Berawal Dari Keheningan
Sesekali kontemplasi,
hening, meditasi, dan tidak sengaja rupanya, ide tema di atas ini keluar dari benak
begitu saja. Mengalir dan apa adanya, seakan-akan
menerpa penasaran. Memang lumayan melelahkan, setelah seharian bekerja, penulis
iseng-iseng sering membuka berita di internet, bahkan di medsos seperti IG, FB
bahkan Whatsapp Group atau Telegroup.
Kali ini
yang menjadi perhatian penulis adalah, tepat seminggu yang lalu, dunia medsos
dihebohkan oleh sebuah berita tentang isu-isu ramalan Nostradamus yang kerap
membuat daya pikir ini penasaran. Siapa sih Nostradamus? Kok langsung viral
dimana-mana.
Ternyata, setelah buka-buka
internet, Nostradamus dikenal sebagai salah satu peramal masa depan yang paling
penting dalam sejarah manusia di dunia ini. Bahkan diantara banyak ramalannya,
namanya aja ramalan, jangan dipercaya dan diyakini 100%. Lihat saja isu ramalan
serangan 9/11 atu 11 September di World Trade Center (WTC) Amerika Serikat (AS)
pada 2001, lalu tentang Adolf Hitler dan Nazi pada pertengahan abad XX.
Ramalan atau Sebuah “Grand Design”.
Nostradamus lahir pada 14
atau 21 Desember 1503 – 2 Juli 1566. Nostradamus
adalah nama Latin dari Michel de Nostredame, merupakan pengarang ramalan
ternama dari Prancis. Nostradamus terkenal dengan hasil karyanya berjudul Les
Propheties yang terbit untuk pertama kalinya pada tahun 1555, tetapi
buku tersebut menjadi langka sejak kematiannya.
Menarik dan semakin terus
mencari kebenaran terkait ramalan-ramalannya. Namun cukup sudah jelajah tentang
isu ramalan Nostradamus. Adalah pemikiran dia yang harus dicermati seksama, yaitu isu invasi Australia.
Sebuah ramalan bisa jadi
hanya sebuah prediksi tanpa ilmiah. Bahkan sulit juga mengukur akurasi logis
terkait kebenarannya di masa depan. Namun yang menjadi perhatian penulis dalam
isu invasi ini adalah, apakah ini ramalan secara alamiah, atau memang sebuah “grand design” dunia di tahun 2037 nanti.
Tentu, penulis mencari
“relasi kuasa” bagaimana hubungan ramalan dengan prediksi, lalu bagaimana parameter-parameter yang
membangun kejadian di masa depan yang akan menyebabkan invasi tersebut.
“Uuh tak habis pikir, habis
energy memikirkan kausalitas yang ke depan belum tentu bakal terjadi,” pikir
penulis.
Kenapa memikirkan invasinya?
Kenapa para netizen heboh dengan peperangannnya? Kenapa tidak berpikir positif, mencari solusi,
menerapkan kedamaian? Dan atau Membangun rasa trusty antar
sesama? atau bekerjasama, berkolaborasi? Ketimbang memikirkan atau mensugesti
isu ramalan yang akan banyak faktor dan instrumen
sebagai kausalitas universe.
“Ahaa, benar juga ide
selintas pemikiran di atas, rakyat Indonesia harus berpikir positif,
benar-benar jangan tersugesti isu ramalan Nostradamus,” pikir penulis dengan
semangat.
Lalu, bagaimana ke depan
agar sugesti itu terminimalisir?
Bila dalam sebuah kausalitas
diketahui penyebab yang menggiring akan kejadian tersebut, alangkah baiknya
sugesti itu pula ditekan dengan dicarikan solusi-solusinya.
Penerawangan itu makin
dalam. Jelajah itu makin meluas. Bahkan hingga berpikir kepo, fakto-faktor apa
saja yang memungkinkan dapat melakukan pencegahan. Walaupun isu itu tidak perlu
dibenarkan dan disugestikan, hanya saja, tidak ada salahnya antispiasi sekecil
dan sedini mungkin dapat dilakukan.
Penulis menilai, untuk
mengantisipasi itu, bisa sedari dini perbanyak nilai-nilai Nusantara, bahkan
penerapan nilai-nilai agama dengan Baik dan Benar. Sikap Rahmatan Lil alamin harus terus diaplikasikan dengan Netral. Selain itu
juga, budaya Nusantara, seperti Istilah-istilah ancient tradition, Gemah ripah Loh Jinawi,
Surga di Teras Khatulistiwa,
Masyarakat Yang Santun, Budaya yang Siliwangi, Silih Asah, Asih dan Asuh.
Negara yang ber Bhinneka namun tetap Tunggal Ika, sejatinya terus diblow
up, agar blue print intellegence (Cetak
biru Intelegensia) masyarakat Indonesia tersadarkan kembali nilai-nilai
religiusitas dan spiritualitasnya. Peran medsos memang sangat kuat, namun
tema-tema ini lah yang semestinya dikedepankan untuk menetralisir isu ramalan tersebut.
Dengan tujuan agar mengurangi sugesti terhadap ramalan Nostradamus itu.
Indonesia Adalah Pusat
Kedamaian
Berawal dari keheningan tadi,
penulis tidak saja melihat secara mendalam akan pentingnya peran masyarakat dan
negara dalam menciptakan kedamaian. Namun sengaja atau tidak, ternyata 21
September 2022 itu adalah Hari Perdamaian Internasional. Tentu saja, bagi penulis ini sangat menarik,
karena penulis mengharapkan
sisi positif yang seimbang, dimana isu ramalan tidak harus selalu disebarkan,
karena ada isu yang lebih pentingnya lagi, yaitu perdamaian.
Pepatah dan peribahasa
Nusantara, yang sejak SD hingga sekarang dipelajari dan dihapal penulis adalah,
“Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu”. Artinya yang berperang keduanya adalah
sama, sama-sama bakal merasakan kerugian.
Hal ini pula yang membuat penulis tergerak mengedepankan isu perdamaian.
Seperti diketahui bersama,
bahwa Hari Perdamaian Internasional atau International
Peace Day (Peace Day) 2022 diperingati di seluruh dunia pada tanggal 21
September. Hari ini dicetuskan pada tahun 1981 oleh resolusi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Namun penulis berpikir
dalam, bahwa sebenarnya untuk mencapai perdamaian sejati memerlukan lebih dari
sekadar meletakkan senjata. Artinya, istilah Damai kalau perlu sebelum
mengangkat senjata.
“Manusia harus merasakan
kedamaian dalam dirinya”
ucap penulis dalam hati.
Selain perlunya menetralisir
isu ramalan Nostradamus, juga skenario perang yang harus terus diwaspadai
sebagai bentuk penyebab “butterfly effect”,
yang sejatinya perang membawa bencana yang membuat manusia menderita lahir dan
batin, bahkan kepada manusia yang lain, atau negara lain di planet ini.
“Butterfly Effect” dari perang salah satunya adalah kenaikan harga crude oil, dimana muncul ketidakseimbangan
“supply and demand” yang masing-masing
negara berebut bahan bakar. Efeknya crude
oil naik, harga bbm juga naik.
“Perang bukan solusi,
perdamaian lah solusinya, Rusia dan Ukraina yang perang, kita kena imbasnya” pikir
penulis.
Tepat, akhirnya setelah
melihat laman web PBB, Hari Perdamaian Internasional 2022 PBB mengangkat tema
"End Racism. Build Peace"
atau "Akhiri Rasialisme. Bangun Perdamaian."
Yang sangat menyentuh
penulis adalah Sang Sekretaris Jenderal PBB António
Guterres mengucapkan: "Rasialisme terus meracuni institusi, struktur
sosial, dan kehidupan sehari-hari di setiap masyarakat dan menjadi pendorong
ketidaksetaraan yang terus-menerus. Hal ini juga terus menyangkal hak asasi
manusia yang mendasar bagi orang-orang. Rasialisme mengacaukan masyarakat,
merusak demokrasi, mengikis legitimasi pemerintah, dan memperburuk
ketidaksetaraan gender."
Konflik yang terus meletus
di seluruh dunia, menyebabkan orang-orang melarikan diri dan mengungsi, dari
sini tampak bagaimana diskriminasi berbasis ras terjadi di perbatasan. Karena
COVID-19, kita bisa melihat bagaimana kelompok ras tertentu terdampak jauh
lebih keras daripada yang lain. Tema untuk Hari Perdamaian Internasional 2022
adalah “Akhiri rasisme, Bangun perdamaian.”
Dalam laman itu juga, PBB
mengundang semua orang untuk sadar akan menuju dunia yang bebas dari rasialisme
dan diskriminasi ras. Dunia di mana belas kasih dan empati mengatasi kecurigaan
dan kebencian.
Penulis melihat, isu
perdamaian sudah sejak dulu kali
hadir dalam “darah”
Indonesia. Soekarno menciptakan Non-Blok, dilanjutkan oleh Soeharto dan
presiden-presiden berikutnya. Bahkan kemarin kita menyaksikan bagaimana Presiden Indonesia, Joko
Widodo begitu berani datang di tengah kecamuk peperangan Rusia dengan Ukraina.
Jokowi ingin menunjukan bahwa Indonesia itu adalah Negara Damai, bahkan penulis
bisa mengatakan Indonesia adalah Pusat Kedamaian.
Oleh karena itu, tujuan
mulia Presiden Joko Widodo
untuk menyarankan Rusia dan Ukraina untuk menghentikan peperangan adalah sebuah
konsep dan sikap “blue print intellegence” perwakilan bangsa
Indonesia. Di
lapangan, Presiden Joko Widodo merangkul keduanya dengan harapan agar
peperangan segera berakhir.
Berdamai dengan diri
sendiri, maka
jiwa ini akan mampu mensyukuri setiap anugerah yang diberikan oleh Allah SWT. Selamat Hari Perdamaian Internasional, 21
September 2022. "End Racism. Build Peace." atau "Akhiri
Rasialisme. Bangun Perdamaian."
Penulis : Rusmawati
Damarsari - Kepala Bidang Lelang kanwil DJKN Kalimantan Timur dan Utara