Indonesia
menjadi salah satu negara yang memiliki risiko bencana yang tinggi. Menurut
data Bank Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-12 dari 35 negara di dunia
yang berisiko rawan bencana. Tentunya hal ini menjadikan adanya potensi
kerugian ekonomi di masa depan atas dampak yang muncul dari terjadinya risiko
bencana terhadap aset-aset negara.
Dalam
memitigasi risiko bencana dimaksud, pemerintah perlu menyusun strategi
pembiayaan risiko bencana secara memadai sebagai bentuk perlindungan terhadap
aset negara dengan memperhatikan kemampuan APBN. Dan upaya ini salah satunya
dijalankan melalui pengasuransian BMN.
Dengan
dilandasi Peraturan Menteri Keuangan nomor
97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian BMN sebagai payung hukumnya,
Asuransi BMN dilaksanakan sebagai salah satu bentuk pengamanan aset-aset negara
seiring dengan nilai-nilai aset yang terus mengalami peningkatan serta
mengcover risiko atas aset yang kemungkinan terdampak bencana dan risiko
kerusakan lainnya. Sehingga aset-aset negara tetap terjaga kinerja serta
keoptimalannya dalam memberikan pelayanan umum serta kelancaran dalam menjalankan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Semua aspek ini tentunya
dijalankan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
Berbagai langkah sebagai rencana strategis terus dikembangkan dan diakselerasi realisasinya dalam program pengasuransian BMN ini, yaitu :
a. Integrasi dengan Pooling Fund Bencana
Sebagai Sumber Pendanaan
Salah satu strategi yang
dilaksanakan pemerintah dalam pembiayaan risiko bencana tersebut adalah melalui
Pendanaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) atau Disaster Risk Financing
and Insurance (DRFI). Strategi ini menjadi salah satu upaya dalam
mewujudkan Indonesia yang tanggap dan tangguh terhadap risiko bencana, dan tetap
menstabilkan keberlanjutan program pembangunan negara.
Pooling Fund Bencana (PFB)
merupakan instrument utama dalam strategi PARB. Terdapat dua layer utama atas
strategi yang dijalankan pemerintah dalam upaya transfer risiko, yaitu melalui
APBN dan asuransi. Skema pooling fund ini sendiri berada di antara dua layer
utama tersebut, sehingga pooling fund menjadi jangkar bagi pemerintah dalam menanggung
risiko serta bagaimana mendanai transfer risiko.
Pooling Fund Bencana
merupakan suatu skema pengumpulan, akumulasi serta penyaluran dana bencana oleh
unit pengelola dana. Rencana pembentukan unit pengelola dana dalam skema PFB
ini diharapkan dapat menjalankan perannya dalam pengakumulasian dana pembiayaan
bencana serta proyek rehabilitasi dan rekonstruksi lintas tahun tanpa
bergantung pada APBN.
Terbitnya Peraturan
Presiden Nomor 75 Tahun 2021 tentang Dana Bersama Penanggulangan Bencana menjadi
langkah awal dalam pelaksanaan skema Pooling Fund dalam melengkapi dan
mengakselerasi mekanisme pembiayaan dana bencana. Mekanisme PFB tidak akan
mengurangi dana cadangan bencana pada APBN serta alokasinya bagi setiap
Kementerian/Lembaga. Melalui PP Nomor 75 Tahun 2021 tersebut juga memunculkan
peran sentral Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai penyalur
serta pengelolaannya berada di Badan Layanan Umum existing di Kementerian
Keuangan.
Pooling Fund Bencana
menjadi suatu landscape atas pengasuransian BMN yang dilaksanakan oleh
pemerintah dan menjadi cara baru pemerintah dalam mendanai risiko bencana.
Mekanisme yang dijalankan di dalam nya diharapkan dapat mempercepat penyaluran payout
atau klaim asuransi dengan tetap memperhatikan aspek transparansi serta
akuntabilitasnya.
b.
Kajian
Perluasan Objek Asuransi
Sebanyak 51
Kementerian/Lembaga telah mengimplementasikan asuransi BMN di dalam
institusinya. Dan di tahun 2021 ini, ditargetkan implementasi pada seluruh
Kementerian/Lembaga untuk melakukan perlindungan aset nya melalui asuransi BMN.
Saat ini, asuransi BMN
pada Kementerian/Lembaga difokuskan pada objek BMN berupa bangunan yang
difungsikan sebagai perkantoran, layanan kesehatan, dan pendidikan.
Selanjutnya, perluasan objek asuransi BMN akan diterapkan pada infrastruktur
seperti jalan, jembatan, bendungan, dan infrastruktur lainnya. Serta akan terus
diperluas hingga seluruh objek BMN tanpa terkecuali telah diimplementasikan
pengasuransiannya.
c.
Partisipasi
Industri Asuransi Syariah
Dalam mengakomodasi
risiko-risiko khusus dari aset, terlebih dengan aset yang memiliki nilai
pertanggungan yang besar dan sulit ditempatkan, maka dibentuk konsorsium dalam
pengasuransian BMN. Hingga saat ini, terdapat 50 perusahaan asuransi dan 6
perusahaan asuransi yang tergabung dalam konsorsium dengan kapasitas risiko
sebesar Rp 1,4 triliun. Konsorsium juga dibentuk sebagai upaya menghindari
praktik persaingan usaha yang tidak sehat serta mengoptimalkan kapasitas risiko
asuransi.
Sebagai langkah
peningkatan kapasitas konsorsium, bergabungnya industri asuransi syariah di
dalam konsorsium tentunya akan menambah kekuatan, performa serta partisipasi
perusahaan yang bergabung di dalam konsorsium. Hal ini juga akan semakin
menaikkan tingkat penetrasi asuransi di Indonesia yang terhitung masih minim.
Asuransi BMN terus menunjukkan kinerjanya. Hingga tahun 2021 ini, sebanyak 4.334 Nomor Urut Pencatatan (NUP) BMN menjadi objek pertanggungan yang dibayarkan dengan nilai pertanggungan sebesar Rp 32,4 triliun dan nilai premi sebesar Rp 49,2 miliar.
Asuransi
BMN hadir sebagai bagian dari stimulus pertumbuhan ekonomi. Mitigasi risiko
atas aset tentunya akan melindungi dan meningkatkan nilai guna dari aset,
sehingga ketergunaan aset dapat dioptimalisasikan dalam penyelengggaraan negara
secara lebih maksimal dan kontributif.
Penulis : Wahyuni Eka W, KPKNL Balikpapan
(Diolah dari berbagai
sumber)