Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), menurut
Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitya Urusan Piutang Negara
(UU PUPN) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 240/PMK.06/2016 tentang
Pengurusan Piutang Negara (PMK 240/2016), diberikan kewenangan parate
executie. Beberapa dokumen produk PUPN yang dapat dieksekusi secara parate
executie diantaranya adalah Pernyataan Bersama (Ps. 10 UU PUPN) dan Surat
Paksa (Ps. 11 UU PUPN) yang kemudian diikuti dengan surat perintah penyitaan. Berdasarkan
yang dikutip Subagiyo, menurut Subekti yang dimaksud dengan parate executie adalah menjalankan
sendiri atau mengambil sendiri apa-apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa
perantaraan hakim, ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya
menjual sendiri barang tersebut[1].
Parate executie juga mengandung arti
bahwa jika debitor wanprestasi, kreditor dapat melaksanakan eksekusi objek
jaminan, tanpa harus memohon fiat dari Ketua Pengadilan dan tunduk pada
peraturan tersendiri sehingga prosedurnya lebih mudah dan murah[2]
Herowati Poesoko menyatakan bahwa parate executie adalah upaya di luar
Hukum Acara Perdata, dan memiliki 2 (dua) kelebihan, yaitu (a.) tanpa didahului
sita jaminan dan sita eksekusi dan (b.) tanpa fiat pengadilan, yang pada
kenyataanya jika menempuh kedua langkah tersebut memerlukan waktu yang panjang
dan biaya tidak murah[3].
Berbeda dengan pelaksanaan parate executie, dalam Hukum Acara Perdata
dianut asas-asas hukum, yaitu Asas Religiusitas Putusan Yang Memuat Irah-Irah
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Asas Peradilan
Diselenggarakan Secara Sederhana, Cepat dan biaya Ringan, Asas Hakim Pasif,
Asas Ultra Petitum Partium, Asas Ex Aequo et Bono, Asas Tidak Berpihak
(imparsialitas), Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum, Asas Audi Et Alteram Partem, Asas Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman[4].
Salah satu asas, sebagaimana menjadi fokus
tulisan ini, yaitu Asas Audi Et Alteram Partem, menurut Black’s Law
Dictionary, memiliki arti hear the other
side; hear both sides. No man should be condemned unheard[5].
Asas ini juga dikenal dengan “eines
mannes rede ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide” yang
berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak
sebagai benar, bila lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapatnya, berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus
dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak[6].
Mengingat bahwa parate executie adalah
mekanisme di luar Hukum Acara Perdata, maka dengan mudah dapat dinyatakan bahwa
pelaksanaan parate executie tidaklah tunduk pada asas-asas Hukum Acara
Perdata, termasuk Asas Audi Et Alteram Partem. Namun demikian, tulisan
ini mencoba menunjukkan bahwa sejatinya Asas Audi Et Alteram Partem juga
terkandung dalam tahapan pengurusan Piutang Negara.
Eksistensi Asas Audi Et Alteram Partem
dalam Pengurusan Piutang Negara
Dalam pengurusan Piutang Negara, berdasarkan
PMK 240/2016, dikenal adanya tahapan Panggilan. Pasal 42 PMK 240/2016 mengatur
bahwa Panggilan dilakukan terhadap perorangan maupun badan hukum dan
non-hukum. Terhadap Penanggung Hutang perorangan, Panggilan ditujukan kepada
diri pribadinya. Selanjutnya, jika Penanggung Hutang adalah badan hukum
berbentuk Perseoran Terbatas, maka Panggilan ditujukan kepada direksi dan
komisaris. Apabila badan hukum berbentuk koperasi atau yayasan, Panggilan
ditujukan kepada pengurusnya. Sementara itu, Penanggung Hutang non-badan hukum
berupa firma atau CV, Panggilan ditujukan kepada firman atau pengurusnya.
Apabila Penanggung Hutang tidak memenuhi Panggilan, maka dilakukan panggilan
terakhir paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal menghadap
yang ditetapkan dalam surat Panggilan.
Dalam hal Penanggung Hutang menghilang atau
tidak mempunyai tempat tinggal/tempat kediaman yang dikenal di Indonesia,
menurut Pasal 47 PMK 240/2016, dilakukan pengumuman panggilan melalui surat
kabar harian, media elektronik, papan pengumuman di Kantor Pelayanan, dan/atau
media massa lainnya. Pengumuman tersebut memuat identitas Penanggung Hutang dan
kewajibannya untuk menyelesaikan hutang kepada Negara.
Terhadap proses pemanggilan tersebut, apabila
Penanggung Hutang memenuhi panggilan, maka dapat terjadi 2 (dua) kemungkinan,
yaitu mengakui dan tidak mengakui adanya dan besarnya utang. Selanjutnya, jika
Penanggung Hutang mengakui dan sanggup menyelesaikan utangnya maka dibuatlan
Pernyataan Bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 53 PMK 240/2016. Apabila
Penanggung Hutang mengakui namun tidak sanggup menyelesaikan utang, maka
Pernyataan Bersama tetap dibuat sesuai ketentuan Pasal 58 PMK 240/2016.
Pada kemungkinan yang kedua, yaitu Penanggung
Hutang memenuhi panggilan namun tidak mengakui utangnya, maka terdapat pula 2
(dua) kemungkinan, yaitu Penanggung Hutang dapat membuktikan dan tidak dapat
membuktikan sanggahannya tersebut. Ketentuan dalam PMK 240/2016, secara
eksplisit hanya mengatur jika Penanggung Hutang tidak dapat membuktikan, yaitu
dengan diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara (PJPN). Sedangkan jika
Penanggung Hutang dapat membuktikan bahwa dirinya tidak memiliki utang kepada
Negara tidak diatur secara eksplisit.
Berkaitan dengan masalah tersebut, dapat
dirujuk ketentuan Pasal 32 huruf a PMK 240/2016. Pasal tersebut menyebutkan
bahwa pengurusan Piutang Negara dapat dikembalikan kepada Penyerah Piutang
dalam hal, salah satunya, terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena
Penanggung Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan.
Selanjutnya, Pasal 33 PMK 240/2016 mengatur bahwa Pengembalian pengurusan
Piutang Negara karena kekeliruan Penyerah Piutang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 huruf a harus berdasarkan bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadi
kekeliruan.
Dengan menginterpretasikan
ketentuan-ketentuan di atas secara sistematis, maka dapat dipahami bahwa
Penanggung Hutang yang dapat membuktikan bahwa dirinya tidak memiliki utang
kepada Negara dapat ditindaklanjuti dengan Pengembalian kepada Penyerah
Piutang. Dengan demikian, dapat pula dikualifikasikan telah terjadi kekeliruan
dari Penyerah Piutang.
Berdasarkan ilustrisasi pelaksanaan panggilan
tersebut, tergambar bahwa Asas Audi Et Alteram Partem termanifestasi
dalam tahapan pengurusan Piutang Negara. Penanggung Hutang diberikan kesempatan
untuk menyatakan dan membuktikan bahwa dirinya tidak mempunyai utang kepada
Negara. Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengurusan
Piutang Negara diberikan kesempatan untuk didengar keterangannya dan
diperlakukan dengan setara.
Permasalahan selanjutnya adalah berkaitan
dengan Penanggung Hutangnya yang tidak memenuhi panggilan. Jika Penanggung
Hutang tidak memenuhi Panggilan, dan pada waktunya dilakukan parate executie
terhadapnya, bagaimanakah eksistensi Asas Audi Et Alteram Partem dalam
pengurusan Piutang Negara?
Berkaitan dengan hal ini, dapat dianalogikan
dengan penerapan Asas Audi Et Alteram
Partem dalam perkara perdata yang diputus oleh pengadilan secara verstek. Secara sekilas dalam putusan verstek atau putusan yang dijatuhkan
tanpa diikuti proses-proses peradilannya oleh pihak tergugat dapat dianggap
bahwa Asas Audi Et Alteram Partem
tidak terpenuhi. Senyatanya anggapan tersebut dianggap salah, karena dalam
konteks putusan verstek sekalipun,
Asas Audi Et Alteram Partem telah
berusaha untuk dipenuhi dengan adanya panggilan-panggilan kepada pihak
tergugat, namun memang pihak tergugat tidak pernah memenuhi panggilan tersebut[7].
Krakteristik Asas Audi Et Alteram Partem dalam
Pengurusan Piutang Negara
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya,
mengingat kewenangan parate executie PUPN adalah berada di luar domain
Hukum Acara Perdata, maka eksistensi Asas Audi Et Alteram Partem pada
pengurusan Piutang Negara juga memiliki karakteristik tersendiri, berbeda
dengan karakteristiknya dalam Hukum Acara Perdata.
Pertama, dalam konteks pengurusan Piutang
Negara, penerapan Asas Audi Et Alteram Partem membawa konsekuensi bahwa
PUPN menjadi pihak kreditur sekaligus pihak yang mengadili adanya perbedaan
pendapat antara Penyerah Piutang dengan Penanggung Hutang. Hal ini berbeda
dengan karakteristik Asas Audi Et Alteram Partem dalam konteks Hukum
Acara Perdata yang menjadi domain lembaga peradilan untuk menerapkannya.
Karakteristik ini juga menjadi keunikan tersendiri, karena sejatinya kedudukan
PUPN dalam pengurusan Piutang Negara adalah tidak ubahnya sebagai kreditur bagi
Penanggung Hutang.
Namun demikian, dapat disimak pendapat yang
dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini yang menyatakan bahwa kedudukan PUPN
merupakan peradilan semu (quatie
rechtpraak) karena PUPN merupakan badan peradilan yang dilakukan oleh pihak
ketiga yang tidak memihak atau berkepentingan dalam menyelesaikan sengketa
utang piutang Negara. Pendapat lainnya diutarakan oleh Arifin Soeriaatmadja
yang menyatakan bahwa PUPN selintas memang mirip lembaga peradilan yang semu,
tetapi pada hakikatnya PUPN tidak melakukan pengadilan terhadap debitur yang
menunggak utang. Anggapan yang mengidentikkan PUPN dengan lembaga peradilan
semu muncul karena PUPN memiliki kewenangan melakukan penagihan dengan dokumen
yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”[8].
Selanjutnya, ketentuan bahwa PUPN dapat
menilai pembuktian yang dilakukan oleh Penanggung Hutang atas klaimnya tidak
memliki utang kepada Negara juga berkaitan dengan pembahasan ini. Diaturnya
hal ini telah memberikan kewenangan bagi PUPN untuk mengkonstatir sebuah
peristiwa untuk kemudian dicarikan landasan hukumnya yang kemudian menjadikan
peristiwa tersebut sebagai peristiwa hukum[9].
Pengaturan hal tersebut juga telah memberikan kewenangan bagi PUPN untuk menilai
proses pembuktian yang dilakukan oleh kedua pihak, yaitu baik oleh Penyerah
Piutang yang menyatakan bahwa Piutang Negara telah ada dan besarnya pasti
menurut hukum maupun oleh Penanggung Hutang yang membuktikan bahwa dirinya
tidak memiliki hutang kepada Negara.
Kewenangan untuk mengkonstatir sebuah
peristiwa menjadi peristiwa hukum dan menilai pembuktian para pihak yang
dilakukan oleh PUPN tersebut sejatinya adalah kewenangan lembaga peradilan.
Kegiatan pembuktian dalam konteks hukum acara perdata selalu diidentikkan
dengan lembaga peradilan atau secara khusus diasosiasikan kepada kewenangan
hakim, seperti salah satu definisi pembuktian yang berbunyi bahwa, “Pembuktian
adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum, kepada hakim yang
memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa yang
dikemukakan”[10].
Kedua, karakteristik Asas Audi Et Alteram Partem dalam konteks
pengurusan Piutang Negara adalah bahwa penerapannya dapat dilakukan dengan
tidak secara langsung memperhadapkan antara pihak Penyerah Piutang dengan
Penanggung Hutang dalam satu waktu. Hal ini juga berbeda dengan penerapan Asas Audi Et Alteram Partem dalam hukum acara
perdata yang dilakukan pada saat pemeriksaan perkara di Pengadilan yang
menghadirkan para pihak, baik penggugat maupun tergugat. Dalam menerapkan Asas Audi Et Alteram Partem, PUPN, dalam
tahap Panggilan terhadap Penanggung Hutang, tidak wajib menghadirkan Penyerah
Piutang karena memang pada hakikatnya pengurusan Piutang Negara yang dilakukan
oleh Penyerah Piutang telah beralih kepada PUPN. Sehingga dengan demikian,
pemeriksaan terhadap Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang tidak wajib
dilaksanakan oleh PUPN secara bersamaan, namun tidak menutup kemungkinan untuk
tetap dilaksanakan oleh PUPN.
Selain itu, jika PUPN tidak melaksanakan
pemeriksaan terhadap Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang dalam satu waktu
maka tidak menimbulkan akibat hukum apapun. Hal ini berbeda dengan Hukum Acara
Perdata, dalam konteks peradilan perdata jika salah satu pihak tidak menghadiri
persidangan, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dalam hal penggugat tidak
hadir maka Pengadilan dapat memutuskan bahwa gugatan gugur, jika tergugat tidak
hadir maka Pengadilan akan memutus perkara secara verstek.
Ketidakwajiban PUPN untuk memeriksa Penyerah
Piutang dan Penanggung Hutang dalam satu waktu memang dapat dirunut dari
hakikat Panggilan yang diterbitkan oleh PUPN. Panggilan yang diterbitkan PUPN
memang hanya bermakna ditujukan kepada Penanggung Hutang saja, sedangkan
Penyerah Piutang hanya sebagai tembusan saja. Hal ini tentu berbeda dengan
pemanggilan yang dikenal dalam hukum acara perdata. Pemanggilan yang dilakukan
oleh Pengadilan dalam hukum acara perdata memang ditujukan kepada baik
Penggugat maupun Tergugat untuk hadir dalam persidangan. Hal ini terkandung
dalam makna Pasal 338 HIR. Pasal a quo
mengandung makna (i) Relaas adalah panggilan sidang pertama kepada Penggugat
dan Tergugat, (ii) Relaas adalah panggilan untuk menghadiri sidang lanjutan
kepada para pihak atau salah satu pihak apabila pada sidang yang lalu tidak
hadir baik tanpa alasan yang sah atau berdasarkan alasan yang sah, (iii) Relaas
adalah panggilan terhadap saksi yang diperlukan atas permintaan oleh salah satu
pihak[11].
Dalam makna yang (i), Asas Audi Et
Alteram Partem dalam konteks pengurusan Piutang Negara memiliki
karakteristik yang berbeda dengan Asas yang sama dalam konteks hukum acara
perdata.
Penutup
Sebagaimana telah dinyatakan pada bagian awal
tulisan ini, meskipun parate executie dalam pengurusan Piutang Negara
tidak tunduk pada asas Hukum Acara Perdata, yang salah satunya Asas Audi Et
Alteram Partem. Namun menyadari bahwa Asas tersebut termanifestasi dalam
pengurusan Piutang Negara membawa beberapa manfaat, baik secara normatif maupun
praktik.
Pertama, secara normatif,
termanifestasikannya Asas Audi Et Alteram Partem dalam pengurusan
Piutang Negara berkolerasi secara positif dengan kewenangan parate executie
yang dimiliki PUPN. Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” yang menjadi dasar kewenangan parate executie yang dimiliki PUPN mencantumkan
kata “keadilan” di dalamnya, hal ini bermakna pertimbangan keadilan sesungguhnya
lebih dikedepankan dalam memutus suatu perkara[12]
atau dalam konteks pengurusan Piutang Negara maka keadilan harus dikedepankan
dalam penyelesaian Piutang Negara. Diberikannya kesempatan kepada Penanggung
Hutang dalam tahapan Panggilan diharapkan dapat pula mewujudkan keadilan bagi
Penanggung Hutang tersebut. Dengan demikian, manifestasi Asas Audi Et
Alteram Partem dalam Panggilan sebagai tahapan pengurusan Piutang Negara
telah menghadirkan nilai keadilan bagi para piihak, meskipun pada gilirannya tetap
harus dilakukan parate executie.
Kedua, secara praktik, manifestasi Asas Audi
Et Alteram Partem memperkuat legitimasi kewenangan parate executie.
Sering dijumpai bahwa dalam perkara hutang piutang, pihak debitur
mempermasalahkan pelaksanaan eksekusi dengan alasan tidak terdapat
pemberitahuan sebelumnya dari pihak kreditur. Apabila alasan itu ternyata benar
maka dapat mengurangi legitimasi dari pelaksanaan eksekusi. Sebaliknya, jika
alasan tersebut hanya dalil belaka dari debitur, dan pada kenyataannya debitur
telah diberitahukan akan dilakukan eksekusi, maka pelaksanaan eksekusi memiliki
legitimasi yang kuat. Dalam konteks pengurusan Piutang Negara, apabila
Penanggung Hutang telah dipanggil dan diberikan kesempatan untuk menjelaskan
hutangnya kepada Negara, maka jika pada waktunya akan dilakukan parate
executie terhadapnya, maka pelaksanaan eksekusi tersebut memiliki
legitimasi yang kuat.
Mengingat kedua manfaat di atas, kiranya pembahasan secara teoritik dalam tulisan ini dapat memberikan kontribusi positif dalam praktik pengurusan Piutang Negara ke depannya.
Penulis: Hadyan Iman Prasetya (KPKNL Bontang)
[1] Dwi Tatak Subagiyo, Hakikat Kedudukan Hukum Debitor Selama
Menguasai Objek Jaminan Fidusia, Disertasi, Program Doktor Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2018, hal. 296.
[2] Rose Panjaitan, Pengaturan dan
Pelaksanaan Parate Eksekusi Diluar Hukum Acara Perdata, Jurnal Notaire, Vol. 1 No. 1 Juni 2018, 135-152, hal. 142.
[3] Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan
(Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT),
(Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2008), hal. 220-234.
[4] Sunarto, Prinsip Hakim Aktif Dalam
Perkara Perdata, Jurnal Hukum dan
Peradilan, Volume 5 Nomor 2 Juli 2016, 249-276, hal. 260.
[5] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Revised Fourth
Edition, (St. Paul Minnesota: West Publishing, 1968), hal. 166.
[6] Herowati Poesoko, Penemuan Hukum oleh
Hakim dalam Penyelesaian Perkara Perdata, Jurnal
Hukum Acara Perdata ADHAPER, Vol. 1 No. 2 Juli-Desember 2015, 215-237, hal.
221.
[7] I Gede Yuliartha, et.al, The Meaning of Audi Et Alteram Partem Principle In
Verstek Verdict of Civil Law, Journal of
Law, Policy, and Globalization, Vol. 69, 2018, 135-149, hal. 143.
[8] Agus Pandoman, Penyelesaian Utang
BLBI Dalam Kajian Hukum Responsif Dan Represif, Disertasi, Program Doktor Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2014, hal. 107-108.
[9] Dio Ashar Wicaksana, et.al, Penelitian Format Putusan Pengadilan Indonesia: Studi Empat Lingkungan
Peradilan Di Bawah Mahkamah Agung, (Universitas Indonesia: Badan Penerbit
FHUI, 2020), hal. 259.
[10] Efa Laela Fakhriah, Perkembangan Alat
Bukti dalam Penyelesaian Perkara Perdata di Pengadilan Menuju Pembaruan Hukum
Acara Perdata, Jurnal Hukum Acara Perdata
ADHAPER, Vol. 1 No. 2 Juli-Desember 2015, 135-153, hal. 138.
[11] Faisal Luqman Hakim, Simplifikasi Prosedur
Beracara dengan Pemanfaatan Teknologi dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara
Perdata, Jurnal Hukum Acara Perdata
ADHAPER, Vol. 5 No. 1 Januari-Juni 2019, 1-18, hal. 4.
[12] Bambang Sutiyoso, Mencari Format
Ideal Keadilan Putusan dalam Peradilan, Jurnal
Hukum, No. 2 Vol. 17 April 2010, 217-232, hal. 223.