Pada tahun 2022, Pemerintah kembali
menghadirkan kebijakan Crash Program untuk penyelesaian Piutang Negara
berupa Keringanan Utang. Kebijakan ini diberlakukan sejak terbitnya Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.06/2022 tentang Penyelesaian Piutang Instansi
Pemerintah Yang Diurus/Dikelola Oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara Dengan Mekanisme Crash Program Tahun Anggaran 2022
(PMK 11/2022). Sebelumnya, kebijakan serupa juga telah diterapkan Pemerintah
pada tahun 2021 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.06/2021 tentang
Peraturan Kementerian Keuangan tentang Penyelesaian Piutang Instansi Pemerintah
yang Diurus/Dikelola oleh Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal
Kekayaan Negara dengan Mekanisme Crash Program Tahun Anggaran 2021 (PMK
15/2021).
Terdapat beberapa perbedaan diantara
kebijakan Keringanan Utang tahun 2021 dengan tahun 2022, seperti bentuk Crash
Program yang ditawarkan dan besaran keringanan yang diberikan. Pada tahun
2021, bentuk Crash Program mencakup pemberian keringanan utang dan
moratorium tindakan hukum pengurusan Piutang Negara, sedangkan tahun 2022 hanya
berupa pemberian keringanan utang saja[1]. Selanjutnya, pada tahun
2021, besaran keringanan utang yang diberikan kepada Penanggung Hutang tanpa
barang jaminan apabila melakukan pelunasan sampai dengan bulan Juni adalah
sebesar 60 persen diitambah 50 persen dari hutang pokok, sedangkan pada tahun
2022 besarannya adalah 60 persen ditambah 40 persen dari hutang pokok[2].
Selain perbedaan, terdapat pengaturan
yang baru dalam pemberian Keringanan Utang tahun 2022, yang sebelumnya tidak
diatur dalam kebijakan Keringanan Utang tahun 2021. Pasal 12 ayat (2) PMK
11/2022 mengatur bahwa terhadap Penanggung Hutang (1) piutang rumah sakit/
fasilitas kesehatan tingkat pertama, (2) piutang biaya perkuliahan/ sekolah,
atau (3) piutang dengan sisa kewajiban paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan
juta rupiah), yang tidak dilengkapi barang jaminan dapat diberikan keringanan
utang sebesar 80 persen dari sisa kewajiban.
Kebijakan Keringanan Utang yang
diberikan Pemerintah sebagaimana secara garis besar dijelaskan seperti di atas,
apabila dikaitkan dengan waktu dan kondisi pada saat dirumuskan dan
diberlakukannya kebijakan tersebut, merupakan kebijakan publik yang menarik.
Tulisan singkat ini akan menjelaskan makna Keringanan Utang sebagai sebuah
kebijakan publik yang dirumuskan dan diberlakukan pada masa pandemi Covid 19,
serta menjelaskan bahwa kebijakan publik yang demikian telah sesuai dengan
perkembangan diskursus kebijakan publik yang dituntut untuk semakin peka dalam
merespon kondisi publik sebagai pihak yang akan terdampak langsung dari
pemberlakuan kebijakan tersebut.
KEBIJAKAN PUBLIK YANG EMPATIK
Pembahasan mengenai empati telah
menjadi topik sentral dalam diskursus etis dan politis, di mana sebuah proses
pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan publik dituntut untuk dipandu
oleh rasa empati sehingga keadilan sosial sebagai keluaran dari kebijakan
tersebut dapat tercapai[3]. Selain sebagai sebuah
unsur yang diharapkan dapat terinkorporasi dalam perumusan kebijakan publik,
empati juga dianggap sebagai salah satu indikator untuk menilai kualitas baik
atau buruknya kebijakan publik. Kebijakan publik yang efektif adalah kebijakan
yang mendukung terwujudnya proses dan kelembagaan yang demokratis, menghadirkan
keadilan, memacu warga negara untuk bersikap aktif dan empati, serta
menyelesaikan masalah secara efektif dan efisien tanpa menyebabkan kerenggangan
secara politis[4].
Kebijakan publik yang empatik (empathetic
publik policy) merupakan antitesa dari gambaran kebijakan publik yang saat
ini jamak dipahami masyarakat, yaitu kebijakan publik yang dirumuskan dari
“menara gading” tanpa adanya keterlibatan dan pendapat dari masyarakat[5] itu sendiri. Berbeda
dengan gambaran tersebut, pengaplikasian rasa empati dalam proses perumusan
kebijakan publik dapat memastikan bahwa (1) proses perumusan kebijakan menjadi
lebih kolaboratif dengan adanya keterkaitan antara perumus kebijakan dengan
masyarakat dan (2) kebijakan yang dihasilkan bersifat inklusif serta terjalin
dengan konteks lokal di mana kebijakan tersebut dirumuskan[6].
Empati dianggap merupakan komposisi
krusial untuk sebuah kebijakan publik yang sukses. Membangun dan menghargai
empati sebagai sebuah kapasitas yang harus dimiliki perumus kebijakan dapat
meningkatkan cara mereka mendesain kebijakan serta mengkomunikasikannya[7]. Rasa empati dalam
perumusan kebijakan publik disinyalir dapat mewujudkan kebijakan yang lebih
baik, yang pada gilirannya juga akan mewujudkan pelayanan publik yang lebih
baik, efisiensi dan penghematan, serta menghindarkan adanya ketidaksinkronan
antara kebijakan yang dirumuskan dengan dampak yang timbul dari implementasi
kebijakan tersebut bagi masyarakat[8].
Meskipun banyak yang mendukung bahwa
empati membawa dampak positif dalam proses maupun output perumusan kebijakan
publik, terdapat pula pendapat yang bertolak belakang. Menurut pendapat ini,
empati membawa dampak buruk dalam proses perumusan kebijakan publik. Empati
dianggap menimbulkan bias, karena rasa empati dari perumus kebijakan akan lebih
condong kepada sekelompok orang yang memiliki kesamaan dengan para perumus
kebijakan. Selanjutnya, pendapat ini lebih menyarankan untuk menggunakan
perasaan compassionate disbanding dengan empati. Compassionate
atau perasaan welas asih dianggap dapat menjaga para perumus kebijakan dalam
jarak tertentu untuk tidak larut terlalu dalam sebagaimana perasaan empati,
sehingga kebijakan publik yang dihasilkan olehnya akan lebih adil dan tidak
bias[9].
Terlepas dari adanya perbedaan
pendapat di atas, dalam tulisan ini Penulis menggunakan istilah kebijakan
publik yang empatik untuk menggambarkan sebuah kebijakan publik yang mampu
menangkap sinyal-sinyal kondisi “penderitaan” yang tengah dialami oleh
masyarakat. Selain itu, kebijakan publik yang empatik dalam tulisan ini juga
digunakan untuk menggambarkan sebuah kebijakan publik yang dirumuskan dan
diimplementasikan untuk menanggulangi berbagai “penderitaan” yang tengah dihadapi
oleh masyarakat. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini akan dijelaskan dalam
bagian selanjutnya.
KERINGANAN UTANG: KEBIJAKAN EMPATIK
Sebagaimana terdapat dalam penjelasan
sebelumnya, kebijakan publik yang empatik adalah kebijakan yang dirumuskan dengan
menginkorporasikan rasa empati baik dalam proses maupun keluarannya. Kebijakan
Keringanan Utang yang dihadirkan Pemerintah, baik yang dihadirkan pada tahun
2021 maupun tahun 2022, menurut Penulis merupakan salah satu manifestasi dari
kebijakan publik yang empatik.
Bagian “Menimbang” huruf b PMK 11/2022
berbunyi, “bahwa untuk mempercepat penyelesaian piutang negara pada instansi
pemerintah dan untuk memberikan keringanan kepada penanggung utang di masa
pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang dimuat dalam tata cara
penyelesaian piutang sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu diatur kembali
penyelesaian piutang negara dengan mekanisme crash program tahun anggaran
2022;”. Redaksi bagian tersebut cukup menggambarkan motivasi Pemerintah dalam merumuskan
kebijakan Keringanan Utang tahun ini. Adanya kesadaran Pemerintah bahwa
terdapat Penanggung Hutang yang merasakan “penderitaan” sebagai akibat dari
pandemi Covid 19 sehingga perlu diberikan keringanan, menggambarkan bahwa rasa
empati telah menjadi unsur intrinsik dalam perumusan kebijakan Keringanan
Utang.
Selanjutnya, klasifikasi Penanggung
Hutang yang dapat menerima fasilitas Keringanan Utang juga cukup
merepresentasikan pihak-pihak yang terdampak pandemi Covid 19. Penanggung
Hutang yang berupa pelaku Usaha Mikro, Kecil, atau Menengah (UMKM), perorangan
penerima kredit pemilikan rumah sederhana/rumah sangat sederhana (KPR RS/RSS),
pasien rumah sakit/faskes tingkat pertama, biaya perkuliahan/sekolah, serta
piutang dengan sisa kewajiban Rp8.000.000,00 dapat dikatakan sebagai
pihak-pihak yang mengalami kesulitan karena dampak pandemi Covid 19.
Respon Pemerintah untuk merumuskan
kebijakan Keringanan Utang merupakan wujud empati Pemerintah untuk membantu
para Penanggung Hutang yang dianggap mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
kewajibannya kepada Negara. Tanpa empati, Pemerintah mungkin saja tidak akan
memberikan keringanan utang kepada Penanggung Hutang meskipun secara nyata para
Penanggung Hutang tersebut mengalami kesulitan karena terdampak pandemi Covid
19. Senyatanya Pemerintah telah memanifestasikan perasaan empati dalam
merumuskan kebijakan Keringanan Utang, sehingga Pemerintah memberikan
keringanan-keringanan bagi Penanggung Hutang untuk memudahkan mereka dalam
penyelesaian kewajiban mereka. Bahkan, pada tahun 2022 Pemerintah semakin
menyederhanakan persyaratan untuk permohonan keringanan utang[10].
Penutup
Sebagaimana menjadi diskursus yang
tengah berkembang, perumusan maupun kelu sebuah kebijakan publik dituntut untuk
mempertimbangkan rasa empati. Kebijakan Keringanan Utang yang dihadirkan
Pemerintah cukup menjadi bukti dan contoh adanya kebijakan publik yang empatik
di Indonesia. Sesuai dengan konteks hadirnya kebijakan Keringanan Utang yaitu
untuk meng-address dampak pandemi Covid 19, kebijakan Keringanan Utang
sebagai kebijakan publik yang empatik diharapkan, sesuai pendapat yang ada,
dapat memacu ketahanan dan pemulihan kondisi masyarakat pasca pandemi[11].
[1]
Bandingkan Pasal 1 angka 2 PMK 15/2021 dengan Pasal 1 angka 2 PMK 11/2022.
[2]
Lihat Pasal 10 PMK 15/2021 dan Pasal 12 PMK 11/2022.
[3]
Diakses dari https://keywords.pitt.edu/keywords_defined/empathy.html
.
[4]
Anonim, 2020, What is Good Public Policy, diakses dari https://publicpolicy.pepperdine.edu/blog/posts/what-is-good-public-policy.htm
.
[5]
Emmanuel Lee, 2017, Policymaking must become more empathetic rather than
continuing its current overreliance on economic measures, diakses dari https://blogs.lse.ac.uk/impactofsocialsciences/2017/07/26/policymaking-must-become-more-empathetic-rather-than-continuing-its-current-overreliance-on-economic-measures/
[6]
Anonim, 2014, Empathy in Policymaking, diakses dari https://www.reboot.org/2014/01/30/empathy-in-policymaking/
[7]
Helen Sullivan, 2017, What public servants need in today's crazy world:
empathy and integrity, diakses dari https://www.smh.com.au/public-service/what-public-servants-need-in-todays-crazy-world-empathy-and-integrity-20170204-gu5lor.html
[8] Kit Collingwood-Richardson, 2018, Empathy
and the Future of Policy Making, diakses dari https://medium.com/foreword/empathy-and-the-future-of-policy-making-7d0bf38abc2d
[9]
Paul Bloom, 2014, Against Empathy, diakses dari https://bostonreview.net/forum/paul-bloom-against-empathy/
[10]
Diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/berita/baca/27524/Sukses-di-2021-Aturan-dan-Syarat-Program-Keringanan-Utang-2022-Lebih-Disederhanakan.html
[11]
Annabel Brown, 2022, Empathy, resilience, and recovery, diakses dari https://www.themandarin.com.au/179513-empathy-resilience-and-recovery/