Tahapan pengurusan Piutang Negara, sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan
Piutang Negara dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 6/KN/2017
tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara yang merupakan tindaklanjut
dari adanya penyerahan piutang oleh penyerah piutang/stakeholder sebagai akibat
terjadinya hubungan hukum antar subjek-subjek itu sendiri yang tidak
terselesaikannya pemenuhan sebuah prestasi. Setidaknya dapat disebutkan bahwa
terdapat subjek hukum yang pasti ada dalam setiap kasus Piutang Negara, dan
subjek hukum lainnya yang tidak selalu terlibat dalam proses pengurusan Piutang
Negara. Subjek-subjek hukum yang selalu ada dalam kasus Piutang Negara, menurut
PMK 240/2016, adalah Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan Panitia Urusan
Piutang Negara (PUPN). Sedangkan subjek hukum lainnya yang terlibat dalam kasus
Piutang Negara namun bersifat kasuistis saja adalah seperti Penjamin Hutang.
Tiga pihak yang selalu ada dalam kasus Piutang Negara,
sebagaimana disebutkan sebelumnya, merupakan nomenklatur yang diatur dalam PMK
240/2016. Pertama, Penyerah Piutang, berdasarkan Pasal 1 angka 10 PMK 240/2016,
adalah Instansi Pemerintah termasuk Badan Layanan Umum (BLU) / Badan Layanan
Umum Daerah (BLUD), Lembaga Negara, Komisi Negara, Badan Hukum lainnya yang
dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari
Instansi Pemerintah melalui pola channeling
atau risk sharing, yang menyerahkan
pengurusan Piutang Negara.
Kedua, Penanggung Hutang yang diatur dalam Pasal 1
angka 11 PMK 240/2016 didefinisikan sebagai badan dan/ atau orang yang berhutang
menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan dan/ atau orang
yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang. Ketiga, PUPN yang
merujuk pada panitia interdepartemental sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, yang secara
empiris tugasnya dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL).
Khusus berkaitan dengan Penanggung Hutang, sebagaimana
menjadi fokus utama dalam tulisan ini, dapat dipahami bersama bahwa PMK
240/2016 mengatur ruang lingkupnya meliputi baik orang dan/atau badan. Hal ini
sesuai dengan perkembangan hukum yang mengakui eksistensi badan hukum atau rechtspersoon sebagai subjek hukum, yang
dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum (Mertokusumo, 1988)[1], selain manusia atau natuurlijke persoon yang merupakan
subjek hukum (Santosa, 2019)[2].
Penyebutan
badan hukum atau rechtspersoon
tersebut mengandung makna bahwa badan hukum dianggap sebagai orang karena
diciptakan oleh hukum menjadi demikian (Kansil, 1989)[3]. Landasan hukum eksistensi badan hukum di
Indonesia, meskipun tidak secara tegas mengaturnya, adalah Pasal 1653 Bab
Kesembilan dari Buku Ketiga KUHPerdata (Prananingrum, 2014)[4]. Buku Ketiga KUHPerdata
ini mengatur tentang perikatan dan bersifat terbuka, sehingga
ketentuan-ketentuannya hanya bersifat pelengkap (aanvulen recht) (Rahman, et.al,
2011)[5]. Sifat terbuka dari Buku
Ketiga KUHPerdata ini juga memberikan keleluasaan bagi para pihak untuk membuat
atau mengembangkan jenis perjanjian baru sepanjang memenuhi syarat sah suatu
perjanjian (Abubakar, 2015)[6].
Perlu dicermati kembali bahwa definisi dari Penanggung
Hutang yang diatur dalam PMK 240/2016 hanya menyebut “badan” saja tanpa
disertai “hukum”, sehingga dimungkinkan adanya bentuk suatu badan usaha
non-hukum yang masuk dalam definisi Penanggung Hutang. Hal ini sejalan dengan
pengaturan dalam KUHDagang dan KUHPerdata yang juga mengenal adanya badan usaha
non-badan hukum dan badan usaha berbentuk badan hukum. Badan usaha berbadan
hukum seperti PT, PN (perusahaan negara-pen),
PD (perusahaan daerah-pen) dan Koperasi
telah memiliki peraturan yang memadai, yang dibentuk dengan memperhatikan
perubahan sosial di Indonesia. Sedangkan badan usaha non-badan hukum seperti
Firma dan CV (persekutuan komanditer), sampai saat ini belum mempunyai
peraturan khusus yang memadai, melainkan masih mengacu pada KUHD dan KUH Perdata
yang sudah tidak relevan dengan perkembangan sosial ekonomi negara (BPHN, t.t)[7].
Adanya perbedaan antara badan usaha yang berbentuk
badan hukum maupun non-badan hukum senyatanya juga telah diatur dalam PMK
240/2016 dengan menyebutkan firma dan CV sebagai bentuk badan usaha non-badan
hukum di samping perseroan yang merepresentasikan bentuk usaha badan hukum.
Pengaturan tersebut dapat ditemui dalam Pasal 42 (Panggilan), Pasal 106
(Pemeriksaan), Pasal 124 (Pencegahan), Pasal 150 (Surat Paksa), dan Pasal 190
(Paksa Badan).
Meskipun bentuk badan-badan usaha tersebut telah
diatur dalam PMK 240/2016, dalam kenyataannya muncul sebuah bentuk badan usaha
dengan nomenklatur Joint Operation
atau Kerjasama Operasi sebagai Penanggung Hutang dalam kasus Piutang Negara.
Hal ini sebagaimana dialami Penulis ketika melakukan pengurusan Piutang Negara
terhadap Penanggung Hutang atas nama Joint
Operation PT. X - PT.Y - PT.Z . Sesuai dengan namanya, bentuk usaha Joint Operation tersusun dari lebih dari satu perseroan, yang
masing-masing merupakan badan hukum tersendiri. Sehingga dalam menangani kasus
Piutang Negara yang demikian muncul permasalahan yang perlu dijawab berkaitan
dengan status subjek hukum dari bentuk usaha Joint Operation tersebut, terlebih bentuk usaha Joint Operation tidak diatur di dalam
PMK 240/2016.
Atas dasar hal tersebut, tulisan ini mencoba
menjelaskan mengenai pengurusan Piutang Negara terhadap Penanggung Hutang yang
berbentuk badan usaha Joint Operation
secara umum, tidak khusus pada Joint
Operation PT. X – PT.Y – PT.Z, mengingat keadaan tersebut dapat juga dihadapi oleh KPKNL-KPKNL lain.
STATUS
SUBJEK HUKUM JOINT OPERATION
Seiring dengan perkembangan terkini pada sektor
konstruksi dan perkembangan infrastruktur didapati adanya dua bentuk kerjasama
perusahaan yang secara luas dipergunakan, yaitu public private partnership dan joint
operation (Widjaja & Liando, 2019)[8]. Meskipun telah dikenal
secara luas dalam praktik, namun status hukum dari badan usaha dengan bentuk Joint Operation belumlah terdapat
kepastian. Selain itu, peraturan berkaitan dengan Joint Operation sangatlah sumir sehingga tidak terdapat definisi
yang secara umum dapat diacu. Sebagai contoh, di dalam Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 09/PRT/M/2019 tentang
Pedoman Pelayanan Perizinan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing terdapat definisi
Kerja Sama Operasi (joint operation), yaitu kerja sama usaha antara satu BUJKA (Badan Usaha Jasa Kontruksi Asing) dengan
satu atau lebih BUJKN (Badan Usaha Jasa Kontruksi Nasional), bersifat sementara
untuk menangani satu atau beberapa penyelenggaraan Jasa Konstruksi, dan tidak
merupakan suatu badan hukum baru. Namun demikian, definisi tersebut juga tidak
bisa diacu karena Permen PUPR a quo
telah dicabut dengan Permen PUPR Nomor 17/PRT/M/2019.
Sejatinya, dengan definisi tersebut telah didapati karakteristik-karakteristik
yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisa bentuk usaha Joint Operation sekaligus dapat menjawab
status subjek hukum badan usaha tersebut. Jika mengacu definisi tersebut maka
badan usaha berbentuk Joint Operation
bukanlah suatu badan hukum yang berdiri sendiri, sehingga badan usaha dalam
bentuk Joint Operation bukanlah
subjek hukum. Selanjutnya, berdasar definisi tersebut badan usaha berbentuk Joint Operation disyaratkan untuk
tersusun dari unsur badan hukum asing dan badan hukum dalam negeri. Namun harus
kembali diingat bahwa framework dalam
menganalisa bentuk usaha Joint Operation
ini menjadi tidak relevan lagi karena telah dicabut keberlakuannya. Lantas
bagaimanakah status subjek hukum Joint
Operation saat ini?
Berkaitan apakah Joint
Operation adalah subjek hukum atau bukan, terdapat beberapa pendapat.
Pertama, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa Joint Operation adalah sama dengan bentuk usaha konsorsium yang
bukan merupakan subjek hukum (Hukumonline, 2011)[9]. Kedua, pendapat lain
menyatakan bahwa Joint Operation atau
Kerja Sama Operasi dapat diklasifikasikan secara garis besar menjadi dua jenis,
yaitu Kerja Sama Operasi yang membentuk entitas hukum terpisah dari anggotanya
dan Kerja Sama Operasional yang tidak membentuk entitias hukum terpisah
(Susanto, 2019)[10].
Dengan demikian, jika Joint Operation
membentuk entitas hukum terpisah dari anggotanya, maka entitas hukum yang baru
terbentuk tersebut adalah subjek hukum. Sebaliknya, jika Joint Operation tidak membentuk entitas hukum tersendiri maka Joint Operation tersebut bukan sebuah
subjek hukum. Ketiga, terdapat pendapat yang sejatinya cenderung menyatakan
bahwa Joint Operation bukanlah subjek
hukum, namun pendapat ini menyatakan bahwa Joint
Operation adalah Quasi Legal Entity
atau Shadow Legal Entities (Soerodjo,
2020)[11].
Menurut pendapat yang disebutkan kedua, bentuk Kerja
Sama Operasional yang membentuk entitas hukum baru pada praktiknya secara umum
disebut sebagai ventura bersama atau joint
venture. Dalam konteks keterkaitan antara Joint Operation dengan Joint
Venture, terdapat pendapat yang menyatakan keduanya memiliki perbedaan
karakteristik (Qur’ani, 2020)[12]. Namun demikian,
pemahaman dalam hal ini nampaknya juga tidak sederhana, karena terdapat pendapat
yang justru menyatakan bahwa perjanjian Joint
Operation adalah dokumen yang bersifat lebih teknis yang mengatur hak dan
kewajiban para pihak dalam Joint Venture
(Pereira, 2011)[13].
Dalam menentukan status subjek hukum badan usaha
berbentuk Joint Operation dapat pula
ditengok putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang memuat perkara berkaitan
dengan status subjek hukum badan usaha Joint
Operation adalah Putusan Perkara No. 42/Pailit/2010/PN.Jkt.Pst jo. No. 740 K/Pdt.Sus/2010. Meskipun
putusan a quo adalah dalam konteks
perkara kepailitan, namun relevan untuk dianalisa karena memuat perdebatan
tentang penentuan status subjek hukum badan usaha Joint Operation. Berdasar putusan tersebut badan usaha berbentuk Joint Operation tidaklah membentuk
entitas hukum tersendiri sehingga masing-masing anggotanya dapat memenuhi
ketentuan jumlah kreditor sebagai syarat pernyataan pailit. Namun, terhadap
Putusan dalam perkara tersebut terdapat analisa yang menyimpulkan pendapat yang
bertolak belakang dengan menyatakan bahwa bentuk badan usaha Joint Operation adalah dapat
dikategorikan sebagai firma (Frank, 2012)[14].
PERTANGGUNGJAWABAN
JOINT OPERATION DALAM PIUTANG NEGARA
Kendati status subjek hukum badan usaha berbentuk Joint Operation tidaklah terdapat
keseragaman, namun jika bentuk usaha tersebut pada nyatanya berkedudukan
sebagai Penanggung Hutang tentu PUPN haruslah tetap melakukan pengurusan
terhadapnya. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah bagaimana
pertanggungjawaban dari badan usaha berbentuk Joint Operation tersebut?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan merujuk pada
berbagai pendapat yang telah diketengahkan di atas. Satu hal yang pasti, bentuk
badan usaha Joint Operation tidaklah
membuatnya terbebas dari pertanggungjawaban dari kewajibannya membayar hutang
kepada Negara. Jika merujuk pada pendapat yang telah disajikan sebelumnya,
dapat diketengahkan bahwa terdapat anggapan Joint
Operation bukanlah subjek hukum karena tidak berbentuk entitas hukum.
Meskipun anggapan ini dianut sebagai pedoman namun tetap saja bentuk usaha Joint Operation harus
mempertanggungjawabkan kewajibannya untuk membayar hutang kepada negara.
Keharusan Joint
Operation untuk mempertanggungjawabkan hutangnya kepada negara didasarkan
pada Asas Kepribadian bagi badan usaha non hukum. Asas ini mengandung makna
bahwa meskipun badan usaha bukan badan hukum adalah bukan subjek hukum, artinya
semua tindakan para sekutu atau pengurus atau para pihak yang mengatasnamakan
badan usaha menjadi tanggung jawab pribadi para pelaku dan sekutu lainnya, baik
secara orang-perorang maupun secara tanggung-renteng (BPHN, t.t.)[15]. Asas tersebut juga
berkait dengan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata yang menjadi dasar ketentuan
umum perikatan yang lahir dari perjanjian, sedangkan perjanjian sendiri adalah
dasar dibentuknya Joint Operation
oleh para anggotanya.
Dengan mendasarkan pada Asas Kepribadian tersebut,
maka pertanggungjawaban Joint Operation
dapat ditanggung oleh para anggotanya yang merupakan subjek hukum. Para anggota
Joint Operation yang merupakan
entitas hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk memenuhi kewajibannya
membayar hutang kepada negara. Mengenai seberapa jauh dan seberapa besar
pertanggungjawaban masing-masing anggota dalam melunasi Piutang Negara, dengan
merujuk Asas Kepribadian dan Asas Kebebasan Berkontrak, dapat diserahkan kepada
kesepakatan para anggota Joint Operation.
Namun demikian, dengan adanya kebebasan dalam menentukan besaran yang
ditanggung oleh masing-masing anggota Joint
Operation tidak berarti bahwa lunasnya salah satu kewajiban anggota
menjadikan lunas seluruh kewajiban Joint
Operation, sehingga sifat hutangnya menjadi tanggung renteng.
Lunasnya Piutang Negara dengan Penanggung Hutang
berupa Joint Operation harus dihitung
secara keseluruhan, artinya jika seluruh besaran hutang telah dilunasi oleh
semua anggota Joint Operation. Hal
ini didasarkan pada prinsip pengurusan Piutang Negara yang telah diatur dalam
PMK 240/2016. Prinsip tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (3) PMK 240/2016 yang
berbunyi,”Panitia Cabang/ Kantor Pelayanan menerbitkan satu surat/ produk hukum
untuk tiap satu Penanggung Hutang.” Berdasar prinsip tersebut telah jelas
kiranya jika dalam Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) yang terdaftar adalah
atas nama bentuk usaha Joint Operation,
maka produk hukum, dalam hal ini Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL),
harus juga diterbitkan atas nama Joint
Operation yang terdaftar dalam BKPN bukan untuk masing-masing anggotanya.
Selanjutnya, jika bentuk usaha Joint Operation melahirkan entitas hukum yang baru, maka
pertanggungjawaban Piutang Negara dibebankan pada bentuk entitas hukum
tersebut. Entitas hukum yang terbentuk itu diartikan sebagai badan hukum yang
secara serta merta dapat dianggap sebagai subjek hukum. Apabila entitas hukum
yang lahir tersebut adalah subjek hukum maka proses penyelesaian Piutang Negara
telah diatur di dalam PMK 240/2016. Diantaranya pihak-pihak yang dipanggil
telah diatur pada Pasal 42 dan dalam hal dilakukan pemeriksaan juga telah
diatur dalam Pasal 142 PMK 240/2016. Hal ini juga membawa konsekuensi bahwa pengurusan
Piutang Negara tidak dilakukan terhadap masing-masing anggota Joint Operation melainkan kepada entitas
hukum baru tersebut. Entitas hukum yang lahir dari adanya Joint Operation dianggap terpisah (separated legal entity) dari masing-masing anggotanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sesungguhnya
bentuk usaha Joint Operation, baik
jika menganut pemahaman yang menganggapnya sebagai subjek hukum maupun bukan
subjek hukum, tetaplah dapat dimintai pertanggungjawaban untuk melunasi Piutang
Negara. Dengan demikian sejumlah uang yang menjadi hak negara dalam bentuk
Piutang Negara akan tetap dapat dipenuhi dan terlindungi.
[1] Sudikno Mertokusumo,
1988, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar,
Liberty: Jogjakarta, hal. 53.
[2] A.A. Gede D.H.
Santosa, 2019 Perbedaan Badan Hukum Publik Dan Badan Hukum Privat, Jurnal Komunikasi Hukum, Vol. 5 No. 2
Agustus 2019, hal. 152-166.
[3] C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka:
Jakarta, hal. 216.
[4] Dyah Hapsari
Prananingrum, 2014, Telaah Terhadap Esensi Subjek Hukum: Manusia dan Badan
Hukum, Jurnal Refleksi Hukum, Vol. 8
No. 1, hal. 73-92.
[5] Taufiq El Rahman, et.al.,
2011, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Asas Kepribadian Dalam Kontrak-Kontrak Outsourcing, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23 Nomor 3, Oktober 2011, hal. 583-596.
[6] Lastuti Abubakar,
2015, Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek Jaminan (Gagasan Pembaruan
Hukum Jaminan Nasional), Buletin Hukum
Kebanksentralan, Volume 12 Nomor 1 Januari-Juni 2015, hal. 1-16.
[7] Djuhaendah Hasan, et.al., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Badan Usaha Bukan Badan Hukum,
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) diunduh dari https://bphn.go.id/data/documents/na_ruu_badan_usaha.pdf
[8] Gunawan Widjaja dan
Victoria Regine Liando, 2019, Differences between Joint Operation and Public Private Partnership
from Indonesian Legal Perspective, Tarumanagara
International Conference on the Applications of Social Sciences and Humanities
(TICASH 2019), hal. 388-391, diunduh dari https://download.atlantis-press.com/article/125940599.pdf
[9] Bimo Prasetio &
Rizky Dwinanto, 2011, Bagaimana Menggugat
Konsorsium, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d9156749f290/bagaimana-menggugat-konsorsium-/
[10] Firdaus Faisal
Merdekawan Susanto, 2019, Bentuk Kerjasama Operasional (KSO) dalam Pengelolaan
Air Minum yang Dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jurnal Jurist-Diction, Vol. 2 No. 6,
November 2019, hal. 2131-2155.
[11] Irawan Soerodjo, 2020,
Joint Venture as a Model of Cooperation in the Infrastructure Projects in
Indonesia, International Journal of
Economics and Business Administration, Vol. VIII Issue 2, hal. 396-401.
[12] Hamalatul Qur’ani,
2020, Joint Venture Tak Harus Libatkan
Penanaman Modal Asing, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e757ee91f708/joint-venture-tak-harus-libatkan-penanaman-modal-asing/
[13] Eduardo Guedes
Pereira, 2011, Oil and Gas Joint
Operating Agreements-Controlling the Risks to the Non-Operator, Disertasi,
University of Aberdeen, diunduh dari https://www.academia.edu/40416292/Oil_and_Gas_Joint_Operating_Agreements_Controlling_the_Risks_to_the_Non_Operator
[14] Christian Frank S., 2012, Joint Operation Sebagai Subyek Dalam Kepailitan (Studi Kasus: Perkara No.
42/Pailit/2010/PN.Jkt.Pst jo. No. 740 K/Pdt.Sus/2010), Tesis, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
[15] Djuhaendah Hasan, et.al., op.cit.