Makassar- Sebagai upaya edukasi kepada seluruh pegawai
dan bagian dari edukasi kepada masyarakat, Kanwil DJKN Sulawesi Selatan,
Tenggara, dan Barat (Sulseltrabar) berkolaborasi dengan Kanwil DJKN Sulawesi
Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara (Sulutenggomalut) menyelenggarakan
Webinar Penyuluhan Antikorupsi bertajuk Memahami Perilaku Korupsi dari Aspek
Sosial Budaya pada Selasa (29/06) melalui media dalam jaringan zoom meeting.
Webinar dibuka oleh Kepala Kanwil DJKN Sulutenggomalut, A.Y Dhaniarto, serta
mendapat closing remarks dari Kepala Kanwil DJKN Sulseltrabar, Ekka S.
Sukadana. Materi penyuluhan disampaikan oleh Penyuluh Antikorupsi Muda yang
juga menjabat Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kanwil DJKN Sulseltrabar, Dwi Agus
Prasetyo serta dimoderatori oleh Kepala Bagian Umum Kanwil DJKN Sulutenggomalut
yang juga menjadi Duta Transformasi yaitu Priyanto Nugroho. Acara dihadiri
tidak hanya pegawai dari lingkup Kanwil DJKN Sulseltrabar dan Kanwil DJKN
Sulutenggomalut saja namun juga Kanwil DJKN lain serta Duta Transformasi
Kementerian Keuangan.
Dalam pembukaannya, Kepala Kanwil DJKN
Sulutenggomalut, A.Y Dhaniarto menyampaikan bahwa telah terdapat nilai-nilai
organisasi yaitu Nilai-nilai Kementerian Keuangan yang pada dasarnya senantiasa
mengajarkan dan melarang seluruh pegawai melakukan perbuatan yang merupakan
tindak korupsi. Yanis juga menyampaikan adanya Three Line of Defense atau
Pertahanan Tiga Lapis yang diadopsi oleh berbagai organisasi dalam rangka
membangun kapabilitas manajemen risiko di seluruh jajaran dan proses bisnis
organisasi. Model Tiga Lini Pertahanan telah diterapkan luas sebagai model yang
sangat membantu memperjelas peran dan tanggungjawab dalam menjalankan
pengendalian dan pengelolaan risiko organisasi. Dalam model ini, membagi tiga
lini dalam pengelolaan risiko dan pengendalian, yakni manajemen operasional,
fungsi-fungsi pemantauan risiko, dan fungsi audit internal. Yanis juga
menekankan, ”acara ini sebagai bagian untuk memberikan yang terbaik untuk
negeri”, ketika mengakiri pembukaan webinar.
Priyanto sebagai moderator membuka sesi pemaparan
dengan menyampaikan bahwa webinar dilaksanakan agar seluruh insan Kementerian
Keuangan dapat menghindari perilaku korupsi yang merupakan sebuah penodaan
terhadap integritas. Selama ini disadari bahwa manusia dapat terlena untuk
melakukan kecurangan, namun dengan webinar penyuluhan antikorupsi diharapkan
dapat dilakukan mitigasi awal yang membantu mencegah perilaku penodaan
tersebut. Dalam paparan materi antikorupsi, Dwi sebagai penyuluh antikorupsi
muda menyampaikan tujuan webinar sebagai upaya memberi pemahaman dan
mengedukasi bagaimana berperilaku anti korupsi kepada masyarakat serta
menanamkan dan menguatkan adanya nilai-nilai Kementerian Keuangan untuk
mencegah dan mengantisipasi perbuatan korupsi. Dwi membuka dengan menyampaikan
data indeks persepsi korupsi Indonesia apabila dibandingkan dengan
negara-negara lain, serta data indeks persepsi korupsi selama tahun 2004 hingga
2020. Ia mengutip pendapat ahli bahwa terdapat dua alasan sulitnya
pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu pertama karena alasan
historis/budaya, dan kedua karena lemahnya perundang-undangan. Dwi juga
menyampaikan sebab mengapa orang cenderung melakukan perbuatan korupsi, yaitu
adanya peluang lemahnya sistem, pembenaran, dan dorongan kebutuhan atau
keserakahan.
“Korupsi mengakibatkan korelasi positif yaitu adanya
ketimpangan ekonomi, pengangguran, kriminalitas, konflik, dan pelanggaran
terhadap sistem perdagangan”, jelas Dwi. “Korupsi juga berkorelasi negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi, pelayanan publik, demokrasi, investasi, dan
pembangunan kualitas sumber daya manusia”, tambahnya. Dwi menyambung bahwa
adanya korupsi karena ada dua sebab utama yaitu korupsi sengaja diciptakan
karena ada kaderisasi, terdapat contoh perilaku korupsi sebagai contoh pilkada
atau regenerasi yang dapat menciptakan koruptor baru yang mengajarkan untuk
berperilaku korupsi serta proses bagaimana mendidik untuk berperilaku korupsi.
Sebab kedua adalah koruptor sengaja untuk dipelihara, melalui membangun dinasti
politik sehingga tercipta dinasti koruptor.
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan kerungan negara atau perekonomian negara”, papar Dwi ketika
menjelaskan pengertian korupsi dengan mengutip pada UndangUndang Nomor 20 Tahun
2001. Ia juga menjelaskan contoh perbuatan utama korupsi yaitu merugikan
keuangan negara, suap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang,
benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Terdapat faktor
pendorong melakukan korupsi yang berasal dari faktor internal yaitu aspek
individu dan sosual budaya serta faktor eksternal. Terkait dengan sosial budaya
tersebut, terdapat pengaruh feodalisme dalam sistem budaya dan korupsi yang
dijelaskan dalam pengaruh feodalisme yaitu adanya jawara yang dapat melakukan
pemerasan dan menghampat proses good governance, adanya gelar akademik yang
digunakan sebagai pengganti gelar kebangsawanan dengan tujuan mendapat hak-hak
maupun kepentingan tertentu, budaya “ewuh pakewuh” atau rasa sungkan karena
rasa hormat dan patuh yang berlebihan, budaya “siri” atau martabat serta harga
diri, orang dianggap melanggar “siri” apabila digunakan untuk pembongkaran
kasus korupsi yang dilakukan tokoh yang seharusnya dihormati. Adanya budaya
“patron klien”, juga menjadi pengaruh feodal mengingat hal tersebut
mengakibatkan adanya hubungan timbal balik antara dua orang yang memiliki
perbendaan status sosial yang dijalin secara khusus, serta adanya upeti.
Webinar
selanjutnya mendapat closing remarks dari dari Kepala Kanwil DJKN Sulseltrabar,
Ekka S. Sukadana. Ekka menyampaikan apresiasi atas kegiatan webinar sebagai
bagian dari hal-hal yang diniatkan untuk pemberantasan korupsi. Ekka
menegaskan, “pada dasarnya seluruh pegawai telah diambil sumpahnya untuk
bekerja dengan jujur”. Ia juga menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak
dapat dilakukan sendiri, namun harus dilakukan secara bersama-sama. Beberapa
local wisdom yang menjadi pesan Ekka adalah “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” atau di depan, seorang pendidik harus bisa
menjadi teladan, di tengah harus bisa memberikan ide, dan di belakang, harus
bisa memberikan dukungan dan dorongan. “Sopo Sing Salah Seleh (4S) menjadi
prinsip berikutnya yang berarti siapa yang bersalah akan jatuh, siapa yang
berperilaku korupsi kehidupannya akan jatuh. Gotong royong dan kerja bakti
merupakan warisan budaya yang dapat diimplementasikan dalam memberantas
korupsi. Serta yang terakhir adalah hidup sederhana dan merasa cukup, bahwa
untuk mengendalikan perilaku korupsi adalah menjalani hidup secara sederhana
dan merasa cukup memenuhi kebutuhan, apabila ingin memenuhi keinginan haruslah
menyesauikan dengan kemampuan, serta aktualisasi diri setelah mapan. Tingkah
laku sebagai Aparatur Sipil Negara juga menjadi perhatiannya, yaitu dengan
untuk menjaga harga diri terhormat tidak semata-mata diperoleh dari harta
kekayaan atau jabatan, namun juga menjaga tingkah laku sesuai kebutuhan, tidak hanya
mengejar keinginan, namun harus menyesuaikan dengan kemampuan. “Dengan hidup
sederhana dan merasa cukup serta selalu ingat terdapat idiom aji ning diri ono
ing lathi, ajining rogo ono busono”, papar Ekka. Martabat kita ada pada tutur
kata, namun sekedar penghormatan fisik hanya pada busana. “Jadilah jati diri
kita sebagai Bangka Indonesia yang mengutamakan martabat dari sikap perilaku
dan tutur kata bukan dari perilaku”, pesan Ekka. (Teks/Foto: Bidang KIHI Kanwil DJKN
Sulseltrabar)