal yang berkontribusi pada pengurangan biaya transaksi, rekrutmen
yang lebih mudah, dan menambah loyalitas pekerja dan legitimasi dari organisasi
publik itu sendiri.[2]
Keadaan sebagaimana dilukiskan pada paragraf
sebelumnya menjadi bukti bahwa reputasi terhadap organisasi pemerintahan telah
menjadi perhatian dalam skala global. Oleh karena itu, hendaknya keadaan ini juga
menjadi perhatian Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai unit
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) yang menyelenggarakan pelayanan
publik dalam bidang kekayaan negara, penilaian, piutang negara, dan lelang. Secara
paralel, dapat diasumsikan bahwa jika pelayanan publik yang diselenggarakan
oleh KPKNL dapat terselenggara dengan baik dan memenuhi ekspektasi masyarakat,
maka pada gilirannya akan terbangun reputasi organisasi yang baik bagi KPKNL,
begitu seterusnya hingga reputasi yang baik itu juga akan tersematkan kepada
DJKN.
Berkaitan dengan hal di atas, tulisan
ini akan menggambarkan 2 (dua) hal terkait reputasi organisasi KPKNL selaku
kantor pelayanan DJKN. Pertama, seberapa penting bagi KPKNL atau DJKN untuk
membangun dan kemudian memelihara reputasi organisasi yang baik. Kedua,
bagaimana langkah-langkah mitigasi dalam rangka memelihara dan mempertahankan
reputasi organisasi yang baik yang dapat disarankan untuk dilakukan oleh KPKNL
atau DJKN.
Reputasi Kantor Layanan DJKN: Apa
Pentingnya?
Pemahaman mengenai reputasi memiliki
cakupan yang sangat luas dan pada setiap aspeknya menunjukkan bahwa reputasi
adalah sesuatu yang penting dan berharga. Sebagai contoh, dalam ranah hukum,
reputasi seseorang atau organisasi sangat erat kaitannya dengan penghinaan atau
defamation.[3]
Dalam konteks ini, reputasi dimaknai dalam 3 (tiga) konsep yang berbeda yaitu reputation
as property, reputation as honor, dan reputation as dignity.[4] Terkait reputasi
sebagaimana dikontruksikan dalam konsep reputation as property diyakini
bahwa memiliki relevansi yang semakin kuat di tengah perkembangan teknologi
yang menjadikan kegiatan ekonomi berkait erat dengan dunia virtual.[5]
Selain dalam aspek hukum, konsep
reputasi juga menjadi perhatian dalam bidang ekonomi. Seorang ahli dalam bidang
studi reputasim Charles Fombrun berpendapat bahwa reputasi sebagai aset yang
tidak berwujud sangatlah relevan dengan dunia korporasi, namun demikian pimpinan
korporasi sering abai untuk mengembangkan reputasi dan aset tak berwujud
lainnya, padahal hal tersebut dapat berpengaruh terhadap keuntungan ekonomis.[6] Pendapat lain menyatakan
bahwa reputasi adalah salah satu unsur yang membentuk goodwill sebuah
korporasi, di mana goodwill sendiri juga merupakan aset tak berwujud
yang memiliki nilai.[7] Meskipun reputasi diyakini
sebagai aset tidak berwujud yang memiliki nilai, namun senyatanya dengan
banyaknya definisi tentang reputasi mengakibatkan banyaknya pula metode dan
skala yang digunakan untuk mengukurnya. Sebagai contoh, pada tahun 1950-an
reputasi diukur dari persepsi konsumen, sedangkan pada tahun 1970-an stakeholders
internal mulai dilibatkan dalam pengukuran reputasi organisasi.[8] Metode yang terakhir
disebutkan ini nampaknya juga digunakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) untuk melakukan kajian pengelolaan risiko reputasi di
organisasinya.[9]
Setelah mendapat cukup gambaran mengenai
arti penting reputasi secara umum, lantas bagaimanakah arti penting reputasi
itu diterjemahkan ke dalam lingkup kantor layanan DJKN atau KPKNL. Dalam
menjawab ini, Penulis akan mengetengahkan sebuah contoh yang relevan dan secara
empiris dihadapi oleh KPKNL, yaitu dalam pembangunan Zona Integritas Wilayah
Birokrasi Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani
(WBBM).
Sesuai dengan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 90 Tahun 2021 tentang
Pembangunan dan Evaluasi Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan
Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani di Instansi Pemerintah (Permenpan
90/2021), pada aspek Komponen Hasil fokus pelaksanaan reformasi birokrasi
tertuju pada 2 (dua) sasaran utama yaitu Terwujudnya Pemerintahan yang Bersih
dan Akuntabel dan Kualitas Pelayanan Publik yang Prima. Kedua komponen tersebut
diukur melalui persepsi stakeholders, Nilai Persepsi Korupsi untuk
komponen pertama dan Nilai Persepsi kualitas pelayanan untuk komponen kedua,
yang kedua nilai komponen tersebut dihasilkan dari survei eksternal.
Sebagaimana telah dipahami bahwa
reputasi merupakan perihal yang terkait dengan persepsi[10] stakeholders terhadap
kemampuan organisasi untuk men-deliver sebuah keluaran.[11] Dengan demikian, keberhasilan
pembangunan Zona Integritas pada KPKNL yang merupakan kantor pelayanan DJKN yang
salah satunya diukur dari nilai persepsi korupsi dan persepsi kualitas layanan
sangatlah berkait dengan reputasi KPKNL dalam memberikan layanan kepada stakeholders.
Pada ilustasi contoh ini kita dapat menemukan relevansi dari pembahasan arti
penting mengenai reputasi organisasi bagi KPKNL sebagai kantor pelayanan DJKN.
Contoh lainnya adalah terkait dengan
lembaga lelang sebagai salah satu mekanisme jual-beli barang. Lelang
sebagaimana diketahui bersama memiliki fungsi budgeter yang dapat menyumbang
penerimaan negara. Tentunya fungsi budgeter ini akan tercapai dengan baik
apabila warga masyarakat memilih lelang sebagai sarana melakukan jual beli dan
tidak dapat dihindarkan bahwa kepercayaan masyarakat dalam memilih lelang
sebagai sarana jual beli pastilah terkait dengan reputasi lelang yang
memberikan keamanan dan kepastian hukum. Dengan demikian dapatlah dibayangkan,
apabila reputasi lelang buruk di mata masyarakat maka akan berdampak pada
rendahnya minat masyarakat untuk mengikuti lelang dan pada gilirannya fungsi
budgeter dari lelang akan sulit dicapai dengan baik.
Mitigasi Isu-Isu Terkait Reputasi Kantor
Layanan DJKN
Pada bagian ini, Penulis mengetengahkan
isu-isu terkait reputasi KPKNL yang bersumber dari eksternal. Selanjutnya pada isu
tersebut, Penulis menawarkan langkah yang dapat disarankan untuk memitigasi
isu-isu tersebut dapat berdampak pada reputasi kantor layanan DJKN (KPKNL).
Pertama, isu yang berasal dari eksternal.
Salah satu tantangan eksternal terbesar terhadap reputasi KPKNL adalah berasal
dari kemajuan teknologi. Saat ini masyarakat dengan bebas mengakses berbagai
laman dan meninggalkan komentar di dalamnya. Sebagai ilustrasi, setiap orang
dapat dengan mudah meninggalkan komentar dan memberikan ulasan pada Google
Reviews[12], tidak terkecuali
memberikan ulasan bagi KPKNL. Dapat dibayangkan jika akibat tidak puas terhadap
layanan yang diberikan oleh KPKNL seorang atau bahkan banyak stakeholders meninggalkan
ulasan negatif bagi KPKNL. Pastinya hal ini akan berdampak buruk bagi reputasi
KPKNL, sehingga patut menjadi perhatian KPKNL. Dalam hal ini tentu KPKNL dapat
memitigasi dengan terus berupaya meningkatkan kualitas layanan dan
profesionalisme pegawai sehingga tidak muncul kekecewaan dari stakeholders.
Selain ulasan yang benar-benar berasal
dari pengalaman stakeholders tidak tertutup kemungkinan juga bahwa
ulasan tersebut adalah ulasan yang tidak berdasar dan hanya diberikan untuk
memberikan citra negatif bagi KPKNL. Sebagai contoh, pada tahun 2017 Federal
Communications Commission (FCC) Amerika Serikat menerima 80 persen dari 22 juta
komentar palsu[13]
terkait kebijakan Net Neutrality yang kemudian ditindaklanjuti oleh pihak
kejaksaan[14].
Komentar-komentar palsu ini muncul pada saat FCC memberikan ruang kepada
masyarakat untuk memberikan komentar terhadap sebuah kebijakan yang akan
diambil oleh FCC yang dinamakan dengan notice-and-comment rulemaking.[15] Contoh selanjutnya, pada
tahun 2017 seorang bernama Oobah Butler membuat sebuah restoran fiktif dan
meninggalkan komentar-komentar serta ulasan positif pada TripAdvisor
sehingga restoran fiktifnya itu menduduki ranking atas restoran dengan ulasan
yang baik.[16]
Meskipun dua kasus di atas sangat
bertolak belakang, namun satu hal yang patut diperhatikan bahwa saat ini
komentar-komentar palsu seperti di atas dapat terjadi tidak terkecuali kepada
KPKNL. Pada contoh kasus yang pertama, komentar buruk untuk memberikan citra
negatif bagi sebuah organisasi publik disinyalir memberikan dampak signifikan
bagi reputasi organisasi itu sendiri, diantaranya adalah distraksi,
inefisiensi, dan kehilangan kepercayaan publik.[17] Sedangkan untuk kasus
kedua, apabila pembangunan citra positif dilakukan dengan penuh kepalsuan juga
akan mencerminkan ketidakjujuran dan kurangnya integritas dari pihak internal.
Keduanya adalah hal yang sama-sama buruk.
Namun demikian, terdapat satu hal yang
perlu diperhatikan bersama, terkait karakterisitik KPKNL sebagai kantor
penyelenggara lelang. Tidak jarang komentar-komentar buruk yang mempengaruhi
reputasi KPKNL muncul dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dari pelaksanaan
lelang, seperti debitur pihak perbankan yang agunannnya dimohonkan oleh pihak
perbankan. Dalam kasus seperti ini, tentu KPKNL tidak dapat membatasi hak pihak
yang merasa dirugikan untuk menyatakan pendapatnya, namun demikian KPKNL dapat
memitigasi kasus-kasus komentar palsu ini dengan melakukan kontra narasi. Kontra
narasi atau counternarratives yang kredibel[18] yang disampaikan oleh
KPKNL dapat menjadi upaya untuk tetap menjaga reputasi organisasi yang sudah
terbangun. KPKNL dapat menyampaikan narasi-narasi guna menerangkan bahwa lelang
yang dilakukan oleh KPKNL telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan
pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke lembaga peradilan dan
narasi-narasi lainnya yang dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk
menilai informasi secara objektif.
Penutup
Tulisan singkat ini menggarisbawahi
bahwa reputasi organisasi bagi KPKNL sebagai kantor pelayanan DJKN memiliki
arti yang penting, setidaknya dalam rangka pembangunan ZI-WBK&WBBM atau
untuk mendukung terwujudnya fungsi budgeter lelang dengan baik. Selanjutnya,
tulisan ini juga memberikan perhatian bahwa perkembangan teknologi saat ini
dapat memunculkan isu-isu yang patut dimitigasi oleh KPKNL karena secara
potensial dapat berdampak negatif terhadap reputasi KPKNL. Meskipun tulisan ini
hanya mentengahkan isu yang berasal dari eksternal KPKNL, namun bukan berarti
Penulis tidak menyadari bahwa terdapat isu yang muncul secara internal. Hal ini
Penulis lakukan karena isu yang muncul secara internal telah disadari dan
dimitigasi oleh organisasi DJKN secara tersendiri.[19] Pada akhirnya, KPKNL
sebagai kantor layanan DJKN harus selalu berusaha meningkatkan kualitas layanan
sebagai upaya utama dalam membangun dan memelihara reputasi positif organisasi
dan selalu menghindarkan KPKNL dari narasi-narasi atau ulasan-ulasan negatif,
karena ulasan negatif yang diberikan seseorang terhadap suatu organisasi atau
sebuah produk lebih mudah dibenarkan oleh orang lain.[20]
Penulis: Hadyan Iman Prasetya (KPKNL
Bontang)
[1]
Arild Waeraas dan Haldor Byrkjeflot, 2012, Public Sector Organizations and
Reputation Management, 15 (2) International Public Mangement Journal 186.
[2]
Vilma Luoma-aho, 2007, Neutral Reputation and Public Sector Organizations, 10
(2) Corporate Reputation Review 124.
[4]
Robert C. Post, 1986, The Social Foundation of Defamation Law: Reputation and
the Constitution, 74 California Law Review 691.
[5] Joseph
Blocher, 2009, Reputation as Property in Virtual Economies, 118 YALE L.J.
POCKET PART 120
[6]
Charles Fombrun dalam Alessandro Gandini, 2016, The Reputation Economy, London:
Palgrave Macmillan, hal. 28-29
[7]
Gvantsa Gugeshashvill, 2009, IS Goodwill Synonymous with Reputation, 126 Juridica
International XVI, diunduh dari https://www.juridicainternational.eu/public/pdf/ji_2009_XVI_126.pdf
[8]
Banu Baybars-Hawks dan Orhan Samast (ed.), 2013, New Challenges, New
Opportunities: Interdisciplinary Perspectives on Reputation Management, Turki:
Reputation Management Institute, hal. 30.
[10]
Robert G. Eccles et.al, 2007, Reputation and Its Risks, diakses
melalui https://hbr.org/2007/02/reputation-and-its-risks
[11]
Rindova & Fombrun dalam Violina P. Rindova et.al., 2010, Reputation
as an Intangible Asset: Refelctions on Theory and Methods in Two Empirical
Studies of Business School Reputations, 610 Journal of Management 610.
[13] https://techcrunch.com/2021/05/06/80-of-the-22-million-comments-on-net-neutrality-rollback-were-fake-investigation-finds/#:~:text=Of the 22 million comments submitted to the,the New York Attorney General’s office has found.
[14] https://ag.ny.gov/press-release/2021/attorney-general-james-issues-report-detailing-millions-fake-comments-revealing
[15]
Steven J. Balla et.al., 2022, Responding to Mass, Computer Generated,
and Malattributed Comments, 95 Administrative Law Review 74.
[17] Michael
Herz, 2020, Malattributed Comments in Agency Rulemaking, 42 Cardozo Law
Review 1.
[18]
Emily Kadens, 2019, The Dark Side of Reputation, 40 Cardozo Law Review 1995.