Oleh: Hadyan Iman Prasetya , KPKNL Bontang
Sesuai
dengan nomenklaturnya, Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) bertugas melaksanakan layanan bagi para pengguna layanan maupun stakeholders lainnya yang berkepentingan.
Tugas pelayanan yang diemban oleh KPKNL mencakup dalam bidang kekayaan negara,
penilaian, piutang negara dan lelang[1]. Pada tataran konstitusional, penyelenggaraan pelayanan publik yang
dilaksanakan oleh Pemerintah merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 guna memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga
negara[2]. Sedangkan secara khusus,
Kementerian Keuangan telah menetapkan bahwa “Pelayanan” menjadi salah satu
nilai yang menjadi dasar dan pondasi bagi institusi Kementerian Keuangan,
Pimpinan dan seluruh pegawainya dalam mengabdi, bekerja, dan bersikap[3].
Kementerian Keuangan memaknai nilai
“Pelayanan” yaitu, dalam memberikan pelayanan, Pimpinan dan seluruh Pegawai
Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Keuangan melakukannya untuk memenuhi
kepuasan pemangku kepentingan dan dilaksanakan dengan sepenuh hati, transparan,
cepat, akurat, dan aman[4]. Dalam konteks “Pelayanan”
sebagai salah satu nilai Kementerian Keuangan, tentu pembahasannya tidak dapat
dilepaskan dengan nilai-nilai Kementerian Keuangan lainnya. Nilai Kementerian Keuangan
lainnya yang amat terkait dengan nilai “Pelayanan”, dan tentunya terkait dengan
tema tulisan ini, adalah nilai “Kesempurnaan” yang dalam implementasinya
diwujudkan dalam perilaku utama berupa, salah satunya, mengembangkan inovasi
dan kreativitas[5].
Menengok kedua nilai Kementerian Keuangan tersebut, kita dapat menggarisbawahi
bahwa Kementerian Keuangan menganut pemahaman bahwa dalam memberikan pelayanan
selalu dibarengi dengan usaha untuk mengembangkan inovasi (dan kreativitas).
Lantas bagaimanakah kiranya KPKNL,
sebagai bagian dari Kementerian Keuangan, mengupayakan kelahiran inovasi dalam
penyelenggaraan pelayanan kepada publik? Tulisan ini menawarkan perspektif yang
diharapkan dapat memberikan upaya alternatif guna merangsang lahirnya inovasi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh KPKNL.
Stimulan Baru: Open Innovation[6]
Dalam konteks waktu yang kekinian,
dengan segala kondisi yang terjadi, inovasi menjadi topik pembahasan yang tidak
dapat dihindari oleh Pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik.
Kebijakan publik yang inovatif dari Pemerintah dianggap menjadi keharusan di
tengah kondisi dunia yang memasuki era VUCA (volatile, uncertain, complex, and ambiguous)[7]. Bahkan, jika dikaitkan
dengan kondisi Pandemi Covid-19, inovasi diprediksi akan menjadi soft power dan ideologi utama yang
dianut secara global untuk dapat memainkan peran yang dominan secara
internasional[8].
Birokrasi, sebagai pelaksana pelayanan
publik, selama ini dianggap cenderung diam (status
quo) dan tidak efektif dalam melakukan perubahan, sehingga perlu adanya
dorongan dari pihak luar untuk menggerakannya. Perubahan yang berasal dari luar
(demand-side reform) dianggap lebih
efektif dibanding perubahan dari dalam (supply-side
reform) yang dilaksanakan oleh
birokrasi sendiri[9].
Berpegang pada hasil analisis tersebut, sebagai salah satu bentuk kritik, tentu
tidak salah apabila penyelenggara pelayanan publik mencoba untuk membuka diri terhadap
pendekatan demand-side reform. Dengan
adanya perubahan tentu akan semakin memperbesar kemungkinan lahirnya
inovasi-inovasi yang berguna dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh
pemerintah.
Kelahiran inovasi yang berbasis dari
dalam (supply-side reform) tentu akan
bertitik tolak dari kesadaran internal birokrasi berdasarkan kondisi yang
dianalisanya, sedangkan inovasi yang lahir dari keterlibatan pihak luar atau
masyarakat (demand-side reform) akan bernilai
lebih, karena inovasi yang lahir nantinya tidak semata lahir dari kacamata
birokratis. Pada perspektif penyelenggara pelayanan publik, belum tentu
merasakan kendala-kendala yang dialami oleh masyarakat dalam pelayanan publik,
sehingga hal ini menjadi kelemahan dari inovasi yang lahir dari produk supply-side reform. Sebaliknya, inovasi
yang lahir dengan keterlibatan masyarakat tersebut kiranya akan lebih tepat
sasaran dalam menjawab kendala-kendala yang selama ini dialami oleh masyarakat ketika
mendapatkan layanan yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Kelahiran inovasi yang melibatkan
pihak luar ini pada perkembangannya dapat kita analisa dengan konsep Open Innovation. Konsep ini dimaknai
sebagai pendekatan yang memberikan kedudukan yang sejajar terhadap berbagai ide
yang bernilai (valuable ideas) baik
yang berasal dari dalam atau luar,[10] dalam hal ini adalah
birokrasi. Pendekatan Open Innovation
ini merupakan bentuk reformasi dari pendekatan yang selama ini berlaku, yaitu Closed Innovation yang seakan-akan
menekankan pada eksklusivitas dan monopoli ide dan pengetahuan. Melalui
pendekatan Open Innovation, ide untuk
lahirnya inovasi hingga pengembangan inovasi tersebut dapat berasal dari pihak
di luar birokrasi dan tidak menutup kemungkinan inovasi tersebut hanya dapat
lahir dan dikembangkan dengan lebih baik dengan keterlibatan pihak luar
tersebut.
Meskipun pembahasan mengenai perkembangan
metode pendekatan inovasi dari tertutup menuju terbuka ini tumbuh berkembang
dalam domain privat dan bisnis, namun hingga beberapa waktu yang lalu,
disinyalir banyak pula kebijakan-kebijakan publik yang berakar dari pendekatan
yang bersifat Closed Innovation[11].
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa beberapa negara, seperti Amerika dan
Belanda, melalui birokrasinya mengadopsi pendekatan Open Innovation untuk merumuskan kebijakan publik. Negara-negara
tersebut merasa bahwa pendekatan Closed
Innovation tidak secara mencukupi dapat mengatasi berbagai permasalahan
yang dihadapi oleh pemerintah, sehingga perlu untuk diatasi melalui pendekatan Open Innovation[12].
Perubahan paradigma dalam upaya
merangsang inovasi menjadi lebih terbuka setidaknya membawa konsekuensi bagi
praktik administrasi publik. Sebagai contoh pemerintah harus secara aktif
mengajak stakeholders yang relevan
dalam suatu permasalahan dalam proses berinovasi. Dengan semakin aktifnya stakeholders dalam proses perumusan
inovasi, maka posisi pihak luar akan menjadi kontributor aktif dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah selaku
penyelenggara pelayanan publik[13]. Guna mencapai hasil yang
optimal tentunya tingkat keaktifan dari masing-masing pihak haruslah sama
tinggi, dengan demikian dapat pula dilihat hingga sejauh mana keseriusan dari
para pihak dalam melahirkan inovasi.
Pelayanan Publik
Partisipatif
Sejalan dengan ide Open Innovation, guna mendapatkan
ide-ide untuk kelahiran inovasi, pemerintah perlu menyelenggarakan pelayanan
publik yang memberikan peluang kepada pihak luar untuk menyampaikan
gagasan-gagasannya. Dalam tataran normatif, masyarakat bahkan diwajibkan untuk
berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pelayanan publik[14]. Pada sisi yang lain,
penyelenggara pelayanan publik juga diwajibkan untuk mengikutsertakan
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik meliputi penyusunan
kebijakan, penyusunan Standar Pelayanan, pengawasan dan evaluasi
penyelenggaraan Pelayanan Publik, dan pemberian penghargaan[15].
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik akan memberikan posisi yang lebih baik bagi pemerintah pada saat membuat kebijakan publik dan keputusan tersebut akan lebih mendapatkan dukungan dari masyarakat itu sendiri[16]. Begitu juga dengan inovasi yang lahir dari keterlibatan masyarakat, inovasi tersebut akan lebih tepat dan sesuai dengan keinginan masyarakat yang nantinya juga akan menikmatinya dalam penyelenggaraan publik. Partisipasi publik dalam kegiatan seperti ini dapat terlembagakan dalam konsep Citizensourcing yang mengandung adanya tiga dimensi[17], yaitu:
Kesadaran Pemerintah untuk
mengikutsertakan masyarakat dalam penyelenggara pelayanan publik bukanlah hal
baru. Pada tahun 1991, pemerintah Inggris memperkenalkan Citizen Charter yang menawarkan pelayanan publik dengan lebih
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk merumuskan model layanan publik
yang mereka inginkan. Kemudian United Nations Development Programme (UNDP) pada
tahun 2002 memberikan catatan bahwa pelaksanaan program ini haruslah
menyediakan iklim birokrasi yang responsif agar berjalan lebih sukses[18]. Berkaca pada kondisi
tersebut, Pemerintah perlu juga memikirkan untuk menyelenggarakan pelayanan
publik yang dapat merespon ide-ide yang berasal dari luar termasuk pula harus
dipikirkan berkaitan dengan feedback
untuk menanggapi ide-ide tersebut.
Pemerintah Indonesia juga telah
mengatur partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik dengan lebih rinci
melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 Tahun 2009
tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Dengan Partisipasi
Masyarakat. Dengan mendasarkan pada Peraturan tersebut, kiranya Pemerintah
dapat menjaring ide-ide dari masyarakat sebagai rangsangan untuk lahirnya
inovasi-inovasi dalam pelayanan publik. Dengan menjaring ide dari masyarakat
maka dapat dihindari adanya kondisi penyelenggara dan pelaksana pelayanan
publik menghasilkan sesuatu yang justru tidak dibutuhkan dan atau tidak
diinginkan oleh masyarakat selaku pengguna pelayanan.
Penutup
Berdasarkan
penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa
lahirnya inovasi dalam pelayanan publik tidak hanya bersumber dari dalam
birokrasi sebagai penyelenggara pelayanan publik. Pihak di luar penyelenggara
pelayanan publik juga dapat menjadi sumber lahirnya inovasi. Guna mendapatkan
ide-ide yang berasal dari luar tersebut, birokrasi perlu mengiplementasikan
pendekatan Open Innovation melalui
penyelenggaraan pelayanan publik yang lebih partisipatif. Dengan demikian
pendekatan Open Innovation dapat
menstimulasi lahirnya inovasi dalam pelayanan publik.
Meskipun demikian Penulis juga
sepenuhnya sadar bahwa pendekatan Open
Innovation bukanlah sesuatu yang secara ajaib akan menghasilkan
keberhasilan dengan cepat dan mudah. Pemerintah tidak cukup hanya dengan
mengadopsi pendekatan Open Innovation,
namun harus pula dibersamai dengan pemahaman yang bersifat top-down mengenai bagaimana cara mendapat keuntungan maksimal dari
pengimpelentasian pendekatan tersebut. Kemudian perlu pula dipahami bahwa
keberhasilan Open Innovation tidak
dapat dicapai dengan satu lompatan saja, melainkan harus melalui langkah yang
bertahap, membangun kemampuan, pengalaman dan rasa saling percaya di antara
para pihak yang terlibat[19].
Khusus bagi KPKNL, berbagai penjelasan di atas menjadi penting untuk dipahami mengingat KPKNL tidak luput dari tuntutan untuk selalu berbenah dan melahirkan inovasi-inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Satu hal yang tidak boleh dilupa adalah “Pelayanan” dan inovasi merupakan salah satu nilai dan perilaku utama setiap insan Kementerian Keuangan, termasuk KPKNL, yang harus selalu dipedomani dalam melaksanakan tugas dan fungsi.
[1]
Pasal 30 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.01/2012 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
[2]
Konsiderans “Menimbang” huruf “a” Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
[3]
Konsiderans “Menimbang” huruf “b” Keputusan Menteri Keuangan Nomor
312/KMK.01/2011 tentang Nilai-Nilai Kementerian Keuangan.
[4] Ibid, Diktum Pertama angka 4.
[5] Ibid, Diktum Kedua angka 5 huruf b.
[6]
Dalam pendapat lain terdapat perbedaan istilah mengenai penggunaan Open Innovation. Istilah Open Innovation dianggap sebagai konsep
yang digunakan dalam sektor privat, sedangkan dalam sektor publik digunakan
istilah Collaborative Innovation yang
berakar dari konsep Networked Government.
Lihat Ben Bommert, 2010, Collaborative
Innovation in the Public Sector, International Public Management Review,
Vol. 11 Issue 1, 2010.
[7]
Erwan Agus Purwanto, 2019, Kebijakan Publik Yang Agile Dan Inovatif Dalam Memenangkan Persaingan Di Era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous),
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fisipol UGM, hal. 11.
[8]
Muhadjir Darwin, 2020, Pascakorona: Inovasi sebagai Ideologi Global, Opini
Koran Kompas tanggal 16 Mei 2020.
[9]
Agus Pramusinto, 2016, Mendorong Perubahan Dari Luar: Ke Arah Birokrasi
Indonesia Yang Demokratis Dan Melayani, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fisipol
UGM, hal. 8.
[10]
Henry Chesbrough, 2003, Open Innovation:
The New Imperative for Creating and Profiting from Technology, Harvard
Business School Press, hal. 43.
[11]
Henry Chesbrough dan Wim van Haberkee, 2011, Open Innovation and Public Policy in Europe, diunduh dari http://sciencebusiness.net/sites/default/files/archive/Assets/27d0282a-3275-4f02-8a3c-b93c2815208c.pdf,
hal. 5.
[12]
Atreyi Kankanhalli et.al., 2016, Open Innovation in The Public Sector: A
Research Agenda, diunduh dari https://repository.tudelft.nl/islandora/object/uuid:a4650a3c-822f-4dc5-a2b7-52d079ba0bbd/datastream/OBJ/download,
hal. 2.
[13]
Victor Bekkers dan Lars Tummers, 2018, Innovation
in the Public Sector: Towards an Open and Collaborative Approach, International
Review of Administrative Sciences, Vol. 84 (2) 2019-213.
[14]
Pasal 19 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
[15]
Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
[16]
Ulber Silalahi, t.t., Partisipasi Publik Dalam Kegiatan
Administratif Publik di Era Desentralisasi Demokratis: Kemauan Birokrasi
Memppartisipasikan Warga dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik, diunduh
dari https://repository.unpar.ac.id/bitstream/handle/123456789/1541/Mklh_Ulber Silalahi_Partisipasi Publik dalam Kegiatan Administratif-p.pdf?sequence=1&isAllowed=y.
[17]
Dennis Hilgers dan Christoph Ihl, 2010, Citizensourcing:
Applying the Concept of Open Innovation to the Public Sector, The
International Journal of Public Participation, Volume 4 Number 1, January 2010,
hal. 73.
[18]
Simon James, et.al., 2005, The Citizen’s Charter: How Such Initiatives
Might Be More Effective, Public Policy and Administration, Volume 20 No. 2
Summer 2005, hal. 4.
[19]
BearingPoint, 2018, Accelerating Open
Innovation in the Public Sector, diunduh dari https://www.bearingpoint.com/files/LB_OpenInnovation_Insight.pdf?download=0&itemId=494395,
hal.
5.