PENDAHULUAN
Berdasarkan pasal 27 (1) Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2020 disebutkan terdapat beberapa bentuk
pemanfaatan BMN, yaitu Sewa, Pinjam Pakai, Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna
Serah atau Bangun Serah Guna dan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. Selanjutnya
yang di maksud dengan Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah
berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana
berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut, dalam
jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan
kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah
berakhirnya jangka waktu. Pengertian BGS tersebut dapat dikatakan bahwa pihak
lain (swasta/mitra) membangun fasilitas untuk spesifikasi yang disetujui oleh pengguna/pengelola
barang, selanjutnya mengoperasikan fasilitas tersebut untuk periode waktu yang
ditetapkan di bawah suatu kontrak dengan pengguna/pengelola barang dan kemudian
menyerahkan fasilitas tersebut kepada pengguna/pengelola barang pada akhir
periode waktu tertentu.
Konsep pemanfaatan BMN berupa BGS
umumnya dapat terjadi karena lahan komersial pada suatu daerah/kota terbatas
jumlahnya, dimana tanah mempunyai sifat tetap dan tidak bertambah dalam jumlah
luas. Hal ini menyebabkan nilai pasar atau harga pasar tanah akan terus
meningkat, sebagaimana ditunjukan pada kurva supply dan demand tanah di bawah
ini:
Gb.
Kurva Penawaran dan Permintaan Tanah
Kelangkaan tanah di daerah komersial
juga menjadi salah satu pemicu hubungan kerjasama yang saling menguntungkan
antara pemilik tanah (pengguna/pengelola barang) dan mitra dalam memanfaatkan
tanah yang setinggi mungkin (Highest and
Best Use).
Pada praktek pengelolaan BMN, khususnya
BGS, pada awal pengajuan persetujuan BGS kepada pengelola barang, Penilai Pemerintah
dapat dikatakan berperan sebagai konsultannya pengelola barang, yaitu melakukan
review atas proposal BGS yang
diajukan oleh pengelola barang guna memberikan opini/pendapat atas kelayakan
proposal BGS yang diajukan tersebut. Terkait hal ini, panduan atau teknik
menganalisis/mereviewnya Penilai Pemerintah dapat mengacu pada pedoman yang telah
disediakan oleh Direktorat Penilaian.
Dalam PP No. 28 tahun 2020 disebutkan bahwa jangka waktu pelaksanaan BGS paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani. Dalam jangka waktu yang cukup lama tersebut, sangat dimungkinkan terjadi pihak lain (swasta/mitra) atau pengguna/pengelola barang mengakhiri perjanjian lebih cepat atau pihak lain (swasta/mitra) berdasarkan perjanjian BGS dapat mengalihkan haknya kepada pihak ketiga.
PERMASALAHAN
Apabila terjadi hal yang seperti di
atas, sebagai ilustrasinya pada tahun ke-18 salah satu pihak ingin mengakhiri
perjanjian BGS yang belum genap 30 tahun, maka pengelola barang sejatinya perlu
mengantisipasi dan menganalisis terkait pengelolaan BMN atas kejadian tersebut.
Dalam bidang penilaian, kejadian/hal tersebut pada prakteknya dapat dilakukan
analisis/penilaian atas posisi nilai ekonomis dari kedua belah pihak pada tahun
rencana pengakhiran kerjasama BGS tersebut, yaitu dengan mengestimasi nilai
ekonomis dari sisa masa manfaat dari kedua belah pihak atas objek BGS. Selanjutnya,
bagaimanakah teknik penilaian atas properti (objek BGS) tersebut, yang notabene hak atas tanah tersebut dalam
periode waktu tertentu (30 tahun) dimiliki oleh lebih dari satu pemegang hak
atas tanah (antara pemilik tanah cq. Pemerintah dan pemilik bangunan cq. Mitra)
yang dapat dilakukan oleh Penilai?
PEMBAHASAN
Dalam konsep hukum properti di Indonesia
bentuk kepemilikan atas obyek penilaian dapat berbentuk kepemilikan
tunggal/lengkap dan kepemilikan parsial dan/atau kemitraan.
Suatu
kepemilikan properti terdapat hak kepemilikan yang tunggal/lengkap (bundle of rights), yang meliputi hak
untuk menjual kepemilikan, hak untuk menyewakan kepemilikan dan menempati suatu
properti, hak untuk menjaminkan kepentingan, hak untuk memberikan kepentingan,
hak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang tersebut di atas (Appraisal Institute, 2001). Satu atau
lebih dari bagian keseluruhan bundle of
rights merepresentasikan adanya suatu hak kepemilikan parsial (partial interest) pada suatu properti
tertentu. Kepemilikan tunggal adalah apabila hak atas kepemilikan property
tersebut hanya dimiliki oleh satu pihak saja. Sedangkan kepemilikan parsial dan/atau
kemitraan adalah apabila hak atas kepemilikan properti tersebut dimiliki oleh
lebih dari satu pihak. Dapat kepemilikan atas tanah & bangunan dimiliki
bersama pada suatu waktu tertentu, dapat kepemilikan atas tanah dimiliki oleh
lebih dari satu pihak pada saat yang sama , dan bukti kepemilikan lainnya yang
bersifat parsial.
Beberapa bukti kepemilikan parsial yang
kita kenal dalam Penilaian Tanah di Indonesia antara lain :
·
Hak Guna Bangunan diatas Tanah Hak Pengelolaan
·
Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak
Milik
·
Hak Guna Bangunan di atas Tanah Hak Guna
Bangunan
·
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
diatas tanah Hak Guna Bangunan yang status tanahnya adalah Hak Pengelolaan .
·
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun diatas
tanah Hak Guna Bangunan yang status tanahnya adalah Hak Guna Bangunan
·
Surat Hijau atau surat sewa jangka
panjang yang ada di Surabaya dan sekitarnya
Pada pemanfaatan BMN dalam bentuk BGS,
Pemerintah (pengguna/pengelola barang) adalah pemegang hak kepemilikan secara
yuridis atas tanah objek kerjasama, sedangkan pihak mitra adalah pemegang hak
yang diberikan pemilik tanah (Pemerintah) untuk memakai, menggunakan, memanfaatkan,
dan menempati selama jangka waktu tertentu (dalam peraturan adalah 30 tahun). Atas
kerjasama ini biasanya hak dan kewajiban masing-masing pihak dituangkan dalam
suatu kontrak/perjanjian BGS.
Pada perkembangannya terhadap
pemanfaatan BMN dalam bentuk BGS ini, apabila ditemui adanya kontrak/perjanjian
BGS yang ada tidak selesai sampai dengan masa kontraknya (30 tahun) akibat
salah satu pihak berkeinginan untuk mengakhiri kontrak/perjanjian BGS tersebut,
maka sejatinya diperlukan informasi atas nilai ekonomis bagi masing-masing
pihak (Pemerintah dan Mitra) pada posisi waktu/tahun rencana pengakhiran kerjasama BGS
tersebut.
Guna memberikan informasi tersebut,
Penilai akan menggunakan apa yang dinamakan penilaian parsial, yaitu penilaian
properti yang mana hak atas properti/tanah bangunan tersebut dimiliki oleh
lebih dari satu pemegang hak. Penilai dapat mengestimasi nilai ekonomis bagi
Pemerintah dan nilai ekonomis bagi Mitra pada saat pengakhiran perjanjian
terjadi.
Dalam melakukan penilaian dengan bukti
kepemilikan yang bersifat parsial maka penilai wajib mendapatkan informasi
keterikatan dalam bentuk perjanjian yang
dilakukan oleh para pihak yang menyebabkan kepemilikan yang bersifat parsial.
Sebagai ilustrasi, terdapat perjanjian BGS pada tahun ke-18 salah satu
pihak ingin mengakhiri perjanjian BGS lebih cepat yang seharusnya selama 30
tahun. Terhadap hal ini, dapat dilakukan teknik penilaian berapa nilai properti
secara keseluruhan, nilai bagi pemerintah dan berapa nilai bagi Mitra selama
masa sisa kontrak, dalam hal ini adalah 12 tahun.
Hak Mitra terhadap sisa manfaat
properti selama 12 tahun tersebut dalam Konsep dan Prinsip Umum Penilaian
(KPUP) point 5.1, Standar Penilaian Indonesia (SPI) Edisi VII Tahun 2018
disebut Hak Kepemilikan Finansial (HKF). Dalam SPI tersebut disebutkan HKF pada
properti berasal dari pembagian secara hukum dari hak kepemilikan atas badan
usaha dan real property (misalnya persekutuan/partnership, sindikasi, BOT,
sewa/co-tenancies, joint venture), dan dari pemberian
secara kontraktual hak opsi untuk membeli atau menjual properti (misalnya tanah
dan bangunan, saham atau instrumen keuangan lainnya) pada harga yang dinyatakan
dalam periode tertentu , atau berasal dari pembentukan instrument investasi
yang dijamin dengan sekumpulan aset real
estate.
Latar
belakang terjadinya kerjasama pemanfaatan dalam bentuk BGS umumnya berdasarkan
pola yang saling menguntungkan dengan prinsip investasi sebagai dasar pijakan. Dalam
investasi berlaku hukum ekonomi bahwa kedua belah pihak ini harus mendapatkan
keuntungan yang sama sesuai dengan jumlah investasi yang dikeluarkan dengan
memperhatikan tingkat risiko yang ditanggung masing-masing pihak.
Teknik penilaian parsial, guna
mengestimasi nilai bagi pemilik tanah (Pemerintah) dan nilai bagi Mitra
digunakan pendekatan pendapatan. Penggunaan pendekatan ini disebabkan umumnya
properti BGS adalah properti yang menghasilkan dan sejalan dengan konsep dari
pendekatan pendapatan yaitu nilai suatu properti adalah fungsi dari pendapatan
atas hak kepemilikan properti itu sendiri. Pendekatan ini mempertimbangkan pendapatan yang akan
dihasilkan aset selama masa manfaatnya di masa yang akan datang. Manfaat
ekonomi di masa yang akan datang kemudian dikonversi ke nilai saat ini dengan
cara mengalikan dengan diskon tertentu sesuai konsep nilai waktu uang (time
value of money). Pendapatan di masa yang akan datang merupakan arus kas
yang diprediksi akan diterima oleh properti. Walau teknik
penilaian dengan pendekatan lainnya seperti pendekatan pasar dan pendekatan
biaya dapat digunakan untuk membantu dalam penyelesaian penilaian, khususnya
sebagai alat kontrol atas nilai yang dihasilkan oleh pendekatan pendapatan.
Dalam pola pemanfaatan BMN, khususnya skema BGS, normalnya sejalan dengan berlalunya waktu, maka nilai bagi pemilik tanah (Pemerintah) akan semakin besar, demikian pula sebaliknya, nilai bagi Mitra (HKFnya) akan semakin kecil. Pada konteks kondisi sebagaimana tersebut di atas, yaitu akan ada pengakhiran BGS pada tahun ke-18 maka hubungan nilai bagi pemilik tanah (Pemeritah) dan bagi Mitra sejalan dengan berjalannya waktu disaat pengakhiran BGS dapat digambarkan dengan grafik sebagai berikut:
Gb. Grafik Penilaian Parsial (BOT)
Berdasarkan grafik di atas maka dapat
diperoleh persamaan yang dikenal dalam penilaian parsial adalah sebagai berikut
:
V = VLo
+ VLe
dimana:
V =
Nilai Pasar Properti, yaitu (PV.NOI + PV Terminal Value)
VL0 = Nilai bagi Pemerintah, yaitu
(PV.Kontribusi Tahunan + PV Terminal Value)
VLe = Nilai bagi Mitra, yaitu PV.NOI – PV.
Kontribusi Tahunan)
Bentuk persamaan tersebut diatas adalah
bentuk persamaan dengan asumsi V (nilai properti) dihitung pada kondisi
penggunaan tertinggi dan terbaik (Highest
and Best Use).
Selanjutnya,
secara umum langkah-langkah dalam penilaian parsial dengan pendekatan
pendapatan metode Discounted Cash Flow
(DCF) yang dapat diterapkan dalam konteks BGS adalah sebagai berikut:
1. Mendapatkan
informasi keterikatan dalam bentuk
perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang menyebabkan kepemilikan
yang bersifat parsial. Dalam hal ini adalah perjanjian/kotrak BGS.
2. Mengestimasikan Potential Gross Income (PGI) atas objek BGS.
3. Mengestimasikan tingkat pertumbuhan.
Untuk mengestimasikan pertumbuhan dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara
(Damodaran : 2002), yaitu berdasarkan a) pertumbuhan tahun-tahun yang lalu, b)
hasil analisis para ahli yang mengikuti perkembangan usaha, atau c) faktor
fundamental.
4. Mengestimasikan tingkat kekosongan (Vacancy) dan pendapatan tak tertagih (Collection Loss). Pendapatan tak
tertagih (collection loss) adalah pendapatan yang hilang karena sesuatu sebab,
seperti penyewa melarikan diri, penyewa tidak mampu bayar dan berbagai sebab
lain. Pendapatan tak tertagih bukan menunjukkan bahwa bangunan tidak
terkonsumsi, tetapi bangunan terkonsumsi tetapi tidak terbayar (Hidayati dan
Harjanto, 2003). Penentuan tingkat kekosongan dan pendapatan tak tertagih yang
digunakan mengestimasikan nilai properti dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara,
yaitu dengan cara melihat kecenderungan atau melalui rata-rata data historis
yang dimiliki oleh properti atau dengan cara perbandingan dengan properti lain
yang sejenis (Hidayati dan Harjanto, 2003).
5. Mengestimasikan biaya-biaya terkait
dengan pengelolaan properti. Biaya-biaya yang terkait dengan pegelolaan
properti antara lain biaya pemeliharaan, biaya manajemen, biaya listrik, air,
dan Pajak Bumi dan Bangunan. Biaya-biaya ini bervariasi untuk masing-masing
jenis properti.
6. Menentukan periode proyeksi, dalam hal
ini adalah sisa masa kerjasama BGS.
7. Menentukan tingkat diskonto, yaitu
tingkat risiko yang ditanggung kedua pihak selama masa perjanjian kerjasama BGS
dan tingkat kapitalisasi yang cocok digunakan dalam perhitungan arus kas. Untuk
tingkat diskonto pemilik tanah (Pemerintah) adalah sebesar risk free.
8. Mengestimasikan nilai bagi pemilik
tanah (Pemerintah). Nilai real property bagi pemilik tanah sama dengan
penjumlahan nilai sekarang dari pendapatan bersih yang diperoleh dari suatu
real properti ditambah nilai real property pada masa akhir kerjasama BGS (reversion). Pendapatan bagi pemilik
tanah berupa kontribusi tahunan yang diterima pada masa kerjasama pengelolaan
dari Mitra/investor.
9. Mengestimasikan nilai bagi Mitra dalam hal ini adalah investor. Investor dalam yang lebih menekankan pada pendapatan yang dihasilkan oleh propertinya dengan cara menyewakan kepada pihak lain, maka berlakulah konsep nilai sekarang (present value), di mana nilai suatu properti adalah nilai kini dari seluruh pendapatan di masa yang akan datang yang dapat diperoleh karena kepemilikan atas properti tersebut atau penguasaan atas properti yang ditimbulkan dari perjanjian seperti built operate transfer/bangun guna serah. Teori penilaian mengatakan bahwa nilai suatu aset adalah nilai sekarang dari ekspektasi pengembalian. Secara spesifik, aset diharapkan menyediakan suatu pengembalian selama periode tertentu. Untuk mengubah arus pengembalian itu menjadi nilai, harus didiskontokan pada tingkat diskonto tertentu (Prawoto, 2004).
Ilustrasi
Perhitungan Penilaian Parsial
Bangunan Perkantoran berdiri di atas
tanah pengguna barang satker A. Perjanjian BOT antara Satker A sebagai pemilik
tanah dengan Mitra B sebagai Pengembang/Investor terikat perjanjian kerjasama
yang lamanya 30 tahun. Kerjasama ini telah diperhitungakan oleh A dan B dengan
prinsip saling menguntungkan. Saat ini perjanjian kerjasama telah berjalan
selama 18 tahun dan salah satu pihak berkeinginan untuk mengakhiri perjanjian
BOT.
Dari data pasar yang dikumpulkan oleh
Penilai didapat informasi sebagai berikut:
Gross Rentable Area seluas 30.000 m2
Net Rentable Area seluas 19.500 m2
Tarif Sewa sebesar Rp2.520.000/m2/thn,
Service Charge Rp960.000/m2/thn, Growth
Tarif Sewa & SC sebesar 5%
Tingkat Hunian (thn 19 s.d. thn 30)
diprediksi sebesar 70% dan thn 24 s.d. thn 30 sebesar 85%.
Biaya Operasional 20% dari Efektif
Gross Income
Biaya cadangan Pengganti/thn sebesar
Rp500.000.000 dan naik sebesar 5%/thn.
Tingkat Kapitalisasi pada terminal
value sebesar 7%
Discount Rate perkantoran 12%,
Safe Rate 9%, dan
Kontribusi Tahunan ke Pengguna Barang
Rp1.800.000.000.
Berapa kah Nilai pasar bagi Satker A (Pemerintah) dan bagi Mitra B?
PENUTUP
Pemanfaatan
BMN dengan skema BGS yang memiliki masa kerjasama yang cukup lama, yaitu 30
tahun, secara tidak langsung memiliki potensi terjadinya atau berakhirnya
perjanjian BGS sebelum masa perjanjian/kontrak selesai. Baik akibat salah satu
pihak berkeinginan mengakhiri perjanjian tersebut atau karena sebab-sebab lain
yang disepakati dalam perjanjian BSG antara Pengguna/Pengelola Barang dengan
Mitra BGS. Apabila situasi dan kondisi tersebut terjadi maka perlu
diantisipasi, dicermati, dan dianalisis oleh pengelola barang terkait tindak
lanjut atas situasi/keadaan tersebut. Pada situasi dan kondisi yang demikian,
penilai dapat membantu pengelola barang dalam memberikan informasi/opini
terkait posisi nilai manfaat ekonomis bagi masing-masing pihak (Pemerintah dan
Mitra) di waktu pengakhiran kerjasama BGS akan dilakukan.
Proses atau teknik mengestimasi posisi nilai manfaat ekonomis bagi masing-masing pihak dikenal dengan penilaian parsial, yaitu penilaian yang mana hak atas properti tersebut dimiliki oleh lebih dari satu pemegang hak pada periode waktu tertentu. Oleh karena umumnya properti yang menjadi objek BGS adalah properti yang menghasilkan maka pendekatan yang paling tepat di terapkan dalam penilaian parsial adalah pendekatan pendapatan.
Referensi
Appraisal Institute,
2001, The Appraisal of Real Estate, twelfth edition. Appraisal Institute
Chicago, Illinois.
Agus Prawoto, 2003, Teori dan Praktek Penilaian Properti,
BPFE Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Damodaran, Aswath,
2002. Investment Valuation, second edition, University Edition, John Wiley
& Sons, Inc., New York, USA.
Hidayati, W. dan
Harjanto, B., 2003, Konsep Dasar Penilaian Properti, BPFE Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Keating, D.M., 1998,
Appraising Partial Interests, Appraisal Institute, Chicago.
Standar Penilaian Indonesia (SPI) Edisi VII Tahun 2018
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2020
Penulis : Dwi Rahmanto (Pejabat Fungsional Penilai Pemerintah Ahli Madya Kanwil DJKN Sumatera Utara)