Piutang Negara 4.0, Mengelola
Piutang Negara Tanpa TAPI
Setelah
sejenak terlelap akibat kelelahan yang mendera sejak mengawal acara regional
Kanwil DJKN Jawa Barat dari 4 hari yang lalu, disambung dengan memenuhi
permintaan Direktorat BMN terkait data bangunan hasil revaluasi yang harus
tuntas di hari ini, saat kesadaran tiba-tiba merenggut nikmatnya mimpi, tangan
ini langsung menyambar HP yang sudah tinggal 20% lagi baterainya.
Mata ini
langsung membaca ada notifikasi baru FB.. oh rupanya rekan kerja saya bertanya
apa arti Piutang Negara 4.0 yang menjadi salah satu caption atas foto yang saya unggah di wall FB saya.. Caption
yang saya buat secara asal saja itu kini menjadi menggelitik fikiran dan
kenangan saya.. ya, ternyata itu bukan ngasal… itu serius…
Piutang Negara
4.0 yang saya maksud adalah adaptasi dari istilah Revolusi Industri 4.0 yang menjadi
bahasan pidato Presiden Joko Widodo di berbagai kesempatan. Menurut Wikipedia, Revolusi Industri 4.0 adalah
sebuah kondisi pada abad 21 ketika terjadi perubahan besar-besaran di berbagai
bidang yang mengurangi sekat-sekat antara dunia fisik , digital, dan biologi.
Piutang Negara
4.0 adalah keadaan terkini dari perjalanan panjang sejarah “pengurusan piutang
negara” dalam kehidupan saya (dan banyak dari rekan kerja saya juga). “Pengurusan”
Piutang Negara yang saya kenal diawali dengan versi 1.0 yang ditandai dengan
lahirnya UU 49 prp 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan kemudian
melembaga dalam Badan Urusan Piutang Negara (BUPN). Piutang Negara versi 2.0
lahir di kemudian hari segera setelah bergabungnya unsur Lelang dari Dirjen
Pajak kepada BUPN sehingga “Pengurusan Piutang Negara” melembaga ke dalam Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), dan di era ini lah saya beserta 29
rekan lulusan D-III Akuntansi STAN untuk pertama kalinya menjadi bagian dari sejarah
panjang “Pengurusan Piutang Negara”, di mana saat itu hampir semua Piutang
Negara yang diurus adalah Piutang Negara yang berasal dari BUMN / BUMD Perbankan.
Versi 2.0 “Pengurusan
Piutang Negara” kemudian bermetamorfosa menjadi versi 3.0 ditandai dengan “naik
kelas”-nya BUPLN menjadi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara.. ya
naik kelas karena “Badan” dalam struktur organisasi di Kementerian Keuangan itu
bukan merupakan unit yang menjalankan tugas pokok Kementerian Keuangan, menjadi
Direktorat Jenderal yang merupakan pelaksana tugas pokok Kementerian Keuangan.
DJPLN berubah
menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara pada tahun 2006. Di awal perubahannya
ini, terjadi revolusi di bidang pengurusan piutang negara di mana fatwa MA
nomor : WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16
Agustus 2006 yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor :
77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2011 yang secara singkat isinya menyatakan
bahwa Piutang BUMN/D bukan Piutang
Negara melainkan piutang korporasi yang harus diselesaikan melalui
mekanisme korporasi sesuai ketentuan di bidang Perseroan Terbatas dan BUMN, dan
(bagi saya) sejak Putusan MK itulah Piutang
Negara 4.0 lahir, karena dengan
putusan MK tersebut, Piutang Negara yang dapat diurus oleh PUPN/DJKN dibatasi
pada Piutang Negara yang berasal dari Instansi-instansi Pemerintah (non Badan2
negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 UU 49 prp 1960) saja.
Sejak Putusan
MK itu maka praktis Piutang Negara dari BUMN/D perbankan (yang saya perkirakan
jumlahnya lebih dari 90% dari yang diurus Piutang Negara oleh PUPN/DJKN) dikembalikan
pengurusannya kepada BUMN/D perbankan asal piutang negara tersebut. Dengan
demikian piutang negara dari BUMN/D Perbankan dan non perbankan yang dikelola pada
versi 1.0 sd. 3.0 secara pasti menghilang, dan pada versi 4.0 ini Piutang
Negara yang dikelola hanyalah Piutang Negara
yang berasal dari Instansiinstansi Pemerintah baik Pusat maupun daerah.
Pada awal
kelahiran Piutang Negara 4.0 ini, keseharian saya tidak lagi terlibat dalam hal
Piutang Negara, karena ditugaskan mengelola Barang Milik Negara serta Penilaian
yang menjadi primadona baru di DJKN, mengingat tidak ada seorang pun di negeri
ini yang dapat menginformasikan kepada Presiden dan DPR serta rakyat Indonesia dan
dunia mengenai jumlah dan nilai BMN Indonesia secara pasti. BMN serta Penilaian
segera menjadi primadona karena dapat dipastikan pada saat itu BMN belum
dikelola dengan baik padahal potensi untuk memberikan kontribusi pada peningkatan
pendapatan negara maupun efisiensi penggunaan APBN sangat tinggi.
Mengingat
tidak lagi bersentuhan dengan Piutang Negara, ditambah dengan bidang baru
lainnya yang saya geluti yaitu mengelola Sumber Daya Manusia di DJKN, maka
semakin jauhlah saya dengan Piutang Negara, materi yang telah menjadi bagian sejarah
hidup saya bersamaan dengan pertama kalinya saya nonton Kuch-kuch Ho Ta Hai, bertatap mesra dengan dia yang menjadi mantan
pacar, sampai dengan pengalaman pertama membawa debitur ke UGD Rumah Sakit
Al-Ihsan Bandung karena terkena Stroke
saat saya selesai membacakan Surat Paksa kepadanya.
Dan kini, saat
kembali bergelut di bidang Piutang Negara, saya baru tersadar bahwa Piutang
Negara 4.0 sudah berlangsung namun sepertinya akan segera berlalu tanpa ada
yang tahu. Atas kesadaran itu (berbekal ilmu intelijen dari BAINTELKAM POLRI –
terima kasih rekan2 POLRI, Sekretariat DJKN dan Pusdiklat KNPK atas kesempatan
untuk mendapatkan ilmu itu), maka pada hari Kamis tanggal 20 Desember 2018 yang
lalu, setelah menggali data dari Direktorat PNKNL DJKN dan Direktorat APK
DJPBN, maka dengan mengundang wakil Unit Akuntansi Pembantu Pengguna Anggaran
tingkat Wilayah (UAPPAW) dan Pemerintah Daerah di wilayah Kerja KPKNL Bandung, serta
mengundang rekan sejawat dari Kanwil Dirjen Perbendaharaan Prop. Jawa Barat
sebagai narasumber, kami Seksi Piutang Negara KPKNL Bandung melaksanakan
Diskusi Kelompok Terpumpun dengan judul “CERMAT MENGELOLA PIUTANG NEGARA”.
Pilihan judul
kami adalah “Mengelola Piutang Negara” karena era Piutang Negara 4.0 adalah era
Pengelolaan Piutang Negara bukan hanya “Pengurusan Piutang Negara”. Hal ini
sejalan dengan pesan dari Wakil Menteri Keuangan RI, Prof. Mardiasmo pada saat
membuka workshop Piutang Negara Juli
2018 di Jakarta. (Apabila saya tidak salah kutip) Pada kesempatan itu beliau
berpesan : “Pengelolaan Piutang Negara yang
sampai dengan akhir tahun 2017 mencapai nilai kurang lebih Rp. 158,6 Triliun (data
pada Laporan Keuangan Pemerintag Pusat (LKPP)-2017), harus dilaksanakan dengan
baik dan penuh tanggung jawab oleh Kementerian/ Lembaga, terutama dari segi
penyajiannya dalam LKPP sehingga nilai Piutang Negara disajikan secara wajar
(tidak over atau under stated), dan penyajian data piutang negara yang dapat
diandalkan pada akhir tahun merupakan hal yang krusial, sebab dari nilai piutang negara yang dicatat pada
akhir tahun, diharapkan ada penerimaan negara dari penagihan piutang yang akan
menjadi sumber pembiayaan negara di tahun berikutnya.
Penyajian nilai Piutang Negara yang wajar
tersebut dapat dicapai apabila para Pengelola Piutang Negara di tingkat Kementerian
/ Lembaga memiliki pemahaman yang baik serta
komitmen yang kuat dalam melaksanakan ketentuan terkait Pengelolaan Piutang
Negara”.
Dalam pesan
tersebut Wamenkeu dengan jelas menyampaikan betapa pentingnya akurasi penyajian
data piutang negara dalam LKPP, dan hal ini seiring dengan rekomendasi BPK atas
temuan terkait Piutang pada LKPP 2017, sehingga Menteri Keuangan merespon dengan menginstruksikan
DJKN untuk menguatkan koordinasi dengan K/L terkait Pengelolaan Piutang Negara
ini.
Diskusi
kelompok terpumpun (bahasa kerennya Focus
Group Discussion) pada tanggal 20 Desember 2018 itu kami lakukan sebagai
bagian dari upaya kami dalam melakukan koordinasi dengan Satker-satker K/L dan
pemda di wilayah kerja kami terkait Pengelolaan Piutang Negara, serta untuk
menguji premis awal kami atas sampling
di beberapa satker yang menunjukan bahwa Satker-satker masih belum menerapkan
kebijakan akuntansi piutang negara secara baik, belum melaksanakan
penatausahaan piutang negara sesuai dengan ketentuan, dan belum menyerahkan
pengelolaan piutang negara macet kepada PUPN/DJKN/KPKNL sesuai dengan
ketentuan.
Premis
tersebut terkonfirmasi benar, di mana saat diskusi berlangsung, para peserta
masih banyak yang belum memahami dengan baik kebijakan akuntansi piutang negara
sebagaimana diatur dalam PP 70/2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah maupun
Buletin Teknis 16 tentang Akuntansi Piutang Berbasis Akrual. Seluruh peserta
menyatakan bahwa satkernya belum melaksanakan ketentuan Penatausahaan Piutang
Negara sebagaimana diatur dalam Perdirjen Perbendaharaan nomor 85/PB/2011
tanggal 5 Desember 2011 tentang Penatausahaan Piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak
pada Satuan Kerja Kementerian Lembaga, menyatakan belum ada ketentuan yang
mengatur mengenai Penatausahaan Piutang Non Pajak yang bukan PNBP (yang berasal
dari Valas, Perikatan dan Kerugian Negara), serta sebagian besar peserta belum
menyerahkan pengurusan piutang negara macetnya kepada PUPN/KPKNL sesuai dengan
ketentuan.
Hasil diskusi
tersebut membuat pikiran saya melayang kembali kepada Piutang Negara 4.0, ya..
Piutang Negara 4.0 sedang berlangsung, di mana DJKN tidak hanya sebagai
pengurus piutang negara tetapi juga pengelola piutang negara. Tapi banyak suara
yang menafikan peran pengelolaan piutang negaranya DJKN, karena DJKN baru bisa involve ke dalam pengelolaan itu saat
piutang negaranya macet dan sudah diserahkan kepada PUPN/KPKNL. Apabila belum
diserahkan, maka piutang negara tersebut masih dalam kewenangan pengelolaan Satker
K/L sepenuhnya dan bukan ranah DJKN untuk mendampingi pengelolaan piutang negara
K/L tersebut.
Suara yang
menafikan peran DJKN dalam pengelolaan piutang negara benar adanya, karena
sampai dengan saat ini (sependek pengetahuan saya) belum ada aturan yang
mengatur mengenai peran DJKN di dalam hal itu. Tapi ada suara dalam diri saya
yang mengguncang… kenapa kita tidak membuat aturan tentang itu? Toh kita bisa
menerbitkan PMK 69/PMK.06/2014 aturan
tentang Penentuan Kualitas Piutang Dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak
tertagih Pada Kementerian / Lembaga dan Bendahara Umum Negara.. Mengapa kita tidak
mengupdate ketentuan mengenai
penatausahaan piutang negara? Mengapa kita (KPKNL/ saya aja kali) tidak mengupdate pengetahuan tentang PP 70/2010
khususnya Akuntansi Piutang, Bultek 16, serta proses bisnis di Satker-satker
K/L, sehingga ragu-ragu mendampingi satker mengelola piutang negaranya, padahal
kita punya nomenklatur organisasi yang bernama Piutang Negara, baik di level pusat,
maupun daerah.
Apakah dengan
demikian, kita akan membiarkan satker terjerumus lebih dalam ke jurang
kesesatan yang terjadi karena ketidakpahaman, ketidak tahuan atau pengebaian
atas peraturan dalam mengelola piutangnya, dan berpangku tangan
menyerahkan kepada “tetangga sebelah” untuk menyelesaikan masalah itu, sementara
kita bisa mengeluaran upaya yang luarbiasa besarnya untuk menyelesaikan
pengelolaan BMN, padahal nilai piutang negara sendiri tidak kecil, dan
kemungkinan kekeliruan maupun moral
hazard dalam mengelola piutang negara cukup tinggi, padahal gambaran
pendapatan negara yang sangat jelas dari piutang negara tersebut, kata Wamenkeu
: “dari
nilai piutang negara yang dicatat pada akhir tahun, diharapkan ada penerimaan
negara dari penagihan piutang yang akan menjadi sumber pembiayaan negara di tahun
berikutnya”.
Sampai kapan
kita akan bertahan dengan menyatakan kita baru bisa “turun” saat piutang
dinyatakan macet dan diserahkan kepada PUPN/KPKNL, sementara Satker tidak
melakukan penatausahaan piutang negaranya dengan baik, dengan demikian tidak
dapat menentukan kualitas piutangnya sampai ke kualitas yang macet, dan tidak dapat
mendokumentasikan dokumen sumber piutang negaranya sehingga tidak dapat
menentukan adanya dan besarnya Piutang Negara telah pasti, yang pada akhirnya
Piutang Negara tidak akan bisa diserahkan kepada PUPN/KPKNL?.
Kegelisahaan
saya itu menumbuhkan semangat bahwa saatnya para insan pengelola piutang negara
DJKN bangkit untuk belajar dan mengupdate
diri dan institusinya dengan pengetahuan terkait kebijakan akuntansi dan
penatausahaan piutang dengan menggandeng rekan-rekan sejawat dari
instansi-instansi terkait, serta tetap mempertajam kemampuan pengurusan piutang
negara yang secara tradisional telah menjadi bagian dari DJKN.
Jangan biarkan
Piutang Negara 4.0 berlalu tanpa ada torehan prestasi di bidang piutang negara,
saya saksi hidup piutang negara 2.0, 3.0 serta 4.0, mengajak para GEN X,Y,Z dan
anak-anak milenial di bidang piutang negara untuk kreatif mengelola piutang
negara 4.0 ini. Jangan jadikan TAPI yang muncul di dalam mengelola piutang
negara menghalangi tekad untuk mengelola piutang negara dengan baik.
Ayo kawal
pengelolaan piutang negara di satker K/L dan pemda di wilayah kerja
masing-masing. Ayo kita jawab challenge
Pak Dirjen KN (yang dalam khayal saya pernah bilang) : “DJKN jangan hanya aktif
di akhir pengelolaan piutang negara, dengan menunggu piutang negara macet, justru
harus terlibat di awal dan tengah pengelolaan piutang negara”.
Bagi saya, prestasi
Piutang Negara 4.0 adalah dengan memastikan Satker K/L dan Pemda telah
melakukan pengelolaan piutang negara sesuai dengan ketentuan sehingga tingkat
ketertagihan piutang negara secara mandiri oleh Satker/Pemda tinggi, dengan
demikian jumlah piutang negara macet rendah. Dan apabila memang piutang negara
terpaksa macet, maka penyerahan pengurusannya kepada PUPN/KPKNL akan rapi,
terdokumentasi dengan baik, sehingga pengurusan piutang negara oleh PUPN/KPKNL
juga akan berjalan dengan lancar, kalaupun ada masalah, kita (PUPN/KPKNL) sudah
sangat terbiasa untuk memecahkan masalah sebesar apapun yang kita hadapi.
Ayo Cermat Mengelola Piutang Negara… Piutang
Negara 4.0, Mengelola Piutang Negara Tanpa TAPI !!! (Jadi gak bisa tiduur gaan…
J )