Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bontang > Artikel
Kedudukan Bentuk Usaha Joint Operation Sebagai Penanggung Hutang Dalam Pengurusan Piutang Negara
Hadyan Iman Prasetya
Senin, 11 Januari 2021   |   13471 kali

Tahapan pengurusan Piutang Negara, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 240/PMK.06/2016 tentang Pengurusan Piutang Negara dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 6/KN/2017 tentang Petunjuk Teknis Pengurusan Piutang Negara yang merupakan tindaklanjut dari adanya penyerahan piutang oleh penyerah piutang/stakeholder sebagai akibat terjadinya hubungan hukum antar subjek-subjek itu sendiri yang tidak terselesaikannya pemenuhan sebuah prestasi. Setidaknya dapat disebutkan bahwa terdapat subjek hukum yang pasti ada dalam setiap kasus Piutang Negara, dan subjek hukum lainnya yang tidak selalu terlibat dalam proses pengurusan Piutang Negara. Subjek-subjek hukum yang selalu ada dalam kasus Piutang Negara, menurut PMK 240/2016, adalah Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Sedangkan subjek hukum lainnya yang terlibat dalam kasus Piutang Negara namun bersifat kasuistis saja adalah seperti Penjamin Hutang.

Tiga pihak yang selalu ada dalam kasus Piutang Negara, sebagaimana disebutkan sebelumnya, merupakan nomenklatur yang diatur dalam PMK 240/2016. Pertama, Penyerah Piutang, berdasarkan Pasal 1 angka 10 PMK 240/2016, adalah Instansi Pemerintah termasuk Badan Layanan Umum (BLU) / Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Lembaga Negara, Komisi Negara, Badan Hukum lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) /Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing, yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara.

Kedua, Penanggung Hutang yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 PMK 240/2016 didefinisikan sebagai badan dan/ atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan dan/ atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang. Ketiga, PUPN yang merujuk pada panitia interdepartemental sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, yang secara empiris tugasnya dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Khusus berkaitan dengan Penanggung Hutang, sebagaimana menjadi fokus utama dalam tulisan ini, dapat dipahami bersama bahwa PMK 240/2016 mengatur ruang lingkupnya meliputi baik orang dan/atau badan. Hal ini sesuai dengan perkembangan hukum yang mengakui eksistensi badan hukum atau rechtspersoon sebagai subjek hukum, yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum (Mertokusumo, 1988)[1], selain manusia atau natuurlijke persoon yang merupakan subjek hukum (Santosa, 2019)[2].

Penyebutan badan hukum atau rechtspersoon tersebut mengandung makna bahwa badan hukum dianggap sebagai orang karena diciptakan oleh hukum menjadi demikian (Kansil, 1989)[3].  Landasan hukum eksistensi badan hukum di Indonesia, meskipun tidak secara tegas mengaturnya, adalah Pasal 1653 Bab Kesembilan dari Buku Ketiga KUHPerdata (Prananingrum, 2014)[4]. Buku Ketiga KUHPerdata ini mengatur tentang perikatan dan bersifat terbuka, sehingga ketentuan-ketentuannya hanya bersifat pelengkap (aanvulen recht) (Rahman, et.al, 2011)[5]. Sifat terbuka dari Buku Ketiga KUHPerdata ini juga memberikan keleluasaan bagi para pihak untuk membuat atau mengembangkan jenis perjanjian baru sepanjang memenuhi syarat sah suatu perjanjian (Abubakar, 2015)[6].

Perlu dicermati kembali bahwa definisi dari Penanggung Hutang yang diatur dalam PMK 240/2016 hanya menyebut “badan” saja tanpa disertai “hukum”, sehingga dimungkinkan adanya bentuk suatu badan usaha non-hukum yang masuk dalam definisi Penanggung Hutang. Hal ini sejalan dengan pengaturan dalam KUHDagang dan KUHPerdata yang juga mengenal adanya badan usaha non-badan hukum dan badan usaha berbentuk badan hukum. Badan usaha berbadan hukum seperti PT, PN (perusahaan negara-pen), PD (perusahaan daerah-pen) dan Koperasi telah memiliki peraturan yang memadai, yang dibentuk dengan memperhatikan perubahan sosial di Indonesia. Sedangkan badan usaha non-badan hukum seperti Firma dan CV (persekutuan komanditer), sampai saat ini belum mempunyai peraturan khusus yang memadai, melainkan masih mengacu pada KUHD dan KUH Perdata yang sudah tidak relevan dengan perkembangan sosial ekonomi negara (BPHN, t.t)[7].

Adanya perbedaan antara badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun non-badan hukum senyatanya juga telah diatur dalam PMK 240/2016 dengan menyebutkan firma dan CV sebagai bentuk badan usaha non-badan hukum di samping perseroan yang merepresentasikan bentuk usaha badan hukum. Pengaturan tersebut dapat ditemui dalam Pasal 42 (Panggilan), Pasal 106 (Pemeriksaan), Pasal 124 (Pencegahan), Pasal 150 (Surat Paksa), dan Pasal 190 (Paksa Badan).

Meskipun bentuk badan-badan usaha tersebut telah diatur dalam PMK 240/2016, dalam kenyataannya muncul sebuah bentuk badan usaha dengan nomenklatur Joint Operation atau Kerjasama Operasi sebagai Penanggung Hutang dalam kasus Piutang Negara. Hal ini sebagaimana dialami Penulis ketika melakukan pengurusan Piutang Negara terhadap Penanggung Hutang atas nama Joint Operation PT. X - PT.Y - PT.Z . Sesuai dengan namanya, bentuk usaha Joint Operation tersusun dari lebih dari satu perseroan, yang masing-masing merupakan badan hukum tersendiri. Sehingga dalam menangani kasus Piutang Negara yang demikian muncul permasalahan yang perlu dijawab berkaitan dengan status subjek hukum dari bentuk usaha Joint Operation tersebut, terlebih bentuk usaha Joint Operation tidak diatur di dalam PMK 240/2016.

Atas dasar hal tersebut, tulisan ini mencoba menjelaskan mengenai pengurusan Piutang Negara terhadap Penanggung Hutang yang berbentuk badan usaha Joint Operation secara umum, tidak khusus pada Joint Operation PT. X – PT.Y – PT.Z, mengingat keadaan tersebut dapat juga dihadapi oleh KPKNL-KPKNL lain.

STATUS SUBJEK HUKUM JOINT OPERATION

Seiring dengan perkembangan terkini pada sektor konstruksi dan perkembangan infrastruktur didapati adanya dua bentuk kerjasama perusahaan yang secara luas dipergunakan, yaitu public private partnership dan joint operation (Widjaja & Liando, 2019)[8]. Meskipun telah dikenal secara luas dalam praktik, namun status hukum dari badan usaha dengan bentuk Joint Operation belumlah terdapat kepastian. Selain itu, peraturan berkaitan dengan Joint Operation sangatlah sumir sehingga tidak terdapat definisi yang secara umum dapat diacu. Sebagai contoh, di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 09/PRT/M/2019 tentang Pedoman Pelayanan Perizinan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing terdapat definisi Kerja Sama Operasi (joint operation), yaitu kerja sama usaha antara satu BUJKA (Badan Usaha Jasa Kontruksi Asing) dengan satu atau lebih BUJKN (Badan Usaha Jasa Kontruksi Nasional), bersifat sementara untuk menangani satu atau beberapa penyelenggaraan Jasa Konstruksi, dan tidak merupakan suatu badan hukum baru. Namun demikian, definisi tersebut juga tidak bisa diacu karena Permen PUPR a quo telah dicabut dengan Permen PUPR Nomor 17/PRT/M/2019.

Sejatinya, dengan definisi tersebut telah didapati karakteristik-karakteristik yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menganalisa bentuk usaha Joint Operation sekaligus dapat menjawab status subjek hukum badan usaha tersebut. Jika mengacu definisi tersebut maka badan usaha berbentuk Joint Operation bukanlah suatu badan hukum yang berdiri sendiri, sehingga badan usaha dalam bentuk Joint Operation bukanlah subjek hukum. Selanjutnya, berdasar definisi tersebut badan usaha berbentuk Joint Operation disyaratkan untuk tersusun dari unsur badan hukum asing dan badan hukum dalam negeri. Namun harus kembali diingat bahwa framework dalam menganalisa bentuk usaha Joint Operation ini menjadi tidak relevan lagi karena telah dicabut keberlakuannya. Lantas bagaimanakah status subjek hukum Joint Operation saat ini?

Berkaitan apakah Joint Operation adalah subjek hukum atau bukan, terdapat beberapa pendapat. Pertama, terdapat pendapat yang menyatakan bahwa Joint Operation adalah sama dengan bentuk usaha konsorsium yang bukan merupakan subjek hukum (Hukumonline, 2011)[9]. Kedua, pendapat lain menyatakan bahwa Joint Operation atau Kerja Sama Operasi dapat diklasifikasikan secara garis besar menjadi dua jenis, yaitu Kerja Sama Operasi yang membentuk entitas hukum terpisah dari anggotanya dan Kerja Sama Operasional yang tidak membentuk entitias hukum terpisah (Susanto, 2019)[10]. Dengan demikian, jika Joint Operation membentuk entitas hukum terpisah dari anggotanya, maka entitas hukum yang baru terbentuk tersebut adalah subjek hukum. Sebaliknya, jika Joint Operation tidak membentuk entitas hukum tersendiri maka Joint Operation tersebut bukan sebuah subjek hukum. Ketiga, terdapat pendapat yang sejatinya cenderung menyatakan bahwa Joint Operation bukanlah subjek hukum, namun pendapat ini menyatakan bahwa Joint Operation adalah Quasi Legal Entity atau Shadow Legal Entities (Soerodjo, 2020)[11].

Menurut pendapat yang disebutkan kedua, bentuk Kerja Sama Operasional yang membentuk entitas hukum baru pada praktiknya secara umum disebut sebagai ventura bersama atau joint venture. Dalam konteks keterkaitan antara Joint Operation dengan Joint Venture, terdapat pendapat yang menyatakan keduanya memiliki perbedaan karakteristik (Qur’ani, 2020)[12]. Namun demikian, pemahaman dalam hal ini nampaknya juga tidak sederhana, karena terdapat pendapat yang justru menyatakan bahwa perjanjian Joint Operation adalah dokumen yang bersifat lebih teknis yang mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam Joint Venture (Pereira, 2011)[13].

Dalam menentukan status subjek hukum badan usaha berbentuk Joint Operation dapat pula ditengok putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang memuat perkara berkaitan dengan status subjek hukum badan usaha Joint Operation adalah Putusan Perkara No. 42/Pailit/2010/PN.Jkt.Pst jo. No. 740 K/Pdt.Sus/2010. Meskipun putusan a quo adalah dalam konteks perkara kepailitan, namun relevan untuk dianalisa karena memuat perdebatan tentang penentuan status subjek hukum badan usaha Joint Operation. Berdasar putusan tersebut badan usaha berbentuk Joint Operation tidaklah membentuk entitas hukum tersendiri sehingga masing-masing anggotanya dapat memenuhi ketentuan jumlah kreditor sebagai syarat pernyataan pailit. Namun, terhadap Putusan dalam perkara tersebut terdapat analisa yang menyimpulkan pendapat yang bertolak belakang dengan menyatakan bahwa bentuk badan usaha Joint Operation adalah dapat dikategorikan sebagai firma (Frank, 2012)[14].

PERTANGGUNGJAWABAN JOINT OPERATION DALAM PIUTANG NEGARA

Kendati status subjek hukum badan usaha berbentuk Joint Operation tidaklah terdapat keseragaman, namun jika bentuk usaha tersebut pada nyatanya berkedudukan sebagai Penanggung Hutang tentu PUPN haruslah tetap melakukan pengurusan terhadapnya. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah bagaimana pertanggungjawaban dari badan usaha berbentuk Joint Operation tersebut?

Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan merujuk pada berbagai pendapat yang telah diketengahkan di atas. Satu hal yang pasti, bentuk badan usaha Joint Operation tidaklah membuatnya terbebas dari pertanggungjawaban dari kewajibannya membayar hutang kepada Negara. Jika merujuk pada pendapat yang telah disajikan sebelumnya, dapat diketengahkan bahwa terdapat anggapan Joint Operation bukanlah subjek hukum karena tidak berbentuk entitas hukum. Meskipun anggapan ini dianut sebagai pedoman namun tetap saja bentuk usaha Joint Operation harus mempertanggungjawabkan kewajibannya untuk membayar hutang kepada negara.

Keharusan Joint Operation untuk mempertanggungjawabkan hutangnya kepada negara didasarkan pada Asas Kepribadian bagi badan usaha non hukum. Asas ini mengandung makna bahwa meskipun badan usaha bukan badan hukum adalah bukan subjek hukum, artinya semua tindakan para sekutu atau pengurus atau para pihak yang mengatasnamakan badan usaha menjadi tanggung jawab pribadi para pelaku dan sekutu lainnya, baik secara orang-perorang maupun secara tanggung-renteng (BPHN, t.t.)[15]. Asas tersebut juga berkait dengan ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata yang menjadi dasar ketentuan umum perikatan yang lahir dari perjanjian, sedangkan perjanjian sendiri adalah dasar dibentuknya Joint Operation oleh para anggotanya.

Dengan mendasarkan pada Asas Kepribadian tersebut, maka pertanggungjawaban Joint Operation dapat ditanggung oleh para anggotanya yang merupakan subjek hukum. Para anggota Joint Operation yang merupakan entitas hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk memenuhi kewajibannya membayar hutang kepada negara. Mengenai seberapa jauh dan seberapa besar pertanggungjawaban masing-masing anggota dalam melunasi Piutang Negara, dengan merujuk Asas Kepribadian dan Asas Kebebasan Berkontrak, dapat diserahkan kepada kesepakatan para anggota Joint Operation. Namun demikian, dengan adanya kebebasan dalam menentukan besaran yang ditanggung oleh masing-masing anggota Joint Operation tidak berarti bahwa lunasnya salah satu kewajiban anggota menjadikan lunas seluruh kewajiban Joint Operation, sehingga sifat hutangnya menjadi tanggung renteng.

Lunasnya Piutang Negara dengan Penanggung Hutang berupa Joint Operation harus dihitung secara keseluruhan, artinya jika seluruh besaran hutang telah dilunasi oleh semua anggota Joint Operation. Hal ini didasarkan pada prinsip pengurusan Piutang Negara yang telah diatur dalam PMK 240/2016. Prinsip tersebut diatur dalam Pasal 7 ayat (3) PMK 240/2016 yang berbunyi,”Panitia Cabang/ Kantor Pelayanan menerbitkan satu surat/ produk hukum untuk tiap satu Penanggung Hutang.” Berdasar prinsip tersebut telah jelas kiranya jika dalam Berkas Kasus Piutang Negara (BKPN) yang terdaftar adalah atas nama bentuk usaha Joint Operation, maka produk hukum, dalam hal ini Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL), harus juga diterbitkan atas nama Joint Operation yang terdaftar dalam BKPN bukan untuk masing-masing anggotanya.

Selanjutnya, jika bentuk usaha Joint Operation melahirkan entitas hukum yang baru, maka pertanggungjawaban Piutang Negara dibebankan pada bentuk entitas hukum tersebut. Entitas hukum yang terbentuk itu diartikan sebagai badan hukum yang secara serta merta dapat dianggap sebagai subjek hukum. Apabila entitas hukum yang lahir tersebut adalah subjek hukum maka proses penyelesaian Piutang Negara telah diatur di dalam PMK 240/2016. Diantaranya pihak-pihak yang dipanggil telah diatur pada Pasal 42 dan dalam hal dilakukan pemeriksaan juga telah diatur dalam Pasal 142 PMK 240/2016. Hal ini juga membawa konsekuensi bahwa pengurusan Piutang Negara tidak dilakukan terhadap masing-masing anggota Joint Operation melainkan kepada entitas hukum baru tersebut. Entitas hukum yang lahir dari adanya Joint Operation dianggap terpisah (separated legal entity) dari masing-masing anggotanya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka sesungguhnya bentuk usaha Joint Operation, baik jika menganut pemahaman yang menganggapnya sebagai subjek hukum maupun bukan subjek hukum, tetaplah dapat dimintai pertanggungjawaban untuk melunasi Piutang Negara. Dengan demikian sejumlah uang yang menjadi hak negara dalam bentuk Piutang Negara akan tetap dapat dipenuhi dan terlindungi.

Penulis: Hadyan Iman Prasetya (Pelaksana KPKNL Bontang)

[1] Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty: Jogjakarta, hal. 53.

[2] A.A. Gede D.H. Santosa, 2019 Perbedaan Badan Hukum Publik Dan Badan Hukum Privat, Jurnal Komunikasi Hukum, Vol. 5 No. 2 Agustus 2019, hal. 152-166.

[3] C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka: Jakarta, hal. 216.

[4] Dyah Hapsari Prananingrum, 2014, Telaah Terhadap Esensi Subjek Hukum: Manusia dan Badan Hukum, Jurnal Refleksi Hukum, Vol. 8 No. 1, hal. 73-92.

[5] Taufiq El Rahman, et.al., 2011, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Asas Kepribadian Dalam Kontrak-Kontrak Outsourcing, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 23 Nomor 3, Oktober 2011, hal. 583-596.

[6] Lastuti Abubakar, 2015, Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek Jaminan (Gagasan Pembaruan Hukum Jaminan Nasional), Buletin Hukum Kebanksentralan, Volume 12 Nomor 1 Januari-Juni 2015, hal. 1-16.

[7] Djuhaendah Hasan, et.al., Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Badan Usaha Bukan Badan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) diunduh dari https://bphn.go.id/data/documents/na_ruu_badan_usaha.pdf

[8] Gunawan Widjaja dan Victoria Regine Liando, 2019, Differences between Joint Operation and Public Private Partnership from Indonesian Legal Perspective, Tarumanagara International Conference on the Applications of Social Sciences and Humanities (TICASH 2019), hal. 388-391, diunduh dari https://download.atlantis-press.com/article/125940599.pdf

[9] Bimo Prasetio & Rizky Dwinanto, 2011, Bagaimana Menggugat Konsorsium, diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4d9156749f290/bagaimana-menggugat-konsorsium-/

[10] Firdaus Faisal Merdekawan Susanto, 2019, Bentuk Kerjasama Operasional (KSO) dalam Pengelolaan Air Minum yang Dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Jurnal Jurist-Diction, Vol. 2 No. 6, November 2019, hal. 2131-2155.

[11] Irawan Soerodjo, 2020, Joint Venture as a Model of Cooperation in the Infrastructure Projects in Indonesia, International Journal of Economics and Business Administration, Vol. VIII Issue 2, hal. 396-401.

[12] Hamalatul Qur’ani, 2020, Joint Venture Tak Harus Libatkan Penanaman Modal Asing, diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e757ee91f708/joint-venture-tak-harus-libatkan-penanaman-modal-asing/

[13] Eduardo Guedes Pereira, 2011, Oil and Gas Joint Operating Agreements-Controlling the Risks to the Non-Operator, Disertasi, University of Aberdeen, diunduh dari https://www.academia.edu/40416292/Oil_and_Gas_Joint_Operating_Agreements_Controlling_the_Risks_to_the_Non_Operator

[14] Christian Frank S., 2012, Joint Operation Sebagai Subyek Dalam Kepailitan (Studi Kasus: Perkara No. 42/Pailit/2010/PN.Jkt.Pst jo. No. 740 K/Pdt.Sus/2010), Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

[15] Djuhaendah Hasan, et.al., op.cit.

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini