Gedung Utama
Kejaksaan Agung terbakar pada Sabtu malam (22/08). Selama dua belas jam, gedung yang
terletak di Jalan Sultan Hasanudin, Jakarta, dilalap api.
Kerugian yang ditimbulkan belum dapat ditaksir, yang jelas
persentase kerusakannya cukup parah. Bisa dipastikan butuh biaya untuk
memulihkan bangunan cagar budaya tersebut. Namun tak banyak yang tahu,gedung tersebut ternyata belum diasuransikan.
Mengutip
pernyataan Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Isa Rachmatarwata, pada Konferensi
Pers APBN Kita Selasa (25/08), dalam catatan Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN) Gedung Utama Kejaksaan Agung belum diasuransikan. Sehingga
pembangunan kembali gedung tersebut harus dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
Menilik
kejadian di atas, banyak yang bertanya seberapa penting
pengasuransian Barang Milik Negara (BMN)?
Dengan
kondisi Indonesia yang menjadi salah satu dari 35 negara di dunia dengan risiko
tinggi terjadinya korban jiwa akibat dampak dari berbagai jenis bencana.
Ditambah lagi, 204 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah rawan bencana dan
nyaris tak ada kabupaten/kota di Indonesia yang bebas dari potensi bencana. Mengutip
Word Bank Global Facility for Disaster
Reduction and Recovery (GFDRR), di tahun 2011 saja gempa bumi dengan
magnitude besar dapat menciptakan kerugian lebih dari 3% PDB per kejadian. Jika
dibandingkan dengan kondisi Indonesia di hampir 10 tahun kemudian,
berapa kali gempa bumi terjadi dalam setahun? Belum lagi fakta bahwa Indonesia
rawan terhadap 12 jenis bencana lainnya. Berapa banyak kerugian akibat gedung
negara yang hancur? Tentu Indonesia butuh sebuah mekanisme pembiayaan dalam
pembangunan ulang gedung-gedung akibat bencana tersebut, dan Asuransi BMN dapat
menjadi jawaban yang efektif.
Mungkin
menjadi pertanyaan, mengapa harus BMN yang diasuransikan?
Salah satu tugas pemerintah adalah menyediakan sarana
dan prasarana yang memadai untuk kepentingan masyarakat, tentunya
sarana dan prasarana tersebut dibangun menggunakan APBN. Namun kadang kita
lupa, selain membangun, pemerintah juga memiliki kewajiban untuk menyediakan
strategi manajemen risiko untuk meminimalisir kehancuran dan kerugian atas BMN.
Sebagai informasi, Indonesia memiliki banyak sekali aset negara berupa BMN yang tersebar dari ujung timur hingga ujung barat.
Mengutip Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2019, nilai BMN berupa gedung dan bangunan tercatat sebesar Rp 365,44 T. Dengan vitalnya
peranan BMN tersebut dan rawannya kondisi geografis Indonesia, wajar rasanya
pemerintah menetapkan upaya mitigasi risiko dalam menjaga BMN tersebut.
Asuransi
BMN juga merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam mengelola aset negara. Pemerintah
dapat menetapkan asuransi BMN untuk pengamanan aset dengan melihat kondisi
keuangan negara. Asuransi ini, juga dapat mengurangi ketergantungan pemerintah
terhadap lembaga donor asing atau luar negeri maupun APBN ketika suatu bencana terjadi dan menghancurkan banyak
aset negara.
Dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2019 tentang Pengasuransian Barang
Milik Negara, disebutkan bahwa objek asuransi BMN ialah gedung dan bangunan
dengan dua kriteria yakni mempunyai dampak terhadap pelayanan umum apabila
rusak atau hilang, dan menunjang kelancaran tugas dan fungsi penyelenggaraan
pemerintahan. Gedung dan bangunan tersebut meliputi kantor pemerintahan,
fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan. Selain gedung dan bangunan,
dapat pula mengikutkan sarana dan prasarana sebagai objek asuransi, antara lain
komponen struktural, mekanikal, elektrikal dan tata ruang.
Aset
negara tersebut nantinya akan diasuransikan pada Konsorsium
Asuransi Barang Milik Negara. Konsorsium ABMN ini terdiri dari 55 (lima puluh lima) perusahaan
asuransi dalam negeri yang bergerak di bidang asuransi properti. Pada akhirnya
Konsorsium ABMN inilah yang akan menanggung risiko kerugian atas BMN yang
terdampak bencana dari Kementerian/ Lembaga yang memiliki polis Asuransi BMN.
Kementerian
Keuangan sendiri telah menandatangani Kontrak dengan penyedia jasa
asuransi yang menjadi pedoman pembuatan polis untuk Kementerian/ Lembaga.
Risiko yang ditanggung pun mencakup semua kerugian/kerusakan fisik yang tidak
terduga, tidak disengaja dan bersifat tiba-tiba. Salah satu yang ditanggung
ialah kerusakan akibat kebakaran, seperti yang sedang terjadi pada Gedung Utama
Kejagung baru-baru ini.
Asuransi BMN sendiri telah dilaksanakan sejak tahun 2019 dengan
Kementerian Keuangan yang menjadi pilot
project. Seluruh gedung Kementerian Keuangan sebanyak 1.360
gedung dengan nilai aset sebesar Rp10,84 triliun telah diasuransikan dan
preminya sebesar Rp 21,30 miliar.
Proyek
pengasuransian BMN ini akan terus berlanjut dan tahun 2020 ini ditargetkan
ada 10 Kementerian/Lembaga yang telah mendaftarkan asetnya. Begitu terus bergulir
sehingga di tahun 2024 nanti diharapkan seluruh Kementerian/Lembaga telah
mengimplementasikan Asuransi BMN pada seluruh asetnya.
Berdasarkan semua penjabaran di atas, apakah penting Asuransi BMN?
Penulis : Nadia Safira
(Telah terbit pada Koran Kaltim Post edisi 29/08/2020 dengan judul "Pentingnya Peran Asuransi BMN")