Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Bekasi > Artikel
Fleksibilitas Tempat Kerja: Normal Baru Birokrasi
Asnul
Selasa, 19 Mei 2020   |   1863 kali

Separuh awal tahun 2020, dunia disibukkan dengan penanganan wabah Covid-19, akibat sifatnya yang global tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi. Sementara itu di dalam negeri, terhitung semenjak ditemukannya kasus pertama positif Covid-19, hingga saat ini sudah hampir tiga bulan masyarakat Indonesia hidup di tengah situasi dan kondisi pandemi. Berbagai aspek kehidupan menjadi terdampak, oleh karenanya saat ini masyarakat telah dan tengah berusaha untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut. Salah satu aspek yang terdampak akibat pandemi Covid-19 adalah birokrasi pemerintahan.

Birokrasi pemerintahan merespon perubahan akibat pandemi ini dengan berbagai bentuk kebijakan, baik yang bersifat Internal-Organisatoris maupun Eksternal-Publik. Kebijakan yang bersifat Internal-Organisatoris dalam tulisan ini dimaknai sebagai kebijakan yang tidak secara langsung berdampak kepada masyarakat, melainkan berlaku secara internal bagi personil-personil birokrasi itu sendiri, seperti kebijakan bekerja dari rumah (Work From Home) dan realokasi anggaran pemerintah. Sedangkan kebijakan yang bersifat Eksternal-Publik adalah kebijakan yang berdampak langsung kepada masyarakat, seperti pemberian bantuan sosial, relaksasi perpajakan, program pra-kerja, dan kebijakan-kebijakan lainnya.

KMK No. 223/KMK.01/2020 Sebagai Normal Baru

Banyak orang memprediksi bahwa kehidupan kita tidak akan seutuhnya dapat kembali berjalan normal seperti sebelum pandemi Covid-19 menjangkit dunia. Mereka menyatakan bahwa kita akan hidup dalam sebuah kondisi normal baru (new normal), yaitu kondisi ketika hal-hal baru yang sebelumnya tidak menjadi kenormalan dalam masyarakat menjadi hal yang normal dan akan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat itu sendiri nantinya. Kondisi normal baru ini juga diprediksi akan terjadi terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, sebagaimana dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19 yang juga bersifat multi aspek.

Pada awal bulan Mei 2020, Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 223/KMK.01/2020 tentang Implementasi Fleksibilitas Tempat Bekerja (Flexible Working Space) di lingkungan Kementerian Keuangan. KMK 223/2020 dapat dianggap sebagai bentuk kebijakan untuk mengakomodir praktik Work From Home dalam jangka panjang, tidak terbatas hanya saat pandemi Covid-19. Hal ini dapat dipahami dari konsiderans “Menimbang” KMK 223/2020 yang tidak mencantumkan kondisi pandemi Covid-19 sebagai salah satu variabelnya. KMK 223/2020 menitikberatkan keseimbangan dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi (work-life-balance) sebagai variabel utama yang melatarbelakangi diterbitkannya keputusan ini.

Meskipun pandemi Covid-19 tidak secara eksplisit menjadi salah satu variabel yang melatarbelakangi diterbitkannya KMK 223/2020, namun setidaknya Covid-19 menjadi salah satu unsur yang mewarnai suasana kebatinan dari para perumus kebijakan dalam menerbitkan KMK 223/2020. Work From Home yang telah dilakukan selama pandemi Covid-19 kiranya akan menjadi salah satu bentuk kenormalan baru dalam birokrasi pemerintahan, khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan, dengan adanya KMK 223/2020 tersebut.

Kebijakan untuk mengimplementasikan fleksibilitas tempat kerja, sebagaimana ditetapkan melalui KMK 223/2020, pada kenyataannya juga telah dipraktikkan oleh instansi pemerintahan lainnya. Catatan media massa memberitakan bahwa BAPPENAS telah memulai kebijakan fleksibilitas tempat kerja bagi pegawainya pada awal tahun 2020. Semakin banyaknya instansi pemerintahan yang mengadopsi kebijakan fleksibilitas tempat kerja, menunjukkan bahwa kebijakan ini akan menjadi sebuah kenormalan baru dalam birokrasi pemerintahan.

Ekosistem Normal Baru

Sebagaimana juga termaktub dalam KMK 223/2020, kebijakan fleksibilitas tempat kerja tetap dilaksanakan dalam koridor ketercapaian tujuan organisasi Kementerian Keuangan. Fleksibilitas tempat kerja yang ditetapkan melalui KMK 223/2020 menghendaki tercapainya efektifitas dan efisiensi kerja demi kepentingan organisasi. Dengan kata lain, terganggunya efektifitas dan efisiensi organisasi dan gagal mencapai tujuan organisasi adalah bentuk kegagalan dari tujuan implementasi kebijakan fleksibilitas tempat kerja itu sendiri.

Sebuah studi (de Vries, et.al:2019) menyimpulkan bahwa bekerja dari rumah atau teleworking yang dilakukan oleh pekerja pada sektor publik menunjukkan beberapa efek negatif, diantaranya adalah memperbesar rasa isolasi diri berdasarkan profesi (professional isolation), berkurangnya komitmen pegawai terhadap organisasi, dan melemahkan rasa keterikatan pegawai dengan pekerjaannya (work engagement). Ekses-ekses negatif yang demikian tentu perlu segera dimitigasi sehingga implementasi KMK 223/2020 dapat terlaksana dengan baik.

Guna mendukung implementasi KMK 223/2020 dengan baik, maka setidaknya perlu dipikirkan pula untuk membangun ekosistem di sekitar kebijakan fleksibilitas tempat kerja tersebut. Setidaknya menurut penulis terdapat dua variabel penting dalam mendukung tumbuhkembangnya ekosistem kebijakan fleksibilitas tempat kerja.

Pertama, Inovasi. Inovasi dalam birokrasi pemerintah telah dan akan selalu menjadi variabel utama dalam ketercapaian tujuan dari organisasi birokrasi pemerintah itu sendiri. Inovasi menjadi hal yang sangat penting ketika kebijakan fleksibilitas tempat kerja diimplementasikan. Tanpa adanya inovasi yang berarti, kebijakan fleksiblitas tempat kerja hanyalah isapan jempol belaka dan menjadi tak bermakna. Sebagai ilustrasi sederhana, bagaimana kebijakan fleksibilitas tempat kerja dapat terimplementasikan dengan baik jika seluruh SOP pekerjaan masih bersifat tradisional dan mengharuskan pegawai tersebut pergi ke kantor? Bagaimana mungkin kebijakan fleksibilitas tempat kerja dapat terimplementasi dengan baik jika para pegawai hanya mengulang-ulang pekerjaanya tanpa adanya inovasi yang lahir untuk memberi warna dalam pola kerja mereka? Tentu kondisi-kondisi tersebut amatlah kontraproduktif dengan tujuan kebijakan fleksibilitas tempat kerja sebagaimana tertuang dalam KMK 223/2020.

KMK 223/2020 juga menetapkan bahwa pegawai yang diutamakan untuk mendapatkan fleksibilitas tempat kerja, salah satunya, adalah pegawai yang memiliki tugas dan fungsi berkaitan dengan perumusan kebijakan atau rekomendasi kebijakan. Pegawai dengan tugas dan fungsi yang demikian tentu dituntut untuk semampu mungkin melahirkan inovasi-inovasi yang berkontribusi positif terhadap organisasi. Tanpa lahirnya inovasi dari perumus kebijakan tentu efektivitas dan efisiensi dari kebijakan fleksibilitas tempat kerja akan dipertanyakan.

Muhadjir Darwin (Kompas, 16/05/2020) menyatakan bahwa inovasi akan menjadi sebuah ideologi dunia, terlebih pasca pandemi Covid-19. Dirinya mencontohkan realitas saat ini yang menunjukkan bahwa negara yang melahirkan inovasi-inovasi dalam praktik penanganan Covid-19 dan mitigasi dampaknya lebih sukses dibanding dengan negara yang tidak melahirkan inovasi dalam menangani Covid-19. Lebih jauh dirinya juga menyatakan bahwa negara yang melahirkan inovasi dan sukses dalam melakukan mitigasi dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19 akan menjadi epicentrum dunia pasca Covid-19. Birokrasi sebagai motor utama suatu pemerintahan dalam sebuah negara tentu memainkan peran yang amat vital dalam menopang eksistensi negaranya dalam persaingan global, maka inovasi menjadi satu hal harus tetap ditumbuhkembangkan terlepas di mana personil birokrasi tersebut bekerja. Bahkan semenjak Tahun 2017, OECD juga telah menengahkan tema besar bahwa inovasi dalam sektor pemerintahan adalah sebuah normal baru.

Kedua, Teknologi. Kebijakan fleksibilitas tempat kerja dengan teknologi informasi tentu merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Para pegawai yang mendapatkan fleksibilitas tempat kerja kiranya hanya dapat berkeja secara optimal jika sarana teknologi informasi tersedia dan termanfaatkan dengan baik. Salah satu kriteria yang mendapatkan prioritas untuk fleksibilitas tempat kerja yang tercantum dalam KMK 223/2020 adalah pekerjaan yang tugas dan fungsinya dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas daring. Variabel teknologi ini juga menjadi salah satu permasalahan yang menghambat implementasi kebijakan fleksibilitas tempat kerja, hal tersebut dikarenakan masih lemahnya koneksi internet di Indonesia, belum meratanya infrastruktur yang tersebar di seluruh Indonesia, dan keamanan data (Suarlan: 2018).

Pada sisi yang lain, penguasaan terhadap teknologi menjadi faktor yang amat utama bagi birokrasi pemerintahan pada masa kini. Erwan Agus Purwanto (2019) menyatakan bahwa birokrasi sudah selayaknya memanfaatkan teknologi untuk melahirkan kebijakan-kebijakan publik yang agile, terlebih lagi menurutnya saat ini dunia berada dalam kondisi VUCA (Volatile, Uncertain, Complex and Ambiguous). Menurutnya, tanpa pemanfaatan teknologi birokrasi tidak akan mampu melahirkan kebijakan publik yang sesuai dengan tuntutan zaman, dan pada gilirannya negara tersebut tidak dapat bersaing dengan negara lainnya. Dengan demikian, kebijakan fleksibilitas tempat kerja akan sangat berkaitan erat dengan teknologi, baik infrastruktur maupun sumber daya manusia yang berada di lingkungan birokrasi itu sendiri.

Penutup

Kebijakan fleksibilitas tempat kerja sebagaimana tertuang dalam KMK 223/2020 dapat dibaca sebagai sebuah normal baru dalam birokrasi pemerintahan, khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan. Terlepas dari kondisi pandemi Covid-19 yang menjadi pemicu lahirnya KMK 223/2020, implementasi kebijakan fleksibilitas tempat kerja harus tetap dikawal guna mencapai tujuannya. Ketercapaian tujuan kebijakan fleksibilitas tempat kerja perlu didukung dengan ekosistem yang mengandung variabel-variabel lainnya, yaitu Inovasi dan Teknologi. Kedua variabel tersebut perlu juga dirawat dan ditumbuhkembangkan dalam rangka implementasi kebijakan fleksibilitas tempat kerja yang tertuang dalam KMK 223/2020.

 Penulis: Hadyan Iman Prasetya*& Aska Cardima – OJT di KPKNL Bekasi 

Rujukan:

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 223/KMK.01/2020 tentang Implementasi Fleksibilitas Tempat Bekerja (Flexible Working Space) di Lingkungan Kementerian Keuangan

Erwan Agus Purwanto, 2019, Kebijakan Publik yang Agile dan Inovatif dalam Memenangkan Persaingan di Era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex and Ambiguous), Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fisipol UGM

Hanna de Vries, et.al, 2019, The Benefits of Teleworking in the Public Sector: Reality or Rhetoric?, Review of Public Personnel Administration, Vol 39(4), 2019

Muhadjir M. Darwin, 2020, Pascakorona: Inovasi sebagai Ideologi Global, Opini Kompas, 16 Mei 2020

Suarlan, 2017, Teleworking for Indonesian Civil Servants: Problem and Actors, Internatonal Journal of Admininstrative Science & Organization, Vol. 24, No. 2, May 2017

Wawan Mas’udi dan Poppy S. Winanti (ed.), 2020, Tata Kelola Penanganan COVID-19 di Indonesia: Kajian Awal, Gadjah Mada University Press

Yeremias T. Keban, 2007, Pembangunan Birokrasi di Indonesia: Agenda Kenegaraan yang Terabaikan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fisipol UGM

https://www.oecd.org/innovation/innovation-conference-november-2017.htm

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini