Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
KPKNL Batam > Artikel
Mendorong Efektivitas Lelang Eksekusi Hak Tanggungan
Dedy Christanto
Selasa, 29 Agustus 2017   |   2497 kali

Penulis Dedy Christanto

Kasi Hukum dan Informasi KPKNL Batam

 

 

Saat ini lelang eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan menjadi sarana utama dan primadona dalam penyelesaian kredit oleh perbankan, non perbankan bahkan perorangan selaku kreditur/Pemegang Hak Tanggungan Peringkat Pertama. Hal ini dapat dimaklumi, lantaran dalam tataran praktek sangat mudah dan cepat dilaksanakan. Begitu debitor wanprestasi, kreditur/pemegang hak tanggungan peringkat pertama (I) dengan diberikan kekuasaan oleh undang-undang menjual obyek hak tanggungan secara lelang dengan mengajukan permohonan lelang ke KPKNL tanpa perlu fiat pengadilan.

Sangat berbeda bila dibandingkan melalui eksekusi pengadilan yang tentunya membutuhkan waktu lama dan biaya eksekusi lebih besar. Ditambah lagi, khusus perbankan BUMN/D tidak dapat lagi menggunakan sarana pengurusan piutang Negara via PUPN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 tanggal 17 September 2012, piutang BUMN/D bukan termasuk piutang Negara. Praktis, penyelesaian kredit macet yang efektif adalah menggunakan lelang eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan.  

Dominasi pelaksanaan lelang eksekusi hak tanggungan juga terlihat dari perkembangan lelang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Menurut data evaluasi perkembangan lelang nasional Tahun 2015, frekuensi lelang eksekusi hak tanggungan mencapai 40.977, sedangkan pada tahun 2016 mencapai 44.139. Tingginya permohonan lelang eksekusi hak tanggungan tidak diikuti dengan hasil lelang yang signifikan. Untuk tahun 2016 dari jumlah permohonan 44.139, yang laku dilelang hanya 4.899 atau 11%. Artinya 89% lelang hak tanggungan tidak ada penawaran atau batal. Fakta menunjukan banyak permohonan lelang yang diajukan pada akhir tahun sehingga hal ini disinyalir kreditur tidak serius dan hanya untuk mengejar target tanpa peduli asset tersebut terjual atau tidak. Selain itu, lelang hak tanggungan mempunyai risiko gugatan tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah perkara aktif yang ditangani DJKN Tahun 2016 sebanyak 2.681 perkara merupakan perkara gugatan lelang eksekusi hak tanggungan dari total perkara 3.369 perkara.

Dari data di atas, terlihat bahwa pelaksanaan lelang hak tanggungan bisa dikatakan belum efektif, jika dilihat dari perspektif kinerja lelang yakni tingkat keterjualan lelang. Namun dari perspektif Penjual, bisa saja hal demikian dikatakan efektif karena efektivitas lelang tidak semata-mata diukur dari keterjualan obyek hak tanggungan saja, tapi diukur juga dari keberhasilan pengembalian kredit baik itu pelunasan maupun penjualan agunan. Berkaca dari dua perspektif tersebut perlu didorong bagaimana mewujudkan efektivitas lelang hak tanggungan dengan mengekspektasi kepentingan kinerja lelang DJKN dan kepentingan pemohon lelang dalam penyelesaian kredit bermasalah.

Ada beberapa upaya yang diperlu dilakukan oleh DJKN untuk mendorong efektivitas lelang hak tanggungan sebagai berikut :

1.   Filterisasi permohonan lelang melalui kriteria atau persyaratan tambahan, diantaranya obyek hak tanggungan tidak ada sengketa atau potensi sengketa, obyek hak tanggungan tidak berpenghuni alias kosong, debitur tidak hanya dinyatakan telah wanprestasi tetapi juga telah masuk kategori kredit macet sebagaimana diatur dalam kolektibitas BI. Artinya berkas permohonan lelang yang tidak memenuhi kriteria tersebut disarankan untuk dieksekusi melalui pengadilan. Selain itu, perlu adanya pembatasan lelang ulang hanya dapat dilakukan satu kali dengan nilai limit kedua besarnya sama dengan nilai likuidasi.

2.   Pengenaan bea pendaftaran lelang tiap permohonan. Pengenaan biaya pendaftaran merupakan sarana edukasi bagi pemohon lelang sehingga ada keseriusan dan kehati-hatian dengan mempertimbangkan faktor efesiensi dan efektivitas dalam mengajukan permohonan lelang. Pengenaan bea pendaftaran ini tentunya akan meningkatkan penerimaan Negara dari pelayanan lelang. Sebagai ilustrasi misalnya bea pendaftaran lelang dikenakan sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dikalikan jumlah permohonan lelang tahun 2016 sebanyak 44.139, maka akan diperoleh PNBP sebesar Rp22 Milyar.  Biaya pendaftaran wajar dikenakan kepada pemohon lelang sebagai bentuk jasa pelayanan yang diberikan oleh instansi publik. Hal yang sama juga dikenakan biaya eksekusi, jika pemohon mengajukan eksekusi ke pengadilan.

Dari upaya –upaya di atas sejalan dengan prinsip bahwa lelang agunan merupakan alternative terakhir dalam penyelesaian kredit macet setelah upaya persuasive melalui restrukturisasi telah optimal dilakukan. Upaya ini hanya dapat diimplementasikan, setelah dilakukan deregulasi melalui perubahan peraturan juklak dan juknis lelang khususnya tentang dokumen persyaratan lelang dengan memasukan kriteria tambahan dalam mengajukan permohonan lelang serta perubahan jenis dan tariff penerimaan Negara bukan pajak sebagaimana diatur sebelumnya dalam PP 1 Tahun 2013. () 

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini