Separuh awal tahun 2020, dunia disibukkan dengan penanganan wabah Covid-19, akibat sifatnya yang global tersebut, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan wabah Covid-19 sebagai pandemi. Sementara itu di dalam negeri, terhitung semenjak ditemukannya kasus pertama positif Covid-19, hingga saat ini sudah hampir tiga bulan masyarakat Indonesia hidup di tengah situasi dan kondisi pandemi. Berbagai aspek kehidupan menjadi terdampak, oleh karenanya saat ini masyarakat telah dan tengah berusaha untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut. Salah satu aspek yang terdampak akibat pandemi Covid-19 adalah birokrasi pemerintahan.
Birokrasi pemerintahan
merespon perubahan akibat pandemi ini dengan berbagai bentuk kebijakan, baik
yang bersifat Internal-Organisatoris maupun Eksternal-Publik. Kebijakan yang
bersifat Internal-Organisatoris dalam tulisan ini dimaknai sebagai kebijakan
yang tidak secara langsung berdampak kepada masyarakat, melainkan berlaku
secara internal bagi personil-personil birokrasi itu sendiri, seperti kebijakan
bekerja dari rumah (Work From Home) dan realokasi anggaran pemerintah.
Sedangkan kebijakan yang bersifat Eksternal-Publik adalah kebijakan yang
berdampak langsung kepada masyarakat, seperti pemberian bantuan sosial,
relaksasi perpajakan, program pra-kerja, dan kebijakan-kebijakan lainnya.
KMK No.
223/KMK.01/2020 Sebagai Normal Baru
Banyak orang
memprediksi bahwa kehidupan kita tidak akan seutuhnya dapat kembali berjalan
normal seperti sebelum pandemi Covid-19 menjangkit dunia. Mereka menyatakan
bahwa kita akan hidup dalam sebuah kondisi normal baru (new normal),
yaitu kondisi ketika hal-hal baru yang sebelumnya tidak menjadi kenormalan
dalam masyarakat menjadi hal yang normal dan akan menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat itu sendiri nantinya. Kondisi normal baru ini juga diprediksi akan
terjadi terhadap berbagai aspek kehidupan manusia, sebagaimana dampak yang
ditimbulkan oleh Covid-19 yang juga bersifat multi aspek.
Pada awal bulan Mei 2020, Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
223/KMK.01/2020 tentang Implementasi Fleksibilitas Tempat Bekerja (Flexible
Working Space) di lingkungan Kementerian Keuangan. KMK 223/2020 dapat
dianggap sebagai bentuk kebijakan untuk mengakomodir praktik Work From
Home dalam jangka panjang, tidak terbatas hanya saat pandemi Covid-19.
Hal ini dapat dipahami dari konsiderans “Menimbang” KMK 223/2020 yang tidak
mencantumkan kondisi pandemi Covid-19 sebagai salah satu variabelnya. KMK
223/2020 menitikberatkan keseimbangan dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi (work-life-balance)
sebagai variabel utama yang melatarbelakangi diterbitkannya keputusan ini.
Meskipun pandemi
Covid-19 tidak secara eksplisit menjadi salah satu variabel yang
melatarbelakangi diterbitkannya KMK 223/2020, namun setidaknya Covid-19 menjadi
salah satu unsur yang mewarnai suasana kebatinan dari para perumus kebijakan
dalam menerbitkan KMK 223/2020. Work From Home yang telah
dilakukan selama pandemi Covid-19 kiranya akan menjadi salah satu bentuk
kenormalan baru dalam birokrasi pemerintahan, khususnya di lingkungan
Kementerian Keuangan, dengan adanya KMK 223/2020 tersebut.
Kebijakan untuk mengimplementasikan fleksibilitas tempat kerja, sebagaimana ditetapkan melalui KMK 223/2020, pada kenyataannya juga telah dipraktikkan oleh instansi pemerintahan lainnya. Catatan media massa memberitakan bahwa BAPPENAS telah memulai kebijakan fleksibilitas tempat kerja bagi pegawainya pada awal tahun 2020. Semakin banyaknya instansi pemerintahan yang mengadopsi kebijakan fleksibilitas tempat kerja, menunjukkan bahwa kebijakan ini akan menjadi sebuah kenormalan baru dalam birokrasi pemerintahan.
Ekosistem Normal Baru
Sebagaimana juga
termaktub dalam KMK 223/2020, kebijakan fleksibilitas tempat kerja tetap
dilaksanakan dalam koridor ketercapaian tujuan organisasi Kementerian Keuangan.
Fleksibilitas tempat kerja yang ditetapkan melalui KMK 223/2020 menghendaki
tercapainya efektifitas dan efisiensi kerja demi kepentingan organisasi. Dengan
kata lain, terganggunya efektifitas dan efisiensi organisasi dan gagal mencapai
tujuan organisasi adalah bentuk kegagalan dari tujuan implementasi kebijakan
fleksibilitas tempat kerja itu sendiri.
Sebuah studi (de
Vries, et.al:2019) menyimpulkan bahwa bekerja dari rumah atau teleworking yang
dilakukan oleh pekerja pada sektor publik menunjukkan beberapa efek negatif,
diantaranya adalah memperbesar rasa isolasi diri berdasarkan profesi (professional
isolation), berkurangnya komitmen pegawai terhadap organisasi, dan
melemahkan rasa keterikatan pegawai dengan pekerjaannya (work engagement).
Ekses-ekses negatif yang demikian tentu perlu segera dimitigasi sehingga
implementasi KMK 223/2020 dapat terlaksana dengan baik.
Guna mendukung
implementasi KMK 223/2020 dengan baik, maka setidaknya perlu dipikirkan pula
untuk membangun ekosistem di sekitar kebijakan fleksibilitas tempat kerja
tersebut. Setidaknya menurut penulis terdapat dua variabel penting dalam
mendukung tumbuhkembangnya ekosistem kebijakan fleksibilitas tempat kerja.
Pertama, Inovasi. Inovasi dalam birokrasi pemerintah telah dan akan selalu
menjadi variabel utama dalam ketercapaian tujuan dari organisasi birokrasi
pemerintah itu sendiri. Inovasi menjadi hal yang sangat penting ketika
kebijakan fleksibilitas tempat kerja diimplementasikan. Tanpa adanya inovasi
yang berarti, kebijakan fleksiblitas tempat kerja hanyalah isapan jempol belaka
dan menjadi tak bermakna. Sebagai ilustrasi sederhana, bagaimana kebijakan
fleksibilitas tempat kerja dapat terimplementasikan dengan baik jika seluruh
SOP pekerjaan masih bersifat tradisional dan mengharuskan pegawai tersebut
pergi ke kantor? Bagaimana mungkin kebijakan fleksibilitas tempat kerja dapat
terimplementasi dengan baik jika para pegawai hanya mengulang-ulang pekerjaanya
tanpa adanya inovasi yang lahir untuk memberi warna dalam pola kerja mereka?
Tentu kondisi-kondisi tersebut amatlah kontraproduktif dengan tujuan kebijakan
fleksibilitas tempat kerja sebagaimana tertuang dalam KMK 223/2020.
KMK 223/2020 juga
menetapkan bahwa pegawai yang diutamakan untuk mendapatkan fleksibilitas tempat
kerja, salah satunya, adalah pegawai yang memiliki tugas dan fungsi berkaitan
dengan perumusan kebijakan atau rekomendasi kebijakan. Pegawai dengan tugas dan
fungsi yang demikian tentu dituntut untuk semampu mungkin melahirkan
inovasi-inovasi yang berkontribusi positif terhadap organisasi. Tanpa lahirnya
inovasi dari perumus kebijakan tentu efektivitas dan efisiensi dari kebijakan
fleksibilitas tempat kerja akan dipertanyakan.
Muhadjir Darwin
(Kompas, 16/05/2020) menyatakan bahwa inovasi akan menjadi sebuah ideologi
dunia, terlebih pasca pandemi Covid-19. Dirinya mencontohkan realitas saat ini
yang menunjukkan bahwa negara yang melahirkan inovasi-inovasi dalam praktik
penanganan Covid-19 dan mitigasi dampaknya lebih sukses dibanding dengan negara
yang tidak melahirkan inovasi dalam menangani Covid-19. Lebih jauh dirinya juga
menyatakan bahwa negara yang melahirkan inovasi dan sukses dalam melakukan
mitigasi dampak yang ditimbulkan oleh Covid-19 akan menjadi epicentrum dunia
pasca Covid-19. Birokrasi sebagai motor utama suatu pemerintahan dalam sebuah
negara tentu memainkan peran yang amat vital dalam menopang eksistensi
negaranya dalam persaingan global, maka inovasi menjadi satu hal harus tetap
ditumbuhkembangkan terlepas di mana personil birokrasi tersebut bekerja. Bahkan
semenjak Tahun 2017, OECD juga telah menengahkan tema besar bahwa inovasi dalam
sektor pemerintahan adalah sebuah normal baru.
Kedua, Teknologi. Kebijakan fleksibilitas tempat kerja dengan teknologi
informasi tentu merupakan dua hal yang tidak terpisahkan. Para pegawai yang
mendapatkan fleksibilitas tempat kerja kiranya hanya dapat berkeja secara
optimal jika sarana teknologi informasi tersedia dan termanfaatkan dengan baik.
Salah satu kriteria yang mendapatkan prioritas untuk fleksibilitas tempat kerja
yang tercantum dalam KMK 223/2020 adalah pekerjaan yang tugas dan fungsinya
dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas daring. Variabel teknologi ini
juga menjadi salah satu permasalahan yang menghambat implementasi kebijakan
fleksibilitas tempat kerja, hal tersebut dikarenakan masih lemahnya koneksi
internet di Indonesia, belum meratanya infrastruktur yang tersebar di seluruh
Indonesia, dan keamanan data (Suarlan: 2018).
Pada sisi yang lain, penguasaan terhadap teknologi menjadi faktor yang amat utama bagi birokrasi pemerintahan pada masa kini. Erwan Agus Purwanto (2019) menyatakan bahwa birokrasi sudah selayaknya memanfaatkan teknologi untuk melahirkan kebijakan-kebijakan publik yang agile, terlebih lagi menurutnya saat ini dunia berada dalam kondisi VUCA (Volatile, Uncertain, Complex and Ambiguous). Menurutnya, tanpa pemanfaatan teknologi birokrasi tidak akan mampu melahirkan kebijakan publik yang sesuai dengan tuntutan zaman, dan pada gilirannya negara tersebut tidak dapat bersaing dengan negara lainnya. Dengan demikian, kebijakan fleksibilitas tempat kerja akan sangat berkaitan erat dengan teknologi, baik infrastruktur maupun sumber daya manusia yang berada di lingkungan birokrasi itu sendiri.
Penutup
Kebijakan
fleksibilitas tempat kerja sebagaimana tertuang dalam KMK 223/2020 dapat dibaca
sebagai sebuah normal baru dalam birokrasi pemerintahan, khususnya di
lingkungan Kementerian Keuangan. Terlepas dari kondisi pandemi Covid-19 yang
menjadi pemicu lahirnya KMK 223/2020, implementasi kebijakan fleksibilitas
tempat kerja harus tetap dikawal guna mencapai tujuannya. Ketercapaian tujuan kebijakan
fleksibilitas tempat kerja perlu didukung dengan ekosistem yang mengandung
variabel-variabel lainnya, yaitu Inovasi dan Teknologi. Kedua variabel tersebut
perlu juga dirawat dan ditumbuhkembangkan dalam rangka implementasi kebijakan
fleksibilitas tempat kerja yang tertuang dalam KMK 223/2020.
Rujukan:
Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 223/KMK.01/2020 tentang Implementasi
Fleksibilitas Tempat Bekerja (Flexible Working Space) di Lingkungan
Kementerian Keuangan
Erwan Agus Purwanto,
2019, Kebijakan Publik yang Agile dan Inovatif dalam Memenangkan
Persaingan di Era VUCA (Volatile, Uncertain, Complex and Ambiguous), Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fisipol UGM
Hanna de Vries, et.al,
2019, The Benefits of Teleworking in the Public Sector: Reality or Rhetoric?,
Review of Public Personnel Administration, Vol 39(4), 2019
Muhadjir M. Darwin,
2020, Pascakorona: Inovasi sebagai Ideologi Global, Opini Kompas,
16 Mei 2020
Suarlan, 2017, Teleworking
for Indonesian Civil Servants: Problem and Actors, Internatonal Journal of
Admininstrative Science & Organization, Vol. 24, No. 2, May 2017
Wawan Mas’udi dan
Poppy S. Winanti (ed.), 2020, Tata Kelola Penanganan COVID-19 di
Indonesia: Kajian Awal, Gadjah Mada University Press
Yeremias T. Keban,
2007, Pembangunan Birokrasi di Indonesia: Agenda Kenegaraan yang
Terabaikan, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fisipol UGM
https://www.oecd.org/innovation/innovation-conference-november-2017.htm