Baru-baru
ini kita patut berbahagia karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan
opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP) Tahun 2020[1].
Sedangkan, khusus berkaitan dengan pengelolaan aset negara, dalam LKPP 2020
tersebut, termuat informasi adanya peningkatan nilai aset negara. Berdasar
rilis Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, kenaikan aset negara ini terjadi
selama rentang waktu tahun 2015 hingga 2020. Peningkatan nilai aset negara ini secara
tidak langsung menggambarkan bahwa keuangan negara digunakan secara produktif.
Terbukti dari manfaat ekonomi/sosial yang diperoleh masyarakat.[2]
Pada sisi yang lain, sudah satu tahun
lebih wabah Covid 19 melanda Indonesia, berbagai sumber daya telah dikerahkan
dan kebijakan telah dilahirkan oleh Pemerintah dalam rangka menanggulangi
berbagai dampak yang ditimbulkan akibat pandemi tersebut. Terbaru, Pemerintah
menerapkan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) baik di
wilayah Jawa dan Bali[3] maupun di beberapa wilayah
di luar Jawa dan Bali[4].
Berdasarkan fakta-fakta di atas,
menarik kiranya untuk mencari benang merah di antara keduanya. Tulisan ini
mencoba menjelaskan secara singkat berkaitan dengan (a) konsepsi fungsi sosial
sebagai dasar pendayagunaan aset negara dan (b) agilitas pemerintah dalam
pengelolaan aset negara guna menanggulangi dampak pandemi Covid 19.
FUNGSI SOSIAL ASET
NEGARA
Sebagai salah satu wujud nyata
pelaksanaan amanat konstitusi dalam hal urusan keuangan negara, aset negara
tentu haruslah dikelola dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh
bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan bunyi Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang
Dasar yang memuat “kesejahteraan umum” sebagai salah satu tujuan eksistensi
negara Indonesia. Pencantuman “kesejahteraan umum” sebagai salah satu tujuan
tersebut juga menjadi dasar bahwa Indonesia menganut paham negara hukum kesejahteraan[5] atau welfare state.
Tanpa mengurangi arti penting
landasan konstitusional tersebut, kiranya dapat diketengahkan pula konsep
mengenai fungsi sosial pada setiap harta kekayaan, yang dalam hal ini adalah fungsi
sosial dalam konteks aset negara. Konsep fungsi sosial yang terkandung dalam
aset negara ini menjadi dasar pula untuk menjelaskan bahwa setiap Barang Milik
Negara (BMN) meskipun secara penuh pengelolaannya menjadi hak negara, namun
tetap saja dalam pengelolaannya itu haruslah memperhatikan fungsi sosialnya.
Konseptualisasi fungsi sosial
terhadap sebuah harta kekayaan dapat ditelusuri dari usulan seorang ahli hukum
berkebangsaan Perancis bernama Leon Duguit. Menurutnya, setiap hak milik
seseorang atas harta kekayaan bukan tidak terbatas, dengan demikian hak atas
harta kekayaan melahirkan sebuah kewajiban untuk mengabdikan harta kekayaan
tersebut untuk kehidupan bermasyarakat[6]. Awalnya teori ini muncul
akibat adanya upaya untuk menentang konsep liberal klasik yang berkembang saat
itu. Konsep liberal klasik mendominasi konsep politik dan hukum modern. Gagasan
yang berkembang dari konsep tersebut bahwa kepemilikan hak atas tanah adalah
hak subyektif dan sifatnya mutlak[7].
Sementara itu dalam hukum Indonesia,
fungsi sosial terhadap harta kekayaan dalam konteks pertanahan dinyatakan
secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Pasal 6 UUPA secara eksplisit mengatur bahwa,”Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Fungsi sosial dalam UUPA tersebut
merupakan salah satu kewajiban yang dibebankan pada setiap pemegang hak atas
tanah, selain kewajiban memelihara dan memanfaatkan tanah dengan baik (Pasal 52
ayat (1)) dan kewajiban untuk mengerjakan sendiri secara aktif tanah pertanian
(Pasal 10)[8]. Ketentuan Pasal 6 UUPA dapat dimaknai dengan tafsiran bahwa hak atas tanah yang dipegang
oleh suatu subyek hukum pada dasarnya tidak menjadi penghalang bagi pihak
pemerintah untuk melakukan kewenangan publiknya dalam pengadaan tanah[9].
Penafsiran konsepsi fungsi sosial di
atas tentu merupakan penafsiran dalam konteks (pengadaan) tanah, namun tidak
berlebihan kiranya jika fungsi sosial ini diperluas pemaknaannya dan diinternalisasikan
pada pengelolaan aset negara. Dengan demikian akan muncul sebuah pemahaman
bahwa setiap aset negara mengandung fungsi sosial, sehingga dalam pengelolaan
aset negara haruslah mengedepankan kepentingan sosial. Pada makna yang lain,
dalam setiap pengelolaan aset negara pemerintah tidak dapat mengelola asetnya
tanpa mempertimbangkan fungsi sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Fungsi sosial yang secara optimal
dapat diwujudkan dalam pengelolaan aset negara akan semakin memperkuat
tercapainya amanat konstitusi dalam mewujudkan “kesejahteraan umum”.
Selanjutnya, fungsi sosial aset negara yang dapat dirasakan oleh masyarakat
tentu juga akan membuktikan bahwa pengelolaan keuangan negara telah
dilaksanakan secara produktif sebagaimana rilis Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara yang dikutip pada bagian sebelumnya. Sedangkan dalam konteks pandemi
saat ini, aset negara melalui fungsi sosialnya diharapkan mampu menjawab
berbagai kebutuhan masyarakat dalam rangka menanggulangi berbagai dampak yang
timbul oleh wabah Covid 19.
AGILITAS PENGELOLAAN
ASET NEGARA
Setelah
memahami bahwa setiap aset negara mengandung fungsi sosial sebagai nilai
instrinsik, maka harus dipikirkan kemudian adalah bagaimana fungsi sosial
tersebut dapat termanifestasikan secara optimal dalam menjawab kebutuhan
masyarakat, terlebih dalam kondisi pandemi Covid 19. Salah satu upaya untuk
mewujudkan hal tersebut kiranya dapat dilakukan dengan melakukan pengelolaan
aset negara dengan agile.
Konsep agile dalam ranah tata kelola pemerintah seringkali digunakan
secara bergantian dengan konsep adaptive
governance. Konsep agile dimaknai
sebagai merespon perubahan kebutuhan publik dengan cara yang efisien[10]. Tata kelola pemerintahan
yang agile lebih diasosiasikan dengan
respon yang bersifat reaktif karena adanya perubahan atau tantangan yang
bersifat natural, sedangkan tata kelola pemerintahan yang adaptif (adaptive governance) dipandang lebih
sistematis daripada sekedar reaktif. Namun demikian dalam kondisi yang penuh
ketidakpastian dan kompleks, keduanya sangat diperlukan[11]. Paradigma agile dalam birokrasi semakin banyak
diadopsi karena adanya kebutuhan untuk bekerja dengan lebih strategis,
fleksibel, dan adaptif terhadap perubahan yang menghasilkan kebijakan dan
layanan publik yang lebih baik[12]. Dengan demikian
pengelolaan aset negara secara agile
dapat dimaknai sebagai pengelolaan aset negara yang lincah, fleksibel, dan
adaptif sebagai reaksi dan dalam rangka menjawab berbagai tantangan yang
dihadapi.
Pengelolaan aset negara secara agile juga telah dipraktikkan oleh
Pemerintah dalam rangka menanggulangi berbagai dampak Covid-19. Beberapa contoh
dari agilitas pengelolaan aset negara diantaranya adalah dengan ditetapkannya
Wisma Atlet Kemayoran menjadi rumah sakit khusus Covid 19[13], pengundangan Peraturan
Presiden Nomor 52 Tahun 2020 tentang Pembangunan Fasilitas Observasi dan Penampungan
dalam Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau Penyakit Infeksi
Emerging di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan
barang milik negara (BMN) dalam penggunaan Badan Pengusahaan Kawasan
Perdagangan Bebas Batam (BP Batam) ini merupakan lokasi bekas tempat
penampungan pengungsi Vietnam[14], dan terbaru penetapan
Asrama Haji Pondok Gede menjadi rumah sakit darurat Covid 19[15].
Kebijakan-kebijakan yang telah
ditempuh Pemerintah tersebut menunjukkan agilitas dalam pengelolaan aset negara
yang dapat menunjang dinikmatinya fungsi sosial dari aset negara oleh
masyarakat. Sebagai contoh, dalam kasus Asrama Haji, dapat dibayangkan jika
Pemerintah tidak melakukan pengelolaan aset negara secara agile, maka Asrama Haji tersebut tidak akan digunakan karena pada
tahun ini ibadah haji juga ditiadakan akibat pandemi Covid-19. Dengan demikian,
maka sudah dapat dipastikan pula bahwa fungsi sosial dari aset negara berupa
Asrama Haji tersebut juga tidak akan dirasakan secara optimal oleh masyarakat. Sebaliknya,
karena Asrama Haji tersebut dikelola secara agile
maka fungsi sosial Asrama Haji dapat dirasakan oleh masyarakat yaitu dalam
bentuk menyelenggarakan perawatan untuk penderita Covid 19.
Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka
dapatlah dipahami bahwa agilitas dalam pengelolaan aset negara merupakan prasyarat
sekaligus menjadi upaya yang efektif dalam mewujudkan fungsi sosial aset negara
kepada masyarakat. Dengan demikian agilitas pengelolaan aset negara dapat
menjadi sebuah paradigma baru dalam rangka mewujudkan fungsi sosial aset negara
ke depannya, terlepas dari konteks pandemi Covid 19. Sebaliknya, ilustrasi
tersebut menjadi pengalaman bagi Pemerintah bahwa pengelolaan aset negara tidak
dapat hanya dilakukan dengan kaku tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.
Karena pengelolaan aset negara yang tidak adaptif berpotensi menjadikan fungsi
sosial dari aset negara tersebut tidak dinikmati masyarakat.
PENUTUP
Pengelolaan aset negara dapat dilakukan dengan menerapkan paradigma bahwa fungsi sosial menjadi nilai instrinsik dari aset negara serta dalam pengelolaannya dilakukan secara agile. Paradigma tersebut telah terbukti dan dipraktikkan oleh Pemerintah untuk menjawab kebutuhan masyarakat, yang dalam konteks kekinian adalah dalam rangka menanggulangi dampak pandemic Covid 19. Selanjutnya, paradigma yang demikian juga diharapkan mampu diterapkan dalam pengelolaan aset negara pada masa-masa yang akan datang guna menjawab tantangan-tantangan dan permasalahan-permasalahan yang timbul ke depannya.
[1]
Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/presiden-lkpp-2020-wtp-pencapaian-baik-di-tahun-yang-berat/.
[2]
Diakses dari https://twitter.com/DitjenKN/status/1411475524916965379.
[3]
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Pembatasan
Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 Di Wilayah Jawa Dan Bali.
[4]
Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/2260122/aturan-ppkm-darurat-luar-jawa-bali-dalam-instruksi-mendagri-no-20-2021.
[5]
Elviandri, et.al., 2019, Quo Vadis
Negara Kesejahteraan: Meneguhkan Ideologi Welfare State Negara Hukum
Kesejahteraan Indonesia, JURNAL MIMBAR
HUKUM, Volume 31, Nomor 2, Juni 2019 (252-266), hal. 260.
[6]
Sheila R. Foster dan Daniel Bonilla, 2011, The Social Function of Property: A
Comparative Law Perspective (Introduction), Fordham
Law Review, Vol. 80 November 2011 (101-113), hal. 102-103.
[7]
Triana Rejekiningsih, 2016, Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Pada Negara Hukum
(Suatu Tinjauan Dari Teori, Yuridis Dan Penerapannya Di Indonesia, Jurnal Yustisia, Vol. 5 No. 2,
Mei-Agustus 2016 (298-325), hal. 304.
[8]
King Faisal Sulaiman, 2021, Polemik Fungsi Sosial Tanah dan Hak Menguasai
Negara Pasca UU Nomor 12 Tahun 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/
PUU-X/2012, Jurnal Konstitusi, Volume
18 Nomor 1 Maret 2021 (91-111), hal 92.
[9]
Lieke Lianadevi Tukgali, 2010, Fungsi Sosial Hak Atas Tanah Dalam Pengadaan
Tanah Untuk Kepentingan Umum, Disertasi,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hal. 96.
[10]
Ines Mergel, et.al., 2020, Agile: A
New Way of Governing, Public
Administration Review, Vol. 81, Iss. 1 (161-165). hal 161-162. Diakses dari
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/epdf/10.1111/puar.13202.
[11]
Marijn Janssen dan Haiko van der Voort, 2020, Agile and Adaptive Governance in
Crisis Response: Lessons from the Covid-19 Pandemic, diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7309933/.
[12]
Erwan Agus Purwanto, 2019, Kebijakan Publik Yang Agile Dan Inovatif Dalam
Memenangkan Persaingan Di Era Vuca (Volatile,
Uncertain, Complex And Ambiguous), Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kebijakan Publik-Fisipol UGM, hal. 10.
[13]
Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1372966/keputusan-pemerintah-ubah-wisma-atlet-jadi-rs-covid-19-diapresiasi.