Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Fungsi Sosial dan Agilitas Pengelolaan Aset Negara Dalam Menghadapi Pandemi
Hadyan Iman Prasetya
Jum'at, 16 Juli 2021   |   2598 kali

            Baru-baru ini kita patut berbahagia karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020[1]. Sedangkan, khusus berkaitan dengan pengelolaan aset negara, dalam LKPP 2020 tersebut, termuat informasi adanya peningkatan nilai aset negara. Berdasar rilis Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, kenaikan aset negara ini terjadi selama rentang waktu tahun 2015 hingga 2020. Peningkatan nilai aset negara ini secara tidak langsung menggambarkan bahwa keuangan negara digunakan secara produktif. Terbukti dari manfaat ekonomi/sosial yang diperoleh masyarakat.[2]

Pada sisi yang lain, sudah satu tahun lebih wabah Covid 19 melanda Indonesia, berbagai sumber daya telah dikerahkan dan kebijakan telah dilahirkan oleh Pemerintah dalam rangka menanggulangi berbagai dampak yang ditimbulkan akibat pandemi tersebut. Terbaru, Pemerintah menerapkan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) baik di wilayah Jawa dan Bali[3] maupun di beberapa wilayah di luar Jawa dan Bali[4].

            Berdasarkan fakta-fakta di atas, menarik kiranya untuk mencari benang merah di antara keduanya. Tulisan ini mencoba menjelaskan secara singkat berkaitan dengan (a) konsepsi fungsi sosial sebagai dasar pendayagunaan aset negara dan (b) agilitas pemerintah dalam pengelolaan aset negara guna menanggulangi dampak pandemi Covid 19.

FUNGSI SOSIAL ASET NEGARA

            Sebagai salah satu wujud nyata pelaksanaan amanat konstitusi dalam hal urusan keuangan negara, aset negara tentu haruslah dikelola dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan bunyi Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar yang memuat “kesejahteraan umum” sebagai salah satu tujuan eksistensi negara Indonesia. Pencantuman “kesejahteraan umum” sebagai salah satu tujuan tersebut juga menjadi dasar bahwa Indonesia menganut paham negara hukum kesejahteraan[5] atau welfare state.

            Tanpa mengurangi arti penting landasan konstitusional tersebut, kiranya dapat diketengahkan pula konsep mengenai fungsi sosial pada setiap harta kekayaan, yang dalam hal ini adalah fungsi sosial dalam konteks aset negara. Konsep fungsi sosial yang terkandung dalam aset negara ini menjadi dasar pula untuk menjelaskan bahwa setiap Barang Milik Negara (BMN) meskipun secara penuh pengelolaannya menjadi hak negara, namun tetap saja dalam pengelolaannya itu haruslah memperhatikan fungsi sosialnya.

            Konseptualisasi fungsi sosial terhadap sebuah harta kekayaan dapat ditelusuri dari usulan seorang ahli hukum berkebangsaan Perancis bernama Leon Duguit. Menurutnya, setiap hak milik seseorang atas harta kekayaan bukan tidak terbatas, dengan demikian hak atas harta kekayaan melahirkan sebuah kewajiban untuk mengabdikan harta kekayaan tersebut untuk kehidupan bermasyarakat[6]. Awalnya teori ini muncul akibat adanya upaya untuk menentang konsep liberal klasik yang berkembang saat itu. Konsep liberal klasik mendominasi konsep politik dan hukum modern. Gagasan yang berkembang dari konsep tersebut bahwa kepemilikan hak atas tanah adalah hak subyektif dan sifatnya mutlak[7].

Sementara itu dalam hukum Indonesia, fungsi sosial terhadap harta kekayaan dalam konteks pertanahan dinyatakan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 6 UUPA secara eksplisit mengatur bahwa,”Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Fungsi sosial dalam UUPA tersebut merupakan salah satu kewajiban yang dibebankan pada setiap pemegang hak atas tanah, selain kewajiban memelihara dan memanfaatkan tanah dengan baik (Pasal 52 ayat (1)) dan kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertanian (Pasal 10)[8]. Ketentuan Pasal 6 UUPA dapat dimaknai dengan tafsiran bahwa hak atas tanah yang dipegang oleh suatu subyek hukum pada dasarnya tidak menjadi penghalang bagi pihak pemerintah untuk melakukan kewenangan publiknya dalam pengadaan tanah[9].

Penafsiran konsepsi fungsi sosial di atas tentu merupakan penafsiran dalam konteks (pengadaan) tanah, namun tidak berlebihan kiranya jika fungsi sosial ini diperluas pemaknaannya dan diinternalisasikan pada pengelolaan aset negara. Dengan demikian akan muncul sebuah pemahaman bahwa setiap aset negara mengandung fungsi sosial, sehingga dalam pengelolaan aset negara haruslah mengedepankan kepentingan sosial. Pada makna yang lain, dalam setiap pengelolaan aset negara pemerintah tidak dapat mengelola asetnya tanpa mempertimbangkan fungsi sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Fungsi sosial yang secara optimal dapat diwujudkan dalam pengelolaan aset negara akan semakin memperkuat tercapainya amanat konstitusi dalam mewujudkan “kesejahteraan umum”. Selanjutnya, fungsi sosial aset negara yang dapat dirasakan oleh masyarakat tentu juga akan membuktikan bahwa pengelolaan keuangan negara telah dilaksanakan secara produktif sebagaimana rilis Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang dikutip pada bagian sebelumnya. Sedangkan dalam konteks pandemi saat ini, aset negara melalui fungsi sosialnya diharapkan mampu menjawab berbagai kebutuhan masyarakat dalam rangka menanggulangi berbagai dampak yang timbul oleh wabah Covid 19.

AGILITAS PENGELOLAAN ASET NEGARA

            Setelah memahami bahwa setiap aset negara mengandung fungsi sosial sebagai nilai instrinsik, maka harus dipikirkan kemudian adalah bagaimana fungsi sosial tersebut dapat termanifestasikan secara optimal dalam menjawab kebutuhan masyarakat, terlebih dalam kondisi pandemi Covid 19. Salah satu upaya untuk mewujudkan hal tersebut kiranya dapat dilakukan dengan melakukan pengelolaan aset negara dengan agile.

            Konsep agile dalam ranah tata kelola pemerintah seringkali digunakan secara bergantian dengan konsep adaptive governance. Konsep agile dimaknai sebagai merespon perubahan kebutuhan publik dengan cara yang efisien[10]. Tata kelola pemerintahan yang agile lebih diasosiasikan dengan respon yang bersifat reaktif karena adanya perubahan atau tantangan yang bersifat natural, sedangkan tata kelola pemerintahan yang adaptif (adaptive governance) dipandang lebih sistematis daripada sekedar reaktif. Namun demikian dalam kondisi yang penuh ketidakpastian dan kompleks, keduanya sangat diperlukan[11]. Paradigma agile dalam birokrasi semakin banyak diadopsi karena adanya kebutuhan untuk bekerja dengan lebih strategis, fleksibel, dan adaptif terhadap perubahan yang menghasilkan kebijakan dan layanan publik yang lebih baik[12]. Dengan demikian pengelolaan aset negara secara agile dapat dimaknai sebagai pengelolaan aset negara yang lincah, fleksibel, dan adaptif sebagai reaksi dan dalam rangka menjawab berbagai tantangan yang dihadapi.

            Pengelolaan aset negara secara agile juga telah dipraktikkan oleh Pemerintah dalam rangka menanggulangi berbagai dampak Covid-19. Beberapa contoh dari agilitas pengelolaan aset negara diantaranya adalah dengan ditetapkannya Wisma Atlet Kemayoran menjadi rumah sakit khusus Covid 19[13], pengundangan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2020 tentang Pembangunan Fasilitas Observasi dan Penampungan dalam Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau Penyakit Infeksi Emerging di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan barang milik negara (BMN) dalam penggunaan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Batam (BP Batam) ini merupakan lokasi bekas tempat penampungan pengungsi Vietnam[14], dan terbaru penetapan Asrama Haji Pondok Gede menjadi rumah sakit darurat Covid 19[15].

            Kebijakan-kebijakan yang telah ditempuh Pemerintah tersebut menunjukkan agilitas dalam pengelolaan aset negara yang dapat menunjang dinikmatinya fungsi sosial dari aset negara oleh masyarakat. Sebagai contoh, dalam kasus Asrama Haji, dapat dibayangkan jika Pemerintah tidak melakukan pengelolaan aset negara secara agile, maka Asrama Haji tersebut tidak akan digunakan karena pada tahun ini ibadah haji juga ditiadakan akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian, maka sudah dapat dipastikan pula bahwa fungsi sosial dari aset negara berupa Asrama Haji tersebut juga tidak akan dirasakan secara optimal oleh masyarakat. Sebaliknya, karena Asrama Haji tersebut dikelola secara agile maka fungsi sosial Asrama Haji dapat dirasakan oleh masyarakat yaitu dalam bentuk menyelenggarakan perawatan untuk penderita Covid 19.

            Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka dapatlah dipahami bahwa agilitas dalam pengelolaan aset negara merupakan prasyarat sekaligus menjadi upaya yang efektif dalam mewujudkan fungsi sosial aset negara kepada masyarakat. Dengan demikian agilitas pengelolaan aset negara dapat menjadi sebuah paradigma baru dalam rangka mewujudkan fungsi sosial aset negara ke depannya, terlepas dari konteks pandemi Covid 19. Sebaliknya, ilustrasi tersebut menjadi pengalaman bagi Pemerintah bahwa pengelolaan aset negara tidak dapat hanya dilakukan dengan kaku tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat. Karena pengelolaan aset negara yang tidak adaptif berpotensi menjadikan fungsi sosial dari aset negara tersebut tidak dinikmati masyarakat.

PENUTUP

            Pengelolaan aset negara dapat dilakukan dengan menerapkan paradigma bahwa fungsi sosial menjadi nilai instrinsik dari aset negara serta dalam pengelolaannya dilakukan secara agile. Paradigma tersebut telah terbukti dan dipraktikkan oleh Pemerintah untuk menjawab kebutuhan masyarakat, yang dalam konteks kekinian adalah dalam rangka menanggulangi dampak pandemic Covid 19. Selanjutnya, paradigma yang demikian juga diharapkan mampu diterapkan dalam pengelolaan aset negara pada masa-masa yang akan datang guna menjawab tantangan-tantangan dan permasalahan-permasalahan yang timbul ke depannya.

Penulis: Hadyan Iman Prasetya, KPKNL Bontang

[3] Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 Di Wilayah Jawa Dan Bali.

[5] Elviandri, et.al., 2019, Quo Vadis Negara Kesejahteraan: Meneguhkan Ideologi Welfare State Negara Hukum Kesejahteraan Indonesia, JURNAL MIMBAR HUKUM, Volume 31, Nomor 2, Juni 2019 (252-266), hal. 260.

[6] Sheila R. Foster dan Daniel Bonilla, 2011, The Social Function of Property: A Comparative Law Perspective (Introduction), Fordham Law Review, Vol. 80 November 2011 (101-113), hal. 102-103.

[7] Triana Rejekiningsih, 2016, Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pada Negara Hukum (Suatu Tinjauan Dari Teori, Yuridis Dan Penerapannya Di Indonesia, Jurnal Yustisia, Vol. 5 No. 2, Mei-Agustus 2016 (298-325), hal. 304.

[8] King Faisal Sulaiman, 2021, Polemik Fungsi Sosial Tanah dan Hak Menguasai Negara Pasca UU Nomor 12 Tahun 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/ PUU-X/2012, Jurnal Konstitusi, Volume 18 Nomor 1 Maret 2021 (91-111), hal 92.

[9] Lieke Lianadevi Tukgali, 2010, Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal. 96.

[10] Ines Mergel, et.al., 2020, Agile: A New Way of Governing, Public Administration Review, Vol. 81, Iss. 1 (161-165). hal 161-162. Diakses dari https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/puar.13202.

[11] Marijn Janssen dan Haiko van der Voort, 2020, Agile and Adaptive Governance in Crisis Response: Lessons from the Covid-19 Pandemic, diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7309933/.

[12] Erwan Agus Purwanto, 2019, Kebijakan Publik Yang Agile Dan Inovatif Dalam Memenangkan Persaingan Di Era Vuca (Volatile, Uncertain, Complex And Ambiguous), Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kebijakan Publik-Fisipol UGM, hal. 10.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini