Hingga saat ini mungkin masih jamak
didengar adanya persepsi negatif terhadap organisasi publik secara umum, dan
khususnya berkaitan dengan pelayanan publik yang dilakukan oleh organisasi
tersebut. Berbagai anggapan maupun temuan negatif yang diasosiasikan dengan
organisasi publik dilukiskan dalam sebuah konsep Patologi Birokrasi. Salah satu
pendapat mengkategorikan patologi birokrasi ke dalam 5 (lima) kelompok, yaitu
patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial, patologi yang
disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan ketrampilan para
petugas kegiatan operasional, patologi yang timbul karena pelanggaran
norma-nomra hukum, patologi yang termanifestasikan dalam perilaku
disfungsional, dan patologi akibat situasi internal organisasi.[1]
Jika menilik pendapat di atas, ditemukan
salah satu diagnosa dari timbulnya patologi birokrasi adalah dikarenakan kurang
kompetennya SDM birokrasi. Apabila dicermati lebih lanjut, hal ini tentu
mencakup pada kualitas SDM pelayanan publik yang melaksanakan roda birokrasi
sehari-hari. Hal juga sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa kesuksesan
sebuah birokrasi dalam memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat
haruslah ditunjang oleh beberapa faktor, yaitu pola organisasi publik,
institusi yang bersih dan bebas dari KKN, serta kualitas SDM.[2]
Berbagai pendapat di atas kiranya
dapat menjadi pemicu untuk merefleksikan kualitas SDM di setiap Kantor
Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagai penyelenggara pelayanan
publik di bidang pengelolaan kekayaan negara, penilaian, piiutang negara, dan
lelang. Tentu tulisan ini tidak berangkat dari asumsi bahwa kualitas SDM yang
dimiliki oleh KPKNL saat ini berkualitas rendah, namun tulisan ini dimaksudkan
untuk menjadi renungan bagi insan-insan KPKNL c.q. Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN) bahwa masih terdapat upaya dan ruang peningkatan kualitas SDM,
mengingat pelayanan publik yang dilakukan oleh birokrasi saat ini tidak
terlepas dari kondisi yang serba volatile, uncertain, complex, dan ambiguous.[3]
Sesuai dengan tujuan tersebut, tulisan
ini akan mengetengahkan sebuah nilai yang dianggap mampu meningkatkan kualitas
SDM dalam organisasi publik, yang pada gilirannya peningkatan kualitas SDM
tersebut diharapkan juga akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik bagi
masyarakat. Selanjutnya, mengingat bahwa KPKNL c.q. DJKN merupakan salah satu
unit organisasi di lingkup Kementerian Keuangan, tulisan ini juga akan
menjelaskan secara singkat bahwa telah terdapat berbagai modal yang dapat
diaktualisasikan guna tercapainya kualitas SDM pelayan publik di lingkungan
KPKNL.
Kuriositas dalam Pelayanan Publik
Salah satu faktor yang dianggap mampu
untuk meningkatkan kualitas SDM pelayan publik adalah kuriositas atau
keingintahuan.[4]
Kuriositas dianggap sebagai salah satu dari 3 (tiga) prinsip untuk mewujudkan
pelayanan publik yang lebih baik, ketiga prinsip tersebut adalah empati,
kuriositas dan keterbukaan.[5] Mendukung pendapat
tersebut, sebuah studi mengungkap bahwa kuriositas memberi manfaat luas baik
bagi organisasi, pemimpinnya, maupun pegawainya, diantara manfaat tersebut
adalah menghindarkan adanya bias dalam pengambilan keputusan, memperbanyak
inovasi dan perubahan positif dalam pekerjaan, mengurangi konflik dalam sebuah
grup, serta komunikasi yang lebih terbuka dan kinerja lebih baik.[6]
Dalam konteks adminitrasi publik yang
sangat berkelindan dengan birokrasi serta pelayanan publik, kuriositas dianggap
merupakan sebuah doktrin baru dalam studi administrasi publik. Sebuah pendapat
menyatakan bahwa, kuriositas administrasi publik merupakan doktrin baru yang kontras
dengan doktrin New Public Management (NPM). Pendapat ini menyatakan bahwa jika
NPM berfokus pada output maka seharusnya administrasi publik berfokus
pada outcome, dan kuriositas administrasi publik fokus pada hal ini. Kemudian
pendapat ini menjelaskan bahwa kuriositas administrasi publik akan membawa
manfaat bagi organisasi publik pada tiga hal, yaitu memperkuat partisipasi
publik, mendemonstrasikan empati pada setiap level jabatan organisasi, dan
mampu membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah atau birokrasi.[7]
The Network of Schools of Public
Affairs, Policy, and Administration (NASPAA) merumuskan 5 (lima) kompetensi
yang harus diajarkan dalam program terkait urusan adminitsrasi publik. Kelima kompetensi
dimaksud dirumuskan sebagai berikut:
1.
Memimpin dan mengelola organisasi tata kelola publik;
2.
Berpartisipasi dan berkontribusi di dalam proses
perumusan kebijakan;
3.
Menganalisas, mensitesis, berpikir kritis, menyelesaikan
masalah, dan membuat keputusan;
4.
Mengartikulasikan dan mengaplikasikan kebijakan dalam
perspektif pelayanan publik;
5.
Berkomunikasi dan berinteraksi secara produktif dengan
masyarakat dan tenaga kerja yang beragam dan berubah.[8]
Kuriositas dianggap sebagai konsep
pemersatu yang dapat membantu penyelenggara program pendidikan dalam
mengajarkan kelima kompetensi tersebut dalam proses pendidikan. Sebagai contoh,
dengan rasa keingintahuan yang tinggi, administrasi publik dapat mempertanyakan
berbagai hal terkait proses pengambilan keputusan, secara kritis mengeksaminasi
penerapan kebijakan, hingga mengembangkan apresiasi bagi pelayan publik[9].
Kelima kompetensi di atas, tentunya
merupakan kompetensi yang terbagi dalam beberapa jenjang otoritas, tidak semua
anggota birokrasi memiliki otoritas untuk merumuskan kebijakan, begitu juga
tidak semua anggota birokrasi berperan sebagai pelayan publik yang secara
langsung berinteraksi dengan masyarakat pengguna layanan. Oleh karenanya perlu
juga dipahami bahwa menerjemahkan konsep kuriositas dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dapat disesuaikan dengan masing-masing kewenangan yang
dimiliki oleh anggota birokrasi, meskipun, sebagaimana disampaikan sebelumnya,
penerapan kuriositas pada akhirnya adalah bertujuan untuk meningkatkan
kompetensi seluruh SDM yang ada di birokrasi.
Modal Kementerian Keuangan
Sebagai sebuah gagasan awal, Penulis
berpendapat bahwa sebenarnya KPKNL c.q. DJKN sebagai bagian dari Kementerian
Keuangan telah memiliki beberapa modal untuk memicu timbulnya kuriositas bagi
SDM pelayanan publik di organisasinya. Modal dimaksud adalah terkait dengan
telah adanya Nilai-Nilai Kementerian Keuangan dan penetapan Kementerian
Keuangan sebagai learning organization.
Nilai-nilai Kementerian Keuangan yang
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011 tentang
Nilai-Nilai Kementerian Keuangan telah sejalan dengan makna kuriositas yang
dimaksud dalam tulisan ini. Nilai Profesionalisme yang mengandung makna
perilaku utama memiliki keahlian dan pengetahuan yang luas sejalan dengan makna
kuriositas dimana setiap SDM Kementerian Keuangan harus memupuk rasa ingin tahu
terhadap berbagai ilmu dan pengetahuan yang baru yang dapat menunjang
pelaksanaan pelayanan publik. Nilai Sinergi yang mengandung makna perilaku
utama menemukan dan melaksanakan solusi terbaik dapat dimaknai sebagai
kuriositas untuk selalu menemukan solusi dalam setiap permasalahan yang
dihadapi meskipun mungkin solusi tersebut tidak secara eksplisit digariskan
oleh organisasi.
Selanjutnya, nilai Pelayanan di mana
mengandung makna perilaku utama bersikap proaktif dan cepat tanggap juga telah
sesuai dengan makna kuriositas sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini. Setiap pegawai
Kementerian Keuangan yang tidak memiliki rasa ingin tahu atau kuriositas tentu
sulit untuk bersikap proaktif, sebaliknya mereka akan bersikap acuh tak acuh
dan pasif terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Terakhir, nilai Kesempurnaan
yang perilaku utamanya adalah melakukan perbaikan terus menerus dan
mengembangkan inovasi dan kreativitas adalah salah satu nilai Kementerian
Keuangan yang paling sesuai dengan kuriositas. Rasa ingin tahu pegawai
Kementerian Keuangan tentunya haruslah disalurkan guna upaya perbaikan kualitas
pelayanan publik melalui pelembagaan berbagai inovasi sebagai hasilnya.
Modal lainnya yang dimiliki oleh
Kementerian Keuangan dalam kaitannya untuk memicu adanya kuriositas SDM adalah
penetapan Kementerian Keuangan sebagai organisasi pembelajar melalui Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 283/KMK.011/2021. Kuriositas setiap anggota organisasi
dari sebuah organisasi pembelajar tentu akan menjadi prasyarat utama guna
mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Dalam konteks peningkatan kualitas
pelayanan publik, proses pembelajaran sebagai elaborasi konsep organisasi
pembelajar dapat diarahkan pada keluaran-keluaran yang dapat mendukung upaya
peningkatan kuaitas pelayanan publik, tentunya dengan menginkorporasikan
kuriositas dalam tahapan pembelajarannya. Dengan demikian konsep kuriositas dan
organisasi pembelajar adalah dua konsep yang bersifat komplementer.
Penutup
Sebagaimana dijabarkan dalam tulisan singkat ini, konsep kuriositas atau rasa ingin tahu adalah hal penting bagi sebuah organisasi untuk meningkatkan kompetensi SDM-nya. Dalam konteks organisasi publik yang menyelenggarakan pelayanan publik seperti KPKNL, rasa ingin tahu bagi pegawai seyogyanya dipupuk dan dipraktikkan dengan harapan dapat menghasilkan keluaran yang berdampak positif dalam upaya perbaikan kualitas pelayanan publik di bidang pengelolaan kekayaan negara, penilaian, piutang negara, dan lelang. Upaya memupuk dan menginternalisasikan kuriositas bagi insan KPKNL, menurut Penulis, seharusnya dapat lebih mudah terwujud karena telah terdapat modal yang dimiliki oleh organisasi KPKNL, yaitu Nilai-nilai Kementerian Keuangan dan penetapan Kementerian Keuangan sebagai organisasi pembelajar, yang keduanya telah sejalan dan bersifat komplementer dengan konsep kuriositas sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini.
Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)
[1] Siti Patimah Junus, 2002, Masalah
Patologi Birokrasi (Hypocracy) dan Terapinya, Jurnal Hukum dan Pembangunan,
Nomor 2 Tahun XXXII April-Juni 2002, hal. 145-146.
[2] Lesmana Rian Andhika, 2017, Pathology
Bureaucracy: reality of the Indonesian Bureaucracy and Prevention, Jurnal Bina
Praja 9 (1) 2017, hal. 101.
[3] Erwan Agus Purwanto, 2019, Kebijakan
Publik yang Agile dan Inovatif dalam Memanangkan Persaingan di Era VUCA
(volatile, uncertain, complex, and ambiguous), Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar FISIPOL UGM.
[5] Matthew Hancock, 2015, Empathy,
curiosity, and openness, diakses dari https://civilservice.blog.gov.uk/2015/10/27/empathy-curiosity-and-openness/
[6] Fransesca Gino, 2018, The Business
Case for Curiosity, diakses dari https://hbr.org/2018/09/the-business-case-for-curiosity
[7] William Hatcher, 2019, The Curious
Public Administrator: The New Administrative Doctrine, Public Integrity 21,
225-228. DOI: 10.1080/10999922.2018.1564002
[8] William Hatcher, 2019, Teaching
curiosity in public affairs programs, Teaching Public Administration Vol.
37 (3) 2019. https://doi.org/10.1177/0144739419858702
[9] Ibid.