Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Penangan Perkara: Menerjang Pandemi demi Wakili Instansi
Nadia Safira
Senin, 11 Mei 2020   |   395 kali

Balikpapan – COVID-19 telah resmi dinyatakan sebagai pandemi. Sebaran virus yang awalnya ditemukan di Wuhan, Cina, tersebut tak lagi sebatas hamparan Asia Timur, tapi meluas hingga ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Rasanya sungguh sulit menerima fakta bahwa bahkan di Balikpapan, kita sudah hidup berdampingan dengan penyakit yang konon menyerang langsung ke paru-paru tersebut.


         Untuk menekan laju persebaran COVID-19 sekaligus mengamankan selururuh pegawainya, KPKNL Balikpapan menerapkan Work From Home (WFH) secara keseluruhan. Kebijakan ini selaras dengan arahan Kantor Pusat DJKN untuk menutup sementara pelayanan tatap muka melalui Area Pelayanan Terpadu (APT).


          Walaupun secara teknis seluruh pegawai telah mendapatkan Surat Tugas WFH, namun tetap ada beberapa bagian yang terpaksa harus mengerjakan tugas dari kantor, bahkan dinas ke luar kantor. Salah satunya dari Seksi Hukum dan Informasi yang  tetap harus mengikuti persidangan di Pengadilan Negeri (PN). Dari sekitar dua puluhan perkara, baru satu perkara yang sudah menerapkan persidangan secara e-court. Sisanya, Petugas Penangan Perkara harus tetap melakukan kegiatan tatap muka di PN.


           Asas Fiat Justitia Pereat Mundus (hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus binasa) sepertinya memang dijunjung setinggi-tingginya. Sejak 24 Maret 2020, kegiatan persidangan terasa berbeda tak seperti biasanya.


          Mulanya, kami hanya menyadari bahwa semua orang menggunakan masker dan tersedia hand-sanitizer di tiap sudut ruangan. Di jadwal sidang berikutnya, kaca besar sudah terpasang di tiap meja Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), persis seperti yang terpasang di loket-loket. Sejumlah stiker menyilang hitam besar juga sudah terpasang di kursi-kursi untuk memaksa tiap orang menaga jarak. Pada sidang selanjutnya, bahkan sudah terpasang wastafel di sebelah pintu masuk dan semua orang diharapkan mencuci tangan sebelum memasuki ruangan PTSP. Tentu juga ada petugas yang mengingatkan kami untuk mendorong pintu dengan siku ataupun bahu.


         Walaupun protokol keamanan telah diterapkan, tetap ada rasa was-was dan cemas. Virus bukanlah sesuatu yang kasat mata sehingga dapat dihindari dengan mudah. Sebelum penerbangan ditutup, persidangan masih terasa riuh. Pihak-pihak dari luar kota tetap berdatangan, pun yang dari zona merah seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di perjalanan, dengan siapa mereka bertemu, objek apa saja yang sudah mereka sentuh maupun kemungkinan terpapar virus dan sudah berapa lama virus tersebut bersarang di permukaan atribut yang mereka kenakan. Yang jelas, persidangan tetap berjalan seperti biasanya.


       Berkawan dengan masker dan sanitizer sudah menjadi kebiasaan baru kami sembari berdoa bahwa semuanya akan baik-baik saja. Walaupun sudah berusaha menjaga jarak, tetapi tentu saja kegiatan mengumpulkan para pihak, berdiskusi, dan saling membuat janji sedikit sulit dilakukan dengan radius enam kaki dari masing-masing orang. Toh kami berada di satu ruangan yang sama.


        Tak hanya kami, kami yakin semua pihak –apalagi yang berasal dari Zona Merah– juga sebenarnya enggan terbang jika diperbolehkan untuk tidak hadir. Kami menjadi saling curiga, sedikit batuk dan bersin bisa membuat pandangan seluruh ruangan tertuju pada kami.


         Di persidangan berikutnya, kami sudah dibagi per ruangan. Majelis Hakim, Penggugat, dan Tergugat melaksanakan persidangan dari tiga ruangan yang berbeda. Tentu ini inovasi yang sedikit melegakan, paling tidak kami dapat meminimalisir kontak dengan para pihak. Di sisi lain, kami tetap harus berkumpul untuk memastikan seluruh pihak sudah lengkap dan siap, melapor ke Panitera Pengganti, baru kemudian pergi ke ruangan masing-masing.


        Kerumunan merupakan sesuatu yang secara natural cukup sulit untuk kami hindari. Di tengah pandemi ini, menghindari jabat tangan merupakan sesuatu yang dapat dimaklumi. Tetapi sebenarnya dalam hati sulit untuk kami tinggalkan. Mungkin sebagai penganut budaya ketimuran, ramah-tamah yang sudah mendarah daging menyulitkan untuk mendadak mejaga jarak. Walaupun kami tahu dan memaksa diri untuk melakukan.


        Apakah kami takut? Jelas. Siapa yang tidak takut dengan kemungkinan tertular virus yang konon langsung menyerang organ vital? Belum lagi ketiadaan vaksin dan kesimpangsiuran rumor terkait penyakit tersebut yang kami terima setiap hari.


       Apakah kami akan berhenti sidang? Selama masih memungkinkan dan diizinkan untuk melaksanakan persidangan, kami akan terus hadir. Apalagi hal ini dilakukan demi menghindarkan negara dari adanya kemungkinan kerugian –jika kami kalah. Paling tidak kami hanya menghadiri sidang yang dianjurkan untuk dihadiri, seperti arahan yang sudah kami terima dari Direktorat Hukum dan Humas.


      Kami terus berdoa semoga wabah ini segera berakhir agar bisa kembali bekerja secara normal atau paling tidak tetap produktif bekerja mengikuti norma normal yang baru. Bertemu para pihak dalam kondisi bahagia. Saling berkoordinasi tanpa khawatir kemungkinan saling menulari. Semoga semua dapat terjadi dalam waktu dekat ini. 


Penulis :

Nadya Safira

KPKNL Balikpapan

Disclaimer
Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja.
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini