Asas Akuntabilitas menjadi salah satu
asas hukum pelaksanaan lelang bersama-sama dengan asas keterbukaan, persaingan,
keadilan, kepastian hukum, dan efisiensi. Asas Akuntabilitas, dalam pelaksanaan
lelang, dimaknai sebagai asas yang menghendaki agar lelang yang dilaksanakan
oleh Pejabat Lelang dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak yang
berkepentingan. Pertanggungjawaban pejabat lelang meliputi administrasi lelang
dan pengelolaan uang lelang.[1] Lebih lanjut, guna
menjamin terpenuhinya Asas Akuntabilitas pelaksanaan lelang, terdapat
norma-norma yang mengatur pelaksanaan lelang dan wewenang, tanggung jawab,
serta larangan bagi Pejabat Lelang, yang diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 213/PMK.06/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.06/2019 tentang Pejabat Lelang Kelas I.
Penyelenggaraan lelang yang dilakukan
oleh Pejabat Lelang pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)
termasuk pula dalam ruang lingkup pelayanan publik. Sesuai ketentuan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan
Publik), KPKNL adalah Penyelenggara Pelayanan Publik sedangkan Pejabat Lelang
adalah Pelaksana Pelayanan Publik. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sesuai
Pasal 4 UU Pelayanan Publik, salah satu asas yang harus dipatuhi oleh KPKNL
dalam menyelenggarakan pelayanan publik adalah Asas Akuntabilitas. Sama halnya
dengan KPKNL, Pasal 34 UU Pelayanan Publik mengharuskan Pejabat Lelang selaku
Pelaksana Pelayanan Publik untuk berperilaku dengan menjunjung tinggi, salah
satunya, nilai-nilai akuntabilitas.
Fakta di atas menggambarkan bahwa
akuntabilitas adalah salah satu asas dalam pelaksanaan lelang, baik dilihat
dari sudut pandang rezim pengaturan lelang sendiri maupun lelang sebagai bentuk
pelayanan publik. Tulisan ini akan menggambarkan makna dan urgensi prinsip
akuntabilitas dalam pelaksanaan lelang dikaitkan dengan penyelenggaraan pelayanan
publik. Selanjutnya, akan dijelaskan secara singkat mengenai bentuk
akuntabilitas praktik lelang yang telah ada saat ini.
Arti Penting Akuntabilitas dalam Pelayanan
Publik
Pada tahun 2013, Dewan HAM PBB
menyampaikan sebuah laporan dengan judul Report Of The United Nations High
Commissioner For Human Rights On The Role Of The Public Service As An Essential
Component Of Good Governance In The Promotion And Protection Of Human Rights[2].
Laporan tersebut mengelaborasi bahwa pendekatan berbasis HAM dapat meningkatkan
kualitas pelayanan publik. Salah satu yang digarisbawahi menurut Laporan
tersebut adalah korelasi antara pelayanan publik sebagai salah satu komponen
dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dengan HAM.
Mendasarkan pada Resolusi Dewan HAM PBB Nomor 7/11, Laporan tersebut menegaskan
bahwa pemerintahan yang transparan, bertanggungjawab, akuntabel, dan
partisipatif adalah fondasi tata kelola pemerintahan yang baik yang berhubungan
erat dengan konsep HAM[3].
Selanjutnya, menurut Laporan tersebut,
dalam resolusi yang lain, yaitu Resolusi Dewan HAM PBB Nomor 19/20,
prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, integritas, non-diskriminasi,
partisipasi, kesamaan, efisiensi, dan kompetensi sebagai prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik juga berkelindan dengan prinsip-prinsip HAM. Oleh
karenanya, menurut Laporan tersebut, idealnya tata kelola pemerintahan yang
baik dipahami dan dipandu oleh penafsiran-penafsiran normatif terhadap prinsip
dan standar HAM secara luas[4].
Mencermati Laporan Dewan HAM PBB di
atas, maka kedudukan asas akuntabilitas dianggap sebagai asas dalam pelayanan
publik yang merupakan salah satu komponen dalam tata kelola pemerintahan yang
baik, sehingga memiliki relasi dengan HAM warga negara. Berdasarkan kerangka
berpikir yang demikian, maka pembahasan akuntabilitas dalam pelayanan publik
berbasis HAM tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tata kelola pemerintahan
yang baik.
Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme (UU 28/1999), sebagai salah satu sumber hukum
praktik good governance di Indonesia, menetapkan bahwa Asas
Akuntabilitas adalah salah satu asas dalam penyelenggaraan negara. Menurut
Penjelasan UU 28/1999 tersebut, Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan
bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan hal-hal di atas, dapat
dipahami bahwa pemenuhan Asas Akuntabilitas dalam pelaksanaan lelang tidak
hanya penting untuk keabsahan lelang semata. Namun demikian, pemenuhan Asas
Akuntabilitas dalam pelaksanaan lelang adalah merupakan wujud konkrit dalam
upaya mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas sebagai salah satu unsur
pengejewantahan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Pada gilirannya, apabila mengacu pada Laporan Dewan HAM PBB Nomor A/HRC/25/27
di atas, akuntabilitas dalam pelaksanaan lelang adalah usaha pemerintah dalam
memenuhi HAM warga negara.
Akuntabilitas Pelaksanaan Lelang
Secara umum, menurut Denhardt dan
Denhardt, akuntabilitas pemerintah dapat dikatakan sulit untuk didefinisikan
dan bahkan akan lebih sulit untuk ditegakkan (enforced)[5]. Namun demikian,
akuntabilitas adalah salah satu ekspektasi masyarakat demokratis kepada
pemerintahnya selaku pelayan publik yang tidak pernah berubah, padahal pada
waktu yang sama pemikiran mengenai peran dan tugas pelayan publik, dengan siapa
mereka melakukan pelayanan publik, pengetahuan, nilai, dan kemampuan apa yang
harus dikuasai oleh pelayan publik telah mengalami perubahan[6].
Dalam tulisan ini, Penulis menganalisa
akuntabilitas praktik pelaksanaan lelang dengan prinsip-prinsip HAM yang
terdapat pada Laporan Dewan HAM PBB Nomor A/HRC/25/27 yang telah disinggung
sebelumnya. Hal ini Penulis lakukan karena, sebagaiimana Penulis sampaikan
sebelumnya, akuntabilitas pelaksanaan lelang adalah bagian penting dalam
perwujudan good governance yang berhubungan dengan HAM warga negara dan
Laporan Dewan HAM PBB tersebut secara khusus membahas mengenai hal ini.
Pertama, menurut Laporan tersebut,
akuntabilitas berhubungan dengan adanya akses yang mudah dan efektif kepada
saluran remedies jika warga negara merasa hak-haknya dilanggar[7]. Dalam konteks pelaksanaan
lelang, tentu hal ini berkaitan dengan adanya saluran remedy bagi para
pihak yang merasa haknya dilanggar oleh pelaksanaan lelang. Selama ini, dalam
praktik yang ada di KPKNL, hal ini telah termanifestasikan dalam berbagai
saluran. Salah satu contoh berkaitan dengan hal ini yaitu gugatan terhadap
pelaksanaan lelang.Sudah jamak ditemui bahwa para pihak yang merasa haknya
dilanggar dalam pelaksanaan lelang akan mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Hal ini menjadi salah satu contoh bahwa telah terdapat saluran yang mudah
diakses dan efektif bagi warga negara dalam menilai akuntabilitas pelaksanaan
lelang.
Kedua, Laporan Dewan HAM PBB
A/HRC/25/27 menyebutkan bahwa tindakan whistle-blowing juga memaikan
peran penting dalam memastikan bahwa akuntabilitas pemerintah[8]. Dalam pelaksanaan lelang
secara khusus, dan umumnya terhadap semua layanan yang dilakukan oleh
Kementerian Keuangan, laman https://www.wise.kemenkeu.go.id adalah saluran whistle-blowing
yang telah disediakan untuk memastikan akuntabilitas pelaksanaan lelang. Sesuai
dengan penjelasan Laporan Dewan HAM PBB tersebut, saluran whistle-blowing Kementerian
Keuangan juga telah menjamin kerahasiaan terhadap pelapor.
Ketiga, dalam Laporan Dewan HAM PBB di
atas, disebutkan bahwa transparansi dan non diskriminasi[9] adalah prinsip HAM lainnya
yang dapat diterapkan dalam menilai akuntabilitas pemerintah. Berkaitan dengan
hal tersebut, prinsip transparan dan non-diskriminatif telah inheren menjadi
asas hukum dalam pelaksanaan lelang. Dengan demikian, berkaitan dengan kedua
prinsip ini dapat dikatakan juga telah terpenuhi dalam pelaksanaan lelang.
Selain itu, pelaksanaan lelang yang saat ini dilakukan secara elektronik
melalui laman atau aplikasi lelang.go.id juga turut menegaskan bahwa
pelaksanaan lelang telah menganut dan menerapkan prinsip keterbukaan dan non
disnkriminasi atau kesamaan.
Penutup
Sebagaimana dijelaskan dalam bagian-bagian sebelumnya, Tulisan ini menyajikan 2 (dua) argumen sebagai hasil pembahasan. Pertama, bahwa akuntabilitas pelaksanaan lelang memiliki arti penting dalam mewujudkan good governance dan sekaligus berkaitan erat dengan pemenuhan HAM, setidaknya hal ini didasarkan pada Laporan Dewan HAM PBB Nomor A/HRC/25/27. Kedua, dari hasil analisa Penulis, didapati bahwa praktik pelaksanaan lelang yang ada saat ini telah cukup mengimplementasikan prinsip-prinsip HAM yang relevan untuk menilai akuntabilitas pelaksanaan lelang, sebagaimana disebutkan dalam Laporan Dewan HAM PBB yang disebutkan sebelumnya.
Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)
[1]
Rachmadi Usman, 2015, Hukum Lelang, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 26
[2]
UNHRC Report No. A/HRC/25/27, 23 December 2013, dapat diakses melalui https://www.ohchr.org/en/hrbodies/hrc/regularsessions/session25/documents/a-hrc-25-27_en.doc
[3] Ibid.
Hal. 3.
[4] Ibid.
Hal. 5.
[5]
Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, 2007, The New Public Service:
Serving, Not Steering, New York: M.E. Sharpe, Inc., hal. 128.
[6]
Robert F. Durant, 2014, Why Public Service Matters: Public Managers, Public
Policy, and Democracy, New York: Palgrave Macmillan, hal. 1.
[7]
UNHRC Report, op.cit, hal. 6.
[8] Ibid.
[9] Ibid,
hal. 7.