Jl. Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat
 1 50-991    ID | EN      Login Pegawai
 
Kolaborasi Kanwil Sulseltrabar-Sulutenggomalut: Penyuluhan Antikorupsi-Memahami Perilaku Korupsi dari Aspek Sosial Budaya
Hendro Nugroho
Kamis, 01 Juli 2021   |   378 kali

Makassar- Sebagai upaya edukasi kepada seluruh pegawai dan bagian dari edukasi kepada masyarakat, Kanwil DJKN Sulawesi Selatan, Tenggara, dan Barat (Sulseltrabar) berkolaborasi dengan Kanwil DJKN Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara (Sulutenggomalut) menyelenggarakan Webinar Penyuluhan Antikorupsi bertajuk Memahami Perilaku Korupsi dari Aspek Sosial Budaya pada Selasa (29/06) melalui media dalam jaringan zoom meeting. Webinar dibuka oleh Kepala Kanwil DJKN Sulutenggomalut, A.Y Dhaniarto, serta mendapat closing remarks dari Kepala Kanwil DJKN Sulseltrabar, Ekka S. Sukadana. Materi penyuluhan disampaikan oleh Penyuluh Antikorupsi Muda yang juga menjabat Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kanwil DJKN Sulseltrabar, Dwi Agus Prasetyo serta dimoderatori oleh Kepala Bagian Umum Kanwil DJKN Sulutenggomalut yang juga menjadi Duta Transformasi yaitu Priyanto Nugroho. Acara dihadiri tidak hanya pegawai dari lingkup Kanwil DJKN Sulseltrabar dan Kanwil DJKN Sulutenggomalut saja namun juga Kanwil DJKN lain serta Duta Transformasi Kementerian Keuangan.

Dalam pembukaannya, Kepala Kanwil DJKN Sulutenggomalut, A.Y Dhaniarto menyampaikan bahwa telah terdapat nilai-nilai organisasi yaitu Nilai-nilai Kementerian Keuangan yang pada dasarnya senantiasa mengajarkan dan melarang seluruh pegawai melakukan perbuatan yang merupakan tindak korupsi. Yanis juga menyampaikan adanya Three Line of Defense atau Pertahanan Tiga Lapis yang diadopsi oleh berbagai organisasi dalam rangka membangun kapabilitas manajemen risiko di seluruh jajaran dan proses bisnis organisasi. Model Tiga Lini Pertahanan telah diterapkan luas sebagai model yang sangat membantu memperjelas peran dan tanggungjawab dalam menjalankan pengendalian dan pengelolaan risiko organisasi. Dalam model ini, membagi tiga lini dalam pengelolaan risiko dan pengendalian, yakni manajemen operasional, fungsi-fungsi pemantauan risiko, dan fungsi audit internal. Yanis juga menekankan, ”acara ini sebagai bagian untuk memberikan yang terbaik untuk negeri”, ketika mengakiri pembukaan webinar.

Priyanto sebagai moderator membuka sesi pemaparan dengan menyampaikan bahwa webinar dilaksanakan agar seluruh insan Kementerian Keuangan dapat menghindari perilaku korupsi yang merupakan sebuah penodaan terhadap integritas. Selama ini disadari bahwa manusia dapat terlena untuk melakukan kecurangan, namun dengan webinar penyuluhan antikorupsi diharapkan dapat dilakukan mitigasi awal yang membantu mencegah perilaku penodaan tersebut. Dalam paparan materi antikorupsi, Dwi sebagai penyuluh antikorupsi muda menyampaikan tujuan webinar sebagai upaya memberi pemahaman dan mengedukasi bagaimana berperilaku anti korupsi kepada masyarakat serta menanamkan dan menguatkan adanya nilai-nilai Kementerian Keuangan untuk mencegah dan mengantisipasi perbuatan korupsi. Dwi membuka dengan menyampaikan data indeks persepsi korupsi Indonesia apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, serta data indeks persepsi korupsi selama tahun 2004 hingga 2020. Ia mengutip pendapat ahli bahwa terdapat dua alasan sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu pertama karena alasan historis/budaya, dan kedua karena lemahnya perundang-undangan. Dwi juga menyampaikan sebab mengapa orang cenderung melakukan perbuatan korupsi, yaitu adanya peluang lemahnya sistem, pembenaran, dan dorongan kebutuhan atau keserakahan.

“Korupsi mengakibatkan korelasi positif yaitu adanya ketimpangan ekonomi, pengangguran, kriminalitas, konflik, dan pelanggaran terhadap sistem perdagangan”, jelas Dwi. “Korupsi juga berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, pelayanan publik, demokrasi, investasi, dan pembangunan kualitas sumber daya manusia”, tambahnya. Dwi menyambung bahwa adanya korupsi karena ada dua sebab utama yaitu korupsi sengaja diciptakan karena ada kaderisasi, terdapat contoh perilaku korupsi sebagai contoh pilkada atau regenerasi yang dapat menciptakan koruptor baru yang mengajarkan untuk berperilaku korupsi serta proses bagaimana mendidik untuk berperilaku korupsi. Sebab kedua adalah koruptor sengaja untuk dipelihara, melalui membangun dinasti politik sehingga tercipta dinasti koruptor.

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kerungan negara atau perekonomian negara”, papar Dwi ketika menjelaskan pengertian korupsi dengan mengutip pada UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. Ia juga menjelaskan contoh perbuatan utama korupsi yaitu merugikan keuangan negara, suap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Terdapat faktor pendorong melakukan korupsi yang berasal dari faktor internal yaitu aspek individu dan sosual budaya serta faktor eksternal. Terkait dengan sosial budaya tersebut, terdapat pengaruh feodalisme dalam sistem budaya dan korupsi yang dijelaskan dalam pengaruh feodalisme yaitu adanya jawara yang dapat melakukan pemerasan dan menghampat proses good governance, adanya gelar akademik yang digunakan sebagai pengganti gelar kebangsawanan dengan tujuan mendapat hak-hak maupun kepentingan tertentu, budaya “ewuh pakewuh” atau rasa sungkan karena rasa hormat dan patuh yang berlebihan, budaya “siri” atau martabat serta harga diri, orang dianggap melanggar “siri” apabila digunakan untuk pembongkaran kasus korupsi yang dilakukan tokoh yang seharusnya dihormati. Adanya budaya “patron klien”, juga menjadi pengaruh feodal mengingat hal tersebut mengakibatkan adanya hubungan timbal balik antara dua orang yang memiliki perbendaan status sosial yang dijalin secara khusus, serta adanya upeti.

Webinar selanjutnya mendapat closing remarks dari dari Kepala Kanwil DJKN Sulseltrabar, Ekka S. Sukadana. Ekka menyampaikan apresiasi atas kegiatan webinar sebagai bagian dari hal-hal yang diniatkan untuk pemberantasan korupsi. Ekka menegaskan, “pada dasarnya seluruh pegawai telah diambil sumpahnya untuk bekerja dengan jujur”. Ia juga menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan sendiri, namun harus dilakukan secara bersama-sama. Beberapa local wisdom yang menjadi pesan Ekka adalah “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” atau di depan, seorang pendidik harus bisa menjadi teladan, di tengah harus bisa memberikan ide, dan di belakang, harus bisa memberikan dukungan dan dorongan. “Sopo Sing Salah Seleh (4S) menjadi prinsip berikutnya yang berarti siapa yang bersalah akan jatuh, siapa yang berperilaku korupsi kehidupannya akan jatuh. Gotong royong dan kerja bakti merupakan warisan budaya yang dapat diimplementasikan dalam memberantas korupsi. Serta yang terakhir adalah hidup sederhana dan merasa cukup, bahwa untuk mengendalikan perilaku korupsi adalah menjalani hidup secara sederhana dan merasa cukup memenuhi kebutuhan, apabila ingin memenuhi keinginan haruslah menyesauikan dengan kemampuan, serta aktualisasi diri setelah mapan. Tingkah laku sebagai Aparatur Sipil Negara juga menjadi perhatiannya, yaitu dengan untuk menjaga harga diri terhormat tidak semata-mata diperoleh dari harta kekayaan atau jabatan, namun juga menjaga tingkah laku sesuai kebutuhan, tidak hanya mengejar keinginan, namun harus menyesuaikan dengan kemampuan. “Dengan hidup sederhana dan merasa cukup serta selalu ingat terdapat idiom aji ning diri ono ing lathi, ajining rogo ono busono”, papar Ekka. Martabat kita ada pada tutur kata, namun sekedar penghormatan fisik hanya pada busana. “Jadilah jati diri kita sebagai Bangka Indonesia yang mengutamakan martabat dari sikap perilaku dan tutur kata bukan dari perilaku”, pesan Ekka. (Teks/Foto: Bidang KIHI Kanwil DJKN Sulseltrabar)

Foto Terkait Berita
Peta Situs | Email Kemenkeu | Prasyarat | Wise | LPSE | Hubungi Kami | Oppini